RSS

Monthly Archives: September 2019

Surat Terbuka Untuk Gerakan Mahasiswa 2019

Kepada para mahasiswa
Yang merindukan kejayaan

Dua puluh satu tahun lalu rakyat Indonesia merasakan euforia yang luar biasa atas kebebasan yang didapat setelah terkungkung selama 32 tahun. Reformasi berhasil menggulingkan kekuasaan tiran orde baru. Masyarakat telah bebas mengemukakan pendapatnya di berbagai tempat tanpa khawatir “digebuk” oleh penguasa.

Kadang kegembiraan itu kebablasan. Hujat dan caci maki jadi kebiasaan. Bahkan ada yang mengartikan bebas berbuat apa saja meski merugikan orang.

Tapi dengan reformasi yang diperjuangkan senior kalian angkatan 98, terbitlah harapan Indonesia akan jaya. Semua orang punya kesempatan yang sama dalam memimpin dan membangun bangsa. Dan penyakit yang diderita negara ini, yaitu Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN), akan segera diberantas.

Merindukan kejayaan. Begitulah yang dirasakan para mahasiswa kala itu. Melalui 6 tuntutan reformasi: Adili Soeharto dan kroni-kroninya, Laksanakan amendemen UUD 1945, Hapuskan Dwi Fungsi ABRI, Pelaksanaan otonomi daerah yang seluas-luasnya, Tegakkan supremasi hukum, Ciptakan pemerintahan yang bersih dari KKN.

Saya yakin kalian yang kini turun ke jalan pun merindukan kejayaan untuk negeri ini. Kami juga, dan kami titipkan kerinduan itu pada kalian.

Kepada rakyat yang kebingungan
Di persimpangan jalan

Dulu masyarakat bingung dengan yang terjadi pada bangsa ini. Negara kaya raya dengan hasil alam dan tambang. Tapi masih banyak rakyat miskin dengan kesenjangan sosial yang tinggi.

Kini masih. Setelah reformasi bergulir 21 tahun, rupanya keadaan tak banyak berubah. Kejayaan yang dirindukan tak kunjung hadir. KKN yang ingin diberantas, malah semakin kronis.

Kalian yang turun ke jalan, kami titipkan kebingungan ini. Mohon lawan segala upaya pembodohan bangsa dan pelemahan ikhtiar pemberantasan korupsi.

Kepada pewaris peradaban
Yang telah menggoreskan
Sebuah catatan kebanggaan
di lembar sejarah manusia

Ya, kalian tengah menggoreskan sejarah indah tentang aksi heroisme buat negara ini. Tapi satu pesan saya. Telah ada contoh orang-orang yang dulu dikenal sebagai penggerak perjuangan, namun ketika merengkuh kekuasaan ia berubah menjadi tokoh antagonis yang harus dilawan oleh gerakan mahasiswa.

Ada orang-orang yang dulu berteriak lantang anti korupsi, tapi setelah menjabat ia malah melemahkan upaya pemberantasan korupsi.

Kalian jangan seperti orang-orang itu! Tetaplah istiqomah dalam idealisme sampai mati.

Wahai kalian yang rindu kemenangan
Wahai kalian yang turun ke jalan
Demi mempersembahkan jiwa dan raga
Untuk negeri tercinta

Selamat berjuang. Selamat bergerak. Peluh bahkan darah kalian adalah asupan buat kejayaan negeri yang sedang kita rindukan bersama. Panaskan aspal-aspal hitam dengan sepatu kalian. Berteriaklah lantang. Tuntaskan agenda reformasi.

Enyahkan kroni-kroni orde baru yang sejak 98 sampai sekarang masih bercokol di kekuasaan. Tuntut undang-undang yang berpihak pada rakyat. Tetap pastikan TNI berada di baraknya. Kawal otonomi daerah, jangan sampai kekayaan mereka dihisap habis oleh pusat yang mengakibatkan gejolak seperti di Papua sekarang. Gugat ketidak adilan hukum. Dan lawan mereka yang ingin memelihara penyakit KKN di negeri ini.

Ya, kalian tentu punya agenda lain hari ini. Tapi yang jelas tidak akan bertentangan dengan 6 tuntutan reformasi dulu.

