RSS

Menyikapi Istri yang Rajin Ibadah Tapi Kurang Melayani Suami

Menyikapi Istri yang Rajin Ibadah Tapi Kurang Melayani Suami

“Apa saya tinggalkan saja dia, ya?” curhat seorang suami. Ini hanya cerita ilustrasi.

“Dia memang salehah, ibadahnya rajin. Salat malam, puasa sunnah, baca Al-Qur’an, amalnya hebat. Tapi pelayanan kepada suami kurang. Habis Isya sering tidur, padahal saya baru pulang kerja dan butuh layanannya. Kan jadi aneh, saya cemburu sama Tuhan,” tukasnya lagi.

“Ya sudah, lebih baik dia fokus ibadah saja. Saya tak mau membebaninya dengan tuntutan untuk memperlakukan suami sebagaimana layaknya. Saya rasa Tuhan akan setuju kalau saya melepas dia. Mungkin kalau kami berpisah, akan mendatangkan keadaan yang lebih baik bagi masing-masing kami.” Sudah sampai taraf itu si suami mengambil kesimpulan.

Wajarkah kecemburuan itu, Kisanak? Benarkah perpisahan itu akan menghadirkan win-win solution?

Rasulullah SAW pernah menceraikan seorang istrinya yang dirasa telah melewati batas meluapkan sikap cemburu. Bahkan demi meredakan kecemburuan istrinya itu Rasulullah sampai-sampai menetapkan pengharaman atas apa yang dihalalkan oleh Allah SWT, hingga beliau SAW ditegur dalam surat At-Tahrim.

Sekilas, bagi pria umumnya, alasan posesif itu hal yang sedikit bisa dimaklumi untuk melepas pasangan. Pada apa yang terjadi dengan rumah tangga Rasulullah, sang istri tak hanya posesif, namun sempat melanggar perintah Baginda Nabi SAW.

Namun rupanya bagi Rasulullah perpisahan itu tidak dibenarkan oleh Allah SWT. Karena istri yang ditalak adalah perempuan salehah yang banyak beribadah dan berpuasa.

Ummul Mukminin itu adalah Hafsah binti Umar bin Khattab r.ha. Cromboloninya, eh… kronologinya begini. Suatu ketika Rasulullah berada di rumah Hafsah yang sedang tidak berada di tempat. Lalu istri Rasulullah yang lain yaitu Maria Qibthiyah datang untuk suatu keperluan.

Kemudian Hafsah pun pulang ke rumah dan mendapati Rasulullah & Maria Qibthiyah sedang berada di dalam. Ia pun merajuk. Hingga untuk meredakan kemarahan Hafsah, Rasulullah bersumpah untuk tidak lagi menggauli wanita Qibthi yang berasal dari Mesir tersebut.

Hafsah diminta untuk merahasiakan sumpah itu. Namun ia malah membocorkan kepada istri Rasulullah yang lain. Maka marahlah Baginda Nabi. Dan kata talak pun terucap kepada Hafsah.

Namun Jibril membela anak Umar bin Khattab r.a. tersebut. “Jangan kamu ceraikan dia, karena dia adalah wanita yang gemar berpuasa dan menunaikan salat malam. Dan dia akan menjadi istrimu di Surga.” Rasulullah pun rujuk dan tak jadi berpisah dengan Hafsah.

Dari kisah di atas, para suami bisa mengambil ibrah bahwa menceraikan wanita salehah ahli ibadah itu tidak recommended. Alasan yang dikemukakan Jibril sudah jelas, yaitu karena wanita yang ditalak tersebut gemar shaum dan qiyamullail. Selain ada alasan lain bahwa Hafsah akan menjadi istri Rasulullah di surga.

Bahwa muslimah yang rajin ibadah itu punya kekurangan, ya wajar saja karena tidak ada manusia yang tak punya kekurangan. Tapi memaafkan mereka lebih baik daripada menyerah dan mengambil keputusan yang menyakitkannya. Apalagi bila dalam pernikahan sudah menghasilkan buah hati.

Setelah memaafkan, komunikasikanlah baik-baik dan penuh kesabaran agar ia berubah. Jangan lupa minta bantuan kepada Dzat yang wanita itu rajin menghambakan diri, yaitu Allah SWT. Agar sang istri mau memperbaiki sikap sehingga hak-hak suami tidak terbengkalai.

Dan jangan lupa pesan Robbani yang terdapat dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 19.

“Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”

Panduan menyikapi istri yang kurang memenuhi hak suami ada pada surat yang sama di ayat ke-34. Silakan dibaca beserta tafsirnya.

Jangan terburu-buru putus asa dari memperbaiki mereka, karena istri yang salehah adalah perhiasan yang sangat berharga.

“Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita salehah.” (HR Muslim).

*****

Disclaimer, tulisan ini tidak membenarkan istri yang lalai memenuhi hak suaminya, karena itu jelas salah. Namun apakah langsung dihukum saja dengan perceraian? Kalau itu solusinya, kita bisa membuat puluhan daftar alasan dari yang ilmiah sampai emosional. Karena banyak jalan untuk berpisah.

Tapi ajaran Islam punya semangat “mengulur perceraian” seperti yang tersurat pada surat An-Nisa ayat 19 di atas. Tulisan ini berfokus pada suami agar tidak terburu-buru meruntuhkan apa yang sudah dibangun bersama, sehingga kurang mengelaborasi dari sisi istri

Poinnya, istri yang tidak patuh itu memang salah dan menjengkelkan buat suami. Tapi kalo wanita tersebut salehah, masih layak dipertimbangkan, dicarikan solusinya, didoakan, ajak konseling, dll. Penuhi dulu resolusi QS 4:34. Karena istri salehah itu perhiasan berharga.

Surat At-Tahrim memberikan ancaman talaq kepada istri yang tidak patuh, dan Rasulullah juga sudah melakukannya kepada ibunda Hafsah. Tapi kemudian beliau SAW rujuk karena bujukan Jibril. Nah, pendekatan saya adalah membujuk para suami dulu (pertimbangkan kesalehahan istri) sebelum terlanjur cerai karena cerai itu pasti menyakitkan bagi anak.

