Memperdebatkan siapa yang salah (laki-laki atau perempuan) dalam kasus pelecehan seksual sama seperti berdebat tentang siapa yang lebih dahulu ada, ayam atau telur. Tak kan ada habisnya.
Karena tiap kasus tak sama. Yang jelas, yang sudah pasti bersalah adalah si pelaku. Konteks tulisan ini untuk kasus yang menimpa wanita. Maka, laki-laki pasti bersalah.
Memang, tiap orang dituntut bersikap preventif agar tidak menjadi korban atas kejahatan apa pun bentuknya. Tapi menyeret kaum Hawa sebagai biang kerok, belum tentu tepat juga. Tidak menutup kemungkinan wanita yang telah menjaga diri dengan baik masih menjadi korban. Sedangkan pelaku kejahatan tak akan pernah mendapat pembenaran karena tergoda oleh penampilan seronok.
Hikmah Perintah Jilbab
Islam memberi solusi bagi wanita agar terhindar dari pelecehan seksual, yaitu jilbab. Turunnya surat Al Ahzab ayat 59 yang memuat perintah berjilbab berkenaan langsung dengan peristiwa pelecehan terhadap wanita oleh orang-orang jahat di Madinah. Terutama pada frasa “falaa yu’dzain”. (Sehingga mereka tidak diganggu)
Dalam Tafsir Ibnu Katsir, ayat tersebut dijelaskan begini:
“Bahwa dahulu kaum lelaki yang fasik dari kalangan penduduk Madinah gemar keluar di malam hari bilamana hari telah gelap. Mereka gentayangan di jalan-jalan Madinah dan suka mengganggu wanita yang keluar malam. Saat itu rumah penduduk Madinah kecil-kecil. Bila hari telah malam, kaum wanita yang hendak menunaikan hajatnya keluar, dan hal ini dijadikan kesempatan oleh orang-orang fasik untuk mengganggunya. Tetapi apabila mereka melihat wanita yang keluar itu memakai jilbab, maka mereka berkata kepada teman-temannya, “Ini adalah wanita merdeka, jangan kalian ganggu.” Dan apabila mereka melihat wanita yang tidak memakai jilbab, maka mereka berkata, “Ini adalah budak,” lalu mereka mengganggunya.”
Adalah salah bila menyangka jilbab otomatis menghilangkan risiko pelecehan. Dan juga salah bila menyangka wanita yang tak mengenakan jilbab wajar bila dilecehkan.
Syariat menutup aurat dilakukan dengan motivasi dasar untuk patuh atas perintah Allah swt, Sang Pencipta Manusia yang paham atas watak makhluk-Nya. Itu pertama. Lalu hikmah yang menyertai syariat tersebut adalah bonus yang diperoleh dengan syarat yang kondisional
Layaknya hikmah berpuasa agar sehat. Umat muslim menahan lapar dan dahaga seharian adalah karena ibadah. Peluang menjadi sehat karena shaum tersebut, sangat besar. Tapi tidak serta merta. Karena kadang berlaku sebaliknya yang membuat sakit tambah parah sehingga ada rukshoh (keringanan) dalam aturan puasa.
Begitu juga hikmah dalam ibadah lainnya.
Artikel Menghebohkan Tentang Jilbab
Belakangan ini beredar artikel yang membantah jilbab mencegah pelecehan seksual. Judulnya cukup bombastis. “17% Korban Pelecehan Seksual Perempuan Berhijab, Kamu Masih Menyalahkan Pakaian Terbuka”.
Aura yang terasa dari judul tersebut adalah jangan salahkan pakaian seksi karena jilbab pun bisa dilecehkan. Atau, jilbab sudah tidak relevan dalam menghindari pelecehan seksual.
Tentu terdengar janggal. Mudah menghitung berapa persen yang tak berhijab yang terkena pelecehan, yaitu 83%. Pertanyaannya, kenapa judulnya tidak dibuat “83% Korban Pelecehan Seksual Perempuan Tidak Berhijab, Kamu Masih Mau Berpakaian Terbuka?”
Tapi tidak nyaman rasanya kampanye hijab sambil menyalahkan mereka yang menjadi korban. Judul artikel di atas memancing hal itu. Karena logika yang aneh dari si penulis.
Sama seperti mempersoalkan sebuah titik hitam di kertas putih polos. Yang digugat adalah hal kecil, dengan menghiraukan warna yang dominan.
Tak kalah menggelitik, pola pikir yang malah mempersoalkan pihak yang sudah lebih ketat berupaya preventif.
Dengan gaya berpikir seperti itu, saya menyarankan si penulis untuk menyurvei rumah-rumah yang kecurian. Lalu bisa bikin judul tulisan: “99% Pencurian Terjadi di Rumah yang Terkunci, Masih Menyalahkan Rumah yang Pintunya Dibiarkan Tidak Terkunci?”
Saya menghargai bila penulis mengajak agar orang-orang tidak lebih galak pada korban pelecehan daripada pelaku. Tapi tidak dengan menyinggung hijab.
Agitasi Melawan Jilbab
Artikel di atas adalah rangkaian dari gugatan-gugatan terhadap syariat menutup aurat. Selain ini, ada yang mempertentangkan kebaya dengan hijab. Dikatakannya kebaya adalah pakaian asli Nusantara, dan hijab itu ke-arab-araban.
Padahal dalam salah satu pendapat, asal kata kebaya adalah dari bahasa Arab: abaya, yang berarti pakaian. Lagi pula kebaya bisa dipakai bersamaan dengan jilbab kok.
Ada juga celotehan yang bilang bahwa dulu tak ada pelecehan seksual ketika pakaian wanita terbuka. Namun ketika Islam datang, pelecehan marak.
Padahal kasus perkosaan telah terjadi sejak zaman dulu kala. Celotehan tersebut tak lebih hanya provokasi dan ujaran kebencian.
Kalau manusia dilegalkan mengambil setiap barang yang dia lihat, tentu tak ada kejahatan pencurian. Begitu logikanya.
Untuk menggugat jilbab dituduhkan juga bahwa ini hanyalah fenomena belakangan saja, sejak 80an. Islam masuk sejak lama dengan damai ke Indonesia, tapi tak ada wanita yang berjilbab. Begitu katanya.
Tapi kemarin beredar foto wanita Minangkabau di Payakumbuh tahun 1800an yang berjilbab panjang. Pahlawan Nasional di zaman kemerdekaan HR Rasuna Said pun mengenakan hijab.
Saya khawatir ke depannya makin bebas saja orang-orang merendahkan ajaran Islam di negara ini. Entahlah, seperti ada pemantik yang membuat mereka makin buas. Entah itu kemenangan dalam kontes demokrasi, entah apa…