
Adakah yang dari kemarin menanti-nanti apa kiranya yang akan diperbuat Duta Pancasila kita, Zaskia Gotik, di Hari Lahir Pancasila ini? Rasanya baru-baru ini saja bangsa Indonesia punya Duta Pancasila. Diangkat dari biduanita dangdut yang punya goyangan khas di panggung yang pernah – sebagian masyarakat menganggapnya – melecehkan Pancasila dengan candaan “bebek nungging” saat ditanya lambang sila ke lima Pancasila di sebuah acara televisi. Selayaknya masyarakat penasaran dengan gebrakan yang akan dilakukan orang tersebut di Hari Lahir Pancasila.
Nama asli Zaskia Gotik adalah Surkianih. Kata Gotik berasal dari singkatan Goyang Itik. Penyanyi ini memang terkenal dengan jogetannya di panggung yang meniru goyangan itik ketika berjalan. Kita tahu, ekor itik akan bergoyang-goyang ketika berjalan. Dan itu yang dilakukan Zaskia Gotik saat bernyanyi di depan publik. Dan itu lah profil Duta Pancasila yang dimiliki negara ini: seorang penyanyi yang suka menggoyangkan pinggulnya di depan masyarakat.
Adalah Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa MPR yang mengangkat Zaskia Gotik menjadi Duta Pancasila, 7 April 2016 lalu. Ketua Fraksi PKB di MPR, Abdul Kadir Karding secara blak-blakan meminta Zaskia Gotik untuk mengisi posisi yang belum pernah ada itu. “Saya dorong ‘Mbak Zaskia sekalianlah Anda jadi Duta Pancasila’,” akunya kepada media.
Mungkin posisi itu hanya klaim FPKB MPR RI saja. Karena Ketua MPR Zulkifli Hasan sendiri menyayangkan. “Justru ini lampu merah bagi kami,” ujarnya.
Dan keterpilihan Zaskia Gotik menjadi Duta Pancasila pun menimbulkan tanya, “Seriuskah bangsa ini dengan Pancasila, yang diaku sebagai ideologi bangsa sendiri?” Anggaplah Zaskia Gotik akan sungguh-sungguh menyandang gelar “Duta Pancasila”. Di depan, ada beberapa tantangan terhadap Pancasila yang harus dijawab oleh bangsa Indonesia. Duta Pancasila, siapa pun itu andai gelar ini benar-benar ada, sudah seharusnya berada paling depan melawan tantangan-tantangan itu.
Tantangan Moral
Pancasila mengandung ajaran moral. Dulu pernah ada mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang diajarkan di sekolah hingga perkuliahan. Sampai kemudian pelajaran itu diganti menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn). Rezim Orde Baru juga menggiatkan penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Semua itu adalah upaya pemerintah menyosialisasikan ajaran-ajaran moral yang dirumuskan dalam butir-butir Pancasila.
Tak ada tolak ukur yang jelas soal keberhasilan sosialisasi ajaran ini. Angka kriminalitas di zaman Orde Baru tetap tinggi. Bandit-bandit yang meresahkan ditangani dengan aksi penembakan misterius atau Petrus oleh aparat pada tahun 80-an. Bukan dengan penyadaran akan pentingnya berpijak pada moral Pancasila. Perjudian merajalela dan dilegalkan dalam bentuk Porkas hingga SDSB, sampai akhirnya dihapus karena portes ulama dan umat Islam. Birokrasi yang terbiasa mendapat penataran P4 malah menjadi pusaran korupsi yang dilakukan dengan berjamaah.
Pancasila yang dipaksakan menjadi asas tunggal di zaman Orde Baru hanya menjadi “kitab beban angkut keledai”. (Meminjam perumpamaan yang Allah SWT sebut pada Al-Qur’an surat Al-Jumuah ayat 5). Kenyataannya, ajaran moral Pancasila tak total diamalkan bangsa ini.
Zaman reformasi, pentaran P4 dihapus. Sementara bangsa ini ingin agar Pancasila tetap menjadi ideologinya. Ajaran moral Pancasila diharap dapat eksis di tengah kelompok remaja yang kemarin ini memenuhi headline media massa dengan berita pemerkosaan dan pembunuhan Yuyun, Eno Parinah, dan nama lainnya yang tak populer. Atau di tengah aparat dan birokrat yang punya oknum yang sering kedapatan berada di hotel dengan pasangan yang tak sah saat jam kerja. Atau di tengah penegak hukum yang bertebaran oknum yang ditangkap KPK. Pancasila juga diharap tetap dihayati masyarakat yang mengidolakan pejabat yang berkata kasar di depan publik (yang penting tidak atau belum ketahuan korupsi, kata mereka). Juga pada acara-acara dangdutan yang biduannya bergoyang seronok di depan anak-anak (sebagian masyarakat berpandangan goyang itik Zaskia Gotik termasuk yang tak pantas).
