RSS

Monthly Archives: May 2016

Tax Amnesty dan Para Calon Pahlawan Baru

 

Tiga belas tahun lamanya memburon. Bukan waktu yang sebentar. Pada tahun 2003 lalu ia didakwa merugikan uang negara sebesar 169 miliar rupiah. Bukan angka yang kecil di zaman itu. Ia divonis kurungan empat tahun penjara. Saat hendak dieksekusi, ia melarikan diri.

Dan beberapa waktu lalu ia telah ditangkap di Tiongkok dengan bantuan interpol. Samadikun Hartono, koruptor BLBI itu ditangkap saat hendak menonton balap F1 di Shanghai. Kamis malam, 21 April 2016, ia tiba di Jakarta dengan sambutan “gegap gempita”. Kedatangannya mendapat sambutan Jaksa Agung Prasetyo dan Kepala Badan Intelijen Negara, Sutiyoso. “Selayaknya menjemput presiden atau tamu negara”, begitu penilaian politisi PDIP, Henry Yosodiningrat. “Memanjakan para koruptor”, kata Anggota Komisi III DPR lainnya, Supratman.

Saking isitmewanya koruptor BLBI yang satu ini, sampai-sampai tidak ada borgol melingkar di lengannya. Bebas dan baik-baik saja. Tak seperti rakyat jelata yang tertangkap mencuri yang bila tampil di televisi sering terlihat terpincang-pincang dengan wajah lebam. Sontak hal ini mendapat kritik oleh Jazuli Juwani, ketua Fraksi PKS. “Ya saya kira itu yang harus dievaluasi dari aparat penegak hukum. Katanya negara kita kan negara hukum, seluruh warga negara ini memiliki hak dan status yang sama. Harusnya pemerintah konsisten dalam perlakukan seluruh orang-orang yang dianggap melanggar hukum. Tidak boleh dong pandang bulu,” ujarnya.

Mungkin rakyat Indonesia harus terbiasa dan tidak kaget lagi apabila ada orang yang berbuat tak pantas atau berlaku jahat namun malah mendapat perlakuan khusus di depan khalayak. Publik belum lupa dengan candaan yang tak sopan dari Zaskia Gotik soal lambang sila kelima yang ia katakan “bebek nungging”. Bagaimana mungkin negara punya simbol seaneh itu. Tapi alih-alih ia mendapat pidana akibat pernyataan yang menghina lambang negara itu, Zaskia malah diangkat jadi “duta pancasila”. Kok bisa begitu? Ya begitulah…

Atau seorang ABG yang menghebohkan dunia maya karena melawan aparat dan mengaku anak Jenderal. Sonya Depari nama gadis itu. Setelah dihujat habis-habisan oleh masyarakat, rupanya ia malah naik pangkat menjadi duta narkoba.

Jangan kaget, karena sudah dekat masanya para pelaku tindak pidana akan mendapat sanjungan layaknya Robin Hood. Bedanya, Robin Hood mencuri harta orang kaya yang tamak untuk dibagikan kepada orang miskin. Namun sebentar lagi, orang-orang kaya yang menyimpan uangnya di luar negeri dan enggan membayar pajak kepada negara, akan dimaafkan kesalahan dan utang pajaknya dan dianggap layaknya pahlawan manakala mau memindahkan uangnya ke dalam negeri. Hal itu dapat terjadi manakala kebijakan tax amnesty jadi diberlakukan di negara ini.

Bagaimana tidak menjadi pahlawan. Berulang kali capaian penerimaan pajak gagal memenuhi target. Tahun 2015 lalu, penerimaan pajak hanya mencapai Rp 1.055 triliun dari target pajak Rp 1.294,25 triliun, atau hanya tercapai 81.5 persen.(1) Nah, tax amnesty yang akan dinikmati para konglomerat yang selama ini tidak membayar kewajiban itu diharapkan memberi potensi penerimaan pajak sebesar Rp 45,7 triliun rupiah.(2) Wah, sungguh berjasa bukan mereka itu?