Selamat berjuang. Hidup mahasiswa! Hidup rakyat Indonesia!

Zico Alviandri

 
Leave a comment

Posted by on September 25, 2019 in Artikel Umum

 

Perginya Sang Cita Cita

“Pengen jadi kayak Habibie.” Itu jawaban saya di masa kecil saat ditanya orang cita-citanya mau jadi apa. Atau jawaban lain, “Pengen jadi Menristek”.

Ibu saya memperkenalkan sosok dengan mata yang agak melotot dan berbicara dengan penuh tenaga itu sebagai orang jenius. “Bisa bikin pesawat,” ujar ibu saya.

Lalu dengan diiming-imingi akan seperti Habibie, saya disuapi makanan. “Liat itu pak Habibie melotot matanya karena suka makan sambel. Ayo buka mulutnya lebar-lebar. A…”

Sampai akhir SD saya masih yakin ingin menjadi seperti beliau. Tapi ketika bertemu pelajaran matematika di SMP, saya lupa dengan cita-cita itu. Apalagi saat SMA. Impian berubah-ubah. Kadang mau jadi arsitek, ahli tata kota, lalu wartawan, ingin masuk LIPIA, dll. Akhirnya lulus kuliah menyandang gelar S.T. dari jurusan Teknik Informatika.

Cita-cita waktu kecil rasanya terlalu tinggi digapai. Walau saya aktif di partai politik, tetap saja terlalu bermimpi bila ingin menjadi Menristek. Kapasitas dan pendidikan saya jauh panggang dari api. Apa kata para doktor kalau ada lulusan S1 mau jadi Menristek? Lagian di partai pun hanya sebagai “remahan teri kacang”.

Tapi keinginan seperti Habibie rasanya belum tertutup. Ya tentu bukan jadi Menristek.

Di suatu tayangan televisi, beliau yang sedang menghadiri sebuah acara tertangkap kamera menggerakkan bibir tidak henti. Ia tidak sedang berbicara kepada siapa-siapa. Yakin saya bahwa ia sedang berdzikir.

Habibie adalah potret orang hebat yang taat berbibadah. Tak hanya dzikir di setiap kesempatan, ia juga dikenal orang yang teguh menjaga puasa sunnahnya.

Maka menjadi seperti Habibie, adalah menjadi orang yang karyanya bermanfaat buat manusia, sembari tetap mengoptimalkan ibadah yang bisa didedikasikan untuk Allah swt.

Meski merasa tak mungkin menjadi Menristek, saya tetap mengaguminya. Ketika ia terpilih sebagai wakil presiden daripada Soeharto, saya senang luar biasa. Apalagi ketika reformasi. Soeharto lengser, ia naik menjadi presiden.

Namun hati ini sedih melihat ia dihujat orang-orang hanya karena ia orang orde baru. Ia juga dihujat oleh orang-orang yang tak suka ia sebagai tokoh Islam.

Padahal ia adalah sosok yang sangat berharga buat negeri ini. Keahliannya di bidang pesawat terbang masih menyisakan kagum bagi banyak orang yang mengenalnya.

Ia telah menelurkan karya yang mengangkat harga diri bangsa: pesawat N250 yang diluncurkan pada peringatan HUT RI ke 50, tahun 1995. Sayang, krisis moneter membelit Industri Pesawat Terbang Nasional (IPTN) yang ia dirikan pada 1976. Kemudian IPTN tutup dan berganti nama menjadi PTDI.

Setelah masa jabatannya habis, ia tak mau lagi menjabat menjadi presiden. Padahal prestasinya luar biasa. Dollar turun sampai Rp 6.500. Ekonomi begitu cepat membaik di tangannya. Saya setuju bila ia adalah presiden terbaik yang pernah ada di negeri ini.

Tak banyak cakap, ia redakan krisis ekonomi dengan turunnya dollar, tanpa perlu sesumbar janjikan di bawah sepuluh ribu. Pesawat rancangannya bukan lah pencitraan politis semata dengan bermandikan hoax yang hanya jadi bahan olok-olok.

Ditinggal sosoknya, bangsa ini jelas kehilangan seorang guru, kontributor, dan tokoh panutan yang besar. Dalam sedih, terlantun Al Fatihah untuknya.

