RSS

Pelajaran dari Tenda Sakinah

 

Kabar adanya “Tenda Sakinah” di Cianjur membuat heboh jagad dunia maya. Katanya itu adalah tempat khusus bagi pasutri di pengungsian yang ingin memenuhi kebutuhan biologis.

“Lagi dapet bencana kok kepikiran hal begituan ya?” tanya warganet. Ada juga yang bertanya, “tendanya kedap suara apa enggak?”

Rupanya kabar itu cuma wacana guyonan. Foto yang beredar di internet pun sebenarnya adalah posko dapur umum. “Memang ada juga yang usul ketika saya keliling ke posko-posko. Tapi usulan itu juga hanya sebatas candaan pada pengungsi. Sampai saat ini di Cianjur tidak ada tenda asmara, tenda sakinah, atau tenda lainnya yang sejenis,” ungkap Bupati Cianjur, Herman Suherman, dimuat oleh detikcom.

Tapi menarik juga penamaan “Tenda Sakinah” untuk keperluan biologis. Apakah penamaan itu tepat?

Kata “sakinah” yang dihubungkan dengan pernikah kita temui dalam Al-Qur’an surat Ar-Rum ayat 21. Itu adalah ayat yang populer dan tercetak dalam undangan-undangan pernikahan. Bersama kata sakinah, juga Allah sebut “mawaddah” dan “rohmah”.

Dari berbagai sumber, saya temukan arti sakinah adalah ketenangan, tenteram, damai, dan yang semakna. Sementara mawaddah adalah cinta yang membara atau menggebu pada pasangan, yang terikat dengan fisik atau materi. Sementara rahmah bermakna kasih sayang.

Sejujurnya kalau pun tenda itu benar-benar ada, dari penamaan mungkin lebih tepat bila disebut “Tenda Mawaddah”. Karena dalam naungan kemah itulah hasrat menggebu tersalurkan. Maaf kalau kurang sopan, orang kita memberi istilah “bercinta”, dan orang bule menyebutnya “making love”.

Memang ada hubungannya antara mawaddah dan sakinah, makanya Allah rangkai dalam satu ayat. Bila naluri itu terpuaskan, maka rasa tenang akan datang. Namun bila ada ketidakpuasan, berisiko gelisahnya hati dan kasih sayang (rahmah) terancam gagal terwujud.

Namun tuntutan adanya “Tenda Sakinah”, saya rasa bukan sekedar untuk memenuhi hasrat manusiawi. Semua tenda pengungsi harus sakinah, artinya layak ditempati dan memberi rasa aman sekalipun tidak dijadikan tempat untuk aktifitas yang dimaksud pembuat candaan.

Ada cerita tentang seorang istri yang sedang mengalami prahara dalam rumah tangganya. Kepada konsultan pernikahan ia bertanya apakah salah bila berinisiatif untuk mengajak suaminya berhubungan badan untuk meredakan ketegangan di antara mereka?

Konsultan itu mendukung. Karena aktifitas itu sendiri dinamakan “bercinta” atau “making love” (membuat cinta) oleh orang-orang. Mudah-mudahan perasaan yang dulu ada ketika menjalin pernikahan bisa lebih dikuatkan dan menjadi pereda konflik akibat kegiatan yang diinisiatifkan tersebut.

Mawaddah bisa mendatangkan sakinah, bila cinta itu terawat dengan baik dan bila ada kepuasan di antara kedua pasangan. Namun cinta juga punya rasa bosan. Hanya saja, bila masih ada kasih sayang (rahmah), maka sakinah itu tetap bisa dipertahankan.

Pasangan kakek-nenek yang sudah sangat jarang melakukan aktifitas yang sering dilakukan penganten baru, tetap bisa bersakinah ria karena di antara mereka telah terbentuk rahmah akibat kebersamaan yang panjang bertahun-tahun. Mungkin susah untuk mempertahankan mawaddah yang artinya cinta karena ketertarikan fisik, ketika keriput menjalar ke seluruh permukaan tubuh, atau bentuk badan semakin tambun. Namun kasih sayanglah yang melekatkan mereka berdua.

Belajar dari wacana “Tenda Sakinah” tadi, buat kita yang tak harus tinggal di pengungsian, mari muhasabah sejauh mana sakinah mawaddah wa rahmah dalam rumah tangga terbentuk. Jangan menunggu butuh adanya tenda sakinah untuk membangun cinta bersama pasangan. Ingat, nikmat Allah akan terasa berharga ketika ia hilang. Mumpung masih ada kesempatan dan kemampuan, binalah segala aktifitas yang memupuk samara.

 

Kepergian Sang Inspirasi

Pada hari wafatnya, setelah mengucapkan istirja’ dan doa untuk beliau, saya berterima kasih kepada penerbit buku seperti Gema Insani Press, Pustaka Alkautsar, dan penerbit lain yang telah menerjemahkan karya beliau ke dalam buku berbahasa Indonesia. Karena dengan begitu banyak umat Islam di negara ini, termasuk saya yang terjembatani dengan gunung keilmuan beliau yang menjulang.

Allah lah yang mengarahkan saya ketika berada di usia-usia bergejolak, baru puber dan duduk di bangku SMA, untuk masuk ke toko-toko buku sehingga bertemu dengan karya-karya beliau: Manajemen Waktu, Fiqh Prioritas, Eksistensi Allah, Taubat, dan judul lainnya. Sebagian masih ada di rak buku di rumah sampai sekarang, sebagian lagi hilang dipinjam kawan dan tak kembali.

Saya tidak punya datanya berapa banyak, tapi yang jelas rak-rak buku Islam di toko buku pada tahun 90an dan 2000an terdominasi oleh pemikiran-pemikiran beliau, rahimahullahu ta’ala. Maka wajar kalau hari-hari ini yang bersedih atas kepergian beliau tak sedikit.

Segala puji bagi Allah yang mengizinkan saya terinspirasi oleh beliau. Mendengar namanya menjadi obat futur karena tak pernah tak terpantik semangat untuk beramal.