Tetapi potensi penerimaan negara yang hilang akibat adanya pengampunan itu, dalam sebuah artikel yang ditulis di media online disebut mencapai Rp 497 triliun sampai Rp 798 triliun.(3) Sepuluh sampai delapan belas kali lipatnya. Sebesar itu harga untuk menjadikan mereka sebagai “pahlawan”.

Makanya banyak kalangan menilai adanya wacana tax amnesty menandakan pemerintah telah menyerah kalah oleh para pelaku pidana penggelap pajak. Direktur Institute Development of Economics and Finance (Indef), Enny Sri Hartati mengatakan bahwa tax amnesty ini adalah langkah putus asa. “Tax amnesty ini saya kira orang sudah hopeless ya,” ujarnya seperti dikutip media.

Mungkin saya terlalu su’uzhon dengan pemerintah. Menganggap pemerintah akan memperlakukan para penikmat tax amnesty sebagai orang yang berjasa buat negara. Belum tentu begitu. Tapi mohon maklumi. Prasangka saya akibat melihat kenyataan Samadikun Hartono, Zaskia Gotik, atau Sonya Depari. Bayangkan, betapa banyak guru sekolah yang mengajarkan filosofi pancasila kepada muridnya dengan penuh penghayatan, namun mereka tak masuk kualifikasi untuk menjadi duta pancasila. Seorang penghina pancasila lah yang layak menjadi seorang duta. Atau betapa banyak pegiat anti narkoba yang berjuang menyadarkan anak muda, tetapi tak masuk hitungan untuk menjadi duta anti narkoba. Justru seorang bocah yang menghardik aparat yang berhak mendapatkan gelar tersebut.

Adilkah? Bagi saya tidak adil. Namun saya harus siap dengan ketidak-adilan berikutnya. Yaitu kebijakan tax amnesty. Saya yang tiap hari membayar pajak PPn 10%, penghasilan dipotong pajak, tabungan dipotong pajak, rumah harus dibayar pajaknya, dan lain-lainnya, harus kalah dimanjakan oleh mereka yang menunggak pajak bermilyar-milyar dan akan diampuni oleh pemerintah.

Tapi tak hanya saya yang merasa tax amnesty itu tidak adil. Di Senayan sana syukurnya masih ada yang berpendapat begitu. Salah satunya Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI Ecky Awal Mucharam yang pernah menegaskan begini: “Sementara di sisi lain, ada ibu-ibu yang membeli minyak goreng dikenakan pajak PPN, ada karyawan yang dipotong gajinya karena PPH, dan ada petani yang kena pajak PBB. Kontribusi ini sangat besar untuk pembangunan, dibandingkan dengan para pengemplang pajak tersebut yang jumlahnya kurang dari 1 persen tapi menguasai 50 persen lebih kekayaan Indonesia. Ini mencederai Keadilan Sosial.”

Banyak juga anggota masyarakat yang berteriak memprotes tax amnesty ini. Enny Sri Hartati sampai berbicara ketus di media, “Enak banget jadi konglomerat, sudah enggak bayar pajak, dikasih pengampunan,”

Akhirnya saya bisa berdoa, semoga perjuangan mereka yang menolak tax amnesty dipermudah oleh Allah SWT.

Tautan:

1. http://bisnis.liputan6.com/read/2403217/realisasi-penerimaan-pajak-2015-capai-815-dari-target

2. http://wartaekonomi.co.id/read/2016/04/25/98258/komisi-xi-pertanyakan-dana-dari-hasil-penerapan-tax-amnesty.html

3. http://koran.bisnis.com/read/20160420/251/539751/-harga-pengampunan-pajak

 

Dimuat di Selasar

 
Leave a comment

Posted by on May 31, 2016 in Artikel Umum

 

Mukhoyam, Survival, dan Pengalaman Spritual yang Mengesankan

(Pengalaman mengikuti acara Kemah Pandu Keadilan, 29 April – 1 Mei 2016 di Cidahu)

Jumat dini hari itu desa Cidahu yang terletak di kaki Gunung Salak menyambut kami dengan dingin, sesuai karakternya. Hujan baru reda beberapa jam lalu. Tanah yang basah menjadi panggung bagi ribuan jangkrik yang bernyanyi menghempas sunyi. Mungkin itu cara mereka bertasbih kepada Allah swt. Ranting dan daun pepohonan Pinus di area Taman Nasional Gunung Halimun Salak itu masih meneteskan sisa-sisa air hujan yang merayap ditarik gravitasi bumi.

