RSS

Monthly Archives: April 2016

Mereka yang Tak Lagi Melangkah Bersama dalam Satu Barisan

Saya lupa baca di mana, suatu ketika salah seorang anggota DPR dari Fraksi Reformasi berdiri dan berteriak lantang menantang orang-orang untuk berdebat tentang konsep ekonomi syariah yang ia paparkan dalam sebuah rapat anggota dewan. “Saya berani berdebat dengan orang yang menolak konsep ini”, begitu katanya. Redaksinya mungkin tak sama. Tapi intinya seperti itulah.

Fraksi Reformasi ada di DPR periode 1999 sampai 2004. Berita itu sendiri kalau tidak salah saya baca sekitar tahun 2002. Ada dua partai yang tergabung dalam Fraksi Reformasi: Partai Amanat Nasional dan Partai Keadilan. Nah, orang ini berasal dari Partai Keadilan.

Sebelumnya saya sudah pernah dengar nama anggota dewan ini. Dan menjadi semakin kagum setelah membaca sepak terjang dia di parlemen. Namanya Dr. Syamsul Balda, SE, MBA. Saya juga bangga dengan partai tempat ia bernaung. Di tulisan yang saya baca itu, Syamsul Balda dipuji sebagai seorang yang cerdas.

Tapi tak lama kemudian beredar kabar pemecatannya. Saya kaget, heran, antara percaya dan tidak. Mungkin cuma sekedar diganti dari jabatan anggota dewan.

Tahun 2008 saya bertanya kepada seorang ustadz tentang berita tersebut. Saya sampaikan juga kekaguman saya kepada sosok Syamsul Balda. Di situ saya mendapat jawaban, “Akhi .. kita harus mencintai orang secara tawasuth, tidak berlebihan, supaya tidak kaget jika ada yang “mengecewakan” dari orang yang kita kagumi itu ..” Jawaban ini masih tersimpan di inbox sebuah akun forum diskusi islami di internet, dan sesekali terngiang di benak. Ustadz tersebut membenarkan bahwa yang bersangkutan telah lama dipecat dari partai tempat ia membangun dakwah. Sedih mendengarnya.

Pernah terpikir bahwa jamaah dakwah tempat ia bernaung akan rugi karena memecatnya. Tapi ternyata jamaah itu tetap jalan dengan atau tanpanya. Dan beliau, insya Allah, punya ladang dakwah sendiri.

***

Kalimat-kalimat yang ia tulis begitu hidup. Sejak tahun 99 saya sisihkan uang jajan untuk berlangganan majalah Tarbawi tiap bulan demi membaca tulisan tokoh yang dijuluki “Syaikhut Tarbiyah” ini.

Kata-kata yang ia tulis penuh ruh dan “makjleb”. Ada tiket untuk membaca tulisannya. Tiket itu bernama “wawasan yang luas”. Karena dalam satu topik yang ia tulis, pembacanya diajak melanglang buana pada kisah, sejarah, dan hal-hal lain yang berkaitan. Kadang, kurang paham kalau cuma sekali membaca tulisannya, karena kurang luasnya wawasan saya. Setelah kemudian saya berinteraksi dengan wawasan-wawasan baru, dan saya baca kembali tulisan itu, baru lah saya ngeh dengan poin-poin yang disinggung dalam artikel tersebut.

Ah… ustadz Rahmat Abdullah. Tahun 2005 ia wafat. Mendengar berita kepulangannya saat itu benar-benar menyesakkan dada saya. Pilu. Sedih tak terkira. Terbayang kembali momen syahdu di suatu ketika ia memimpin doa dalam acara demonstrasi di depan gedung dubes Amerika. Saat itulah saya pertama kali melihat sosoknya langsung.

Saya mellow abis di hari ia dikuburkan. Ingin melayat tapi tak tahu jalan. Saya pikir jamaah dakwah yang ia bina akan terpukul besar dengan kepergiannya. Tapi rupanya jamaah itu tetap berjalan. Karya-karya ustadz Rahmat Abdullah masih beredar hingga kini dan masih tetap hidup.

***

Saya tak terlalu mengenal beliau walau sering mendengar namanya. Ya jujur saja, banyak kok orang yang saya cuma tahu sedikit tentangnya namun saya menaruh hormat begitu dalam kepada sosok itu.

Nah, orang ini saya dengar menjadi ustadz spesialis pembangkit ruhiyah kader dakwah. Namanya ustadz Ahmad Madani. Bahkan saya lupa tahun wafatnya, entah 2001 atau 2002. Tapi saat mendengar ia wafat, saya merasa dakwah akan kehilangan orang yang besar. Siapa lagi yang akan membangkitkan semangat ubudiyah kader dakwah? Namun dakwah tetap berjalan dengan atau tanpanya.

***

Ustadz yang ini terkenal dengan spesialis penasihat pernikahan. Saya ingat majalah Al-Izzah pernah mewawancarainya untuk masalah pernikahan. Saya juga pernah hadir di seminar pra nikah di momen milad PKS di Istora Senayan – kalau tidak salah tahun 2006 – yang pembica ranya saat itu adalah ustadz yang saya hormati ini dan artis Yana Julio.

