Kalau niat tuan suduh buruk, memang bisa tuan mengendap ke dalam majelis-majelis agama untuk mencuri dengar dan mencari hal yang bisa dijadikan bahan provokasi. Termasuk di dalam acara pengajian kami, di masjid-masjid yang banyak disebut nama Allah swt di situ.
Ketika hanya Allah swt yang banyak disebut, tuan sudah mulai meradang. Tuan tuding kami fanatik, sektarian, bigot, dan kata-kata lain yang entah tuan dapat dari mana. Tak heran, perangai tuan itu sudah dikabarkan dalam Al-Qur’an.
“Dan apabila hanya nama Allah saja disebut, kesallah hati orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat; dan apabila nama sembahan-sembahan selain Allah yang disebut, tiba-tiba mereka bergirang hati.” (QS Az Zumar: 45)
Ketika sang ustadz menyebut bahwa Tuhan itu satu, yaitu Allah Azza wa Jalla; ketika dibahas bahwa hanya Islam agama yang haq, dan agama selain itu bathil; tuan akan meradang lebih hebat. Tuan sangkakan kami anti toleransi, anti kebhinekaan.
Ketika dibaca ayat Al-Qur’an bahwa Tuhan Maha Suci dari memiliki anak atau dilahirkan, tuan akan temukan bahan untuk menghasut ketentraman penganut agama lain.
Ketika dilantunkan ayat Al-Qur’an surat Maryam 90-91, tuan akan semakin bersemangat untuk mengadu domba antar umat beragama.
“Hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu, dan bumi belah, dan gunung-gunung runtuh, karena mereka menda’wakan Allah Yang Maha Pemurah mempunyai anak,” bunyi ayat itu.
Ketika dikaji secara logika Al-Qur’an, keganjilan konsep politeisme, atau rapuhnya klaim-klaim ketuhanan selain Allah swt, tuan akan berang bercampur suka cita mendapat alasan untuk mengintimidasi kami.
Ketika dibahas tafsir Al-Fatihah memasuki ayat terakhir tentang makna Al-maghdhub dan Adh-dhollin, juga ayat tentang kelompok yang “selamanya tak akan ridho”, atau tentang kaum bebal laksana keledai pemanggul kitab, tuan bisa jadikan itu untuk menuduh kami umat yang anti kedamaian.
Jauh-jauh lah. Kami berlindung kepada Allah swt dari kejahatan makhluk seperti tuan.
Konsep teologi tiap agama pasti saling bertentang paham. Apa yang dikaji di masjid, akan menafikan apa khutbah para pendeta. Begitu pun sebaliknya, apa yang kami yakini akan dibantah di rumah-rumah ibadah mereka.
Kami tak kan pernah permasalahkan sama sekali apa yang dibahas di sana. Bagimu agamamu, bagiku agamaku.
Hanya saja mari kita bersepakat, bahwa setiap kajian agama teologis ini hanyalah untuk kalangan sendiri. Maka tak perlu tuan yang beragama lain mencuri dengar dari kajian kami. Pun kami tak ada keperluan menguping apa yang pemuka agama lain khotbahkan.
Selama itu dipegang erat, kedamaian umat beragama akan terjaga. Namun bila orang seperti tuan datang dengan membawa provokasi, menyampaikan apa yang dikaji di masjid kepada jamaah gereja, pura, dan wihara; atau sebaliknya; maka terancamlah kerukunan yang berharga itu.
Kami serahkan kepada Allah swt.
—
Disadur dari pernyataan tertulis ustadz Fahmi Salim yang dikutip Republika[dot]co[dot]id, 19 Agustus 2019, ada kisah yang diceritakan Buya Hamka seperti di bawah ini:
Dalam rubrik “Dari Hati ke Hati” di Majalah Pandji Masjarakat, Buya Hamka menceritakan kisah nyata persekusi yang dialami oleh KH SS Djam’an, ulama terkenal pada tahun 1960-an.
Saat memberikan pengajian di rumah warga masyarakat, ia (KH SS Djam’an) menjelaskan tafsir firman Allah ayat 4-5 surah al-Kahfi tentang makna Tauhid yang murni dan menyesatkan paham trinitas.
Rupanya, ada yang nguping menginteli pengajian tersebut.
Selepas pengajian, saat hendak pulang Kiai Djam’an dikepung sekumpulan pemuda berbadan kekar dan sangar, sambil meneriakkan kalimat, “Anda anti-Pancasila!”
Buya Hamka menulis, “Kita disuruh toleransi. Toleransi dengan tafsiran bahwa kita jangan atau dilarang menerangkan akidah kita. Siapa yang berani menerangkan akidah kita, maka rumahnya bisa dikepung atau bisa diproses.” Demikian sindir Buya Hamka, mencontohkan kejadian yang menimpa Kiai Djam’an itu.
Dahulu, tahun 1960, Buya Hamka pernah berkhutbah di Masjid Agung Al Azhar bahwa di Indonesia saat ini Islam dalam bahaya akibat wabah intoleransi dan tudingan anti-Pancasila oleh organ-organ Nasakom (Nasionalisme, Agama, dan Komunisme –Red) kepada partai Islam, ormas Islam dan tokoh-tokoh ulama Islam. Rupanya, khutbah Buya Hamka itu sampai juga ke telinga Bapak Sukarno, presiden dan pemimpin besar revolusi yang ditabalkan oleh Nasakom.
Ia (Presiden Sukarno) lalu bereaksi dan menyatakan dalam sambutan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di istana negara, “Ada orang yang mengatakan Islam dalam bahaya di republik ini. Sebenarnya, orang yang berkata itu sendirilah yang sekarang dalam bahaya.”
Tak lama kemudian, pada tahun 1964, Buya Hamka ditangkap dan dijebloskan ke penjara oleh rezim Nasakom dengan tuduhan hendak menggulingkan pemerintah, berencana membunuh presiden dan menteri agama, dan kontra-revolusi.
Rupanya, kata-kata bapak Presiden itu adalah isyarat bahwa Buya Hamka sudah diincar dan jadi target persekusi dan kriminalisasi ulama di era kejayaan komunis di bawah naungan rezim Nasakom.
Tampaknya, sejarah kembali berulang.
Tidak pada tempatnya memperkarakan tokoh agama yang berceramah agama ditujukan kepada penganut agamanya sendiri, apalagi disampaikan di tempat khusus seperti rumah ibadah.
Tujuannya adalah memperkuat keimanan pemeluknya.
Itu bukan mencela atau menista tuhan agama lain.
Ayat yang menyatakan, jangan kamu mencela sesembahan orang-orang musyrik yang menyembah selain Allah itu sangat jelas maknanya, larangan mencela secara terbuka dan tanpa landasan ilmu pengetahuan, tujuannya semata-mata untuk memperkeruh toleransi umat beragama dan menciptakan situasi chaos dalam masyarakat beragama.
Jika peneguhan akidah disampaikan kepada internal umat dengan membandingkan dengan konsep tuhan-tuhan agama lain, tidak dengan tujuan merusak harmoni sosial, maka tidak ada alasan logis dan legal untuk mengharamkannya karena itu adalah bagian dari dakwah agama.
Seperti ayat-ayat Alquran mengecam kemusyrikan dan kekafiran Ahli Kitab dan musyrikin Quraish, aapakah lalu kemudian boleh memperkarakan dan memidanakan ayat-ayat Allah?
—
Zico Alviandri