Allahua’lam bishshowab.

 

Tags: , , , , , , ,

Transportasi Publik, Ayat Allah yang Acap Diabaikan

Bagaimana harusnya manusia menyikapi tanda kekuasaan Allah? Tulisan ini saya harap mendapat tempat untuk jadi perhatian aktifis Islam yang jadi pejabat publik atau yang hendak mencalonkan.

*****

Yang cukup intens berinteraksi dengan Qur’an tentu sudah akrab dengan kalimat seperti: “… Di dalamnya terdapat tanda-tanda kebesaran Allah…”. Kalimat itu biasanya disandingkan dengan fenomena pergantian malam dan siang, ditundukannya laut bahkan seisi bumi, tanah yang subur setelah tandus, dll.

Tertera juga dalam surat Yasin dari ayat 33-44, ada tentang bumi yang dihidupkan, tumbuhan yang menghasilkan manfaat, malam, siang, matahari, bulan.

Yang menarik adalah kapal laut yang Allah singgung sebagai bukti kebesaranNya (ayat 41). Serta, “wa kholaqna lahum min mitslihi ma yarkabun”. “Dan Kami ciptakan (juga) untuk mereka (angkutan lain) seperti apa yang mereka kendarai.” (Ayat 42)

Ya, kapal laut memang mengagumkan. Dengan ukuran yang besar tapi tidak tenggelam di atas air.

Tapi yang harus turut menjadi perhatian adalah bahwa Allah ciptakan juga yang semisal dengan itu sebagai tanda kebesaran-Nya. Berupa apa? Sampan? Getek? Speedboat? Kapal selam?

Beberapa tahun lalu saya membaca sebuah tulisan yang mengungkapkan bahwa yang serupa itu adalah kereta api. Kenapa? Karena kapal laut dan kereta sama-sama memenuhi frasa “hamalna dzurriyatahum” (kami angkut keturunan mereka) dalam ayat 41 tadi, menyiratkan angkutan yang memuat manusia secara massif.

Maka, yang menjadi tanda kebesaran Allah adalah transportasi massal atau transportasi publik. Selain kereta bisa juga bis, pesawat terbang, bahkan sebuah sistem yang terintegrasi.

Tentu kata “kholaqna” atau Kami ciptakan di sini bermakna Allah mengilhamkan manusia untuk membuat yang seperti itu.

Lalu bila transportasi publik adalah ayat Allah buat manusia, lantas bagaimana memperlakukannya?

Inspirasi untuk menciptakan sistem dan angkutan umum itu adalah nikmat yang besar dari Allah. Makhluk lain mana kepikiran kan? Paling banter jin yang menyerupai Nyi Roro Kidul yang bikin kereta kencana beberapa kali terlihat di laut lepas. Ya, ngapain coba? Mereka terbang aja bisa.

Para pakar sudah mewanti-wanti, penambahan jalan tidak efektif mengurangi kemacetan. Mengambil sampel tol Desari yang baru dibuka, saya rasakan jalan Moh Kahfi 1 di sekitar Brigif memang agak lancar, tapi jl TB Simatupang bertambah macet, bahkan exit tol Desari sendiri macet panjang.

Artinya penambahan jalan kadang hanya memindahkan kemacetan, tak memecahkan masalah. Maka pembenahan transportasi publik dan sistem yang terpadulah solusinya.

Sehingga apa yang dibuat oleh Anies Baswedan dengan Jak Lingkonya adalah nikmat Allah buat manusia agar disyukuri. Angkot tidak lagi ngetem dan mobilitas masyarakat bisa lebih murah. Andai sistem seperti ini bisa diperluas bahkan diterapkan ke seluruh Indonesia. Saya rela subsidi BBM dicabut asal untuk menciptakan hal serupa dan yang lebih baik lagi.

KRL, MRT, LRT adalah kasih sayang Allah buat makhluk-Nya. Di sisi lain, kemacetan adalah ujian yang diperbuat oleh ulah manusia sendiri. Afala ta’qilun? Kalau anak Adam mau mengoptimalkan akal dan mengalahkan egonya, tentu mereka tak kesusahan sendiri.

Jangan mentang-mentang bisa dikenai pajak, lantas kendaraan listrik diberi subsidi daripada membangun sistem angkutan masal yang layak dan nyaman. Padahal penambahan kendaraan pribadi bisa memperparah kemacetan.

Maka umat Islam harus memikirkan hal ini juga dalam rangka menghadirkan kebesaran Allah SWT. Terutama para pejabat publik dari aktifis Islam yang punya kewenangan.

Lihatlah di ayat 44 Allah menyebut kata “rahmat” untuk angkutan yang mampu menampung anak keturunan manusia dengan skala besar. Sehingga untuk menyebarkan rahmat Allah-lah, aktifis Islam yang terjun ke dunia politik harus memperjuangkan hal ini.

Allahua’lam bish-showab.

 

Tags: , , , ,

Ada Surga atau Neraka di Tengah Keluarga

Masa libur telah tiba. Inilah saatnya menghangatkan hubungan antar anggota keluarga. Ada waktu untuk berlibur memanfaatkan lengkapnya orang rumah. Apalagi bila ada anak yang kembali dari pesantren.

Namun momen berhimpunnya anggota keluarga ini mengingatkan pada nasehat yang ada pada Al-Qur’an. Di tengah kehangatan dan cengkrama bersama orang-orang rumah, ada cermin keadaan di akhirat kelak apakah berada berada di neraka atau surga.

Bergembira di tengah anak dan istri adalah hal yang lumrah bagi kepala keluarga. Namun rasa gembira itu yang Allah pilih sebagai diksi untuk alasan seseorang tercebur ke dalam neraka.