Saya teringat tentang hadits Rasulullah saw berikut: “Apabila seorang hamba sakit atau bepergian (safar), dicatat (amalannya) seperti apa yang dikerjakannya ketika dia bermukim dan sehat.” (HR Bukhari). Umat mengenal beliau sebagai seorang penulis yang produktif. Biasanya, seseorang akan rehat sementara dari amal yang biasa ia lakukan ketika sakit atau dalam perjalanan. Tapi itu tidak berlaku bagi Syaikh. Cerita yang saya dengar, beliau pernah menyelesaikan sebuah buku dalam sekali perjalanan di atas pesawat. Begitu produktifnya beliau dalam menulis. Pun ketika usia lemah di penghujung ajalnya, beliau masih aktif menulis. Andai usia beliau lebih panjang lagi, akan makin banyak lagi buku yang ditulisnya.

Maka bisa dipahami kalau ia pernah membuat kalimat yang menginspirasi para pemuda: “Kalau dulu Konstantinopel kita taklukkan dengan pedang, insya Allah Roma akan takluk dengan lisan dan pena kaum muslimin.”

Yang orang kenang ketika beliau wafat adalah akhlak yang luhur dan ke-tawadhu-annya. Kata-kata pujian kepada ulama lain yang pernah ia sampaikan, diangkat kembali, bersanding dengan pujian orang kepadanya. Itulah yang semakin membuat Syaikh istimewa. Aduhai, wemoga saya – setidaknya – terhindar dari kenangan atas kata-kata yang buruk kepada orang lain, kalau tidak bisa dikenang atas kerendah hatian.

Selamat jalan, Syaikh Yusuf Qaradhawi. Amal saya jauh sekali di bawah Anda. Tapi syariat ini memperkenalkan amal “cinta” agar bisa bersama dengan orang-orang terkemuka di tengah umat ketika di akhirat kelak. Maka saya coba rintis amal itu salah satunya kepada Anda. Agar Allah bersamakan saya dan Anda di surga nanti. Amin.

 
Leave a comment

Posted by on September 28, 2022 in Orat Oret

 

Hadits Tentang Kenaikan Harga Itu Untuk Siapa?

Hadits Tentang Kenaikan Harga Itu Untuk Siapa?

Redaksi hadits ini kembali viral ketika ada kehebohan di masyarakat tentang kenaikan harga.

Dari Anas bin Malik, Orang-orang berkata, “Wahai Rasulullah, harga-harga menjadi mahal. Tetapkanlah harga untuk kami?” Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- bersabda, “Sesungguhnya Allah yang pantas menaikkan dan menurunkan harga, Dia-lah yang membatasi dan melapangkan rezeki. Aku harap dapat berjumpa dengan Allah dalam keadaan tidak seorang pun dari kalian yang menuntutku soal kezaliman dalam darah (nyawa) dan harta.” (HR Ibnu Majah)

Dengan retorika berkelit yang luar biasa, beberapa pihak menjadikan kisah di atas sebagai dasar untuk kembali menyalahkan rakyat atas harga-harga yang mahal. Karena dianggap keadaan itu merupakan hukuman Allah untuk masyarakat.

Hadits ini juga dijadikan bahan untuk mengajak khalayak untuk pasif dengan memakai istilah “sabar”. Tak boleh pemerintah disalahkan karena semua itu terjadi atas izin Allah dan Rasul pun tak bisa ikut campur. Begitu ceunah.

Memang Rasulullah menolak untuk intervensi harga. Namun yang perlu digaris bawahi, ada kekhawatiran kalau apa yang akan beliau perbuat adalah sebuah kezaliman.

Malah sesungguhnya ibrah utama pada hadits di atas lebih tepat ditujukan kepada pemerintah agar tidak melakukan intervensi yang merugikan salah satu pihak.

Saat awal-awal harga BBM resmi dinaikkan, (Sabtu 3 September 2022 pukul 14.30 WIB), masyarakat heboh dengan kabar bahwa SPBU Vivo menjual BBM dengan harga yang lebih murah, yaitu Rp 8.900 untuk cairan beroktan 89 yang diberi merk Revvo 89. Sementara Pertamina menjual Pertalite yang beroktan 90 dengan harga Rp 10.000 dan itu pun diklaim sudah disubsidi pemerintah.

Tak lama beberapa media mengangkat headline bahwa kementerian ESDM memerintahkan Vivo menaikkan harga. Misalnya Suaramerdeka[dot]com menurunkan berita berjudul “Dirjen ESDM Minta SPBU Vivo Turut Sesuaikan Harga BBM Sesuai Keputusan Pemerintah”.

“Namun Dirjen Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Tutuka Ariadji mengaku sudah memerintahkan agar SPBU Vivo juga ikut menaikkan harga BBM sesuai dengan keputusan pemerintah.

Tutuka mengatakan, pihaknya sudah berkomunikasi dengan manajemen Vivo untuk segera menaikkan BBM murahnya.” Begitu tulis media tersebut.

https://www.suaramerdeka.com/ekonomi/pr-044398387/dirjen-esdm-minta-spbu-vivo-turut-sesuaikan-harga-bbm-sesuai-keputusan-pemerintah

Lalu Revvo 89 mendadak hilang dari daftar harga di SPBU Vivo. Dan tak lama kemudian muncul dengan harga baru sebesar Rp 10.900, atau naik dua ribu rupiah.

Ya, masyarakat berisik lagi membincangkan ini.

Atas kabar tersebut, Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) menilai perintah menaikkan harga BBM kepada Vivo sangat berbahaya. Ini bisa melanggar UU Antimonopoli.

“Larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, antara lain praktek kolaborasi menentukan harga tertentu, atau price fixing? Hukumannya adalah pidana?” kata Anthony di Jakarta, Minggu (4/9/2022), kepada inilah.com.

https://www.inilah.com/dirjen-esdm-diduga-perintahkan-vivo-naikkan-harga-bbm

Tak lama kemudian media-media menurunkan lagi tajuk yang isinya kementerian ESDM membantah Vivo untuk menyesuaikan harga. Hanya saja, komentar-komentar warganet di media sosial mengindikasikan ketidak percayaan masyarakat atas klaim pemerintah. Entah siapa yang salah, tapi yang jelas jejak digital terlanjur terukir di awan.