Kurang lebih pukul 2 pagi. Puluhan cangkir teh manis terhidang di sebuah warung disiapkan panitia untuk peserta Kemah Pandu Keadilan Menengah yang digelar dari Jumat 29 April hingga Ahad 1 Mei 2016. Saya dan peserta lainnya duduk mengerubungi beberapa baris meja, beristirahat dari perjalanan sekitar 90 KM yang dimulai dari Ragunan Jakarta Selatan dan menempuh waktu 2,5 jam. Menyeruput teh manis dan memesan mie rebus ke penjaga warung yang harus ditebus dengan harga 10 ribu rupiah.

Sejak dari rumah, saya cukup antusias dengan kegiatan ini. Ada bagian acara yang sudah saya tunggu-tunggu sejak 16 tahun lalu. Sebuah ceramah yang saya dengar saat i’tikaf di Masjid Al-Madani, Air Tawar, Padang (akhir 1999 dan awal 2000) kala itu memberi tips untuk meningkatkan ruhiyah bila sedang futur/jenuh. Salah satu tipsnya ada pada rangkaian acara kemah atau mukhoyyam kali ini.

“Coba antum dayung sampan ke tengah laut sendirian. Lalu dirikan sholat dua rakaat, rasakan benar bahwa antum sangat membutuhkan pertolongan Allah saat itu. Bisa saja Ia mengirimkan ombak besar hingga sampan antum oleng dan antum jatuh ke laut.” Inti ceramahnya seperti itu meski redaksinya tidak sama.

“Atau antum berjalan sendirian ke hutan dengan hanya berbekal sebuah pisau. Cari makan sendiri dengan pisau itu di hutan. Rasakan bahwa antum sangat membutuhkan pertolongan Allah.”

Intinya adalah bagaimana menghadirkan situasi sehingga kita merasa benar-benar membutuhkan Allah.

Saat saya kos di Padang, bila hendak sholat Isya’ atau Shubuh ke masjid, saya akan melintasi jalanan yang sepi dan melewati pekuburan. Saya memang penakut. Dengan kondisi begitu, saya memancing diri sendiri untuk memohon pertolongan kepada Allah swt.

Lantas apa hubungannya ceramah tadi dengan mukhoyyam yang saya ikuti? Puncak acara mukhoyyam adalah personal survival. Peserta dilepas ke hutan dengan beberapa bekal seperti ponco, jaket, senter, korek, air minum, dan sebilah golok. Selama 32 jam tiap orang ditantang untuk survive dengan mengandalkan makanan yang ada di hutan. Sesi itu yang mengingatkan saya dengan isi sebuah ceramah saat i’tikaf 16 tahun lalu.

Rangkaian Acara

Sosialisasi acara Mukhoyyam sudah kami dapatkan dari ta’lim pekanan sejak beberapa pekan sebelumnya. Ada pemberitahuan mengenai perlengkapan yang harus dibawa untuk tiap orang dan tiap regu. Pembagian regu berdasarkan kelompok ta’lim pekanan.

Ada 19 item perlengkapan pribadi yang harus disiapkan dari mushaf, matras, ponco, senter, hingga golok. Perlengkapan regu ada 17 item dari kapak hingga alat masak. Jauh-jauh hari saya dan rekan satu regu berbagi tugas menyiapkan semua yang diperlukan. Kami semua cukup antusias. Tapi terasa ada yang kurang juga karena salah seorang anggota kelompok ta’lim pekanan tidak bisa mengikuti acara Mukhoyyam karena sakit.

Dari pembagian tugas membawa perlengkapan saja sudah teruji kadar egoisme tiap orang. Berkenankah sedikit repot untuk membawa perlengkapan yang berat? Bersediakah berkorban mencari barang yang susah didapat? Maukah menyisihkan sedikit uang untuk membeli item yang harus dibeli?

