Rasa senangku sejak aku tahu bahwa aku diterima di SMUN1 – SMUN favorit di kotaku – dari papan pengumuman yang dipasang di salah satu sudut lapangan upacara sekolah yang memuat namaku pada urutan kesepuluh dari daftar siswa yang diterima, harus dikalahkan oleh rasa kesalku setelah dua minggu aku resmi menjadi siswa SMU dambaanku ini. Betapa tidak, belakangan ini aku harus menjadi objek rasa jumawa kakak-kakak kelasku yang menjunjung tinggi rasa senioritas. Dengan memanfaatkan Masa Orientasi Siswa – suatu acara penyambutan siswa baru yang digelar selama beberapa hari, mereka – kakak-kakak kelasku sesuka hatinya membentak, mencaci, menghina, dan menyuruh ini itu aku dan siswa baru lainnya. Kesal aku jadinya. Makanya, rasa gembiraku seketika berubah menjadi rasa dongkol.
Rasanya ingin marah, tapi aku tak tahu harus kutumpahkan ke mana semua rasa ini. Membalas jelas tidak mungkin. Namun mereka sudah keterlaluan. Siapa yang tidak kesal diberi hukuman menghitung keliling lapangan basket sekolahku dengan jengkal? Siapa yang tidak marah disuruh berakting menirukan gaya gorila di tengah lapangan dan menjadi tertawaan orang banyak?
Puncaknya adalah saat aku dipanggil seorang kakak kelas untuk ‘tur’ keliling sekolah. Aku harus masuk ke setiap kelas yang berisi siswa baru untuk berlagak menjadi artis dan menyanyikan sebuah lagu dengan sapu ijuk sebagai mixnya. Lalu kakak kelas itu berlaga seperti menejerku. Aku dibantu oleh dua siswa lain yang selokal dengan ku sebagai koreografernya. Dan aku juga diberi nama yaitu Tukiyem, artis dari Hollywood yang sengaja konser dari kota film di Amerika itu ke SMUN1 untuk menghibur peserta MOS. Aku disuruh menyanyikan lagu yang hits di Hollywood seperti lagu soundtracknya film Sinchan, soundtracknya film Kobochan, dan lagu anak lainnya di depan kelas. Di setiap penghujung konserku, menejerku bertanya pada hadirin apakah mereka puas atas penampilanku.
Untungnya mereka menjawab puas. Begitulah aku diajak keliling sekolah menyusuri setiap kelas yang saat itu sedang diberi materi berupa pengenalan organisasi ekstrakurikuler yang ada di sekolahku oleh panitia MOS. Kebetulan di kelasku waktu itu organisasi yang diperkenalkan adalah Rohani Islam. Dan aku tak sempat mendengarkannya karena ada konser penting itu. Karena kejadian itu, aku menjadi sangat malu. Sejak konser itu aku selalu dipanggil Tukiyem oleh orang-orang di sekolahku.
“Tukiyem, nyanyi lagu soundtracknya film Si Komo dong!”
Di pikiranku saat ini, semua kakak kelasku angkuh. Tidak ada satu pun yang ramah. Dan setiap pagi saat aku harus datang pada acara MOS, aku memandang sinis kakak kelasku.Kalau ada kesempatan ingin rasanya aku telan mereka bulat-bulat.
*****
Saat bel berbunyi yang menandakan waktu istirahat, peserta MOS bertebaran ke lapangan untuk berburu tanda tangan panitia MOS. Di pinggir lapangan, telah menunggu panitia-panitia MOS mencari mangsa. Inilah pekerjaan yang paling aku benci. Karena biasanya panitia berkesempatan untuk mengerjai adik barunya. Tapi herannya, meski dikerjai, siswa baru itu tetap semangat memburu tanda tangan.
Pun aku saat ini. Aku khawatir apabila jumlah tanda tangan yang kudapat tidak mencapai syarat sampai hari akhir Masa Orientasi Siswa, yaitu 50 buah tanda tangan panitia, maka aku akan dikerjai di ruang macan. Ruang macan adalah ruang tempat penyiksaan peserta MOS yang bermasalah dengan panitia atau kakak kelasnya. Sudah sering aku mendengar cerita yang buruk-buruk tentang ruangan itu dari kawanku yang pernah masuk ke sana.
Dari namanya saja sudah menyeramkan. Pernah ada seorang peserta MOS yang berani melawan perintah panitia MOS. Dan akhirnya panitia itu pun tersinggung. Hingga sisiwa baru itu pun dipermasalahkannya sampai masuk ke ruang macan. Di ruang macan itu ia mendapatkan pelayanan mengerikan: Bangku-bangku beterbangan, suara cempreng dengan volume besar memarahinya di telinga kanan dan kiri. Wajah-wajah garang yang bebas mengeluarkan amarah. Bahkan tertangkap oleh matanya seorang panitia MOS yang sedang on sembari memegang sebatang rokok yang ia yakini berisi ganja sedang memarahinya.