Kenangan lain, saya pernah sholat bersama (bahkan kalau tidak salah ia berdiri di samping saya) di sebuah musholla di daerah Kalisari, Jakarta Timur. Saya juga menjadi saksi kajian subuhnya yang begitu berbobot di sebuah masjid di Kalisari (saat itu tugasnya sebagai anggota dewan periode 2004-2009 sudah selesai. Ia bilang kehidupannya sangat nyaman setelah tak lagi menjadi anggota dewan).

Beliau, ustadz Yusup Supendi, cukup vocal ketika Forum Kader Peduli masih happening sekitar tahun 2008-an. Saya mendengar manuver beliau untuk meluruskan partai tempat ia bernaung. Sedemikian rupa perselisihan antara ia dan partai hingga kemudian saya dengar kabar pemecatannya. Lalu – duaarr… – tahun 2011 media massa ramai-ramai memberitakan pertikaiannya.

Ia memang telah dipecat. Sedih mendengar hal itu. Saya kagum dengan kapasitas keilmuannya. Saya pikir, barisan dakwah yang memecatnya akan kehilangan tokoh hebat. Namun rupanya dakwah tetap bergulir dengan atau tanpanya.

***

Pun dengan sosok yang satu ini. Beliau bagi saya adalah guru zuhud untuk kader dakwah yang sedang berhadap-hadapan dengan moleknya dunia. Sewaktu menjadi anggota dewan, motor bututnya sampai diangkut satpam DPR karena satpam menyangka ada orang yang “lancang” memarkir motor butut di kawasan yang harusnya diisi mobil-mobil mewah wakil rakyat.

Siapa lagi kalau bukan ustadz Mashadi. Ia juga berselisih dengan partai. Panjang perselisihan itu, dan ia sendiri sejatinya tak ingin keluar jamaah yang ia besarkan. Tapi keputusan petinggi partai telah jatuh. Ustadz Mashadi tak lagi bersama dengan jamaah dakwah ini.

Saya tak tahu apa jadinya partai dakwah tanpa guru yang punya keteladanan tinggi seperti ustadz Mashadi. Tapi rupanya dakwah terus berjalan. Dan ia sendiri tak kekurangan kontribusinya untuk umat.

***

Yang saya tahu, ustadzah ini sangat mumpuni dalam urusan robthul am. Pergaulannya luas. Kabarnya ia juga sempat membimbing Pipit Senja, penulis terkenal itu. Kiprahnya sebagai anggota dewan juga diacungi jempol oleh banyak pihak.

Ustadzah Yoyoh Yusroh namanya. Melihat pengaruhnya, saya memandang ia adalah Rahmat Abdullah dalam versi wanita. Keterlaluan kalau kader PKS tidak kenal sosok yang wafat tahun 2011 ini.

Ia seorang wanita yang sangat peduli dengan perjuangan Palestina. “Kehilangan Yoyoh adalah kehilangan bagi dakwah internasional,” begitu penilaian ustadz Hilmi Aminuddin terhadap sosok wanita yang di sela kesibukannya tak mengabaikan interaksi dengan Qur’an. Tapi dakwah tetap berjalan, meski telah kehilangan tokoh wanita luar biasa ini.

** Update, 5 April 2018 ***

Gagasannya adalah dakwah populer. Puas saya berdiskusi dengannya di suatu kesempatan ketika menjemputnya untuk mengisi acara di kantor. Ia ingin dakwah itu dikemas dengan lebih cair dan lebih punya packaging yang menarik yang bisa diterima banyak kalangan. Seru mendengarkan paparan ustadz yang juga seniman ini, personil grup nasyid Shoutul Harokah.

Memang kiprah dakwahnya sudah menjadi inspirasi banyak orang. Termasuk istri saya yang semasa masih kuliah di Bandung dulu menjadi pendengar setia kajiannya. Satu saja yang saya ceritakan. Ustadz Hilman Rosyad – yang sedang saya bicarakan – pernah bersikeras mengisi kajian di sebuah kampung terpencil dalam keadaan sakit. Meski ia harus digendong menyusuri jalan yang belum beraspal. Seperti Jenderal Sudirman saja.

Ah… saya yang mudah meminta izin untuk tidak hadir kajian pekanan, tidak hadir agenda dakwah, menjadi malu mendengar ceritanya. Mengenang kepergiannya di tanggal 14 Januari 2018 lalu, saya menulis dengan dada penuh sesak dan menyembunyikan raut muka mendung dari teman kantor. Tapi tetap, dakwah terus berjalan setelahnya. Menyisakan orang-orang yang mewarisi semangat sang da’i ramah dan humoris ini.

***

Cukup segitu saja. Sudah kepanjangan. Tiap orang hebat punya “ajal” untuk membersamai sebuah barisan dakwah. Entah itu berupa kematian, atau keputusan syuro berupa pemecatan.

Tapi bangunan dakwah tempat saya bernaung adalah jamaah yang bertugas melahirkan orang besar dan tak bergantung dengan orang hebat yang sudah ada. Dan kita juga tetap berjalan meski orang-orang yang kita kagumi tak lagi melangkah dalam satu barisan.