Hari demi hari berlalu. Semakin mendekati hari H, semakin intens diskusi kami untuk persiapan acara. Hingga Allah mempertemukan kami dengan hari H, Kamis 28 April. Hari itu para peserta diminta hadir di sebuah lokasi di sekitar Ragunan pada pukul 9 malam untuk persiapan keberangkatan. Menuju kesana, kami berkumpul dulu di rumah salah seorang anggota kelompok, lantas bersama-sama pergi ke lokasi keberangkatan dengan menyewa taksi online.

Setelah acara pembukaan dan taujih yang menyemangati peserta dari ketua DPD PKS Jakarta Selatan, ustadz Al Mansur Hidayatullah, pukul 11 malam 8 truk tronton berjalan beriringan menuju Cidahu mengangkut 15 regu yang tiap regu beranggotakan maksimal 12 orang. Peserta sampai di sana pukul 2 kurang dan disambut dengan teh manis hangat yang disediakan panitia.

Setelah istirahat dari perjalan dirasa cukup, peserta pun dibariskan berdasarkan kelompoknya dan diberi sedikit pengarahan oleh panitia. Tiap regu diperintahkan membangun bivak (tenda) yang lokasinya sudah ditentukan. Ada tanda khusus berupa bendera dan simpul yang diikat di sebuah dahan. Di kegelapan malam, dua orang dari tiap regu harus menemukan simpul dan benderanya masing-masing di antara semak-semak di sekitar lokasi untuk kemudian mendirikan bivak di situ.

Setelah bendera ditemuka, kami menggabungkan beberapa ponco untuk membentuk bivak yang nyaman untuk tempat berteduh. Kami berisitrahat di bawahnya dan menunggu pagi di situ.

Beberapa jam kemudian matahari pun muncul membawa sinarnya menerpa kaki Gunung Salak. Tiba-tiba terdengar tanda dari panitia yang meminta kami berkumpul dalam 20 hitungan. Upacara pembukaan akan dilaksanakan. Menapaki tanah gembur dan jalan menurun curam, kami bergegas menuju lapangan tempat berkumpul membawa tubuh yang masih bersemangat.

Rangkaian acara demi acara kami ikuti. Menjelang siang ada pelatihan baris berbaris (PBB) yang menghadirkan instruktur dari Babinsa setempat. Siangnya kami belajar menggunakan kompas untuk mengukur arah dan jarak ke sebuah titik. Juga ada pelatihan melempar kapak. Sesi terakhir sebelum puncak acara adalah lailatul katibah yang diisi oleh ustadz Al Mansur Hidayatullah.

Menyela rangkaian-rangkaian acara, kami diperkenankan istirahat di bivak masing-masing. Tiap regu dibekali bahan makanan oleh panitia yang menunya ditentukan dari penilaian regu tersebut dalam mengikuti satu sesi acara. Misalnya untuk menu makan siang, tiap regu dinilai dari kerapian mereka mengikuti pelatihan PBB. Makin bagus gerakannya makin tinggi nilainya dan makin banyak bekal makanan yang dibawa ke bivak untuk dimasak. Juga untuk menu makan malam, ditentukan dari nilai kesuksesan regu melempar kapak dan menggunakan kompas. Kalau mau mendapatkan telor asin, jagung manis, kentang dan nasi, maka berbuatlah sebaik mungkin di sesi yang diikuti.

Acara hari pertama dilaksanakan hingga sekitar pukul 10 malam. Setelah itu kami harus bersiap untuk puncak acara: personal survival.

Harus Bermunjat Lebih Hebat Lagi

Hari Sabtu (30 April 2016) sekitar jam 2 pagi peserta diminta berkumpul di lapangan. Setelah dikondisikan, peserta mulai berjalan beriringan menyusuri jalan setapak ke dalam hutan dengan membawa beberapa perbekalan. Hingga di sebuah lokasi, panitia meminta tiap peserta mencari tempat sendiri-sendiri untuk mendirikan bivak menggunakan ponco yang mereka bawa. Satu bivak satu orang dan harus berjarak paling dekat 5 meter dari bivak di sekitarnya. Lokasi itu disebut pos pertama.