 
Leave a comment

Posted by on September 12, 2019 in Orat Oret

 

UAS, Artis Korea, dan Gorengan Media Massa

Kembali Ustadz Abdul Somad (UAS) dighibahi media massa. Yang sedang digoreng oleh jurnalis-jurnalis keji belakangan, tentang ceramahnya mengingatkan umat Islam untuk menjaga diri dari pengaruh buruk hiburan asing.

Saya curiga, ada dendam politis yang bersenyawa dengan islamophobia berkepentingan untuk merusak nama baik ustadz yang tegas dalam ceramahnya ini.

Sebuah video dari potongan ceramah beliau memperlihatkan jawabannya kepada orang yang bertanya apa hukumnya menggemari dan menyukai film Korea. “Jangan suka kepada orang kafir, siapa yang suka kepada orang kafir, maka dia bagian dari kafir itu. Condong artinya pada orang kafir.” Ia juga berkata, “Jangan ditonton lagi itu sinetron-sinetron korea korea, rusak. nanti pas sakaratul maut, datang dia ramai-ramai. Apa yang sering kita dengar, apa yang sering kita tengok, akan datang saat sakaratul maut.”

Jahat, ada yang mencari uang dengan cara menjatuhkan kehormatan ulama. Diframing tanpa akhlak bahwa Ustadz Abdul Somad mengkafirkan penonton drama Korea.

UAS mewanti-wanti dengan keras. Karena kerusakan dari pengidolaan yang berlebihan ini sudah tampak.

Medio Desember 2017, media massa mengabarkan ada fans drama Korea di Indonesia yang ingin mengikuti perbuatan idolanya Jonghyun SHINee yang telah mati bunuh diri. Gila. Dan begitulah, orang yang sudah fanatik menyukai sesuatu akan berbuat yang di luar akal manusia.

Dampak lain adalah hilangnya sopan santun terhadap yang tua. Dialami oleh ibu Elly Risman ketika memprotes pemerintah saat ingin menghadirkan artis Korea, para penggemar hiburan dari negeri gingseng itu pun membully dan melecehkan sosok ibu berilmu yang amat perhatian terhadap akhlak generasi muda.

Ada pun peringatan UAS, jelas dalilnya tersurat dalam sabda Rasulullah saw, “Engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai. (Di hari kiamat)” (HR Muslim) UAS tidak sedang memvonis personal, tetapi mengemukakan kaidah bahwa siapa yang menyerupai suatu kaum, memiliki kecenderungan kepada mereka, maka dia bagian dari kaum itu.

Tentu tidak serta merta penonton dan penyuka film Korea dihukumi murtad. Selama masih memegang syahadatnya, tidak berhak dihukum kafir. Hanya saja itu adalah penghukuman oleh manusia. Bagaimana dengan Allah swt? Yakin kah bahwa orang yang mengidolakan mereka yang ingkar kepada Allah swt itu diterima keimanannya? Lisan bisa menyatakan syahadat, tapi Allah yang menilai kejujuran hamba-Nya. Di sini lah UAS mewanti-wanti dengan keras.

Ketika kehidupan artis Korea lebih diikuti dari pada kisah perjuangan Rasulullah saw. Ketika hadits Nabi dan firman Allah sangat jarang dibaca dibandingkan berita si idola. Ketika sholawat kepada Nabi Muhammad saw sangat jarang terucap dibanding nama si artis. Ketika cinta kepada Allah swt & Rasul-Nya kalah dibanding cinta kepada public figure oriental nan rupawan. Ketika perilaku dan tampilan tokoh kesayangan diikuti tanpa timbangan halal haram. Maka, sebagaimana hadits di atas, di akhirat kelak ada kemungkinan Allah swt bangkitkan orang tersebut bersama artis Korea idolanya. Sedangkan syafaat Nabi Muhammad saw jauh darinya. Na’udzubillahi min dzalik.

UAS sudah memperingatkan. Sudah tunai tugasnya. Meski jurnalis jahat memplintir dan menghasut agar da’i yang dicintai umat itu dimusuhi penggemar drama Korea.

