RSS

Monthly Archives: December 2019

Kemana Argumen Kaum Nyinyir Idul Adha Jelang Tahun Baru?

Menjelang perayaan Idul Adha, biasanya bersileweran argumen-argumen yang menghasut atau menakut-nakuti masyarakat yang bertujuan agar hari raya tersebut tidak lagi disakralkan. Uniknya, beberapa hasutan itu sebenarnya relevan untuk perayaan tahun baru. Namun orang-orang itu cuma nyinyir kepada syariat Islam, dan malah mendukung acara mubazir pergantian tahun.

Mereka bilang daripada dibelikan hewan kurban, lebih baik uangnya dialihkan untuk dana pendidikan masyarakat miskin. Karena itu yang lebih dibutuhkan. Tetapi untuk pesta pora masyarakat di malam tahun baru, tidak ada himbauan serupa. Mereka diam atas keborosan yang tak bermanfaat.

Mereka mempersoalkan penyembelihan massal di hari Idul Adha yang menurut mereka tak berperikemanusiaan. Padahal saat malam tahun baru, orang-orang berpesta membakar ikan dan daging barbeque. Tak kalah banyak hewan yang dikorbankan. Tapi mereka tak bersuara.

Mereka coba menakut-nakuti umat Islam dengan penyakit darah tinggi dan kolesterol akibat makan daging kurban. Tapi mereka tidak mengingatkan masyarakat atas bahaya penyakit menular seperti difteri dari terompet yang ditiup bergiliran. Toh tiap terompet sudah melalui uji tiup oleh pembuatnya.

Kini mereka bilang himbauan tidak meniup terompet itu tidak berpihak pada rakyat kecil yang berjualan setahun sekali. Padahal perilaku mereka melarang orang membeli hewan kurban juga tak punya keberpihakan kepada para pedagang.

Mungkin bukan standard jamak. Standard mereka cuma satu: yaitu ritual Islam harus dicemooh.

 
Leave a comment

Posted by on December 30, 2019 in Artikel Umum

 

Yaa ‘Isaa, salam ‘alaika

Wahai Nabi Isa, semoga keselamatan tercurah untukmu. Keselamatan ketika kau dilahirkan, ketika wafat, dan saat dibangkitkan. Aku mengaminkan doamu yang tertulis dalam Al Qur’an surat Maryam 33. Dan semoga keselamatan tercurah pula pada hamba-Nya yang beriman.

Wahai Nabi Isa, para mufassir telah menjelaskan maksud doamu. Bahwa keselamatan yang kau minta dari gangguan setan. Dan semoga kami yang hidup di zaman ini dianugerahi keselamatan serupa. Terlindung dari bujuk rayu setan untuk berbuat syirik.

Wahai Nabi Isa, kami paham jalan keselamatan adalah pada aqidah yang lurus. Sebagaimana ucapanmu dalam ayat 36 surat Maryam: “Sesungguhnya Allah adalah Tuhanku dan Tuhanmu, maka sembahlah Dia oleh kamu sekalian. Ini adalah jalan yang lurus.” Maka tiada keselamatan pada ritual syirik yang menyembah selain Allah swt. Wal iyadzu billah.

Wahai Nabi Isa, ketika kami mendoakanmu selamat, maka tak pantas kami menjadi penyebab kau ditanya oleh Allah swt di akhirat kelak. Pertanyaan yang dikabarkan dalam Al Qur’an surat Al Maidah ayat 116. “Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman: “Hai Isa putera Maryam, adakah kamu mengatakan kepada manusia: “Jadikanlah aku dan ibuku dua orang tuhan selain Allah?”. Isa menjawab: “Maha Suci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku (mengatakannya). Jika aku pernah mengatakan maka tentulah Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui perkara yang ghaib-ghaib”.”

Wahai Nabi Isa, maka tak seharusnya doamu dalam QS Maryam 33 itu dijadikan pembenar untuk mengucapkan selamat pada mereka yang merayakan sebentuk kemusyrikan. Keselamatan apa kah yang mereka inginkan?