 
Leave a comment

Posted by on April 18, 2016 in Artikel Umum

 

PKS, Jamaah, dan Orang-Orang Berpengaruh

Dunia tak kan kekurangan orang hebat yang punya pengaruh besar di setiap zaman. Juga di tubuh umat Islam. Pada puncaknya, Rasulullah saw mengatakan adanya satu sosok “mujaddid” atau pembaharu yang lahir tiap 100 tahun (tertera dalam hadits riwayat Abu Dawud). Sosok reformis itu tidak menonjol sendiri, tapi dia dikelilingi orang-orang hebat lain di zamannya, baik yang sepemikiran dengannya atau tidak.

Misalnya seperti yang terjadi di abad ke dua Hijriah. Para ulama sepakat bahwa sosok mujaddid di zaman itu adalah Al-Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i. Beliau adalah pendiri Mazhab Fiqh Syafii. Akan tetapi Imam Syafi’i bukan orang hebat sendirian di zamannya. Hidup pula di abad itu orang-orang besar lainnya yaitu Imam Malik, Imam Abu Hanifah, dan Imam Ahmad bin Hanbal. Mereka juga pendiri mazhab-mazhab fiqh besar di dunia. Belum lagi ulama-ulama lain yang ikut mendirikan mazhab sendiri hanya saja penyebarannya tak mampu saingi 4 mazhab fiqh populer di tengah umat Islam.

Sekalipun begitu, Islam tidak menjadikan sosok hebat atau berpengaruh sebagai objek kultus. Islam tidak memerintahkan umatnya untuk mengandalkan diri pada orang besar.

Dalam tradisi keilmuan, taqlid buta dilarang oleh agama. Al-Qur’an membawa contoh umat Bani Israil yang taqlid buta pada pendeta-pendetanya yang berujung pada ketersesatan mereka. Atau penyembah berhala yang taqlid buta kepada tradisi yang dibangun leluhurnya yang berpengaruh. Memang tak semua orang bisa ber-ijtihad, tapi sebagian ulama enggan menyematkan istilah muqollid pada awam yang meminta fatwa kepad ulama. Mereka menyebutnya ittiba’, mengikuti fatwa ulama disertai kepahaman atas dalil.

Dalam kehidupan sosial, pengaruh orang-orang hebat itu tidak boleh dominan atas mekanisme berjamaah beserta perangkatnya seperti musyawarah dan taat. Artinya, bila ada orang berpengaruh yang tergabung dalam jamaah umat Islam, ia tetap harus tunduk pada keputusan syuro dan terikat untuk taat kepada mas’ul atau pemimpinnya. Terkecuali bila keputusan sang pemimpin berlawanan dengan syariat Islam, seperti pada fitnah “Khalqul Quran” yang mencobai Imam Ahmad.

Orang Hebat dalam Komunitas

Adalah alamiah, orang yang punya bakat besar dibutuhkan dalam sebuah kelompok. Sepak terjang mereka menjadi teladan. Wibawa mereka menjadi pembangkit semangat. Kadang mereka lah yang menjadi pemimpin dalam kelompok itu. Atau dengan pengaruhnya mereka menjadi simpul massa untuk mendirikan sebuah komunitas.

Dan alamiah pula kita lihat bahwa orang hebat yang tak bisa berjalan bersama komunitasnya, akan menjadi pengganjal jalan komunitas itu. Gregg Popovich, pelatih klub basket NBA San Antonio Spurs, pernah berkata begini: “No one is bigger than the team. If you can’t do things our way, you’re not getting time here and we don’t care who you are”. Baginya tak boleh ada pemain yang lebih besar dari sebuah tim. Sehebat apa pun pemain, ia harus lebur bersama tim, menyesuaikan gaya permainannya dengan tim, dan menanggalkan ego individunya. Dan sunnatullah itu berlaku untuk semua komunitas atau organisasi yang punya tujuan tertentu.

Termasuk dalam jamaah dakwah. Allah swt sudah menjadikan instrument syuro sebagai navigator bagi jalannya sebuah jamaah. Bukan kehendak perseorangan sekalipun ia berpengaruh. Perintah bermusyawarah turun kepada Rasulullah, orang berpengaruh nomor satu dalam umat ini (lihat QS Ali Imron: 159). Untuk urusan yang tidak diturunkan wahyu, Rasulullah harus menyurutkan pengaruhnya untuk melebur bersama para sahabat dalam musyawarah mencari mufakat. Dan kita lihat, keinginan Rasulullah saw agar bertahan di Madinah dalam perang uhud dikalahkan oleh keputusan musyawarah untuk menyambut musuh di sekitar gunung Uhud.

Islam mengerti bahwa manusia pada dasarnya punya kelemahan dan punya kecenderungan untuk terjatuh pada kesalahan. Individu yang mendominasi, bagaimanapun hebatnya ia, tetap punya celah berbuat salah. Maka celah itu ditutup dengan mekanisme hidup berjamaah, saling mengingatkan, dan bermusyawarah. Pada organisasi yang menggantungkan geraknya pada individu, ketika individu itu terjerumus dalam kesalahan, maka terjerumus pula satu organisasi itu.

