Tulisan ini dibuat saat heboh pelarangan film hollywood di Indonesia dan Uber Social yang bermasalah. Terjadi omel-omelan tak jelas di dunia maya. Ditulis pada 21 Februari 2011, tulisan ini merespon kondisi saat itu.
Salah satu pelajaran yang diajarkan di Sekolah Dasar adalah tentang kebutuhan manusia. Kebutuhan dibagi menjadi tiga, kebutuhan primer, kebutuhan sekunder, dan kebutuhan tersier. Kebutuhan primer adalah kebutuhan yang penting dan mendesak, contohnya adalah sandang, pangan, papan (pakaian, makanan, dan tempat tinggal). Kebutuhan sekunder adalah kebutuhan yang kepentingannya di bawah kebutuhan primer. Misalnya sarana transportasi, alat komunikasi, dll. Kebutuhan tersier adalah kebutuhan yang sifatnya mewah seperti perhiasan, mobil mewah, dll.
Penting untuk pandai-pandai mengklasifikasi kebutuhan kita. Dengan kemampuan menyusun skala prioritas kebutuhan, seseorang dapat dengan efektif memenuhi kebutuhan hidupnya. Seorang yang tersandera oleh nafsunya dan gagal menyusun skala prioritas kebutuhannya, berpeluang untuk didera rasa tidak puas terus menerus. Dilengkapi sifat mudah mengumpat, maka lengkaplah penderitaan itu karena mengumpat hanya membawa seseorang pada keadaan yang lebih buruk.
Setiap orang bisa berbeda dalam menilai suatu kebutuhan apakah termasuk kebutuhan pokok, sekunder, atau tersier. Semuanya tergantung manfaat yang dirasakan tiap individu. Subjektif.
Bagaimana dengan kebutuhan menonton film Hollywood, BlackBerry, UberTwiter, dll? Termasuk kebutuhan primer, sekunder, atau tersier?
Agak kontroversial tema yang saya angkat. Tapi saya cuma ingin mengajak kita introspeksi agar tidak asal mengumpat pada keadaan, dan mengatur energi kekesalan kita dengan proporsional. Seorang remaja di twitter mengumpat seperti ini: “UberTwitter diblock, film Hollywood diblock, hancur udah negara ini.” Membaca status itu membuat saya mengernyitkan dahi dan bertanya, apakah memang sebegitu urgen aplikasi UberTwitter dan film Hollywood bagi negara ini sehingga apabila kedua hal itu tidak ada maka negara ini hancur???
Saya bukan penikmat film bioskop. Tapi saya bisa merasakan kegelisahan teman-teman saya penggemar film hollywood. Saya membayangkan bagaimana kalau wordpress, blogger, blogsome, atau layanan penyedia blog memboikot Indonesia… Wah, saya merasa kehilangan hobi dan aktifitas yang bermanfaat: blogging dan blogwalking.
Persoalan UberTwitter agak berbeda dengan persoalan film hollywood. UberTwitter di-suspended oleh pengelola Twitter karena menyangkut beberapa kesepakatan di antara dua pihak. Sedangkan persoalan hilangnya film Hollywood adalah karena kebijakan pemerintah yang menaikan pajak bea masuk. Karena pemerintah sejatinya adalah pelayan rakyat, maka masyarakat bebas melancarkan protes kepada pemerintah karena membuat distributor film impor ‘ngambek’ dan memboikot Indonesia.
Tapi apakah protes yang dilancarkan berangkat dari pemahaman terhadap persoalan dengan baik? Kalau yang melancarkan protes disuguhkan pertanyaan mana yang lebih penting kenaikan bea masuk ataukah tontonan film barat, bagaimana kira-kira jawabannya?
Suatu kebijakan sangat susah membuat semua pihak puas. Selalu ada saja pihak yang tak terpuaskan. Sosialisasi dan penjelasan yang gamblang menjadi kewajiban pengambil keputusan. Dan kedewasaan masyarakat menyikapi kebijakan yang tidak memuaskan sangat diperlukan. Kritik adalah kebutuhan primer bagi pembuat kebijakan, dengan catatan kritik itu konstruktif dan lahir dari pemahaman yang utuh terhadap persoalan.
Akan ada banyak hal yang seperti ini. Bukan cuma menyangkut kebijakan pemerintah yang menyebabkan sebuah kesenangan kita hilang. Tapi bisa banyak hal yang menyebabkan sebuah kesenangan kita hilang – yang kita gagal menentukan jenis kebutuhan dari kesenangan kita yang hilang itu. Seruan saya melalui tulisan ini adalah:
1. Pahami persoalan secara utuh sebelum protes dan melontarkan kekesalan (soalnya di twitter banyak yang salah melontarkan kemarahan pada pak Tifatul).
2. Sikapi dengan tepat mengenai hilangnya film Hollywood, UberTwitter, dll. Kalau kita mengerti pada tingkatan mana kebutuhan kita terhadap kedua hal itu, maka kita bisa menakar kekecewaan kita agar tidak berlebihan. Jangan sampai kita termasuk yang bersikap seolah-olah dunia akan kiamat karena dua hal itu hilang. 🙂
Buat teman-teman yang memperjuangkan kembalinya film Hollywood, saya ucapkan semoga sukses 🙂