Di sepanjang acara kami melewati 5 pos. Tiap pos ditempati selama rata-rata 4 jam. Kami mendirikan bivak dan bergerilya sendiri di sekitar lokasi mencari apa yang bisa dimakan.

Setelah menemukan tempat yang kondusif di pos pertama itu, saya membentangkan jas hujan (saya keliru mengira ponco itu sama dengan jas hujan. Akhirnya bivak yang saya bangun sangat minimalis dan tidak bisa melindungi tubuh dari angin dan hujan), mengikat sisi-sisinya ke dahan dan ranting di pohon sekitar, lalu merebahkan diri di bawahnya dengan mengenakan jaket parasut yang gagal melindungi badan saya dari dinginnya tanah.

Di kegelapan malam itu saya mulai menghayati acara survival kali ini. Merasakan butuhnya diri kepada Allah agar mendapat makanan yang cukup siang nanti. Tak mampu rasanya kalau harus berpuasa saja selama 32 jam hingga kembali ke basecamp. Maka saya membisikkan permohonan-permohonan kepada Dzat yang Mengendalikan Hidup saya.

Mirip seperti saran dari penceramah dulu. Bedanya, kali ini saya tak sendirian. Tetapi ada aturan dari panitia bahwa peserta tak boleh bekerjasama dan berkomunikasi dengan peserta lain. Jadi, tetap ini antara saya dan Allah swt tempat saya bergantung.

Tak hanya itu, ada beberapa hal lagi yang membuat saya mengencangkan permohonan kepada Allah swt. Salah satunya, karena sepasang sepatu yang saya bawa dari rumah jebol sampai alasnya tak menempel lagi. Maka saya terpaksa berjalan tanpa alas kaki menginjak tanah, rumput, dan ranting-ranting hutan. Saya sangat khawatir terinjak duri atau disengat kelabang, kalajengking, dan serangga lain.

Sebenarnya saya dipinjami sendal jepit oleh pak Suswanto dari Jagakarsa (saat pulang, saya minta sendal jepitnya untuk oleh-oleh. Pak Suswanto banyak menolong saya di acara mukhoyyam kemarin. Terima kasih banyak, pak Sus). Namun tak kondusif menggunakan sendal jepit di jalan mendaki yang licin dan bertanah gembur. Sering terpeleset. Lebih baik telanjang kaki.

Maka sepanjang jalan sejak dari basecamp saya terus menerus berdzikir “hasbiyallah wa ni’mal wakiil, ni’mal maula wa ni’man nashir”. Juga mengucapkan berbagai doa yang saya hafal memohon keselamatan.

Tak menyangka, Allah tambahkan ketakutan saya agar berharap lebih besar. Kalau sekedar bertahan 32 jam mencari makan sendiri di hutan, tak terlalu saya risaukan karena kalau benar-benar terdesak ada panitia yang akan menolong. Tetapi menghindari tapak kaki dari duri, kelabang, atau kalajengking, tidak bisa mengandalkan panitia.

Dinginnya malam yang membuat badan menggigil juga membuat saya memohon pertolongan kepada Allah swt dengan lebih hebat. Di pos pertama, saya terbangun menjelang shubuh karena badan bergetar kedinginan. Menanti matahari muncul membawa hangat rasanya lama sekali. Di tengah dingin itu saya memohon kekuatan kepada Allah swt.

Saya juga memohon pertolongan kepada Allah swt dari serangan hewan di sekitar tempat saya berbaring. ‘Audzubikalimatillahit taammaati min syarri ma kholaq. Aku berlindung dengan kalimat Allah yang sempurna dari kejahatan makhluk-Nya. Saya ucapkan berkali-kali.

Akhirnya pagi pun datang. Gelap berganti terang. Dingin berganti hangat. Tiba-tiba panitia membunyikan tanda agar peserta merapikan bivaknya dalam 20 hitungan. Perjalanan akan dilanjutkan ke pos berikutnya. Saya kembali berjalan dengan kaki telanjang, dan kembali berdzikir terus menerus memohon kesalamatan dari Allah swt.