Puncak kekaguman seorang kader dakwah harusnya kepada system Islam dalam mengatur jamaah. Bukan kepada kebesaran seseorang.Karena tiap orang punya konfliknya sendiri. Namun betapa banyak keputusan musyawarah yang mampu memberi jalan keluar atas sebuah pertikaian meski pahit. Sekagum-kagumnya pada seseorang, posisikan ia di bawah kumpulan manusia yang bermusyawarah. Karena “tangan Allah bersama jamaah” (HR Tirmidzi)

PKS dan Personal-Personal Berpengaruh

Hal itu lah yang harus dicamkan oleh partai kader sekaliber PKS. Menisbatkan sebagai partai dakwah, maka PKS harus komitmen menjaga karakter dakwah, yaitu dikerjakan dengan amal jama’i.

Syaikh Jum’ah Amin dalam Tsawabit wal Mutaghoyirot, dalam bab Kewajiban Beramal Jama’i menulis, “Jamaah, seperti yang saya katakana, adalah individu-individu dan system yang melahirkan umat untuk menganjurkan kebaikan dan melarang kemungkaran serta beriman kepada Allah.” Artinya yang namanya jamaah mestilah memiliki misi dakwah, dan dakwah dikerjakan secara amal jama’i.

Dalam jamaah harus ada ketaatan. Maka tiap kader PKS harus punya ketaatan terhadap hasil syuro dan terhadap pemimpinnya. Sejauh ini ketaatan menjadi nilai lebih yang ada pada partai ini dibanding partai lain. Dan itu yang menjadikannya terlihat solid. Tak susah mencari orang yang bisa diminta tolong untuk turun membantu di daerah bencana. Tak susah mengkoordinir saksi di tiap pemilu atau pilkada. Dan tak susah menyeru kadernya turun memenuhi jalan untuk menyuarakan keberpihakan pada Palestina.

Termasuk dalam suksesi kepemimpinan dari tingkat pusat sampai tingkat terkecil, partai ini relatif sepi dari berita perselisihan. Atau dalam penentuan calon anggota legislatif dan calon kepala daerah, kader-kader partai ini punya jiwa besar menerima keputusan musyawarah partainya.

Tapi sampai kapan ini bisa bertahan? Jawabannya adalah selama partai ini tidak terseret pada kultus individu. Selama orang-orang di partai ini mengerti posisi syuro terhadap individu, selama orang-orang di partai ini menggenggam ketaatan dan baik sangka kepada pihak berwenang, selama partai ini tidak disisipi ambisi dunia yang menggelayut di hati orang-orang berpengaruh di tubuh partai, maka partai ini akan bisa bertahan menjadi teladan dalam berorganisasi yang tertib.

Satu hal lagi yang tak boleh luput, tentang bagaimana mekanisme “perceraian” partai ini dengan satu anggotanya yang tak lagi sejalan. Partai ini harus menjaga “pintu keluar” yang tak rusak oleh amarah, dengki dan kebencian. Juga tak rusak oleh rasa putus asa telah kehilangan salah satu anggotanya.

Pintu keluar harus ada dan terpaksa ada karena tak selamanya orang-orang di dalam partai akan selalu sejalan. Tapi yang tak boleh ada, yaitu perasaan bahwa orang yang ada di balik pintu keluar itu lebih rendah derajatnya dari yang ada di dalam. Karena partai, sekalipun menisbatkan sebagai jamaah dakwah, bukanlah parameter pembeda antar individu di hadapan Allah swt. Karena itu mekanisme pemecatan, atau fenomena personal yang memilih keluar dari partai, harus dianggap wajar. Ingatlah ungkapan “kam minna laisa fiina wa kam fiina laisa minna”!

Selain itu pemecatan terhadap orang yang berpengaruh juga bukan kiamat bagi partai selama partai itu tetap menjaga prinsip jamaah. “Tangan Allah bersama jamaah” Zaman tidak akan kekurangan orang hebat. Begitu juga organisasi ini. Banyak ditemukan kader-kader yang punya potensi besar tergabung dalam partai ini. Insya Allah, patah tumbuh hilang berganti.

Zico Alviandri

 

Kisah Petapa dan Dua Pengembara

Alkisah, seorang petapa melepas dua muridnya mengembara ke dua tempat yang berbeda. Tak lupa petapa itu memberi bekal makanan kepada mereka secukupnya. Disertai sebuah pesan yang harus dijaga:

“Ada tulisan di balik bungkus makanan yang kalian bawa. Bacalah tulisan itu sebelum dan sesudah makan, lalu lakukan perintah yang dikandung tulisan itu!”

Kedua murid itu pun memulai petualangannya. Masing-masing menempuh jalannya sendiri. Ketika lapar terasa, bekal makanan itu pun dibuka oleh sang murid.

Salah satu murid terlupa dengan pesan gurunya. Saking laparnya, daun yang menyelubungi makanan dilepasnya dan dicampakkan begitu saja.

Sedang murid yang lain menjaga betul pesan gurunya. Dengan hati-hati ia buka pembungkus makanan dan ia baca pesan yang tertera. Setelah makan ia baca lagi, dan ia camkan benar perintah yang terdapat dalam tulisan itu.