اِنَّهٗ كَانَ فِيْٓ اَهْلِهٖ مَسْرُوْرًاۗ

Sesungguhnya dia dahulu (di dunia) bergembira di tengah keluarganya. (QS Al-Insyiqaq: 13)

Para ulama kemudian menerangkan bahwa bentuk kegembiraan itu adalah senang-senang yang mengikuti hawa nafsu sehingga lalai kepada Allah swt dan berbuat maksiat.

“Sesungguhnya dia mengira bahwa dia tidak akan kembali (kepada Tuhannya). Tidak demikian. Sesungguhnya Tuhannya selalu melihatnya.” Begitu firman Allah swt dalam ayat berikutnya, yaitu ayat 14-15.

Ketika pergi liburan bersama keluarga, salat terlupakan. Sang ayah/bapak boro-boro mengingatkan anak istrinya untuk tetap menjaga ibadah yang utama tersebut, malah ia juga menyepelekan hak Allah. Ada yang begitu?

Di tempat wisata, ibu atau anak perempuan tak acuh auratnya terbuka dan terlihat orang banyak, dan tak ada teguran dari kepala keluarga. Ada yang begitu?

Di tengah perbincangan penuh canda tawa terselip ghibah, dusta, dan olok-olok yang tak pantas. Ada yang begitu?

Memang Islam mentolerir masa-masa santai di tengah keluarga saat seseorang tak bisa setaat ketika ia di tengah kumpulan orang-orang saleh.

Hanzholah r.a. mengaku menjadi munafik di hadapan Abu Bakar r.a., karena merasa ada perbedaan kekhusyukan antara di tengah Rasulullah & para sahabat dibandingkan bila sedang bersama keluarga. Ketika mereka berdua mengadukan perasaan itu kepada Rasulullah saw., baginda memaklumi hal tersebut seraya memberi jawaban padat: “Ada masa-masanya”. “Sa’atan wa sa’atan.”

Maka kita bisa simpulkan bahwa relaksasi yang diizinkan agama ketika berada di tengah keluarga adalah ketika tidak sampai melanggar syariat Allah SWT. Toh Rasulullah juga sering bercanda dan bermesraan dengan istri-istrinya. Tapi Rasulullah saw tentu saja bukan orang yang tak segan bermaksiat. Justru ia adalah orang yang paling bertaqwa.

Ketaqwaan yang terjaga meski di tengah keluarga tercinta, adalah profil penghuni surga yang Allah singgung dalam QS Ath-Thur 26.

“Mereka berkata, “Sesungguhnya kami dahulu, sewaktu berada di tengah-tengah keluarga kami, adalah orang yang takut (ditimpa azab Allah).”

Ketaqwaan itu tercermin dalam perasaan tidak aman, takut atas adzab Allah swt. Maka dengan sikap itu seorang kepala keluarga bisa membimbing istri dan anak-anaknya untuk menjauh dari neraka, mengamalkan perintah Allah swt dalam QS At-Tahrim ayat 6.

Keluarga itu pun menjaga salatnya meski dalam perjalanan wisata, menjaga auratnya di tengah khalayak, menjaga perbincangan dari yang diharamkan, menjaga akhlak ketika berurusan dengan orang lain.

Itulah profil keluarga kanan, maksudnya yang menerima kitab catatan amal dari sebelah kanan di akhirat nanti, yang akan Allah pertemukan kembali dalam keadaan bahagia dan telah merasa aman dari adzab Allah swt.

“Adapun orang yang catatannya diberikan dari sebelah kanannya, dia akan dihisab dengan pemeriksaan yang mudah. dan dia akan kembali kepada keluarganya (yang sama-sama beriman) dengan gembira.” (QS Al Insyiqaaq: 7-9)

“Allah menganugerahkan karunia kepada kami dan menjaga kami dari azab neraka.” (QS Ath-Thur: 27)

 

Tags: , , , , ,

Tetaplah Menjadi Romantis

Bersikap romantis kala masih menjadi pengantin baru, itu wajar saja. Justru tidak wajar jika di awal-awal pernikahan tak tampak laku romantis.

Dan kalau setelah pernikahan mulai menginjak usia yang tak muda masih bersikap romantis, itu baru jempolan. Karena seperti sudah lumrah terjadi di masyarakat, semakin lama usia pernikahan semakin dingin hubungan suami istri.

Banyak anekdot yang mengisahkan hubungan suami istri yang sudah dimakan usia. Misalnya humor nama kontak istri di handphone suami. Baru menikah, tertulis “My Lovely Wife”. Setahun menikah, “My Wife”. Lima tahun menikah, “Home”. Sepuluh tahun menikah, “Kantor Pusat”. Lima belas tahun menikah, “Provost”. Dua puluh tahun menikah, “Mabes Polri”. Dua puluh lima tahun, “Wrong Number”. Tiga puluh tahun, “Wong Edan”. Dan tiga puluh lima tahun, “Mak Lampir”.

Semakin beranjak usia seseorang biasanya makin tidak lagi memperhatikan bentuk badan. Lalu bisa dibayangkan dinginnya sebuah rumah tangga yang telah berumur, di mana pasangan sudah tidak mampu bersikap romantis, ditambah pula bentuk badan masing-masing sudah tidak memikat pasangannya.

Sebuah contoh mengagumkan datang dari pribadi Rasulullah saw. Sikap romantisnya yang konsisten terekam dalam hadits riwayat Abu Daud yang diceritakan oleh Aisyah rha.

Suatu ketika Rasulullah saw, Aisyah rha. dan para sahabat bersama dalam sebuah perjalanan. Dalam satu kesempatan Rasulullah memberi aba-aba kepada para sahabat, “Majulah kalian.” Rasulullah meminta para sahabat untuk meninggalkan ia dan Aisyah berdua.

Setelah keadaan memungkinkan, Rasulullah berkata kepada Aisyah yang saat itu masih langsing dan belia – di kala itu usia pernikahan mereka masih begitu muda, “Ayo, kita berlomba lari,” ajak Rasulullah.

Aisyah menyanggupi. Ujarnya, “Akupun berlomba bersama beliau dan akhirnya dapat mendahului beliau”.