Dari kerumunan di tengah lapangan ini, aku menatap kesebuah sisi lapangan yang berada tepat di bawah ring basket. Di situ terdapat seseorang gadis berjilbab yang mengenakan tanda pengenal panitia MOS sedang duduk sendirian. Berpayung di bawah banyangan ring basket dari terik matahari di tengah hari kini. Meski aku belum berkesempatan untuk mengenakan jilbab seperti kakak itu, namun aku yakin bahwa orang yang berjilbab mestilah orang yang baik-baik. Maka segera saja aku hampiri kakak itu untuk mendapatkan tanda tangannya.
“Kak, Assalamualaikum. Minta tanda tangannya kak.”
Pintaku dengan lembut dan hati-hati.
“Oh, siapa nama kamu?” Tanyanya.
“Fani.” Jawabku. Sejauh ini tidak nampak tanda-tanda bahwa aku akan dikerjai.
“Bagus juga nama kamu. Mana bukunya, biar kakak tanda tanganin.”
Lega hatiku, tampaknya benar dugaanku bahwa orang yang satu ini tidak buas. Ku berikan bukuku dengan penuh senyuman pada kakak itu.
“Oya, selagi kakak nanda tanganin buku kamu, kakak bisa nggak minta tolong?”
O..o.. aku terkecoh. Alamat aku bakal dikerjai lagi.
Tapi mudah-mudahan tidak sesadis panitia yang lain, harapku.
“Boleh. Minta tolong apa kak?”
“Kamu bilangin ke kakak yang itu tuh…” Dia menunjuk ke seorang pria berkacamata hitam yang berdiri di tengah-tengah kawannya di seberang lapangan sana yang sedang berkumpul menyaksikan teman-teman baruku dikerjai. Tampaknya orang itu kakak kelas tapi bukan seorang panitia MOS.
“Yang pakai kacamata hitam itu kak?”
“Iya. Bilangin ke dia, kalo dia itu sok jago dan belaga hebat. Trus walaupun begitu, kamu tetep suka sama dia dan dia boleh ngerjain kamu.”
Oh tidak. Aku terkecoh. Penampilan adem berjilbab itu rupanya juga seorang yang kejam. Seketika aku lemas.
“Mmm… nggak berani Mbak. Tampangnya serem sih.” Aku mencoba merayunya.
“Mau ditandatanganin nggak sih?” Suaranya setengah meninggi.
Aku terpaku sejenak. Akhirnya dengan rasa terpaksa aku turuti juga perintah “Nona Muda” itu.
Kecemasan menemani perjalananku memotong orang-orang yang seliweran di tengah lapangan menuju kakak yang ditunjukkan oleh mbak tadi.
“Kak… Mmm.. Saya disuruh Mbak yang itu…” Aku menunjuk kepada gadis berjilbab tadi di seberang lapangan sana. Rupanya Mbak itu pun memperhatikan aku. “Saya disuruh ngomong… ngngng… kalo kakak sok jago, belagu, sok hebat, tapi… ngngng…”
Mendengar ucapanku seketika raut mukanya berubah garang menggantikan cengiran genit yang menyambut kedatanganku.
“Apa kata kamu dek?” Suaranya garang.
“Tapi saya tetep suka sama kakak. Dan kakak boleh ngerjain saya sepuas kakak.”
Menyebalkan, tiba-tiba rautnya berubah lagi dipenuhi cengiran nakal menjijikkan.
“Oooh… gitu. Sebentar ya, kakak pikir-pikir dulu.
Pokoknya itu komitmen kamu untuk saya kerjain. Oke adek manis. Nama kamu siapa?”
“Fani, kak?”
“Nama kakak Dicko.” Kembali cengirannya dipamerkan padaku. ‘Huek’ muntahku dalam hati.
Dia diam. Sesaat kemudian dia menjentikkan jarinya seraya berujar, “Aha! Dek, kamu ke depan sana, trus minta mikropon sama Mbak Ningsih yang berambut panjang dan berpita biru itu, trus kamu teriak make mikropon, “GUA CINTA DICKO. SIAPA YANG BERANI NGEREBUT DICKO DARI GUA, MAKA HADAPI GUA DULU.” Oke dek? Setuju?”
Tiba-tiba kurasakan badanku lemas. Hukuman ini tugas ini kurasakan begitu berat. Bahkan mataku pun sedikit panas. Kurasakan kristal-kristal bening di mataku mendesak ingin keluar.
“Ayo Kok diem aja. Cepet laksanain.” Bentakannya padaku menarik perhatian kawan-kawan di dekatnya.
Kupaksakan kakiku melangkah daripada kawan-kawannya itu turut mengerjai aku. Jantung ini terasa begitu kencang berdegup. Getaran kakiku terlihat dari bergoyangnya rok biru seragam sekolahku ketika masih di SLTP, yang kukenakan untuk acara MOS ini. Mbak Ningsih yang ditunjuk kakak tadi pun telah dekat.
“Mbak, minjem mikroponnya.”
“Oh ya. Silakan.”
Alhamdulillah mulus. Ragu-ragu, aku mulai berteriak seperti yang disuruh oleh kak Dicko.