Masing-masing murid mengembara ke dua kota yang berbeda. Bekal mereka hanya cukup hingga sampai di kota yang dituju. Namun nasib mereka kemudian berbeda.

Murid yang patuh dengan gurunya itu menyerahkan bungkus makanan kepada penjaga gerbang kota. Karena pesan yang tertulis berbunyi: “Simpan daun ini dan berikan kepada penjaga gerbang kota.”

Si penjaga rupanya adalah murid sang petapa juga. Ia mengenali tulisan itu, mengerti maksudnya, lantas menambahkan bekal kepada si pengembara.

Sedangkan pengembara yang satu lagi didiamkan oleh penjaga kota karena tak membawa pesan apa-apa. Ia lalu tersiksa oleh rasa lapar.

Itulah tuah dari melaksanakan perintah sang guru.

*****

Kurang lebih begitu ilustrasi atas orang yang bersyukur kepada Allah swt. Ia Azza wa Jalla telah mempersilakan manusia untuk mengkonsumsi segala nikmat yang telah diberikan. Namun, satu pesan-Nya: bersyukurlah, maka nikmat itu akan dilipatgandakan.

Salah satu bentuk syukur adalah dengan menyebut nama-Nya saat merasakan nikmat dari Allah swt. Misalnya, membaca basmalah sebelum makan dan hamdalah setelah makan. Juga pada nikmat lain seperti saat mengenakan pakaian baru, naik kendaraan, hingga berhubungan suami istri. Dengan aktivitas ringan tersebut, semoga Allah swt tidak mencatat kita sebagai seorang yang kufur dan menambahkan nikmatNya kepada kita.

Manusia dibekali Allah berbagai nikmat di bumi

“Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (QS Al-Mulk: 15)

Namun di balik nikmat itu, Ia memberi pesan untuk dicamkan oleh manusia:

“Dan (ingatlah), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS Ibrahim: 7)

Dan orang yang mengerjakan perintahnya, yaitu mensyukuri segala nikmat dari Allah swt, akan diberikan tambahan kenikmatan lagi. Termasuk ketika memasuki “kota” kehidupan baru, yaitu akhirat.

Sedang yang tak bersyukur kepada Allah, di dunia ia terancam mendapat azab. Lebih-lebih setelah memasuki “kota” akhirat, ia tersiksa akibat kekufurannya.

 

Muslim Memang Lebih Baik

Bahkan ketika diadu dengan sesosok jin yang dikenal cerdik, seorang yang punya interaksi sangat baik dengan firman Allah swt masih lebih unggul. Seperti yang pernah terjadi di zaman Nabi Sulaiman a.s.

Menyambut kedatangan Ratu Balqis yang didampingi sekira 12.000 tentaranya, Nabi Sulaiman a.s. mengadakan “sayembara” kepada para pejabat di lingkungan kerajaan. Siapa di antara mereka yang sanggup menghadirkan singgasana Ratu Balqis di Saba’ yang terletak kurang lebih 2.022 KM jauhnya dari kerajaan Sulaiman a.s. di Yerussalem.

Kejadian itu terekam dalam Al-Qur’an surat An-Naml ayat 38 sebagai berikut: “Berkata Sulaiman: “Hai pembesar-pembesar, siapakah di antara kamu sekalian yang sanggup membawa singgasananya kepadaku sebelum mereka datang kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri.””

Lantas sesosok makhluk dari bangsa Jin yang dijuluki Ifrit menyanggupi. “Berkata ‘Ifrit (yang cerdik) dari golongan jin: “Aku akan datang kepadamu dengan membawa singgsana itu kepadamu sebelum kamu berdiri dari tempat dudukmu; sesungguhnya aku benar-benar kuat untuk membawanya lagi dapat dipercaya.”” (QS An-Naml 39)

Seorang ulama dari generasi tabi’in, Mujahid bin Jabir memberi keterangan bahwa makhluk tersebut adalah jin pembangkang. Ia memberi garansi mendatangkan singgasana Balqis lebih cepat dari proses Nabi Sulaiman a.s. bangkit dari duduknya.

Tapi kiranya tawaran catatan waktu itu belum memuaskan Nabi Sulaiman a.s. Ia ingin yang lebih cepat lagi. Sayembara dilanjutkan, barangkali ada yang bisa lebih baik dari Jin Ifrit tadi.

Kemudian Ashif bin Barkhiya tampil. Untuk melakukan seperti yang diminta Sulaiman a.s., ia memerlukan waktu lebih cepat dari kejapan mata. Catatan waktu yang dijanjikan oleh lelaki yang dideskripsikan oleh Al-Qur’an sebagai “seorang yang mempunyai ilmu dari Alkitab” itu memuaskan Nabi Sulaiman. Dan ialah yang kemudian ditunjuk untuk mentransfer singgsana Ratu Balqis ke tengah istana Nabi Sulaiman.

Al-Qur’an dalam surat An-Naml 40 menceritakannya seperti berikut:

“Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari AI Kitab: “Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip.” Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, iapun berkata: “Ini termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia.”” (QS An-Naml: 40)

Dan ayat itu telah menyuratkan bahwa muslim lebih baik.