Tanpa ucapan selamat mereka, kau tetap diselamatkan oleh Allah swt. Sementara mereka dengan aqidahnya sedang dalam bahaya. Dan muslim yang berdalil dengan QS Maryam 33 untuk ucapkan selamat yang menyemarakkan kesyirikan, aku ragu doanya akan kembali pada mereka. Padahal doa kebaikan untuk orang lain Allah kabulkan juga buat pemintanya.

 

Rahasia Posisi Surat Al Ikhlas

Pada mushaf standard, letak surat Al-Ikhlas sangat “strategis”. Bila dibuka dari kiri (seperti membuka buku beraksara latin), maka surat tersebut terletak paling atas di halaman paling awal.

Sehingga “Qul huwallahu ahad” beserta artinya akan pertama kali dibaca oleh orang yang penasaran dengan Al Qur’an namun belum paham bahwa kitab suci itu dibaca dari kanan.

Nah, kestrategisan ini lah yang telah mengantarkan banyak orang memeluk Islam. Mereka yang selama ini menganut kepercayaan bahwa tuhan ada lebih dari satu, tiba-tiba disodorkan konsep tauhid. Mereka yang menyangka tuhan memiliki anak, dilahirkan, atau memiliki keserupaan dengan makhluk; diperkenalkan konsep yang lebih mengagungkan tentang Sang Pencipta.

Berikutnya, setelah terbersit kekaguman pada Al Qur’an, lalu mereka sudah mengerti cara membuka mushaf yang benar, bertemu lah dengan ayat awal Al Baqoroh. Bahwa kitab itu tidak memiliki keraguan di dalamnya. Maka bertambah tebal lah keyakinan di dalam dada mereka.

Kelebihan lain, surat Al Ikhlas ini sangat ringkas. Namun cukup memicu timbulnya berbagai tanya dan gugatan di hati orang yang telah salah memahami tuhan.

Bila kemudian Al Qur’an dibuka lebih dalam, akan ditemukan retorika yang lebih menggugah akal. Misalnya dalam QS Al Mu’minun: 91.

Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada tuhan (yang lain) beserta-Nya, kalau ada tuhan beserta-Nya, masing-masing tuhan itu akan membawa makhluk yang diciptakannya, dan sebagian dari tuhan-tuhan itu akan mengalahkan sebagian yang lain. Maha Suci Allah dari apa yang mereka sifatkan itu.

Sehingga, di dalam pengembaraan seseorang mencari Tuhan dalam Qur’an, ia akan diajak berpikir deduktif. Maksudnya ia terlebih dahulu bertemu poin inti tentang tauhid dalam surat Al Ikhlas, baru kemudian penjelasan-penjelasan rinci lebih lanjut di surat lain.

Ini lah salah satu hikmah Allah meletakkan surat tersebut di bagian akhir Al Qur’an. Masya Allah.

 

Benci Kemunafikan Tapi Bangga Dengan Kebejatan

“Munafik!” Terlontar tudingan itu dari lisan seseorang untuk membela kemaksiatan. “Munafik!” Tertulis vonis itu pada komentar berita di jejaring sosial sebagai pembelaan atas gugatan yang menyerang kemungkaran.

Kalau yang dimaksud adalah apa yang terucap tidak sama dengan apa yang diperbuat, maka kemunafikan memang pantas dibenci. Ia haram mendompleng idealisme.

“Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS 61: 2-3)

Tapi apa ganti dari kemunafikan? Kebanggaan atas kebejatan kah?

“Sudah, ngaku aja kalo lu juga suka!” Kalimat itu menyempurnakan vonis munafik. Mengajak para penggugat kemungkaran untuk mengakui bahwa dirinya pun bejat dan tak pantas mengingkari.

Maka begitulah gaya pemuja kemaksiatan. Memeluk erat kebejatan dan simbol-simbolnya, dan kemudian menciptakan tameng berupa “tuduhan munafik” yang akan mereka layangkan pada setiap yang menentang. Seperti pemabuk yang menjinjing ringan botol arak dan berjalan di tengah kampung. Ketika orang kampung mengingatkannya bahwa isi botol itu terlarang, ia balik berteriak, “Hey sadarlah. Kalian pun mabuk!!”