Nah, kalau dihubungkan dengan hadits di atas, maka intervensi seperti itu lah yang zalim, kalau benar kementerian ESDM mendesak Vivo menaikkan harga. Bahkan zalimnya bukan kepalang. Alih-alih membuat rugi pedagang, malah rakyat yang dikorbankan. Sementara Rasulullah menolak intervensi karena khawatir berbuat tidak adil kepada saudagar dan rantai bisnisnya.

Namun pihak-pihak yang suka mengangkat hadits itu tidak pernah mengarahkannya pada pelaku kezaliman. Selalu dijadikan bahan untuk menyuruh umat diam dan bersikap pasif. Seolah menjadi kain penutup mata untuk melihat kebobrokan yang terjadi dan penutup mulut untuk bersuara lantang.

Catatan lagi, saya juga tidak setuju kalau kisah di atas dijadikan hujjah bahwa pemerintahan Islam itu kapitalis dan tak mengenal intervensi pasar.

Ada kisah lain di mana pemerintahan Rasulullah menangani persoalan harga, dalam hal ini air. Yaitu ketika seorang Yahudi menjual air di sumurnya dengan harga yang sangat tinggi kepada penduduk Madinah saat keadaan sedang krisis.

Rasulullah pun intervensi namun tidak dengan jalan kezaliman. Ia memerintahkan Utsman bin Affan r.a. untuk memberi solusi yang kemudian oleh Utsman sumur tersebut dibeli setengah kepemilikannya meski dengan harga yang sangat tinggi yaitu 12.000 dirham.

Setelah itu, orang Yahudi dan Utsman berhak atas kepemilikan air di sumur berselang seling hari. Bila hari ini giliran orang Yahudi, maka besok giliran Utsman.

Akhirnya masyarakat pun hanya mengambil air dengan gratis pada saat jatah Utsman dan sekaligus untuk stok esok hari sehingga tak ada lagi yang membeli kepada si Yahudi.

Akhir cerita, si Yahudi menyerah dan sumur itu ditawarkan kepada Utsman untuk kepemilikan penuh dengan menambah 8.000 dirham lagi. Dan Utsman setuju hingga akhirnya sumur tersebut berstatus wakaf abadi sampai sampai saat ini.

Lalu dari cerita di atas, apakah pemerintah sudah secerdik Rasulullah dan Utsman dalam menyelesaikan masalah harga tinggi di masyarakat, atau malah melakukan intervensi yang zalim yang malah merugikan rakyatnya? Apakah pemerintah menjadi solusi untuk krisis harga ataukah malah menjadi penyebab? Silakan dianalisa.

 

Wabah Baru dan Zina yang Viral

Pandemi Virus Corona belum selesai meski angka penularannya semakin menurun. Lalu masyarakat sudah diresahkan dengan kabar terbaru tentang penyakit hepatitis yang misterius.

Beberapa pihak berspekulasi bahwa penyakit teranyar itu disebabkan oleh Vaksin Corona. Dengan minim bukti mereka menyebarkan opini dan tudingan kesana kemari melalui media sosial.

Benarkah asal penyakit tersebut karena vaksin? Atau karena hal yang lain?

Satu yang terluput dari kesadaran umat Islam, bukankah Rasulullah pernah mewanti-wanti bahwa bila zina telah merebak maka Allah akan menimpakan penyakit atau wabah yang tidak pernah menjangkiti generasi sebelumnya? (Redaksi hadits ada di akhir tulisan)

Coba perhatikan lagi apa yang tengah viral belakang ini.

Pertama, tentang promosi “Let God Burn Them” di podcast seorang selebriti di Indonesia. Ia berdalih agar masyarakat sadar dan menjauh, padahal cara yang ia lakukan justru memberi panggung dan mengundang simpati kepada pelaku perbuatan keji tersebut.

Orang-orang pun tersadar, kian hari perbuatan nista itu semakin banyak yang melakukan dan yang tertular. Belum lagi didukung prasarana yang mempromosikan – seperti film – dan pihak yang membela atas nama HAM.

Kedua, yang tak kalah membuat kepala menggeleng adalah tentang “jatah mantan” yang diangkat oleh sebuah akun di twitter. Orang itu menemukan fakta bahwa banyak wanita atau pria muda yang berzina dengan mantan pacarnya sebelum hari pernikahan.

Tema itu disambut dengan pengakuan akun-akun lain yang menemukan kejadian serupa.

Na’udzubillahi min dzalik. Maka jangan heran kalau ada saja penyakit baru di tengah kita.

Kalau sudah muak dengan berbagai wabah baru, ya mari pergencar amar ma’ruf nahi munkar. Sadarkan umat akan bahaya zina dan liwath.

Nahi munkar yang efektif adalah pada kekuasaan. Sayangnya, umat berkali kalah di medan itu.

Aliansi Cinta Keluarga (AILA) pernah berjuang di Mahkamah Konstitusi agar pasal perzinahan bisa diperluas sehingga ada pencegahan hukum atas perbuatan keji tersebut. Sayangnya kandas pada tahun 2017 lalu.

Menteri pendidikan pernah mengeluarkan aturan yang memberi celah agar perbuatan zina suka sama suka tak tersentuh hukum. Namun protes umat Islam tidak digubris.

Terakhir RUU TPKS yang tidak memuat kriminalisasi atas perbuatan zina dan liwath berhasil disahkan. Padahal Fraksi Partai Keadilan Sejahtera di DPR serta Ormas Islam sudah gencar berjuang agar undang-undang itu tidak menutup mata atas perbuatan yang Rasulullah sebut mengundang wabah.

Lihatlah, seorang pejabat terang-terangan kebingungan mencari dasar hukum untuk melarang promosi perbuatan menyimpang di media sosial. Negara kita tak punya perangkat yang legal untuk nahi munkar terhadap perbuatan itu.

Makanya, daripada memperhatikan agitasi yang lemah dasar atas vaksin yang dituding penyebab wabah baru, lebih baik energi kita digunakan untuk mempergencar nahi munkar.