Media massa itu berhajat dengan pemberitaan seputar drama dan artis Korea. Bila umat Islam mengindahkan nasehat UAS, tentu rugi lah pengelola media. Media pun meminggirkan kode etik jurnalistik. Tidak ditampilkan klarifikasi UAS atas isi ceramahnya. Hanya penggiringan opini sepihak.

Di balik itu semua, juga ada pihak yang dendam secara politis yang sampai sekarang tak henti menyinyiri UAS. Apalagi islamophobia yang melihat UAS memiliki pengaruh di tengah umat.

Ustadz Abdul Somad adalah asset berharga umat Islam. Kasus belakangan tak akan jadi aksi penggorengan yang terakhir kalinya oleh media. Kalau bukan umat Islam yang membela beliau, siapa lagi?

 

Ternodanya Predikat Negara Tersantuy

Apa kabarnya gelar yang disematkan oleh situs pemesanan akomodasi lastminute[dot]com kepada Indonesia sebagai negara yang paling santai di dunia, mengalahkan Australia dan Islandia?

Andai perilaku suporter sepakbola Indonesia dimasukkan sebagai penilaian, rasanya skor Indonesia akan berkurang drastis. Apalagi setelah kerusuhan kecil di stadion GBK saat tim Garuda melawan Harimau Malaya kemarin ini. Karena ulah norak beberapa suporter, sepakbola nusantara terancam mendapat hukuman oleh FIFA.

Kategori yang dijadikan ukuran negara santai diantaranya adalah, hak pribadi warga negara, jumlah hari libur, suhu udara, level polusi cahaya dan udara, serta ketersediaan destinasi wisata dan relaksasi seperti spa dan pantai.

Ya, itu semua memang fasilitas mendukung untuk bisa bersantai. Bagi orang desa, cukup saung yang nyaman di tengah sawah, angin sepoi-sepoi, plus nasi, krupuk, dan ikan asin. Bagi pensiunan di sore hari, cukup kursi goyang, burung bersuara merdu di sangkarnya, serta kopi dan rebusan di meja. Bagi orang kota lebih sederhana lagi: kasur, hp, kuota, dan sinyal.

Ketika heboh berita prestasi negara tersantai, warganet dan media online menampilkan bukti-bukti foto bahwa predikat itu memang layak disandang Indonesia. Ada petani yang tiduran di sawah, pejalan kaki leyeh-leyeh di tengah jalan, dsb. Lucu dan jadi ada benarnya juga.

Hingga kemudian kelakuan anak-anak negara api menyerang. Menyadarkan kita bahwa rakyat ini ga santai-santai amat kok. Suporternya sumbu pendek dan kampungan. Doyan ribut. Ga terima kekalahan.

Perilaku “ga nyantai” ini bahkan sudah merenggut korban nyawa dalam perseturuan Viking vs The Jak. Juga di beberapa perselisihan antar suporter lainnya.

Ada yang membela keributan kemarin. Katanya, suporter Indonesia ketika menonton langsung di Malaysia pun diteriaki dan dicaci maki. Lho, kenapa mau ikut-ikutan berbuat salah?

Ini bukan nasionalisme. Melainkan kelakuan bocah panasan. Kalau ada oknum berbuat tak pantas, apakah harus timbulkan dendam yang dibalaskan kepada seluruh suporter Malaysia, bahkan kepada negaranya? (Ada yang meneriakkan ganyang Malaysia kemarin. Cuma gara gara sepakbola.)

Yang berbuat entah siapa, dendamnya jadi melebar kemana-mana.

Dan ini terjadi juga pada suporter antar klub dalam negeri. Dendam yang tak tuntas. Harus saling balas. Rusuh diimbangi rusuh, biar terlihat gagah.

Begitulah. Di tingkat negara, suporter kita ribut. Di tingkat klub, tak kalah rusuh. Tanding antar kelurahan, sekolah, bahkan kelas pun bisa tak lepas dari tawuran. Di level apa pun harus selalu siap untuk bergelut. Bola yang bundar itu hanyalah sarana pengantar menuju baku hantam.

Kalau dibilang insan sepakbola kita kurang rekreasi, sebenarnya pertandingan sepakbola itu lah bentuk rekreasi. Entah kenapa malah jadi tegang dan berhawa panas.