Hingga sampai di sebuah lokasi yang disebut pos kedua, kami kembali diminta mencari lokasi dan mendirikan bivak. Di bawah langit yang terang, perburuan mencari apa yang bisa dimakan pun dimulai.

Siang hari sebelum dilepas ke hutan, instruktur sudah menjelaskan makanan apa saja yang bisa dimakan. Jujur saja saya awam sekali mengenali jenis-jenis tumbuhan. Sampai sekarang saya tak tahu mana pohon mangga, mana pohon nangka, dll, bila tanpa melihat buah yang tergantung di dahan.

Instruktur memberikan tips untuk menentukan apakah suatu buah/daun bisa dimakan. Pertama, tempelkan ke kulit; kalau gatal maka itu beracun. Kedua, tempelkan ke lidah; kalau gatal maka tak boleh dimakan. Ketiga, kunyah dan letakkan ke bawah lidah; kalau bergetah dan gatal jangan ditelan. Keempat, kalau memang tak ada reaksi apa-apa, maka boleh dimakan sedikit, lalu tunggu sampai 4 jam untuk melihat apakah tubuh bereaksi atau tidak.

Di lokasi tempat saya mendirikan bivak, saya mulai mengunyah berbagai macam dedaunan di sekitar. Kalau bergetah, saya lepeh. Mentok-mentoknya, daun pakis lagi daun pakis lagi… Nah, di saat mengunyah daun asing itu saya memohon kepada Allah agar tak menelan makanan beracun dan membahayakan tubuh.

Saya pernah mendengar kisah Sholahuddin Al-Ayyubi yang disuguhi minuman beracun di suatu perundingan. Meski punya firasat bahwa minuman itu beracun, ia tetap meminumnya dengan memohon perlindungan kepada Allah swt. Kemudian Sholahuddin Al Ayyubi merasa pusing sebentar, setelah itu segar bugar lagi. Musuhnya pun heran dan gentar.

Dalam dzikir Al-Ma’tsurat yang disusun Hasan Al-Banna, ada doa ‘audzubikalimmatillahi… seperti yang sudah disebutkan. Doa itu mengandung faedah terhindar dari bahaya sekalipun terhadap racun, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam kitab shohihnya.

Setelah sekitar 4 jam, perjalanan dilanjutkan ke pos 3. Saya mendirikan sholat Zhuhur dan menjamak-qoshor Ashar di sana. Di pos itu juga turun hujan lebat. Dari dalam bivak kecil yang tak menghalangi rintik hujan mendera tubuh, timbul iri dengan peserta lain yang nyaman berteduh di bawah ponco yang mereka bentangkan. Ingin bergabung dengan salah seorang namun saya malu dan terikat dengan aturan “tak boleh bekerjasama dengan peserta lain”. Saya basah kuyup. Tapi kondisi tak mengenakkan itu membuat saya memohon pertolongan kepada Allah swt.

Menjelang maghrib, perjalanan dilanjutkan ke pos 4. Tempat yang menghadirkan pengalaman luar biasa kepada saya.

Karena, pertama, saya mendapatkan pengetahuan baru tetang seperti apa suara macan kumbang. Ya, di sekitar lokasi terdengar suara macan kumbang. Saya dan peserta lain awalnya mengira bunyi yang berulang kali terdengar itu hanya suara monyet, burung hantu, atau binatang lain. (Suara macan yang saya tahu ya seperti auman singa atau harimau. Keras dan gahar. Tapi kan macan bersuara bukan cuma mengaum.)

Kepanikan terjadi setelah panitia memberi tahu ada suara macan kumbang. Kami diminta menghidupkan lampu senter serta membaca dzikir atau tilawah dengan suara keras untuk mengusir Panthera Pardus Melas yang diperkirakan tak hanya seekor itu. Ya… lagi-lagi harus memohon pertolongan kepada Allah swt. Suara macan kumbang yang kian mendekat pun akhirnya tak terdengar lagi setelah panitia membunyikan petasan dua kali.

Mukhoyyam kali ini benar-benar menghadirkan banyak hal yang membuat saya bermunajat kepada Allah.