Tidak ada alasan untuk bangga dengan kebejatan. Bahkan ketika diri ini memang penuh noda, maka menutupi kekurangan diri – disertai dengan penyesalan – adalah sebuah keselamatan dan bisa menjadi jalan untuk berubah.

Abu Hurairah ra, berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda: Semua umatku akan ditutupi segala kesalahannya kecuali orang-orang yang berbuat maksiat dengan terang-terangan. Masuk dalam kategori berbuat maksiat terang-terangan adalah bila seorang berbuat dosa di malam hari kemudian Allah telah menutupi dosanya, lalu dia berkata (kepada temannya): Hai Fulan! Tadi malam aku telah berbuat ini dan itu. Allah telah menutupi dosanya ketika di malam hari sehingga ia bermalam dalam keadaan ditutupi dosanya, kemudian di pagi hari ia sendiri menyingkap tirai penutup Allah dari dirinya. (HR Muslim)

Seorang mukmin tak mungkin bangga dengan kebejatan. Karena konsekuensi iman menuntut begitu. Bahkan pada kadar iman yang paling rendah, tidak ada ruang untuk bersikap biasa-biasa saja atau acuh pada kemaksiatan. Ubah! Atau gugat! Atau kau membencinya, dan itu derajat yang amat rendah pada strata keimanan. Di luar sikap itu, tidak ada iman!!!

Dari Abu Said Al-Khudri ra: Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubah kemungkaran itu dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya. Kalau tidak sanggup, maka dengan hatinya. Dan itu adalah selemah-lemah iman. (HR Muslim)

Sudah jelas, tidak ada alasan untuk bangga dengan kebejatan selama iman ini ada di dada.

“Munafik. Padahal lu suka kan? Gw juga suka, tapi gw gak munafik kayak lu. Semua juga suka, kalee…” Maa lakum, kaifa tahkumun (QS 68:36)? Bagaimana bisa begitu, apa dasar kamu menghakimi seperti itu? Lantas yang bagaimana munafik itu sebenarnya?

Ibnu Mas’ud r.a., sahabat Rasulullah saw, memberikan deskripsi perbedaan orang mukmin dan munafik. “Orang yang benar-benar beriman, ketika melihat dosa-dosanya, seperti ia sedang duduk dibawah gunung. Ia kuatir kalau-kalau puncak gunung itu jatuh menimpanya. Adapun orang fajir/munafik, ia memandang dosa-dosanya seperti menghalau lalat di ujung hidungnya.”

Lalu siapa sebenarnya yang pantas padanya disematkan gelar “munafik”?

Zico Alviandri

Tulisan Lama, 6 Oktober 2009

 

 

Surat Terbuka Untuk Para Pahlawan Nusantara

Duhai Bung Tomo, aku mengadu kepadamu. Bangsa ini telah malu mengenalkan jihad kepada para pelajar. Ada narasi radikal, anti pancasila, dan hal-hal lain untuk menakut-nakuti rakyat. Seolah ajaran jihad itu mengancam keutuhan negara.

Bung Tomo, bukankah padahal ajaran itu yang melecut para pejuang menentang penjajah seperti yang kau saksikan sendiri pada 10 November 1945? Sekarang 74 tahun berlalu, ruh jihad hendak dikubur. Bangsa ini seakan kacang lupa pada kulitnya.

Duhai Kiai Hasyim Asy’ari, aku mengadu kepadamu. Bangsa ini melarang pelajar mengenal tentang jihad. Padahal engkau yang menginisiasi resolusi jihad melawan penjajah. Mereka lupa peristiwa bersejarah itu. Menutup mata bahwa Islam lah yang memberi ruh perjuangan bangsa ini merebut kemerdekaannya.

Duhai Pangeran Diponegoro, bangsa ini risih dengan kata jihad dan seakan perlahan hendak melenyapkannya. Kepada engkau yang dulu semangatnya berkobar melakukan amaliah itu aku mengadu. Maaf, mungkin kau kecewa melihat generasi penerusmu yang telah dianugerahi kemerdekaan.