Kemudian waktu pun bergulir. Tahun demi tahun, pernikahan Rasulullah dan Aisyah tetap hangat walau tubuh Aisyah makin gemuk.

Suatu saat mereka kembali mengadakan perjalanan bersama para sahabat. Rasulullah meminta kepada para sahabat, “Majulah kalian”. Kemudian Rasulullah menantang kembali Aisyah untuk berlomba lari. Aisyah berujar, “Aku berusaha mendahului beliau namun beliau dapat mengalahkanku”.

Mendapatkan kemenangan, beliau saw pun tertawa seraya berkata: “Ini sebagai balasan lomba yang lalu.”

Rasulullah saw mencontohkan sikap hangat kepada istrinya, baik saat baru menikah atau sudah lama menikah. Ajakan lomba lari kepada istrinya adalah contoh pemanfaatan waktu yang berkualitas untuk berdua-duaan. Dan itu Rasulullah lakukan baik saat Aisyah badannya masih lentur atau sudah tidak sefleksibel dulu.

Kisah ini menjadi cermin buat suami dan istri, untuk tetap menjaga sikap romantisnya layaknya awal-awal menikah. Tak ada salahnya untuk mengulangi kenangan yang manis bersama pasangan, mengunjungi tempat yang pernah dikunjungi, makan malam di tempat yang dulu pernah menjadi langganan, atau melakukan kembali kejutan-kejutan romantis yang dulu pernah dilakukan.

Tetaplah menjadi romantis seperti dulu!

 

Salat Awal Waktu di Hari Kerja, Hanya Soal Kemauan

Apakah Anda termasuk orang yang susah menjalankan salat wajib di awal waktu saat sedang bekerja di kantor, atau sedang menjalankan usaha? Apakah tiap waktu Zhuhur atau Ashar tiba, Anda sedang berada di puncak kesibukan? Kalau benar, lantas bisakah itu menjadi penggugur keutamaan sholat di awal waktu? Percayalah, menjalankan sholat di awal waktu hanya soal kemauan, bukan kesibukan. Mau atau tidak.

Di suatu sesi wawancara kerja, pihak HRD bertanya kepada pelamar, apakah ia mau diminta bekerja lembur. Jawab pelamar itu: Tidak. HRD terperanjat, “Apa alasan Anda?” tanya HRD. Alasannya, bekerja lembur itu menandakan ada masalah. Bisa berupa ketidakbecusan karyawan mengatur waktu, atau ketidakadilan perusahaan dalam mengatur pekerjaan untuk karyawannya, sehingga seorang pekerja harus  lembur. Entah jumlah pegawai kurang dari kebutuhan, atau kesalahan membagi load pekerjaan ke tiap karyawan. Intinya, tidak ada alasan untuk pulang tidak sesuai dengan jam normal bila tidak ada masalah.

Kalau jam pulang saja harus dibela-belain sesuai dengan jadwal, maka begitu juga waktu salat tepat waktu saat Zhuhur dan Ashar. Bila saat-saat itu terasa lebih sibuk, berarti ada masalah dalam mengelola pekerjaan, atau salat di awal waktu tidak menjadi prioritas utama. Atau dua-duanya.

Sebenarnya rutinitas salat tidak terlalu banyak memakan waktu. Bila musholla atau ruang salat bisa diakses dengan mudah, waktu 15 menit terlalu lama untuk melaksanakan rutinitas wajib tersebut. Itu berarti sepanjang 8 jam kerja, hanya terpotong 15 menit untuk waktu ibadah Ashar. Sedangkan untuk Salat Zhuhur, waktunya ada pada jam istirahat. Tidak memotong jam kerja anda.

Pernah ada yang bertanya kepada seorang ustadz, apakah meninggalkan pekerjaan sebentar untuk salat itu korupsi waktu. Pertanyaan ini agak aneh, karena tidak mungkin seseorang 8 jam bekerja tanpa pergi ke toilet. Waktu-waktu yang diperlukan pribadi seperti ke toilet ataupun ibadah itu sah saja. Perusahaan tak mungkin membatasi.

Sekarang, mari atur pekerjaan dengan baik dengan menjadikan waktu salat sebagai prioritas. Atur ritme kerja sesuaikan dengan patokan adzan. Saat waktu salat masih lama, silakan dikebut dan diseriusi pekerjaan Anda. Dan ketika sebentar lagi masuk, mulai bersiap untuk jeda sejenak.

Lalu kalau pekerjaan Anda loadnya tidak terlalu besar, namun Anda masih suka melalaikan waktu salat, berarti memang ada masalah dalam mengatur prioritas dalam kehidupan Anda. Mungkin istirahat lebih Anda prioritaskan sehingga salat Zhuhur Anda laksanakan setelah jam istirahat usai. Atau karena Anda tidak peduli dengan salat di awal waktu, Anda cukup puas mengerjakan salat Ashar di sekitar jam pulang kerja.

Dalam sebuah hadits Qudsi dinyatakan, respon Allah sesuai dengan ikhtiar hamba mendekat pada-Nya.

“Jika ia mendekat kepadaKu sejengkal maka Aku mendekat kepadanya sehasta. jika ia mendekat kepadaKu sehasta maka Aku mendekat kepadanya sedepa. Jika ia datang kepadaKu dengan berjalan maka Aku datang kepadanya dengan berlari-lari kecil.” Begitu firman-Nya dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari.

Lalu bagaimana mungkin kita menuntut rizki yang berlimpah ruah sementara ikhtiar kita mendekat kepada Allah sangat tak layak.

 

Empat Proses Berfikir yang Jadi Penghalang Perubahan

Saat ingin mengubah kebiasaan, atau membangun kebiasaan baru yang baik, sering kali tidak mudah. Ada banyak kendala, alasan, dan godaan yang menguji kesungguhan. Dalam buku Re-Code Your Change DNA, Rhenald Kasali menulis ada empat hal yang perlu diwaspadai saat memulai kebiasaan yang baik, terutama yang berhubungan dengan fikiran dan persepsi.