Karena Rasulullah SAW sendiri yang mengingatkan dalam hadits yang panjang berikut:

”Wahai sekalian kaum Muhajirin, ada lima hal yang jika kalian terjatuh ke dalamnya –dan aku berlindung kepada Allah supaya kalian tidak menjumpainya- (1)Tidaklah nampak zina di suatu kaum, sehingga dilakukan secara terang-terangan kecuali akan tersebar di tengah-tengah mereka tha’un (wabah) dan penyakit-penyakit yang tidak pernah menjangkiti generasi sebelumnya, (2)Tidaklah mereka mengurangi takaran dan timbangan kecuali akan ditimpa paceklik, susahnya penghidupan dan kezaliman penguasa atas mereka. (3) Tidaklah mereka menahan zakat (tidak membayarnya) kecuali hujan dari langit akan ditahan dari mereka (hujan tidak turun), dan sekiranya bukan karena hewan-hewan, niscaya manusia tidak akan diberi hujan. (4)Tidaklah mereka melanggar perjanjian mereka dengan Allah dan Rasul-Nya, kecuali Allah akan menjadikan musuh mereka (dari kalangan selain mereka; orang kafir) berkuasa atas mereka, lalu musuh tersebut mengambil sebagian apa yang mereka miliki(5) Dan selama pemimpin-pemimpin mereka (kaum muslimin) tidak berhukum dengan Kitabullah (al-Qur’an) dan mengambil yang terbaik dari apa-apa yang diturunkan oleh Allah (syariat Islam), melainkan Allah akan menjadikan permusuhan di antara mereka.” (HR. Ibnu Majah dan Al-Hakim dengan sanad shahih).”

 

Paradoksal Indonesia: Negeri yang Dermawan Sekaligus Korup

Penjual tebu itu beruntung. Awalnya, ia dihampiri content creator yang membuat video sedekah dengan cara menawar dagangannya jauh lebih mahal. Segelas es tebu seharga lima ribu rupiah ditawar puluhan kali lipat hingga berakhir dengan pembayaran sebesar Rp 500.000.

Dengan suara serak menahan haru wanita yang kelihatannya masih muda tersebut berterima kasih sembari menerima uang yang cukup besar baginya. Kru pembuat konten meninggalkannya ketika ia bersimpuh menangis di balik gerobak dagangan dengan penuh syukur.

Kemudian video tadi membuat terenyuh setiap mata yang melihat. Tergerak pula ingin membantu, warganet menggalang donasi untuk orang tadi hingga terkumpul sejumlah Rp 155.125.500. Nominal itu kemudian dibelikan rumah.

Si penjual tebu sujud syukur begitu lama di depan rumah baru yang dihadiahkan masyarakat Indonesia untuknya. Itulah karunia Allah yang dianugerahkan kepada siapa yang dikehendaki. Ia tidak pernah meminta sumbangan dari masyarakat. Bahkan sempat menolak.

Peristiwa itu mencerminkan potret kedermawanan yang luar biasa dimiliki oleh rakyat negeri ini. Cara-cara bersedekah semakin kreatif. Lembaga philanthropy berjamuran.

Sampai-sampai Charities Aid Foundation (CAF) World Giving Index 2021 menobatkan Indonesia sebagai negara paling dermawan sedunia.

Namun hal yang miris ketika ada sindiran kepada pemerintah dengan kalimat, “Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh kitabisa (platform galang dana, biasanya untuk keperluan donasi).”

Kalimat “memajukan kesejahteraan umum” ada di pembukaan UUD 45 menjadi tujuan negara ini didirikan. Juga Pasal 34 ayat 1 UUD 45 menyuratkan amanat negara untuk memelihara fakir miskin dan anak terlantar. Bukan pada lembaga kemanusiaan dan platform galang dana.

Kenyataannya mencuat kasus korupsi dana bantuan sosial yang oleh Novel Baswedan ditaksir mencapai 100 triliun rupiah. Juga kasus korupsi lain yang begitu banyak untuk disebutkan. Alih-alih menyejahterakan rakyat, malah para pejabat memperkaya diri sendiri.

Sementara itu nenek pencuri kayu dihukum 1 tahun 3 bulan penjara. Begitu juga nenek pencuri tiga buah kakao. Dan banyak kasus serupa. Padahal mereka harusnya tak perlu mencuri kalau berhasil disejahterakan negara.

Perkataan hikmah Hasan Al Bahsri: “kama takunu yuwalla ‘alaikum” (sebagaimana keadaan kalian, demikian pula pemimpin kalian) tidak berlaku di negeri ini. Rakyatnya dermawan, tapi mendapat para pemimpin yang rakus.

Pemerintah sih punya sisi dermawannya, tapi kepada para relawan politik dengan berbagi jabatan komisaris. Oh ya, jangan singgung tentang bingkisan yang dilempar-lempar ke jalan. Yang diperlukan negara ini adalah kinerja sistematis yang mengangkat derajat hidup, yang memberi pengaruh ke seluruh lapisan masyarakat. Bukan kedermawanan tumben-tumbenan dalam liputan media.

Apa yang salah?

Saya khawatir, masyarakat yang dermawan ini ketika diajak berpartisipasi dalam kontestasi demokrasi yang mengutamakan suara terbanyak, kalah jumlah oleh orang-orang rakus dan pendukungnya. Kalah oleh kekuatan money politics.

Ataukah berlaku ucapan Mahfud MD: Malaikat yang masuk sistem bisa berubah menjadi setan? Jadi, orang-orang yang penyantun itu tiba-tiba menjadi maruk ketika mendapat kuasa.

Ataukah sebagian masyarakat kita memang punya dua sifat yang bertentangan? Pemurah dan sekaligus rakus berhimpun di dalam diri. Kadang ringan untuk berbagi, namun dalam kerjanya tersisip juga perbuatan licik mengambil yang bukan haknya.

Memang membingungkan. Negeri ini mendapat gelar negara paling dermawan. Juga sekaligus terkenal dengan korupsinya. Aneh.

Kalau masih bisa berharap, di pertarungan politik ke depan saya ingin kekuatan orang-orang baik ini bangkit dan mendominasi sehingga menghadirkan pemimpin yang sesuai dengan sikap positif masyarakat Indonesia.

Namun ada hal yang membuat khawatir. Bila ada kekuatan yang membangun opini menyesatkan, tentang orang jahat dan lemah dicitrakan sebagai orang baik sehingga para dermawan terkecoh memilih tokoh itu. Saya sih sudah melihat kejadian ini.

Hmm… Kapan ya negara ini dipimpin oleh orang yang benar? Stoknya ada kok, tapi sekarang kalah oleh oligarki.

