
“Munafik!” Terlontar tudingan itu dari lisan seseorang untuk membela kemaksiatan. “Munafik!” Tertulis vonis itu pada komentar berita di jejaring sosial sebagai pembelaan atas gugatan yang menyerang kemungkaran.
Kalau yang dimaksud adalah apa yang terucap tidak sama dengan apa yang diperbuat, maka kemunafikan memang pantas dibenci. Ia haram mendompleng idealisme.
“Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS 61: 2-3)
Tapi apa ganti dari kemunafikan? Kebanggaan atas kebejatan kah?
“Sudah, ngaku aja kalo lu juga suka!” Kalimat itu menyempurnakan vonis munafik. Mengajak para penggugat kemungkaran untuk mengakui bahwa dirinya pun bejat dan tak pantas mengingkari.
Maka begitulah gaya pemuja kemaksiatan. Memeluk erat kebejatan dan simbol-simbolnya, dan kemudian menciptakan tameng berupa “tuduhan munafik” yang akan mereka layangkan pada setiap yang menentang. Seperti pemabuk yang menjinjing ringan botol arak dan berjalan di tengah kampung. Ketika orang kampung mengingatkannya bahwa isi botol itu terlarang, ia balik berteriak, “Hey sadarlah. Kalian pun mabuk!!”
Tidak ada alasan untuk bangga dengan kebejatan. Bahkan ketika diri ini memang penuh noda, maka menutupi kekurangan diri – disertai dengan penyesalan – adalah sebuah keselamatan dan bisa menjadi jalan untuk berubah.
Abu Hurairah ra, berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda: Semua umatku akan ditutupi segala kesalahannya kecuali orang-orang yang berbuat maksiat dengan terang-terangan. Masuk dalam kategori berbuat maksiat terang-terangan adalah bila seorang berbuat dosa di malam hari kemudian Allah telah menutupi dosanya, lalu dia berkata (kepada temannya): Hai Fulan! Tadi malam aku telah berbuat ini dan itu. Allah telah menutupi dosanya ketika di malam hari sehingga ia bermalam dalam keadaan ditutupi dosanya, kemudian di pagi hari ia sendiri menyingkap tirai penutup Allah dari dirinya. (HR Muslim)
Seorang mukmin tak mungkin bangga dengan kebejatan. Karena konsekuensi iman menuntut begitu. Bahkan pada kadar iman yang paling rendah, tidak ada ruang untuk bersikap biasa-biasa saja atau acuh pada kemaksiatan. Ubah! Atau gugat! Atau kau membencinya, dan itu derajat yang amat rendah pada strata keimanan. Di luar sikap itu, tidak ada iman!!!
Dari Abu Said Al-Khudri ra: Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubah kemungkaran itu dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya. Kalau tidak sanggup, maka dengan hatinya. Dan itu adalah selemah-lemah iman. (HR Muslim)
Sudah jelas, tidak ada alasan untuk bangga dengan kebejatan selama iman ini ada di dada.
“Munafik. Padahal lu suka kan? Gw juga suka, tapi gw gak munafik kayak lu. Semua juga suka, kalee…” Maa lakum, kaifa tahkumun (QS 68:36)? Bagaimana bisa begitu, apa dasar kamu menghakimi seperti itu? Lantas yang bagaimana munafik itu sebenarnya?
Ibnu Mas’ud r.a., sahabat Rasulullah saw, memberikan deskripsi perbedaan orang mukmin dan munafik. “Orang yang benar-benar beriman, ketika melihat dosa-dosanya, seperti ia sedang duduk dibawah gunung. Ia kuatir kalau-kalau puncak gunung itu jatuh menimpanya. Adapun orang fajir/munafik, ia memandang dosa-dosanya seperti menghalau lalat di ujung hidungnya.”
Lalu siapa sebenarnya yang pantas padanya disematkan gelar “munafik”?
Zico Alviandri
—
Tulisan Lama, 6 Oktober 2009