Aturan dan Ukhuwah

Kedua, saya mendapatkan pengalaman baru berupa rasa menggigil terhebat yang baru kali itu saya rasakan. Setelah menunaikan sholat Maghrib dan menjamak-qoshor Isya’, saya tertidur. Tak lama saya terbangun karena kedinginan. Sampai-sampai suara rintihan saya terdengar oleh peserta lain yang kemudian berteriak memanggil panitia.

Terasa juga lambung saya sedikit tak enak. Mungkin menggigil ini dicampur efek sakit mag. Kemarin sorenya sebelum masuk ke hutan, ada satu kegiatan yang tak bisa saya ikuti karena saya harus terbaring di dalam tenda panitia kesehatan. Saya merasa mual ingin muntah, pusing, dan menggigil. Seorang dokter memberi saya obat mag, obat mual, dan obat sakit kepala. Sempat berniat meminta dispensasi tidak ikut acara survival. Tetapi malam harinya saya sudah segar bugar kembali.

Teriakan dari peserta yang mendengar suara rintihan menggigil saya itu direspon oleh panitia. Dua orang dari mereka hadir membawa lilin. Tangan saya diletakkan di atas api. Mereka menyuruh saya banyak bergerak dan menggosok-gosokkan tangan dan kaki. Selesai memberikan treatment, mereka pergi meninggalkan saya yang harus survive melawan dingin dengan sebatang lilin.

Saya tak tahu apakah bisa bertahan hidup hingga pagi. Hampir putus asa. Terbayang wajah dua anak saya yang masih kecil. Antara timbul semangat melawan kondisi yang sedang dialami demi mereka, atau berdoa kepada Allah agar Ia memelihara mereka dengan baik bila saya gagal bertahan.

Saya menoleh ke bivak sebelah, rupanya di sana sedang berkumpul beberapa peserta mengerubungi api. Saya nekad menabrak aturan, bergabung bersama mereka membawa lilin. Bekerjasama dan berkomunikasi. Saya memang melanggar aturan, tapi saat itu justru saya merasakan kehangatan ukhuwah yang sangat menyentuh hati.

Salah seorang dari mereka melepas jaket basah yang saya kenakan (bagian luar dan dalam basah kuyup). Katanya, itulah membuat dingin bertambah parah. Dan memang, setelah jaket dilepas, rasa dingin berkurang. Ada yang menggosok-gosokkan tangannya dengan tangan kiri saya yang keriput dan pucat agar hangat, sementara tangan kanan saya letakkan di atas nyala lilin. Saya tidak bertanya namanya siapa, tapi saya berdoa agar Allah menolongnya di setiap kesulitan. Amin. Ada juga yang membawa kehangatan dengan canda-candaannya. Dan tak lama bergabung pula seorang peserta yang juga menggigil dan pakainnya basah. Benar-benar ada kehangatan ukhuwah di tengah kedinginan. (Dan di balik pelanggaran aturan, hehe…)

Sebenarnya aturan sudah banyak dilanggar para peserta sejak di pos ketiga. Jujur, saya sama sekali awam dengan hutan dan tentu butuh bimbingan untuk program survival seperti ini. Saya butuh bertanya tumbuhan apa saja yang bisa dimakan. Sementara panitia tak mungkin selalu berada di dekat kami. Maka saya dan peserta lain berkomunikasi dan bekerjasama mencari makanan. Pak Suswanto menunjukkan saya buah kecil berwarna ungu seperti buah seri. Saya pun berkeliling mencari buah seperti itu. Di pos ketiga itu pak Suswanto banyak mendapatkan buah seperti Jambu Biji, Petai Cina, serta Jeruk Bali. Ia berbagi Jeruk Bali kepada peserta lainnya.

Di pos kelima yang kami beranjak ke sana sekitar pukul 10 malam, saya nekad menumpang bivak kepada pak Suswanto. Ya, lagi-lagi aturan dilanggar. Tapi lagi-lagi saya merasakan ukhuwah (saya mah gitu, kalo butuh pertolongan baru inget ukhuwah. Hehe…)

Di pos terakhir itu kami diperbolehkan membangun bivak berdekatan, bahkan berdempetan. Saya hampir tidak bisa tidur kecuali sebentar karena terbangun kedinginan. Peserta di bivak sebelah juga. Kami pun “bekerjasama” menyalakan api. Susah sekali karena udara begitu lembab. Dan terasa kembali kehangatan ukhuwah di kondisi genting seperti itu.