Kita mungkin tercengang dengan kemampuan jin yang bisa memindahkan singgasana yang besar dan tak terbayangkan beratnya sejauh ribuan kilometer dalam waktu sekejap. Tercengang, tapi tidak heran karena kita tahu bahwa bangsa jin memang punya kekuatan lebih dari golongan manusia. Namun rupanya manusia yang beriman kepada Allah mampu mengungguli kehebatan jin tadi.

Muslim Lebih Baik

Ya, Al-Qur’an menyebut Ashif bin Barkhiya sebagai seorang yang memahami kitab suci. Di zaman itu beredar kitab Taurat dan Zabur, yang berlaku khusus hanya untuk Bani Israil, dan belum mengalami distorsi oleh tangan manusia.

Kini Al-Qur’an lah yang berlaku untuk seluruh umat manusia. Kitab yang masih terjaga ini pun terkandung ilmu yang bermanfaat untuk kehidupan anak Adam. Kalau Ashif bin Barkhiya yang membaca kitab Zabur saja bisa berkemampuan hebat, bagaimana lagi kita yang membaca Al-Qur’an?

Memang, kemampuan Ashif bin Barkhiya tadi tak kan turun kepada generasi selanjutnya karena mentok oleh doa Nabi Sulaiman a.s. yang meminta kekuasaan yang tak dimiliki oleh pihak lain. “Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang jua pun sesudahku, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Pemberi.” (QS Ash-shaad: 35). Dari jin hingga angin tunduk kepada Nabi Sulaiman a.s. (QS Ash-Shaad 36,37,38). Teknologi yang berlaku di kerajaannya tak kan bisa ditiru oleh kerajaan atau umat lain. Begitu juga kemampuan seperti memindahkan singgasana Ratu Balqis.

Namun hikmah dari kisah sayembara Nabi Sulaiman a.s. tadi adalah bahwa muslim yang berinteraksi dengan firman Allah swt akan dikaruniai kemampuan yang lebih baik dari manusia lain di zamannya.

Islam mengajarkan manusia untuk memburu ilmu di sepanjang hayatnya. Dari buaian hingga liang lahat (Alhadits). Visi implementasi ilmu dalam Al-Qur’an adalah menembus angkasa dan menerobos kedalaman bumi (QS Ar-Rahman : 33). Visi itulah yang memotivasi muslim untuk menjadi digdaya.

Selain menumbuhkan semangat penguasaan ilmu pengetahuan, Islam juga menyiapkan mental pemeluknya untuk menaklukkan dunia. Lalu bergaunglah perkataan hikmah: “Letakkan dunia di tanganmu, dan akhirat di hatimu.” Mental seorang muslim terbentuk untuk tidak akan diperbudak oleh dunia, tapi justru ia yang mengendalikan dunia.

Rujuk saja dalam sejarah! Bangsa yang tergila-gila dengan syair pada 15 abad yang lalu tadinya tak diperhitungkan dalam peradaban dunia. Mereka tinggal di tanah yang tandus di kelilingi padang pasir. Namun beberapa tahun setelah Rasulullah diutus membawa Al-Qur;an, Persia yang saat itu merupakan negara super power bisa ditaklukkan mereka. Bahkan wilayah Syam yang meliputi Palestina yang tadinya dikuasai negara super power lain, Romawi, juga bisa direbut. Hingga kekuasaan Islam mencapai 1/3 dunia.

Di abad pertengahan, saat Eropa masih menjadi wilayah yang gelap, di jantung pemerintahan Abbasiyah di Baghdad umat muslim bermalam hari dengan kerlap lampu cahaya kota. Saat itu orang-orang Eropa harus berguru kepada umat muslim untuk mendapatkan ilmu yang tak kan beredar di Eropa.

Hingga akhirnya berlaku ketetapan Allah swt. Bahwa masa kejayaan itu dipergilirkan. “Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran)” (QS Ali Imron: 140) Kini kejayaan Islam hanya menjadi cerita. Seiring dengan melemahnya kesadaran kolektif umat Islam untuk mendalami kitab sucinya.

Pemimpin Muslim Lebih Baik

Di era sekarang, menjadi keterpurukan yang bertubi-tubi tatkala umat Islam lemah karena kesadaran Islam yang buruk, ditambah lagi penyakit inferiority complex yang dideritanya. Rasa percaya diri umat muslim dalam posisi yang amat rendah saat mereka tak yakin ada saudaranya yang mampu memimpin. Mereka terpesona pada non muslim yang sebenarnya kinerjanya sendiri biasa saja namun terbantu eksagregasi pemberitaan media.

Menjadi mayoritas di negeri ini, tentu tak sulit mendapatkan sesosok orang yang kompeten dan muslim yang baik untuk dijadikan pemimpin. Sayangnya dihembuskan ungkapan “Lebih baik pemimpin kafir yang jujur daripada pemimpin muslim yang korup.” Kalimat itu seolah menegasikan adanya pemimpin muslim yang jujur sehingga pilihannya hanya kafir yang jujur atau muslim yang korup. Kalimat tadi juga mengandung pembodohan dan penipuan.