Tantangan seperti itu kah yang dijawab dengan memasang Zaskia Gotik sebagai Duta Pancasila?
Ideologi Terbuka
Ideologi Pancasila bersifat terbuka, yang berarti fleksibel dan mampu mengikuti perkembangan zaman. Perumusan ajaran Pancasila melibatkan banyak pihak. Termasuk Orde Baru yang leluasa merumuskan butir-butir Pancasila untuk dihafalkan oleh para siswa. Namun rezim Orde Baru dengan pemaksaan asas tunggalnya telah menjadikan Pancasila sebagai ideologi tertutup.
Dan pada politik aliran yang menggejala di negara ini, keterbukaan ideologi Pancasila menjadi ajang pertarungan wacana antara kaum Islamis dan sekuler.
Kaum Islamis menganggap Pancasila adalah milik umat Islam. Tokoh Islam terkemuka di negara ini, almarhum Buya Hamka, menafsirkan sila pertama sebagaimana ajaran Islam tentang Allah, yaitu Dzat Yang Maha Kuasa dan Maha Esa. Dengan pemahaman yang seperti itu, umat Islam bisa menerima Pancasila, apalagi setelah disambung dengan Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan bahwa kemerdekaan Indonesia ini adalah berkat karunia Allah. Semua konsep yang disebutkan dalam Pancasila, seperti kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan, dan keadilan sosial, semuanya lahir dari konsep ketuhanan itu sendiri.
“Kita tidak anti Pancasila, bahkan kitalah pembela dan pengamal Pancasila. Bukan dengan pidato, bukan dengan gembar-gembor, tapi dengan amal dan perbuatan kita sehari-hari,” Begitu pernyataan Buya Hamka sepeti dikutip dari buku “Buya Hamka, Antara Kelurusan Aqidah dan Pluralisme” karya Akmal Sjafril.
Di sisi lain kalangan sekuler menjadikan Pancasila sebagai tameng dari hasrat kaum Islamis yang ingin menjadikan undang-undang yang berlaku di Indonesia memiliki jiwa syariah. Slogan yang tertulis pada pita yang digenggam jemari kaki Burung Garuda yang berbunyi “Bhineka Tunggal Ika” menjadi alasan mereka menolak ajaran-ajaran agama manapun terimplementasi dalam undang-undang. Kemajemukan suku dan agama di negara ini tak boleh dikalahkan oleh pemaksaan kehendak satu golongan, begitu argument mereka.
Dalam pertaruhan dialektika yang terjadi pada gelanggang “ideologi terbuka” itu, sejauh mana seorang Duta Pancasila mampu mendudukkan tiap aspirasi dengan adil?
Ancaman Laten Komunis
Pemberontakan yang paling menyejarah yang terjadi di negara ini adalah G30S/PKI pada tahun 1965. Ideologi Pancasila diakui “kesaktiannya” setelah melewati masa yang genting dari pemberontakan itu. Tanggal 1 Oktober pun dicanangkan sebagai hari kesaktian Pancasila, mengenang jayanya Pancasila atas rong-rongan kaum komunis yang ingin menyisihkan Pancasila sebagai dasar negara.
Orde Baru memperkenalkan istilah “bahaya laten komunis” karena menyadari potensi kebangkitan ideologi ini. Aparat di zaman Orde Baru masih menemukan upaya penyebaran ajaran komunis. Ada yang berhasil ditangkal, ada yang lolos sembunyi-sembunyi.
Sekarang aroma kebangkitan komunis kian terasa mendompleng keran kebebasan yang dibuka oleh reformasi. Indikasi itu sudah tercium oleh aparat. Belakangan beberapa kali media massa mengabarkan tentang anak muda yang ditangkap karena mengenakan kaos berlambang PKI. Mantan Kepala Staf Kostrad Mayor Jenderal (Purn), Kivlan Zen sampai menyatakan siap berperang melawan komunisme gaya baru.
Kader-kader komunis akan selalu mengincar Pancasila untuk diganti dengan ideologi pilihan mereka. Sekali lagi, ini menjadi tantangan yang harus dijawab oleh masyarakat Indonesia. Bisakah Duta Pancasila berdiri terdepan menghadang arus kebangkitan komunisme?
Mungkin bangsa ini sejatinya memang memerlukan Duta Pancasila. Tetapi semestinya yang dipilih adalah orang yang bermoral luhur, berprestasi, dan punya wawasan yang luas. Ia lah yang akan menjadi panutan rakyat dan bisa diandalkan untuk menghadapi berbagai tantangan yang merong-rong Pancasila.