Zico Alviandri

 
Leave a comment

Posted by on August 16, 2021 in Artikel Umum

 

Nabi Musa yang Maksimal dalam Berbuat

Untuk bahan muhasabah, apakah selama ini dalam berbuat kita selalu memberikan yang maksimal?

Misalnya, guru menyuruh murid untuk membuat karangan paling sedikit 5 halaman, paling banyak 10 halaman. Lalu para murid mengerjakan tugas dengan jumlah halaman paling minimal. Sekadar membebaskan kewajiban.

Ada anak disuruh mandi, harapan orang tuanya dua kali sehari, tapi yang dilakukannya sekali sehari yang penting mandi. Yaaa itu sayaaaa…

Ada mutarobbi bersepakat dalam halaqoh untuk tilawah minimal tiga lembar sehari sebagi target amalan yaumi. Ya tiga lembarlah yang dibacanya meski sanggup lebih banyak lagi.

Berbeda dengan sosok berikut. Ia adalah Rasul yang dalam suatu hadits diceritakan oleh Nabi Muhammad saw. bahwa fisiknya berkulit sawo matang, berbadan besar, rambutnya lurus, seakan-akan ia berasal dari suku al-Zuth (di Sudan). (HR Bukhari 3183).

Dari kisah-kisah di dalam Al-Qur’an, tersurat bahwa ia senantiasa totalitas dalam berbuat sesuatu. Misalnya, ketika terlibat perjanjian dengan Nabi Syu’aib a.s. untuk bekerja sebagai syarat menikahi anak Syaikh Madyan itu, ia diberi pilihan durasi kontrak kerja: delapan atau sepuluh tahun. Lalu, Nabi Musa a.s. – tokoh yang sedang kita bicarakan – menunaikan perjanjian dalam masa yang paling maksimal.

Cerita itu ada dalam Al-Qur’an surat Al-Qashash ayat 27-28. “Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, maka aku tidak hendak memberati kamu. Dan kamu insya Allah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik.” Dia (Musa) berkata: “Itulah (perjanjian) antara aku dan kamu. Mana saja dari kedua waktu yang ditentukan itu aku sempurnakan, maka tidak ada tuntutan tambahan atas diriku (lagi). Dan Allah adalah saksi atas apa yang kita ucapkan.”

Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya menulis perkataan Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhu. “Sesungguhnya Musa menunaikan masa yang paling sempurna di antara kedua masa itu, karena sesungguhnya utusan Allah itu apabila berkata pasti menunaikannya.”

Kalau saya yang terikat dalam perjanjian tersebut, pengennya buru-buru selesai. Ya boleh lah 10 tahun, asal dapet dua.

Flashback ke peristiwa sebelumnya, Nabi Musa a.s. bertemu lebih dulu dengan dua anak Nabi Syu’aib a.s. di sebuah sumur yang di sana para penggembala saling berebut air untuk ternaknya. Demi menjaga kemuliaan dan kalah body pula dengan para laki-laki, sepasang wanita itu pun menyingkir. Namun setelah hewan-hewan ternak selesai diberi minum, para penggembala menutup sumur dengan batu yang hanya bisa diangkat oleh 10 orang.

Musa a.s. melihat kejadian tersebut. Maka ia pun memberi bantuan. Batu besar dan berat itu digesernya sendirian. Sendirian!!! Lantas hewan ternak milik Nabi Syu’aib a.s. diberinya minum sampai kenyang. Saat itu Nabi Musa tidak menawarkan kepada hewan-hewan minumnya apa, mau kopi apa teh, karena yang tersedia hanyalah air di sumur.

Sebagai totalitas kebaikan, Nabi Musa a.s. tidak meminta imbalan atas kerja luar biasanya meski perutnya terasa sangat lapar. Ia hanya berdoa kepada Allah swt, “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan (makanan) yang Engkau turunkan kepadaku.” (Al Qashash: 24)

Begitulah teladan dari seorang Nabi yang termasuk Ulul Azmi ini.

Kisah lain adalah ketika ia dijanjikan akan diberi Taurat oleh Allah swt. Maka selama menunggu waktunya tiba, ia pun melakukan persiapan dengan berpuasa selama tiga puluh hari.

Masa berlalu, datanglah saat yang dinantikan. Musa bersiwak terlebih dahulu dengan akar kayu karena gara-gara shaum itu napasnya tidak sedap. Tetapi Allah Swt. memerintahkan kepadanya agar menambah puasa sepuluh hari lagi hingga genap menjadi empat puluh hari. Menurut riwayat, Allah tidak ridho bila aroma ketaatan hilang.

Nabi Musa a.s. patuh. Persiapan untuk bertemu Sang Kekasih yang sangat ia cintai diperpanjang sampai waktu maksimal. Ia tak mengeluh atau protes mengapa acaranya diundur. Namun dengan ketaatan, ia totalitas melanjutkan puasanya. Peristiwa ini bisa dilihat dalam Al-Qur’an Surat Al-A’raf ayat 142.

Ketika hari H tiba dan tidak diundur lagi, Nabi Musa a.s. gegas menuju bukit Thur untuk menerima kitab suci. Bukan cuma ia yang diundang Tuhan, kaumnya juga. Tetapi Musa a.s. ingin menjadi terdepan. Kualitasnya dalam ketaatan unggul jauh dari yang lain.

Maka Musa a.s. meminta Nabi Harun a.s. untuk sementara gantikan ia memimpin karena ia akan berjalan sendirian di depan mendahului kaumnya.

Namun sikap itu ditegur Allah swt dalam surat Thaha ayat 83-84. “Mengapa kamu datang lebih cepat daripada kaummu, hai Musa? Berkata Musa, “Itulah mereka sedang menyusuli aku dan aku bersegera kepada-Mu, ya Tuhanku, agar Engkau rida.””

Memang kadang pada kasus tertentu kita tidak perlu melakukan yang maksimal. Kita bisa memberi ikan kepada orang yang butuh. Tapi karena ia seorang pemalas, maka kita hanya beri ia pancing agar mau berusaha.

Saat menjadi imam, kita bisa baca sepuluh halaman dalam satu rakaat. Namun karena menenggang makmum yang bermacam-macam kondisi fisiknya, kita cukupkan dengan durasi yang sudah menjadi kebiasaan di tempat itu.