“GUA CINTA DICKO. SIAPA YANG BERANI NGEREBUT DICKO DARI GUA, MAKA HADAPI GUA DULU.”
Tiba-tiba semua mata yang ada di sana memandang ke arahku dengan perasaan di hatinya masing-masing.
Mukaku memerah menahan malu. Lalu mataku menangkap sesosok tubuh milik Mbak Ningsih mendekat padaku dan… PLAK. Tamparan telak mendarat di pipiku. Aku terkejut.
“Kurang ajar. Anak baru udah belaga centil. Mau ngerebut pacar orang lagi. Nih, gua yang ngehadapin elu. Lu yang nantang tadi kan? Coba rebut Dicko dari gua.” PLAK… sekali lagi tamparan keras mendarat di pipiku.
Mataku mulai menghangat didesak air mata yang hendak mengalir deras. Secepat kilat aku berlari menjauhi Mbak Ningsih. Membawa air mata yang mulai mengalir persatu, menembus tatapan iba orang-orang yang melihat kejadian ini, serta mengacuhkan tawa terbahak Kak Dicko dan kawan-kawannya.
Aku terus berlari tanpa tahu arah mana yang kutuju. Yang jelas aku harus menjauhi tatapan orang-orang. Hingga telah sampai langkahku di depan musholla yang kudapati sedang lengang. Ada beberapa orang di depan – yang merupakan daerah untuk pria – sedang membaca Al-Qur’an. Aku menuju daerah di belakang hijab, daerah untuk wanita, dan langsung kulepas sepatuku dan masuk ke dalam.
Tak kupedulikan seorang gadis berjilbab yang sedang menekuni Al-Quran. Keheningan di Musholla ini kumanfaatkan untuk menangis sejadi-jadinya sekaligus berlindung dari terik matahari siang dan terik kejamnya prilaku kakak kelasku.
Di tengah isakku, tak kuhiraukan sebuah tepukan hangat menyapa pundakku bersama teguran hangat gadis itu.
“Masya Allah, kenapa kamu dek?”
Di selingi hening, ia bertanya lagi, “Pasti gara-gara dikerjain ya?”
Lagi aku tak mengacuhkan. Karena aku tak tahu harus berkata apa.
“Sabar dek, Allah bersama orang-orang yang sabar! Kakak juga nggak bisa berbuat banyak. Yang jelas acara seperti ini sudah diprotes ke kepala sekolah. Dan rencananya, hari ini MOS hanya diisi oleh pengenalan organisasi ekskul dari sekolah dan materi dari guru. Tapi rupanya terjadi penyimpangan pada pelaksanaannya. Sabar dek. Insya Allah, Allah memberi pahala atas kesabaranmu.”
Kata-kata itu bersamaan dengan angin sejuk yang masuk dari luar musholla yang membelai tengkukku. Namun kata-kata itu lebih sejuk karena mampu membelai hati.
Kupandangi gadis itu dan kudapati keteduhan dari rautnya. Detik berikutnya senyuman indah mengembang dari bibir yang baru saja melantunkan kalam yang suci, disambung dengan pelukan hangat padaku dan belaian tangannya yang mengelus rambut kepalaku yang belum ditutupi jilbab.
“Saya kira, sudah nggak ada lagi orang yang baik di sekolah ini. Rupanya masih ada kakak, orang yang baik.”
“Sudah, ikut kakak yuk, kita berwudhu. Sambil nunggu waktu Zhuhur, kita baca Al-Qur’an. Insya Allah hati kamu teduh.”
Tangan gadis itu menuntunku ke tempat berwudhu wanita.
Tak lama suara adzan Zhuhur bergema.
*****
Setahun kemudian, aku sedang duduk bersama Mbak Hanifah di bangku di bawah pohon Akasia di pinggir lapangan sambil berteduh dari panas matahari di siang ini tatkala beberapa siswa baru yang kesemuanya wanita mendekat pada kami, aku dan Mbak Hanifah.
“Mbak minta tanda tangannya dong.”
Aku menanggapinya dengan senyuman. “Kalo mau tanda tangan, harus ngucapin passwordnya dulu.” Sahutku.
“Apa passwordnya kak?”
“Assalamualaikum!” Jawab Mbak Hanifah.
“Assalamaualaikum warahmatullahi wabarakatuh.” Ucap mereka serempak.
“Wa’alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh.” Jawab kami. “Kumpulin bukunya ya. Yang mau tanda tangan harus di tes dulu baca Qur’annya. Siapa yang non muslim? Siapa yang sedang berhalangan?”
Angin pancaroba yang rutin pada bulan Juli ini membelai jilbab lebarku. Aku mencoba memperkenalkan Islam pada mereka melalui acara MOS yang lagi-lagi masih mengandung perploncoan walau sudah diprotes. Aku menukar senyum dengan Mbak Hanifah yang menyapaku saat aku menangis di Musholla waktu acara MOS dulu. Yang menurutku adalah embun di tengah padang senioritas yang gersang. “Terima kasih telah menunjukiku pada jalan yang telah kau tempuh lebih dulu,” batinku.
Padang, 2001