Kalau benar muslim, maka seseorang tidak akan menjadi pendusta. Pernah Rasulullah saw ditanya, “Apakah seorang mukmin bisa menjadi penakut?” Beliau menjawab: ‘Ya.” Kemudian ditanya lagi; “Apakah seorang mukmin bisa menjadi bakhil?” Beliau menjawab: “Ya.” Lalu ditanyakan lagi; “Apakah seorang mukmin bisa menjadi pembohong?” Beliau menjawab: “Tidak.” (HR. Imam Malik No. 1571) Karena itu, saat disebut pemimpin muslim, maka kategorinya adalah pemimpin yang tidak akan mengkhianati rakyatnya.

Dengan ajaran yang memerintahkan berlaku jujur, memotivasi untuk menguasai ilmu pengetahuan dan menerapkannya, serta mengenyahkan nafsu dunia, apa yang kurang dari seorang muslim untuk menjadi pemimpin? Sebaik-baiknya seorang non muslim yang memimpin, akan lebih baik kepemimpinan muslim yang benar-benar menjalankan agamanya. Harusnya setiap umat Islam meyakini itu tanpa ada rasa rendah diri berlebihan.

Saya yakin, sosok seperti Ashif bin Barkhiya masih banyak. Mereka harus diberi kesempatan untuk memimpin agar bisa “mentransfer singgasana peradaban-peradaban maju” ke tengah umat Islam.

Zico Alviandri

 

Antara Perahu Nuh dan Perahu Yunus

Penghormatan seorang muslim kepada tiap Nabi dituntut untuk setara. Tidak membeda-bedakan antara satu Nabi dengan yang lain. Penghormatan begitu akan menghasilkan sikap objektif/inshaf dalam mengambil pelajaran kehidupan tiap Nabi yang memang beragam. Lantas sikap inshaf itu memudahkan seorang muslim untuk mengaplikasikan hikmah dalam rangka ketaatan kepada Allah swt. Sami’na wa atho’na (QS 2:285)

Pelajaran telah Allah bentangkan dalam Al-Qur’an. Tentang kisah heroik para Nabi. Ada kisah sukses, ada kisah sedih, ada pula sikap Nabi yang Allah koreksi dan Allah terangkan titik kritisnya. Semua dalam rangka untuk diambil pelajaran.

Ada satu surat yang seutuhnya bercerita tentang Nabi Nuh a.s.. Di surat bernomor 71 itu terbentang kisah perjuangan berat seorang Nabi yang berusia sangat panjang kepada kaum yang membangkang. Seruan telah disampaikan dalam diam maupun terang-terangan. Kaumnya telah diajak berfikir tentang penciptaan alam raya, telah pula diberi janji penghapusan dosa serta kehidupan dunia yang menyenangkan. Namun kaumnya itu malah membuat makar alih-alih menggunakan nuraninya untuk beriman.

Ending surat itu, adzab Allah swt turun kepada mereka yang membangkang. Kalau membaca dari apa yang Nuh a.s. adukan kepada Tuhan, lingkungan yang diadzab itu memang sudah sedemikian parahnya sehingga setiap anak manusia yang lahir di lingkungan itu akan serta merta mengidap kekafiran.

Tapi tidak semua kisah pembangkangan akan berakhir dengan turunnya adzab. Kondisi yang dialami Nabi Nuh a.s. memang sudah memenuhi – menurut pertimbangan Allah swt – untuk turunnya sebuah adzab. Kondisi yang berbeda dialami Nabi Yunus a.s. Justru pada saat puncak cobaan, ia tak tahan dan meninggalkan kaumnya. Lantas Allah swt tegur sikap begini seperti tertera pada QS Al-Qolam : 68.

Lama masa berdakwah Nabi Yunus a.s. kepada kaumnya tidak sebanding dengan lamanya Nabi Nuh a.s. Namun ia terburu menilai objek dakwahnya sudah “deep freeze” dalam kekufuran. Hingga ia memutuskan lari dari kaumnya. Akhir cerita, setelah Allah swt turunkan teguran dalam bentuk terkurungnya Nabi Yunus a.s. dalam tiga kegelapan, Allah swt pun menerima tobat Nabi Yunus a.s. Dan saat ia kembali kepada kaumnya, keadaan mereka malah sudah berbalik 180 derajat. Mereka telah berada pada keimanan dan merindukan Yunus a.s. kembali ke tengah mereka. Begitu Indah.

Tanpa pembedaan penghormatan kepada Nabi Yunus a.s. sedikit pun, kisah kaburnya Nabi Yunus a.s. ini menjadi pegangan bagi du’at untuk meredam godaan isti’jal (atau terburu-buru). Seorang da’i tidak bisa seenaknya berputus asa terhadap objek dakwahnya lantas meninggalkan mereka begitu saja. Seorang da’i tidak boleh gampang kecewa lantas meninggalkan projek dakwah yang tengah berlangsung.

Perahu Nabi Nuh a.s. disiapkan untuk lari dari kondisi yang tak kan pernah bisa diubah. “Dan mereka tidak akan melahirkan generasi selain akan terjerumus kepada kemaksiatan dan kekafiran.” Begitu adu Nabi Nuh a.s. Maka rasionalisasi “Perahu Nuh” didapat relevansinya pada kisah tersebut.