Kembali ke kisah Nabi Musa a.s., kaumnya merasa ada kesempatan melakukan kemungkaran begitu mereka lihat pemimpin yang kuat sedang tidak ada di sekitar. Lantas kesyirikan merebak. Patung anak sapi pun jadi sembahan. Kalau Nabi Musa a.s. membersamai mereka, kaum Bani Israil itu tidak akan berani macam-macam.

Totalitas yang lain adalah ketika Nabi Musa a.s. diperintahkan Allah untuk bertemu Khidir. Perkataannya kepada teman di perjalanan diabadikan oleh Allah swt. dalam Al-Qur’an surat Al Kahfi ayat 63: “Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada pembantunya, “Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua laut; atau aku akan berjalan (terus sampai) bertahun-tahun.””

Itulah cermin dari Nabi yang namanya begitu sering disebut dalam Al-Qur’an. Semoga menjadi contoh buat kita untuk totalitas, maksimal dalam berbuat kebaikan.

 

Corona dan Sabda Rasulullah: Kalian Lebih Mengetahui Urusan Dunia Kalian

Rasulullah pernah mendapat aduan dari para sahabat. Bukan masalah biasa, ini soal sabda beliau yang tak mendapat hasil seperti yang diharapkan meski telah dijalankan dengan taat. Kok bisa kata-kata Rasulullah tidak mujarab?

Sementara itu, sudah berapa banyak orang yang protes karena anjuran pengobatan yang diklaim berasal dari ajaran Islam tapi tidak ampuh. Nanti kita bahas dalam paragraf berikutnya, ada di mana masalahnya.

“Andai tidak kalian lakukan, itu mungkin lebih baik,” ujar beliau saw. ketika mengomentari cara penyerbukan kurma yang sedang dilakukan oleh para petani Madinah. Lantas, sebagaimana diceritakan dalam hadits riwayat Muslim nomor 2362, para sahabat meninggalkan metode yang telah dipraktekkan bertahun-tahun. Tentu dengan keyakinan bahwa ucapan Rasulullah akan mendatangkan manfaat yang lebih baik. Keyakinan yang tepat, dan jangan kita hilangkan hanya gara-gara kisah ini.

Beberapa lama kemudian saat musim panen tiba, pohon-pohon kurma milik petani Madinah yang mengikuti perkataan Rasulullah kala itu berbuah buruk atau berkurang buahnya. Maka tanpa meninggalkan sikap tunduk – tak seperti perilaku umat Nabi Musa a.s. ketika komplain – mereka datangi Rasulullah untuk berkonsultasi. Mengapa hasilnya tak sebagaimana yang diharapkan.

Lalu baginda pun bersabda, “Aku ini seorang manusia. Jika aku memerintahkan kalian dengan sesuatu dari agama kalian maka ambillah. Jika aku memerintahkan kalian dengan sesuatu berupa pendapat (ra’yu), maka aku hanyalah seorang manusia.”

Dalam hadits Muslim lainnya nomor 2363 yang mengisahkan kejadian serupa, ada redaksi sabda Rasulullah yang cukup populer: Antum a’lamu bi umurid dunyakum. “Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian.”

Tapi hadits ini jangan sampai dijadikan argumentasi bahwa Islam tidak mengatur urusan dunia. Ada banyak juga ayat Al Qur’an dan sunnah yang mengajari cara bermuamalah. Sehingga lahirlah sebuah ushul fiqh yang dirumuskan para ulama: Hukum asal dalam berbagai perjanjian dan muamalat (urusan antar manusia) adalah sah sampai adanya dalil yang menunjukkan kebatilan dan keharamannya.

Hadits di atas penting untuk diangkat lagi ketika wabah Corona yang sedang merebak di muka bumi, dan Indonesia sedang menghadapi penyebaran gelombang kedua. Intinya tentang urusan dunia – yang belum diatur oleh syariat – yang oleh Islam diserahkan kepada manusia yang mengetahui yang terbaik dengan ilmu pengetahuan dan riset.

Apa yang dilakukan oleh para ilmuwan dengan melakukan penelitian sampai menciptakan vaksin Corona tak bertentangan dengan sabda Rasulullah: “Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian.”

Sementara itu yang tidak diatur oleh Islam, jangan dibuat-buat seolah ada aturannya.

Misalnya, Air Zam-Zam, Madu, Habatussauda, Qisthul Hindi dan sebagainya memang disebutkan dalam nash memiliki keampuhan dalam pengobatan dan juga keberkahan. Tapi tak ada larangannya juga untuk berobat dengan cara lain. Ingat, tak ada larangannya.

Lagian nash tidak menyebutkan bahwa bahan-bahan di atas adalah obat tunggal yang tak memerlukan obat lain untuk dikonsumsi. Artinya, tak salah meminum madu bersama obat dokter. Bahkan hanya memakai bahan farmasi buatan pabrik tanpa madu pun tak ada ulama yang menghukumi haram.

Maka bila ada yang mencela ikhtiar hanya karena ada yang memilih ventilator tanpa Qisthul Hindi, pertanda orang itu terlalu berlebihan. Ketika napas seorang penderita Corona sudah begitu susah, Oximeter menunjukkan angka yang kritis, maka pertolongan darurat yang harus dilakukan adalah memberinya alat bantu pernapasan. Begitu sesuai ilmu kedokteran.

Islam akan disalahkan bila ada yang memprotes cara ini lantas hanya menyarankan Qisthul Hindi hingga kemudian yang sedang darurat itu pun akhirnya wafat.

Jadi, masalahnya bukan pada ajaran Islam, tapi orang yang salah karena menginterprestasi berlebihan atas nash yang memberi petunjuk soal pengobatan.

Sejak awal wabah ini merebak sampai sekarang masih saja ada yang memberi saran seperti: Corona bisa dicegah dengan wudhu. Padahal banyak ulama dan orang-orang sholeh yang terkena wabah ini. Seolah-olah jutaan muslim yang pernah mengidap Corona itu orang yang meninggalkan wudhu.

Saran di atas juga berisiko ketika ada yang sudah mempraktikkan lantas masih terkena penyakit. Nanti yang digugat adalah Islam, bukan pemberi saran. Sepakat bahwa wudhu bisa membuat sehat. Tapi tak pernah menjadi penangkal virus. Rasulullah tak pernah berkata begitu, dan riset juga tidak pernah membuktikannya.