1.Potensi vs Limitasi

Kebanyakan manusia ketika menghadapi hal-hal baru lebih banyak melihat dirinya dengan menggunakan kacamata limitasi (keterbatasan-keterbatasan yang ia miliki) daripada potensi (kemungkinan-kemungkinan bisa) yang ia miliki. Banyak orang yang selalu menduga dirinya tidak bisa sebelum mencoba melakukan apa saja yang baru baginya.

Misalnya ketika seorang muslim ingin membiasakan sholat tahajud, yang mau tak mau ia harus mengurangi jam tidurnya, ia dihantui fikiran efek dari kurang tidur. Ia takut tidak fokus kerja di kantor, takut mengantuk saat membawa kendaraan, dll. Ia berfikir tentang limitasi diri daripada potensi diri.

Masalah ini yang diidap oleh sebagian orang kafir Mekkah yang menolak beriman. Allah menyitir mereka dalam QS Al-Qashash ayat 57. “Dan mereka berkata: “Jika kami mengikuti petunjuk bersama kamu, niscaya kami akan diusir dari negeri kami.”” Pada limitasi yang membelenggu itu, Allah ingatkan mereka tentang potensi nikmat yang telah Allah berikan. Sehingga harusnya hanya Allah yang mereka takuti. Dalam ayat yang sama: “Dan apakah Kami tidak meneguhkan kedudukan mereka dalam daerah haram (tanah suci) yang aman, yang didatangkan ke tempat itu buah-buahan dari segala macam (tumbuh- tumbuhan) untuk menjadi rezki (bagimu) dari sisi Kami?. Tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.”

2. Rem Tangan pada Benak Manusia

Banyak orang yang memiliki potensi untuk berkembang tetapi memliki banyak belenggu yang mengikat pikiran-pikirannya. Ibarat seorang yang mengendarai mobil, sekalipun gas sudah dipacu dalam-dalam, mobil tak bisa melaju kencang. Mengapa demikian? Sebabnya adalah, kecepatan terbelenggu oleh sesuatu, yaitu rem tangan yang belum dilepas.

Rem tangan itu kadang berupa belenggu kejadian traumatis atau sukses di masa lalu. Misalnya karena pernah mencoba tumben-tumbenan rajin sholat, seseorang diejek oleh kawannya. Akhirnya ia kapok untuk membiasakan diri menunaikan kewajiban itu. Apalagi untuk amal sholeh lainnya.

Atau karena meski tak rajin sholat, seseorang tetap hidup sukses. Lantas ia merasa tak perlu mengubah dirinya untuk rajin beribadah kepada Allah swt.

3. Keletihan Memulai

Setiapkali memulai sesuatu yang baru maka kita mengaktifkan pikiran-pikiran kita. Dalam memulai sesuatu yang baru harap diingat bahwa manusia punya kecenderungan cepat menyerah dan ingin kembali ke posisi semula, yaitu posisi yang nyaman baginya (comfort zone). Kecuali ia merasakan ada perangsang yang cukup untuk terus bergerak, maka biasanya orang memilih kembali ke posisi semula.

Seperti seorang pemuda yang mencoba memulai merutinkan olahraga, sekali dua kali aktivitas itu membuatnya keletihan. Bahkan membuat ia jatuh sakit. Akhirnya ia berhenti rutin berolahraga. Ada yang mencoba berhenti merokok, namun tak pernah bisa bertahan lama.

Orang yang ingin menjadi penghafal Qur’an, biasanya semangat di permulaannya. Ia korbankan waktunya yang biasa ia pakai untuk menonton televisi, bermain game, berselancar di media sosial, untuk menambah dan mengulang hafalan. Tapi sebentar kemudian ia kembali berlama-lama mengamati gawainya, atau berada di depan televisi. Dan kebiasaan menghafal itu pun harus diulang dari awal kalau mau ditumbuhkan kembali.

4. Panik (Persepi Pintu Tertutup)

Manusia yang panik akan cenderung bereaksi berlebihan karena tidak mampu melihat opsi atau alternatif. Ketika lampu-lampu di sebuah gedung mati tiba-tiba, orang-orang yang diam sejenak memikirkan alternatif, tapi sebagian besar orang memilih berteriak secara spontan dan berkerumun menuju suatu titik.

Di setiap kejadian usahakan jangan panik. Terhadap kebiasaan baru yang malah menimbulkan efek negatif, jangan panik lantas menyerah. Tetap tenang dan cari cara lain agar perubahan yang kita yakini baik itu berhasil.

Ketika mulai berhijab, dirasakan hawa gerah yang bikin tak nyaman. Mulai membiasakan berpuasa sunnah, sakit mag pun kambuh. Efek samping dari kebiasaan baik itu tentu sebuah ujian dari Allah swt. Namun tak perlu panik. Berapa banyak orang yang lulus melewati keadaan itu.

 

Hedonic Treadmill Dalam Pandangan Islam

Belakangan ini muncul istilah “hedonic treadmill”. Istilah ini bisa diartikan sebagai adaptasi sifat gaya hidup hedonis terhadap kenaikan pendapatan. Misalnya, saat penghasilan sekitar 4 juta rupiah sebulan, belum terfikir untuk memasang AC di rumah, atau wisata kuliner hanya sekali sebulan. Tetapi kita penghasilan sudah 8 juta sebulan, jangankan wisata kuliner, wisata ke pelosok nusantara pun dijabani.

Seperti cara kerja treadmill, semakin kencang berlari semakin cepat roda treadmill berputar. Begitu juga semakin besar pendapat semakin terjadi peningkatan kebutuhan. Hal yang dulu tidak terasa butuh, tiba-tiba dirasakan wajib ada.

Bagaimana Islam memandang hal ini?

Islam adalah agama pertengahan. Islam melarang kikir, sekaligus melarang boros. Yang baik adalah pertengahan.