Saya bukannya membenarkan pelanggaran aturan. Panitia telah bersusah payah menyiapkan acara. Tentu mereka menginginkan para peserta mematuhi aturan. Di awal, panitia sudah bilang kalau mereka tak kan menghukum atau bahkan menegur peserta yang melanggar. Dan kami telah menyatakan bersedia mengikuti aturan dan sudah seharusnya kami komitmen. Hanya saja para peserta punya banyak kelemahan. Syukurnya panitia memaklumi.

Ibrah

Pagi pun datang. Dingin kembali menyingkir meski kabut menggerayang. Sekitar pukul 8 pagi kami meninggalkan pos ke lima untuk kembali ke basecamp. Dan di situ panitia sudah menyiapkan tongseng kambing yang enak buat peserta. Yummy…

Acara kemudian dilanjutkan dengan upacara penutupan. Kami pun bersiap kembali menuju Jakarta membawa berbagai pengalaman yang sangat berkesan.

Saya bersyukur kepada Allah telapak kaki saya yang telanjang menginjak permukaan tanah hutan yang ditempati berbagai macam serangga dan duri itu tak terluka. Padahal ada seorang peserta yang meminta obat merah karena terkena duri meski ia sudah memakai sepatu (mungkin bukan luka di kakinya). Telapak kaki memang sedikit perih karena beberapa kali menginjak duri kecil, tapi tak sampai berdarah. Ada juga bekas gigitan pacet di kaki, tapi “anggap saja sedekah” kata seorang panitia.

Saya juga sudah melewati masa kritis menggigil hebat kedinginan. Makanan asing yang saya makan tak membawa dampak negatif kepada tubuh. Itu semua karena pertolongan dari Allah swt. Saya kira saya hanya perlu memohon pertolongan kepada Allah untuk bertahan hidup mendapat makanan saja, rupanya Allah menghadirkan keterdesakan lain yang tak diduga. Agar saya bermunajat lebih sungguh-sungguh.

Ketua DPD PKS Jakarta Selatan, ustadz Al Manshur Hidayatullah pada sesi lailatul katibah (jumat malam sebelum acara survival) sudah menyampaikan bahwa mukhoyyam adalah acara yang memadukan pembinaan ruhiyah, fikriyah selain jasadiyah. Ya, saya mendapatkan pengetahuan tentang makanan yang ada di alam liar, juga pengalaman spiritual yang tak kan pernah bisa saya lupakan, selain fisik yang berkenalan dengan medan berat.

Akhirul kalam saya berterima kasih kepada para panitia. Juga kepada para peserta terutama yang sudah memberi bantuan kepada saya sedikit atau banyak. Dan kepada partai yang memperhatikan pembinaan kadernya.

 
Leave a comment

Posted by on May 30, 2016 in Orat Oret

 

Tulislah Kartini!

Tulislah Kartini!
Gelap tintamu adalah nyala terang hari ini

Tulislah Kartini
Biar gundah tumpah berhelai-helai
bergolak putri yang dipingit dalam balai
Tapi kini kami tak lagi abai
Akan pendidikan yang harus disemai

Tulislah Kartini!
Titipkan pada Nona Zeehandellar, Nyonya Abendanon, atau siapa saja
Karena suratmu akan sampai pada kami juga
Lantas kami anggap itu amanah yang harus dijaga
Tentang anak bangsa yang terdidik pengetahuan dan akhlaknya

Tulislah Kartini!
Minazh zhulumati ilan-nuur

“Tempuh malam hingga petang
Tempuh badai hingga reda
Tempuh perang hingga menang
Tempuh duka hingga suka” (Kartini 15 Agustus 1902)


Puisi dadakan untuk tugas anak di sekolah 😀

 
Leave a comment

Posted by on May 29, 2016 in Puisi dan Cerpen