Islam bukan berarti tidak memberi cara mencegah wabah. Haditsnya sudah terkenal. “Kalau kalian mendengar ada wabah thaun di suatu negeri, janganlah kalian memasuki negeri tersebut. Namun, bila wabah thaun itu menyebar di negeri kalian, janganlah kalian keluar dari negeri kalian menghindar dari penyakit itu.” Begitu sabda Rasulullah dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim.

Tapi kenyataannya banyak umat Islam saat ini tidak mempraktekkan cara tersebut. Mereka santai saja memasuki daerah zona merah, atau yang dari zona merah keluar ke kota lain tanpa keadaan yang sangat mendesak.

Lalu tiba-tiba disodorkanlah saran yang sebenarnya Islam tidak mengajarkan itu: cegah Corona dengan wudhu, hanya berobat dengan Qisthul Hindi tanpa perlu obat lain, dan sebagainya.

Beberapa negara yang mayoritas dihuni non muslim sukses menghindari Corona dengan menerapkan lockdown yang merupakan ajaran Islam. Tapi tidak terdengar pujian bahwa Islam menjadi solusi yang sukses. Mirisnya, sebagian umat menyodorkan cara-cara yang tidak disebut Islam namun sekedar interprestasi mereka karena rasa bangga, lalu tak terbukti mencegah Corona. Bisa-bisa Islam yang dikambing hitamkan.

Zico Alviandri

 

Pogba dan Ronaldo: Halalan Thoyyiban

Cristiano Ronaldo top!! Sebagai atlet, dia menyarankan minuman yang lebih baik untuk masyarakat dunia. Gitu dong. Punya banyak penggemar karena skill permainan yang hebat, harus dilengkapi dengan keteladanan dalam hidup sehat.

Ya, seperti dalam video viral yang sudah banyak ditonton orang, Ronaldo menyingkirkan minuman bersoda yang menjadi sponsor Euro 2020 di atas mejanya saat konferensi pers. Lalu ia mengeluarkan minuman mineral dan mengangkatnya ke hadapan para hadirin.

Eh ada juga yang masih inget Ronaldo pernah jadi bintang iklan minuman berenergi produk Indonesia beberapa tahun lalu? Hehehe… Ya udah lah. Masa lalu.

Ronaldo ini memang atlet panuan, eh… panutan. Tak pernah jarum tato menjamah badannya. Sementara atlet lain bangga dengan ukiran di tubuh. Tujuan Ronaldo begitu agar ia bisa rutin berdonor darah. Kita tahu, jarum tato bisa menjadi penular penyakit-penyakit berbahaya.

Ronaldo juga memarahi anaknya yang suka minuman bersoda dan makanan yang kurang sehat.

Itu Ronaldo. Sehari kemudian, aksi Pogba tidak kalah keren. Dia menyingkirkan produk minuman bir yang juga sponsor Euro 2020. Malah Pogba meletakkannya di bawah, bukan mengesampingkan seperti yang dilakukan Ronaldo.

Kalau Ronaldo mengampanyekan hidup sehat, Pogba mengampanyekan hidup halal berdasarkan syariat Islam. Setidaknya, ia melakukan itu di depan umum karena keyakinan yang ia anut. Alhamdulillah saat itu tidak ada yang berteriak radikal radikul taliban di ruangan konferensi.

Minuman yang disingkirkan Pogba bukan lagi tidak halal, tapi juga tidak sehat. Memang sudah semestinya.

Btw, mungkin ada yang mengungkit-ungkit kesalahan yang pernah Pogba perbuat yang bertentangan dengan ajaran Islam. Ya maklumlah, manusia tidak ada yang sempurna. Tapi tiap kebaikan apalagi yang bisa datangkan pengaruh kepada orang banyak tetap harus diapresiasi.

Kalau ada atlet dari Indonesia berlaga di Euro (mana bisa begitu), bisa jadi ia juga akan menyingkirkan minuman yang ada di meja sembari mengeluarkan bajigur, bandrek, atau teh talua sambil berteriak, “NKRI HARGA MATIIIII…!”

Nah, pasangan Pogba dan Ronaldo ini bisalah kita bilang pasangan halalan thoyyiban. Kita tahu Islam tak hanya memerintahkan untuk hanya mengonsumsi makanan halal, tapi juga thoyyib. Maksudnya bukan makanan yang tidak pulang-pulang selama 3 kali lebaran, tapi makanan yang baik untuk tubuh.

Universalitas Islam tampak dalam Euro kali ini. Alhamdulillahi ‘alaa ni’matil iman.

 

Masih Ada Alasan Untuk Takut Karena Gerhana

“Bang/mpok zaman old, ane mau nanya… Klo istri lg hamil, trs ada gerhana nongol klo gk ngumpet dibawah kolong meja emang anaknya kulitnya nanti belang y? mitos atau fakta ya? #mitamit.”

Status itu dibagikan ke sebuah grup di facebook oleh seorang warganet di sekitar fenomena Super Blue Blood Moon kemarin. Mungkin maksudnya sekadar becanda. Menertawakan perilaku orang zaman dulu yang mudah terpengaruh oleh mitos. Tapi gerhana memang peristiwa yang begitu banyak dikerubungi cerita mistis.

Islam datang untuk menghapus khayalan mengada-ngada umat manusia atas peristiwa alam tersebut. Itulah sebabnya Allah swt menghendaki gerhana terjadi saat kematian Ibrahim, anak laki-laki Nabi Muhammad saw. Sesuai anggapan yang sudah ada, orang-orang mulai menghubungkannya. Lalu Nabi kemudian bersabda untuk menghapus takhayul. ”Sesungguhnya matahari dan bulan adalah tanda-tanda kebesaran Allah, keduanya terjadi gerhana bukan karena kematian seseorang dan tidak karena kelahiran seseorang. Ketika kalian melihatnya, maka berdo’alah pada Allah dan shalatlah sampai selesai.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Wajar ada rasa takut di benak orang zaman dulu ketika melihat gerhana. Mereka menganggap itu adalah musibah karena sensasi dari suasana yang seketika gulita padahal bulan sedang purnama atau matahari sedang cerah-cerahnya. Bulan atau matahari seolah ditelan sesuatu. Bagaimana bila kegelapan itu berlangsung seterusnya? Rasulullah saw pun mengakui, bahwa gerhana memang ada untuk membuat manusia takut sehingga memunculkan harap kepada Allah swt.

“Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda kebesaran Allah. Keduanya tidak mengalami gerhana karena kematian seseorang dan tidak pula karena hidupnya seseorang. Tapi, Allah Ta’ala menakut-nakuti hamba-Nya dengan keduanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Lalu bagaimana dengan kondisi di zaman modern ini, di mana pengetahuan sudah mengupas fenomena alam dengan ilmiah, dan terbukti bahwa gerhana alam hanyalah peristiwa biasa dan bukan bencana. Apakah manusia tidak perlu lagi takut? Bagaimana dengan relevansi hadits di atas, bahwa Allah menakuti hamba dengan gerhana?

Di zaman ini masih ada sebagian kalangan umat muslim yang melarang untuk mengabarkan gerhana kepada masyarakat. Alasannya karena peristiwa itu untuk menakuti manusia jadi tidak boleh menebarkan rasa takut, atau khawatir kesakralan gerhana berkurang.

Memang, sekarang manusia tidak lagi takut dengan gerhana. Malah mereka menjadikan pemandangan itu sebagai hiburan. Berselfie, memamerkannya di media social, dll. Tidak ada lagi kekhawatiran layaknya orang dulu yang belum mengerti.

Tapi bagi ulul albab, peristiwa gerhana dan fenomena alam lainnya yang dianggap biasa, tetap menghadirkan rasa takut di hatinya. Bukan takut terhadap musibah, tapi rasa takut terhadap Dzat Yang Mengkreasikan Peristiwa-Peristiwa Itu. Mereka memahami proses terjadinya secara ilmiah pada gerhana, juga pada hujan yang turun, pada pergantian malam dan siang, dll. Tapi kepahaman itu membuat mereka merasa semakin kecil di hadapan Allah swt. Sehingga menghadirkan rasa tak aman akan murka-Nya.

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal (ulul albab), (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka. Ya Tuhan kami, sesungguhnya barangsiapa yang Engkau masukkan ke dalam neraka, maka sungguh telah Engkau hinakan ia, dan tidak ada bagi orang-orang yang zalim seorang penolongpun.””

Begitulah ulul albab yang digambarkan Al-Qur’an surat Ali Imron 190-193. Saat mempelajari ilmu pengetahuan, iman di hati membawa mereka pada kehidupan akhirat. Sehingga mereka menemukan bahwa Tuhan yang menciptakan alam dengan berbagai fenomena menakjubkan di dalamnya, tentu kuasa menghadirkan siksa yang lebih luar biasa di akhirat nanti. Maka mereka pun takut, dan berdoa terhindar dari neraka.

Karena itu, hadits Rasulullah saw bahwa gerhana untuk menakuti hamba-Nya akan selalu relevan selama ulul albab masih ada di bumi ini.

 

Orang Minang Pelit? Ambulans di Gaza Membantahnya

Saat kecil saya sering dikatain “PMP”. Padang Memang Pelit. Sebuah streotip untuk orang Minang. Tapi baru-baru ini, viral foto yang mematahkan penilaian tersebut.

Beredar foto ambulans di Gaza dengan logo Pemkot Padang berdampingan dengan logo Aksi Cepat Tanggap (ACT). Itu adalah sumbangan dari masyarakat dan pemerintah di ibu kota Sumatera Barat.

Kata Branch Manager ACT Padang Aan Saputra yang dikutip media: ““Ambulan dari para dermawan dan Pemerintah Kota Padang dibeli dan dimodifikasi langsung di Palestina.” Ia menambahkan, “Bantuan tersebut dihimpun pada awal 2020 dan disalurkan pada Mei 2020 berupa satu unit ambulans yang ketika itu wali kota masih dijabat Mahyeldi.”

Dia menyampaikan tidak hanya memberikan bantuan satu unit ambulan, Pemkot juga mendukung operasional ambulan tersebut. “Untuk operasional ambulan langsung dikelola oleh perwakilan ACT di Palestina,” ujarnya.

Buya Mahyeldi, politisi PKS yang sekarang menjadi Gubernur Provinsi Sumatera Barat membenarkan. “Itu (ambulans) bantuan Pemkot Padang bersama warga pada Maret 2020 lalu,” katanya dikutip Republika.

Ejekan “padang memang pelit” itu menggeneralisasi suku Minang. Memang, masyarakat umum kalau memanggil orang dari Sumatera Barat dengan sebutan “orang Padang.” Ini perlu diluruskan. Padang adalah kota, bukan suku, juga bukan Provinsi. Kalau tidak diluruskan, nanti salah kaprah begitu bisa membuat orang jadi Presiden.

Dan stereotip itu akhirnya terbantahkan. Kalau Anda melihat ada orang bersedekah, apalagi untuk Palestina, percayalah dia sebenarnya sudah terbiasa berderma.

Maka, orang Minang itu ya sebenarnya ahli shodaqoh. Entah dari mana tuduhan pelit itu berasal. Mungkin karena banyak dari mereka yang berprofesi pedagang, dan dalam transaksi jual beli ada tawar menawar, banyak pembeli yang bukan orang Minang dikecewakan karena ditolak saat menawar barang kemurahan. Barangkali begitu.

Justru kalau Anda mendengar orang suka beralasan bahkan malah nyinyir ketika diajak bersedekah, besar kemungkinan dia orang yang kikir. Karena Allah sudah sampaikan fenomena ini dalam surat Al-Ma’arij ayat 19-21.

“Sungguh, manusia diciptakan bersifat suka mengeluh. Apabila dia ditimpa kesusahan dia berkeluh kesah, dan apabila mendapat kebaikan (harta) dia jadi kikir.”

Jadi, jangan sembarangan nuduh orang Minang pelit ya! Tapi setelah baca tulisan ini, jangan pula bilang begini ke saya: “Oh lu gak pelit? Ya udah, sini transfer uang ke gw sekarang!” T__T

 
Leave a comment

Posted by on May 24, 2021 in Artikel Umum