Konsep zuhud dalam Islam hakikatnya adalah tidak gandrung pada dunia. Meletakkan dunia di tangan, tapi bukan di hati. Mengelola dunia sesuai dengan apa yang telah diberikan Allah, tanpa melekatkan kecintaan pada apa yang dikelola. Tak terlalu sedih apabila hartanya berkurang, tak juga gembira berlebihan bila hartanya bertambah.

Zuhud harus terimplementasi dalam gaya hidup. Tapi bukan berarti menghindari gaya hidup yang sesuai kemampuan. Bukanlah zuhud saat tidak mau membeli kendaraan padahal butuh, dengan alasan ingin hidup sederhana. Kalau membeli kendaraan mewah karena ingin bermewah-mewahan, itulah yang tidak zuhud. Tetapi karena kita butuh dan mampu membelinya, lalu kita membeli kendaraan, dan kita pun tak berniat bermewahan dengan kendaraan yang dibeli, itulah zuhud yang sebenarnya.

Islam mengajarkan umatnya untuk tahadduts binni’mah (menampakkan kenikmatan). Rasulullah pernah menegur seorang sahabat yang berpenampilan jauh dan bertentangan dengan kenikmatan yang diterimanya. Seperti yang dikisahkan oleh Imam Al-Baihaqi bahwa salah seorang sahabat pernah datang menemui Rasulullah saw. dengan berpakaian lusuh dan kumal serta berpenampilan yang membuat sedih orang yang memandangnya. Melihat keadaan demikian, Rasulullah bertanya, “Apakah kamu memiliki harta?” Sahabat tersebut menjawab, “Ya, Alhamdulillah, Allah melimpahkan harta yang cukup kepadaku.” Maka Rasulullah berpesan, “Perlihatkanlah nikmat Allah tersebut dalam penampilanmu.” (Syu’abul Iman, Al-Baihaqi)

Rasulullah saw pernah bersabda, “Tidak akan masuk surga seseorang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan sebesar biji sawi.” Ada seseorang yang bertanya, “Bagaimana dengan seorang yang suka memakai baju dan sandal yang bagus?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan. Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain.“ (HR. Muslim)

Jadi, selama dalam kewajaran dan tak ada niat bermewahan, peningkatan kebutuhan akibat peningkatan pendapatan itu wajar saja.

Yang tidak wajar adalah sikap boros yang mengimbangi peningkatan pendapatan. Menampakkan nikmat yang diperintahkan bukan dalam rangka boros. Walaupun mampu, boros tetap dicela dalam Islam.

Adakah batasan boros? Ukur saja, saat Anda konsumsi Anda jauh melampaui kebutuhan. Entah itu dalam bentuk makanan, pakaian, kendaraan, atau hal lain.

Silakan introspeksi dan timbang sendiri. Saat makin meningkat pendapat Anda makin membuat Anda boros, saat itulah hedonic treadmill bekerja.

 

Kepung Umat Islam dengan Al-Qur’an!

Awas..!! Mereka sudah punya kunci melemahkan umat Islam. Sejak dulu, ketika wahyu masih berangsur-angsur diturunkan. Mereka menyebarkan satu tips untuk menang. Yaitu, alihkan perhatian umat Islam dari Al-Qur’an!

“Dan orang-orang yang kafir berkata, “Janganlah kamu mendengarkan (bacaan) Al-Qur’an ini dan buatlah kegaduhan terhadapnya, agar kamu dapat mengalahkan (mereka).”” QS Fussilat: 26

Dulu, siulan dan tepuk tangan adalah bentuk kegaduhan yang membuat lantunan Qur’an tak terdengar jelas. Kini lebih canggih lagi. Televisi, komputer hingga gawai menjadi alat pencipta hiruk pikuk yang melupakan umat untuk senantiasa bersama firman Allah.

Televisi menghidangkan gosip. Media sosial membentangkan arena perdebatan. Komputer menghibur dengan permainan yang membuat lupa waktu. Dengan teknologi, selalu ada hal yang menarik untuk menjauhkan manusia dari kitab Allah.

Itu hanya langkah awal. Bila telah berhasil dilalaikan, proses pelemahan selanjutnya adalah pendampingan oleh setan yang akan menjadi teman setia orang yang abai terhadap petunjuk Allah.

“Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan Yang Maha Pemurah (Al Quran), kami adakan baginya syaitan (yang menyesatkan) maka syaitan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya.” (QS Az-Zukhruf: 36)

Seorang teman baik menjadi tempat untuk diandalkan. Ia yang akan memberi kita saran saat butuh solusi. Tempat berbincang dan berdiskusi. Memberikan nasihat-nasihat terbaik dalam hidup. Dan bila sosok itu adalah setan, maka ia akan memberi kita masukan-masukan yang mengarahkan kita agar ikut meramaikan tempatnya kelak di akhirat, yaitu neraka.

“Dan Kami tetapkan bagi mereka teman-teman yang menjadikan mereka memandang bagus apa yang ada di hadapan dan di belakang mereka dan tetaplah atas mereka keputusan azab pada umat-umat yang terdahulu sebelum mereka dari jinn dan manusia, sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang merugi.” (QS Fushshilat: 25)

Bersama setan, penyimpangan seksual terlihat indah seperti pelangi; pornografi adalah keasyikan pribadi yang atas nama privasi tak boleh diganggu; minuman keras adalah kesenangan yang industrinya bermanfaat untuk membangun bangsa; dan riba adalah solusi pembiayaan infrastruktur negara.

Umat lain mengalami masa pencerahan ketika mereka menjauh dari agamanya. Tetapi umat Islam hingga kini terpuruk karena berjarak lebar dengan Al-Qur’an.

Tanpa kitabullah, tak ditemukan inspirasi kebangkitan kecuali gemerlap kebebasan orang kafir di negeri mereka. Makanya beberapa waktu lalu ada artis melepas jilbab karena disangka itu jalan untuk maju seperti Jepang.