Duhai Pangeran Antasari, Duhai Pangeran Hasanudin, Duhai Sultan Agung, Duhai Imam Bonjol, duhai para pahlawan bangsa yang menerjang penjajah dengan teriakan takbir, aku mengadu kepada kalian. Berpuluh tahun setelah merdeka, spirit jihad seperti yang kalian miliki dulu itu hendak dipadamkan dengan kata-kata syubhat radikalisme.

Juga aku mengadu kepada para Walisongo. Duhai, bangsa ini hanya mau mengenang kesenian kalian. Tapi malu mengakui kekhalifahan yang pernah mengutus kalian berdakwah di bumi nusantara. Walisongo hanya diingat wayangnya, lagunya, gamelannya, sembari menepis sejarah kekhalifahan yang membentuk kalian menjadi du’at.

Juga aku mengadu kepada para pembesar kerajaan Aceh dan para raja kerajaan Islam yang memiliki hubungan erat dengan Kekhalifatan Turki Utsmani. Bangsa ini telah menuduh khilafah sebagai musuh Pancasila. Melupakan sejarah bahwa tanah Nusantara ini pun dibela oleh pasukan khalifah yang mengarungi samudera membendung penjajah Portugis.

Dan kepada Allah swt kuadukan semua ini. Mereka hendak memadamkan cahaya-Mu ya Allah, tapi Kau akan tetap menyempurnakan cahaya itu walau orang kafir, munafik, dan musyrik tak suka.

Zico Alviandri

 
Leave a comment

Posted by on December 11, 2019 in Artikel Umum

 

Ekspresi Cinta Itu Ada Pada Hal Kecil dan Bisa Diperbandingkan

Di suatu kesempatan ia berbicara soal pusaka yang sakti. Yang bila diacungkan, setiap yang bernyawa akan mati.

Mendengar itu, saya mengira dia orang yang gandrung dengan hal-hal yang ajaib yang di luar nalar manusia.

Tetapi di kesempatan lain, ia menyangkal keistimewaan nabi Muhammad saw. Misalnya ada sinar dari tubuh sang nabi saat bayi. Di hadapan jama’ah, ia menganggap tak ada keistimewaan pada masa kecil Rasulullah saw. Layaknya anak kecil lain yang dekil dan tak terawat. Bahkan bukan tak mungkin punya kebiasaan maling jambu.

Maka saya pun heran. Mengapa pada benda pusaka ia sakralkan begitu rupa, tapi pada Nabi Muhammad saw yang dijuluki Al Amin, yang dikenal tak pernah berbohong dan selalu jujur, ia sifati punya potensi jadi pencuri?

Ketika dia meninta maaf kepada halayak, saya hampir menilai bahwa ia pun sebenarnya cinta kepada Rasulullah saw. Itu sebelum saya menonton potongan video lain ketika ia berbicara soal benda pusaka dan video ia menganggap masa kecil Rasulullah saw bisa saja mencuri.

Lalu lihat pendukungnya. Atas deskripsi Rasulullah saw yang terdengar merendahkan, mereka cari pembenarannya. Satu kasus saat Rasulullah pilek dan sakit mata ditarik menjadi gambaran global tentang masa kecil Rasulullah yang – dalam bayangan mereka – kumuh, dekil dan tak terawat.

Tapi pada kiainya, mereka bela habis-habisan bila ada yang menghina bahkan sekedar menyindir.

Dari kasus ini saya belajar sebuah hal, bahwa rasa cinta itu ada pada hal-hal detail yang kecil. Seperti bagaimana kita berbicara tentang hal yang kita cintai.

Benar, cinta butuh pengorbanan sebagai buktinya. Lautan luas disebrangi, gunung tinggi didaki. Tapi orang yang matanya berbinar, berbicara dengan semangat, dan bercerita dengan membangga-banggakan dan dengan diksi terpilih, sudah cukup sebagai indikasi ia mencintai sesatu yang dibicarakan.

Besaran cinta itu pun makin terlihat ketika diperbandingkan.

Kalau dari contoh di atas, cinta kepada benda pusaka diperbandingkan dengan kepada Rasulullah pada deskripsi yang ajaib-ajaib. Atau cinta kepada kiai dan kepada Rasulullah diperbandingkan saat ada yang merendahkan dua hal tersebut.