Saya merindukan orang-orang masuk ke dalam stadion membawa keluarganya, istri, anak-anak, orang tua, tanpa khawatir kerusuhan. Mereka menikmati pertandingan. Bernyanyi dan menyemangati tim idola. Ketika menang, memberi applause tanpa berlebihan. Ketika kalah, tetap diberi semangat sembari tak lupa mengapresiasi lawan. Dan terhadap suporter lain, bisa menghargai dan memberi rasa aman pada mereka yang sudah datang dari jauh.

Bila itu terwujud, tentu bisa memperkuat kategori penilaian sebagai negara santuy.

Ya, fasilitas buat nyantai sih banyak. Tapi entah kenapa, kalau udah nonton bola, jadi sumbu pendek. Bahkan walau yang bertanding itu klub luar negeri, fans yang sedang nonton bareng malah berantem sendiri. Noraknya sampai sebegitunya.

 
Leave a comment

Posted by on September 7, 2019 in Artikel Umum

 

Milkul Yamin dan Retorika-Retorika yang Memesona

Alhamdulillah, sebagai orang awam, dapat perbendaharaan istilah baru dari kehebohan belakangan ini yang dipicu oleh desertasi S3 mahasiswa pasca sarjana UIN Sunan Kalijaga.

Istilah itu berbunyi: Milkul Yamin. Diambil dari Al-Qur’an surat Al Mu’minuun ayat 6, “…Aw maa malakat aymaanuhum…” artinya “…atau budak yang mereka miliki…” Makna istilah itu adalah budak dalam kepemilikan pribadi. Selama ini saya tahunya hanya Milkita, merk makanan.

Juga sedang populer istilah lain, yaitu “bucin”. Singkatan dari budak cinta. Maka memadukan dua istilah ini, bisa lah terbentuk term baru: “milkul yamin cinta”. Disingkat micin. Keren gak sih?

Perbudakan memang pernah ada berabad-abad, bahkan bermilenial-milenial lamanya. Pada 31 Januari 1865, presiden Amerika Serikat Abraham Lincoln memutuskan untuk menghapus perbudakan di negaranya. Dan di seluruh dunia, pada zaman modern saat ini, sudah tidak lagi ditemukan hal tersebut.

Orang awam baru tahu, bahwa ada yang menggunakan istilah milkul yamin untuk membenarkan hubungan seksual non marital. (Nah, istilah keren lagi nih). Bahwa hubungan intim di luar pernikahan – menurut pemikiran kontroversial itu – bukanlah zina karena dipayungi hukum milkul yamin yang membolehkan.

Ya, jaman dulu budak boleh digauli tuannya. Hukum terhadap orang merdeka berbeda dengan hukum terhadap budak yang diperlakukan sekehendak tuannya laksana barang kepemilikan. Tapi saya jadi khawatir orang Palembang atau Sunda jadi salah sangka. Dikiranya boleh berhubungan badan dengan anak kecil. Budak kan dalam bahasa Palembang & Sunda artinya bocah cilik.

Enak dong menggauli budak? Bayangan saya tentang budak didapat setelah menonton film Little Missy di TVRI waktu kecil (yang tidak tahu film ini, boleh memanggil saya abang atau om). Ada orang-orang Negro yang hidup dalam kerangkeng dan acap mendapat cambukan dari tuannya yang bernama Baron Araruna. Juga ada budak wanita bernama Ba, pengasuh nona Missy. Badannya besar, hitam, gemuk. Nah, sering kalau disebut budak wanita, yang terbayang adalah sosok Ba itu. Jadi, apakah enak boleh menggauli budak wanita? Tergantung gimana dulu.

Membenarkan hubungan seksual di luar nikah dengan alasan milkul yamin, maka asumsinya wanita itu adalah budak pria? Gitu gak sih? Saya berbaik sangka, mungkin yang punya pemikiran tersebut terlalu menghayati syair lama. Begini bunyinya:

Wanita dijajah pria sejak dulu
Dijadikan perhiasan sangkar madu
Namun adakala pria tak berdaya
Tekuk lutut disudut kerling wanita

Hayo… siapa yang baca itu sambil nyanyi? Ketauan ya umurnya.