Transfer teknologi dan pengetahuan tak terwujud, tapi disangka sudah cukup maju ketika bisa bermaksiat seperti orang-orang di negeri kafir bermaksiat. Tanpa Qur’an, umat Islam tak punya pembakar semangat untuk maju. Hanya hasrat menduplikasi kejahiliahan kaum kufar, karena setan yang menjadikan itu indah. Dan musuh umat Islam akan senantiasa menang.

Tapi bukan berarti kita sekedar meratapi keadaan ini. Kalau kunci kekalahan umat karena berjarak dengan Al-Qur’an, maka buatlah agar ayat-ayat suci tersebar di mana-mana. Buang kunci itu, dan kepung umat Islam dengan Al-Qur’an! Tapi bukan berarti membuang jauh teknologi.

Justru hiasi perangkat-perangkat canggih modern yang sering diakses manusia, agar di mana pun mereka melempar pandang, ditemukan ayat Allah.

Ketika melihat gawai berselancar di media sosial, buat mereka menjumpai kutipan dan pengajaran kitabullah melalui status yang kita buat.

Di industri televisi, harus ada yang berjuang agar acara-acara Islami tersisipi di layar kaca. Sajikan saluran alternatif di radio yang menghadirkan pesan-pesan Rabbani. Dan di tempat mana pun yang layak kalamullah ditulis di sana.

Bersyukur kini banyak permainan yang mendekatkan anak sejak dini dengan Al-Qur’an. Ada boneka yang bisa mengaji. Hingga rumah pun terhias dengan lantunan ayat suci.

Penuhi dunia nyata maupun maya dengan Qur’an. Agar kegaduhan yang ada tak mampu palingkan umat dari dzikrullah yang “meniupkan” ruh untuk bangkit.

 

Dari Mana Nyali Mereka? (Pelajaran Tauhid dan Aqidah oleh Pejuang Kemerdekaan)

“Nyalinya segede gaban.”

“Tapi gaban aja belum tentu punya nyali segede mereka.”

Dunia kini sedang memperbincangkan keberanian para pendekar di tanah sekitar Al Aqsha. Salah satu kenekadan “teredan” adalah – seperti yang tayang pada video yang viral – mereka mendatangi kendaraan lapis baja sampai tak berjarak untuk membuat “kereta perang” itu luluh lantak.

Kenapa mereka seberani itu?

Sekadar analisa random dari warganet menyebutkan bahwa mereka adalah (mayoritas) kumpulan anak-anak yatim dan atau piatu yang menyaksikan orangtunya terenggut oleh kezaliman penjajah. Maka jiwa yang terluka itu pun tumbuh dengan ketegaran dan keberanian melebihi lapisan-lapisan baja kendaraan musuhnya.

Tapi teori itu mungkin bagi beberapa pihak kedengarannya seakan-akan mengganggap mereka hanyalah gengster pendendam. Padahal mereka ditempa oleh keimanan dan tarbiyah yang matang.

Lalu dari mana keberanian mereka?

Ah… Mereka itu membuat saya malu. Rupanya ketika awal tarbiyah dulu, saya sudah pernah mendapat materi/kajian yang menjadi inspirasi kewiraan mereka. Hanya saja, mereka langsung mempraktekkannya di lapangan, sementara saya terlenakan oleh urusan dunia.

Dulu saya menuliskan aksara arab berbunyi “Madluulusy syahadatain” di sebuah buku catatan. Al wa’du, al qassam, al i’lan adalah 3 poin penjabaran dari kata Asy-Syahadah. Garis dan tanda panah menghiasi lembar catatan itu.

Pada ujung dari catatan tadi, terdapat kata “Asy syaja’ah” yang artinya keberanian. Oh… Saya mengerti. Dua kalimat syahadat-lah inspirasi keberanian mereka.

“Sesungguhnya orang-orang yang berkata, “Tuhan kami adalah Allah,” kemudian tetap istikamah, tidak ada rasa takut pada mereka, dan mereka tidak (pula) bersedih.” (QS Al Ahqaf: 13)

Oh, itu rupanya, syahadat dan keistiqomahan. Kalau saya belum punya nyali seperti mereka, mungkin keistiqomahan saya perlu dimuhasabahi.

Saya juga bertemu dengan materi “Makna Ilah” yang juga diberikan awal-awal tarbiyah. Pada akar kata “Aliha” yang berarti “yang menentramkan”, terdapat makna “Istajaaro bihi” yang artinya “Merasa terlindungi olehnya.” Dan pada akar kata “Al Ilaah”, terdapat makna “Al marhuub” atau yang ditakuti.

Oh, berarti mereka paham makna Ilah. Sehingga dengan pernyataan “Tiada Ilah selian Allah”, mereka sadar bahwa tiada yang dapat memberikan rasa perlindungan dan tiada yang ditakuti selain Allah SWT.

Atau pada materi “Ahammiyatu Ma’rifatillah” (Urgensi Mengenal Allah), disebutkan melalui bagan berpanah bahwa buah dari pengenalan kepada Allah adalah “ziyaadatul iimaani wattaqwaa” (menambah iman dan taqwa). Poin-poin yang dilahirkan dari buah tersebut berupa “Al hurriyyah” (merdeka), Ath-thuma’niinah (tenang), Al hayaatuth thoyyibah (Hidup mulia).

Oh, mereka paham sekali materi tersebut. Sehingga mereka sejatinya merdeka sementara negara sekitarnya terjajah, mereka tenang meski penindas menebar ancaman, dan hidup mereka mulia dan terlihat kemuliaan itu di mata orang mukmin meski oleh musuh dan pendengki mereka difitnah dan direndahkan.

Kini dengan kemajuan teknologi, saya tidak harus mengandalkan buku catatan – yang kadang tulisan arabnya salah atau saya salah catat. Saya bisa mengakses materi-materi itu dari internet, misalnya dari blog rasmulbayantarbiyah[dot]wordpress[com].

