Wajar saja tiap orang lebih mencintai dirinya dibanding yang lain. Tiap orang cenderung memprioritaskan kepentingannya di atas hal lain, suka memanjakan diri, dan berbuat yang dianggap terbaik untuk diri sendiri.
Begitu juga Umar bin Khattab r.a. Saat mengungkapkan perasaan cintanya kepada Nabi yang Agung, Muhammad saw., ia tetap menyatakan bahwa cinta kepada diri sendiri masih di atas perasaan cintanya kepada panutan umat manusia itu. Hanya saja, prioritas cinta ini kemudian dikoreksi oleh Rasulullah saw.
“Sesungguhnya engkau wahai Rasulullah, adalah orang yang paling aku cintai daripada segala sesuatu selain diriku sendiri.” ungkap Umar bin Khattab r.a. di suatu kesempatan. Nabi shallallahu alaihi wasalam bersabda, ‘Tidak, demi Dzat yang jiwaku ada di TanganNya, sehingga aku lebih engkau cintai dari dirimu sendiri’. Maka Umar berkata kepada beliau, ‘Sekarang ini engkau lebih aku cintai daripada diriku sendiri.’ Maka Nabi shallallahu alaihi wasalam bersabda, ‘Sekarang (telah sempurna kecintaanmu (imanmu) padaku) wahai Umar.” (HR. Bukhari VI/2445 no.6257).
Hal ini harus berlaku bagi setiap umat Islam. Tiap muslim harus mencintai Rasulullah saw daripada dirinya sendiri.
Bagaimana implementasinya? Yang paling penting, ia harus menyingkirkan karakter pribadi yang bertentangan dengan akhlak Rasulullah saw. Ia harus mendalami bagaimana sunnah Rasulullah saw, bagaimana akhlak Rasulullah saw, lalu ia adopsi dalam perilaku sehari-hari.
Menyelaraskan dengan Selera Rasulullah saw
Saya ingat betul di suatu jum’at, seorang khotib mencela perilaku sekelompok orang yang berpakaian gamis, bersorban, dan ciri khas lain. Khotib bercerita, ia bertanya kepada sekelompok orang itu alasan apa mereka berpenampilan sedemikian rupa. Jawabannya, karena kelompok orang itu ingin mengamalkan sunnah Rasulullah saw. Lalu khotib berkata, kenapa mereka kemana-mana tidak mengendarai unta saja? Begitu bangganya khotib itu menjatuhkan sekelompok orang yang mengaku ingin mengamalkan sunnah.
Tetapi sang khotib tidak berkomentar apa-apa dengan fenomena anak muda berpakaian nyeleneh, mengaku mengikuti gaya kelompok musik idolanya. Yang mengikuti sunnah Rasulullah dicela, yang berpakaian musikus didiamkan. Padahal mereka sama-sama berpenampilan sesuai dengan model yang mereka gandrungi. Bedanya, yang satu menggandrungi Rasulullah saw, yang satu menggandrungi musikus.
Di tempat lain, sekolompok anak muda suka berkumpul sambil mengenakan kostum seperti yang ada di film kartun favoritnya. Cosplay, katanya. Kalau mereka dianggap wajar-wajar saja, kenapa tidak menganggap wajar saja kepada orang-orang yang berpenampilan mengikuti hadits yang menggambarkan bagaimana Rasulullah berpakaian?
Memang begitulah ekspresi cinta, mengikuti selera orang yang dicintai. Menjadikan orang yang dicintai sebagai model dalam berbagai hal, tak hanya tindak tanduk, tapi juga pakaian dan selera.
Indikasi cinta pun tampak pada selera. Anak remaja pecinta anime Jepang punya selera ke-Jepang-Jepang-an. Begitu juga pecinta Drama Korea, jadi gandrung belajar bahasa Korea. Pecinta girl band suka memainkan ligh stick, bersaing dengan pecinta Star Wars. Pecinta klub sepakbola suka memakai jersey hingga jaket klub kesayangannya. Banyak lagi. Toh orang menganggapnya wajar saja. Jadi biarkan sajalah para pecinta Rasulullah saw itu mengikuti idolanya.
Menikmati “Repotnya” Mengikuti Perilaku Rasulullah saw
Saat kecil, saya tinggal di desa yang agama penduduknya cukup heterogen. Teman saya tak hanya Muslim, ada juga yang Kristen, Hindu dan Budha. Lengkap.
Di suatu kesempatan, teman yang Budha membanding-bandingkan tiap agama. (Namanya juga anak kecil). Menurutnya, agama yang terbaik itu yang paling simpel sembahyangnya. Jadilah Budha paling baik menurutnya. Dan yang paling jelek itu Islam, karena sangat repot harus sembahyang 5 kali sehari.
Ah… Teman saya itu tentu belum tahu, bahwa “kerepotan” umat muslim tak hanya dalam pelaksanaan sholat wajib. Umat Islam juga harus mengikuti sunnah atau kebiasaan Rasulullah saw. Ada ibadah-ibadah sunnah seperti sholat sunnah, puasa, umroh, dll. Ada juga kebiasaan praktis sehari-hari. Masuk toilet harus dengan kaki kiri dan sebelumnya ada doa tertentu yang dibaca. Makan harus dengan tangan kanan. Sampai bersetubuh pun ada doanya.
Repot? Tapi kalau dikerjakan dengan cinta, terasa ringan. Memang begitulah konsekuensi cinta kepada Rasulullah saw, harus menyesuaikan diri dengan segala bentuk kebiasaannya dan juga tingkah lakunya.
“Barang siapa yang membenci sunnahku, maka ia bukanlah termasuk umatku.” (HR. Bukhari [5063] dan Muslim [1401])
Royal Kepada yang Dicintai
Tanda cinta itu royal. Seperti royalnya seorang Wota yang harus keluar uang hanya demi bersalaman dengan personel JKT 48. Seperti royalnya fans klub bola membeli jersey dan jaket berlogo klub favoritnya. Seperti royalnya pecinta otomotif mengutak-atik mesin motor/mobilnya.
Mencintai Rasulullah saw harus royal. Royal dalam hal bersholawat kepada Rasulullah saw. Saat masuk/keluar masjid seorang muslim bersholawat. Ketika tasyahud dalam sholat, bersholawat. Selesai mendengar adzan, bersholawat. Memulai doa, bersholawat. Berdzikir pagi dan petang, menyertakan sholawat. Termasuk ketika mendengar nama Rasulullah saw disebut.
Cinta itu tidak pelit. Rasulullah saw menggambarkan orang pelit seperti berikut: “Orang kikir adalah orang yang tidak bershalawat saat namaku disebutkan” (HR. At Tirmidzi no.3546)
Dan masih luas lagi ekspresi sebuah cinta, terutama kepada Rasulullah saw. Allahumma sholli ‘alaa Muhammad….