Jadi, benarkah milkul yamin alasan yang tepat untuk melegalkan hubungan seksual non marital? Saya sih ikut ulama terpercaya yang membantah desertasi mahasiswa S3 tersebut.

Hanya saja, ada pelajaran yang bisa diambil dari kehebohan ini. Tentang bagaimana istilah yang asing terdengar bisa memesona dan mengelabui masyarakat awam.

Seseorang menyampaikan informasi bahwa air yang sering kita minum mengandung zat kimia berbahaya bernama Dihidrogen Monoksida. Orang awam mendengar nama itu tentu langsung khawatir dan terpengaruh. Padahal Dihidrogen Monoksida adalah nama kimia untuk air (H2O).

Seseorang yang baru hijrah melihat temannya saat tasyahud dalam sholat tidak menggerak-gerakkan jari telunjuk. Lantas dia bilang, “Manhaj kamu tidak kokoh. Sholatnya belum benar. Manhaj salafus sholih adalah menggerak-gerakkan telunjuk saat doa dalam tahiyat”. Terdengar keren, padahal istilah itu salah penempatan.

Karena itu, sebagai awam kita harus berhati-hati terhadap retorika orang yang akan menyimpangkan ajaran Allah. Kemarin ada istilah tafsir hermeneutika yang diterapkan untuk memahami kandungan Al-Qur’an. Istilahnya terdengar indah, padahal itu adalah konsep kafir memahami kitab suci mereka agar ajaran agamanya selalu sesuai dengan keinginan masyarakat dan perkembangan zaman.

Kuncinya jangan latah, jangan kagetan, jangan gampang terpesona. Kekuatan retorika inilah yang menjadi kekuatan orang munafiq mempengaruhi umat muslim, sebagaimana yang dikupas oleh Allah swt dalam Al Qur’an surat Al Munafiquun ayat 4. “Dan apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh mereka menjadikan kamu kagum. Dan jika mereka berkata kamu mendengarkan perkataan mereka…”

Terakhir, saya suguhkan sebuah dialog antara Mandra dan pacarnya, Munaroh, dalam sinetron Si Doel Anak Sekolahan. (Tautan: https://www.youtube.com/watch?v=mcoF0tfhfmM ). Perhatikan bagaimana retorika Mandra begitu memukau. Tapi…..

Mandra: Apalagi sih yang kamu ingin bicarakan?

Munaroh: Aye pingin minta maaf bang

Mandra: Maaf? Maaf untuk apa?

Munaroh: Ya.. Aye kan pernah ngecewain abang. Pernah ngkhianatin cinta abang

Mandra: Cinta. Apalah arti sebuah cinta?

Munaroh: Abang kok ngomongnya gitu?

Mandra: Iya dong. Cinta itu kan sesuatu yang indah. Bahkan sekarang sudah tidak indah lagi. Diakhiri dengan kekecewaan.

Munaroh: Ya.. Karena itu, aye jadi ngerasa bersalah bang.

Mandra: Kenapa kamu harus merasa bersalah? Selama ini kamu terlalu banyak memberikan keindahan, Roh. Aku sendiri tidak tahu apakah ada relevansinya dengan hubungan kita.

Munaroh: Relevansi apaan sih bang?

Mandra: Ya Relevansi. Eee… maksudnya… Eee… cinta itu kan relevansi. Eee… begini. Kita prinsip. Prinsip aja kita bedua. Ee… Pokoknya begini aja dah. Eee.. anggap aja antara hubungan kita yang pernah terjalin dulu itu, mmm… hanyalah sebuah kenangan belaka.

Munaroh: Kok abang gitu sih?

Mandra: Ini realita Roh. Realita. Sesuatu yang mungkin sulit untuk kita lupakan. Dan apa pun alasannya, ini tidak mungkin terulang lagi di antara kita. Ya toh?

Munaroh: Jadi abang gak berharap kita bisa bersatu lagi?

Mandra: Bersatu lagi? Itu sama saja kau mencari jarum dalam jerami. Tidak mungkin Roh. Kau kan sekarang sudah menjadi istri orang lain. Tidak mungkin. Tidak mungkin.

 
Leave a comment

Posted by on September 4, 2019 in Artikel Umum