Dan dengan kemajuan teknologi pula saya mendapatkan “murobbi” yang mengajarkan langsung aplikasi dari materi-materi itu, bukan sekedar teori. Yaitu mereka yang kini berjuang untuk kemerdekaan tanah airnya menerapkan tauhid melalui pengorbanan dan keberanian.

Itulah materi-materi dasar saat saya dulu diperkenalkan Islam oleh para pembina. Tema aqidah dicekoki sebelum dikenalkan topik-topik fiqh dakwah. Itulah materi panah yang membekas di hati dan dirindukan setiap pekan.

Andai mereka dijadikan standard muwashofat “salimul ‘aqidah”, Kira-kira apakah ideal atau ketinggian?

“Sungguh, jika kamu gugur di jalan Allah atau mati, pastilah ampunan Allah dan rahmat-Nya lebih baik (bagimu) daripada apa (harta rampasan) yang mereka kumpulkan. Sungguh, jika kamu mati atau gugur, pastilah kepada Allah kamu dikumpulkan.” (QS 3:157-158)

Note: Materi “rasmulbayan” biasanya disampaikan dalam kegiatan dakwah dengan metode tarbiyah di Indonesia. Di daerah dan komunitas lain belum tentu menggunakan materi yang sama. Tulisan ini hanya menggambarkan bahwa para pejuang mendapatkan keberanian dari penghayatannya terhadap nilai-nilai aqidah, apa pun bentuk materi dan sarana pengajaran yang mereka gunakan.

 

Salahkan Kekejaman Penjajah, Bukan Manuver Pejuang!

Ketika kehadiran Musa A.S. baru berupa ramalan dukun, Fir’aun yang keji memberi perintah agar membunuh bayi laki-laki Bani Israil yang lahir di tahun tersebut.

Logikanya, harusnya yang disalahkan adalah penguasa penjahat kemanusiaan itu, bukannya Nabi Musa A.S.

Begitu pula ketika Musa A.S. diutus untuk mengajak Fir’aun beriman dan membebaskan Bani Israil dari penjajahan, raja Mesir kala itu pun kembali bertitah agar anak-anak orang yang beriman dibunuh.

“Maka ketika dia (Musa) datang kepada mereka membawa kebenaran dari Kami mereka berkata, “Bunuhlah anak-anak laki-laki dari orang-orang yang beriman bersama dia dan biarkan hidup perempuan-perempuan mereka.” Namun tipu daya orang-rang kafir itu sia-sia belaka.” (QS Al Ghafir: 25)

Ibnu Katsir berkata tentang ayat tersebut: “Ini merupakan perintah Fir’aun yang kedua yang menginstruksikan untuk membunuh anak-anak lelaki kaum Bani Israil. Perintah yang pertama bertujuan untuk pencegahan agar Musa tidak dilahirkan, atau untuk menghina kaum Bani Israil dan memperkecil bilangan mereka, atau karena kedua tujuan tersebut. Adapun perintah yang kedua karena alasan yang lain, juga untuk menghinakan bangsa Bani Israil agar mereka merasa sial dengan keberadaan Musa.”

Maka yang harusnya disalahkan adalah para penjahat kemanusiaan, bukan Nabi Musanya.

Atau ada yang ingin berkomentar bahwa seharusnya Musa A.S tidak muncul menghadap Fir’aun demi mencegah terbunuhnya orang beriman, karena nyawa seorang mukmin di sisi Allah SWT itu lebih berharga daripada Ka’bah?

Pada pembantaian Karawang-Bekasi, adakah yang menyalahkan pejuang kemerdekaan? Kala itu Belanda membabi buta membunuh penduduk sipil Rawagede dan sekitarnya karena berulang kali diserang pasukan Siliwangi.

Adakah yang berkomentar bahwa harusnya pejuang tidak perlu menyerang patroli dan pos-pos Belanda karena menyebabkan si kompeni marah dan mencelakai orang tak bersalah, dan nyawa seorang mukmin lebih berharga dari Ka’bah?

Kejadian serupa terjadi di banyak tempat di Tanah Air. Karena memang negara kita pernah terjajah. Namun – hamdalah – tak pernah terdengar komentar bodoh yang malah menyalahkan para pejuang kemerdekaan karena aksi mereka mengundang risiko musuh bertindak di luar batas.

Dan itu pula yang ditampakkan oleh warga yang kini diserbu negara apartheid. Mereka menunjukkan bagaimana caranya beriman daripada sekelompok orang yang “demen” pengajian di negeri ini.

Penduduk di sana mampu mengucap hamdalah ketika rumahnya hancur. Mereka tampakkan tawakkal dan kesabaran. Sementara sebagian orang yang berkoar soal tauhid di negeri ini malah mengeluarkan komentar yang jauh dari cermin keimanan.

Karena mereka menyalahkan pejuang, alih-alih kekejaman yang terus terjadi dengan atau tanpa perlawanan.

Mereka mewakili perilaku kaum munafik di jaman Rasulullah yang ketika aksi jihad menyebabkan mereka mengalami kerugian, mereka pun menyalahkan mujahidin.

“Dimanapun kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu berada di dalam benteng yang tinggi dan kokoh. Jika mereka memperoleh kebaikan, mereka mengatakan, “Ini dari sisi Allah,” dan jika mereka ditimpa suatu keburukan mereka mengatakan, “Ini dari engkau (Muhammad).” Katakanlah, “Semuanya (datang) dari sisi Allah.” Maka mengapa orang-orang itu (orang-orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan (sedikit pun)?”” (QS An Nisa: 78)

Atau para pengecut dari kalangan Bani Israil yang merasa sial karena kehadiran Musa A.S.

Kami telah ditindas (oleh Fir’aun) sebelum kamu datang kepada kami dan sesudah kamu datang. Musa menjawab, Mudah-mudahan Allah membinasakan musuhmu dan menjadikan kamu khalifah di bumi-(Nya), maka Allah akan melihat bagaimana perbuatanmu.” (Al-A’raf: 129)

Kalau mereka punya logika dan hati, tentu yang disalahkan adalah penjajahan, bukan perlawanan.