Akan tetapi perahu Nabi Yunus a.s. malah berbeda. Justru perahu yang dinaiki Nabi Yunus a.s. malah menjerumuskannya dalam tiga kegelapan: kegelapan lautan, kegelapan perut ikan Paus, dan kegelapan malam. Ini karena inisiatif Nabi Yunus a.s. lahir dari sikap isti’jal.

Seorang da’i tidak bisa menuruti godaan isti’jalnya lantas menyiapkan sekoci yang ia sangka adalah “Perahu Nuh”. Bisa jadi perahu yang ia siapkan adalah “Perahu Yunus” yang membuatnya terpuruk.

Perahu Nuh bukanlah perahu keputus asaan karena kejaran duniawi yang tak kunjung terwujud. Entah itu harta atau kedudukan. Perahu Nuh adalah perahu yang menyelamatkan seorang yang ikhlas.

“Dan (dia berkata): “Hai kaumku, aku tiada meminta harta benda kepada kamu (sebagai upah) bagi seruanku. Upahku hanyalah dari Allah”” (QS: Hud : 29)

Lagipula, tugas seorang da’i bukanlah membangun perahu eskapisme. Tetapi bersabar dalam himpunan orang sholih dalam proyek amal jama’i untuk mencapai peradaban yang bertaqwa kepada Allah SWT.

 

Pertikaian dan Ujian Amal Kita

Dan Kami cabut segala macam dendam yang berada di dalam dada mereka; mengalir di bawah mereka sungai-sungai dan mereka berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah menunjuki kami kepada (surga) ini. Dan kami sekali-kali tidak akan mendapat petunjuk kalau Allah tidak memberi kami petunjuk. Sesungguhnya telah datang rasul-rasul Tuhan kami, membawa kebenaran.” Dan diserukan kepada mereka: “ltulah surga yang diwariskan kepadamu, disebabkan apa yang dahulu kamu kerjakan.” (QS Al-A’raaf: 43)

Apa pun bentuk perselisihan kita kepada sesama mukmin, muaranya akan seperti ayat di atas. Berkumpul kembali bersama kawan-kawan seiman dalam damai, dan mungkin menertawakan pertikaian yang kuras emosi selama di dunia. Allah telah berjanji akan mencabut segala macam dendam yang mengendap di dada akibat interaksi dengan sesama manusia di dunia. Kiranya, seteguk air jernih di telaga Al-Kautsar telah padamkan hati yang membara. Dan ucapan “salamun ‘alaikum bima shobartum” (QS Ar-Ra’du: 24) yang dibisikkan malaikat di pintu surga telah tenangkan hati yang berkecamuk. Ada jaminan kedamaian di surga, maka hidup abadilah dalam kedamaian itu.

Saya punya persengketaan sendiri dengan saudara mukmin yang lain. Dan mungkin Anda juga begitu, punya masalah lain dengan seorang mukmin. Mau apalagi… berbalik ke belakang pada sembilan belas ayat sebelum ayat kutipan di atas (tepatnya pada QS Al-A’raf: 24), Allah sudah katakan begini kepada kakek kita Nabi Adam a.s. : “Allah berfirman: “Turunlah kamu sekalian, sebahagian kamu menjadi musuh bagi sebahagian yang lain. Dan kamu mempunyai tempat kediaman dan kesenangan (tempat mencari kehidupan) di muka bumi sampai waktu yang telah ditentukan.””

Memang Allah sengajakan adanya perselisihan itu. Ia Azza wa Jalla yang berkata sendiri dalam QS Al-Furqon: 20 “…Dan Kami jadikan sebahagian kamu cobaan bagi sebahagian yang lain. Maukah kamu bersabar? …”

Sebagaimana kedua kakek dan nenek kita diturunkan terpisah ke bumi di tempat yang berjauhan – para mufassirin berpendapat Adam a.s. di India dan Hawa di Jeddah – hingga mereka punya latar belakang pengalaman berbeda, seperti itu pula kita dan orang lain di sekitar, masing-masing punya pengalaman hidup, watak, dan nilai berbeda. Perbedaan pengalaman itu yang bisa membuat kita kadang “gak nyambung” dengan orang lain.

Berjalan tanpa membungkukkan badan di hadapan yang lebih tua, bagi adat lain mungkin dianggap biasa saja. Tapi tidak bagi adat jawa, hal itu akan dipersoalkan karena dianggap tak sopan.

Satu contoh tadi bisa mewakili bagaimana perbedaan pengalaman, watak, nilai dll bisa menyebabkan kesalahpahaman yang berujung pada peselisihan.

Sebenarnya tak lama jarak waktu untuk perjumpaan kita di surga dalam damai dengan orang-orang yang berselisih itu. Tapi nafsu amarah yang mendominasi membuat hati menyempit dan ingatan acap hadirkan kembali perselisihan itu. Dibumbui pula oleh setan (dalam bentuk jin atau manusia) yang menghasut.

Itulah cobaan yang Allah timpakan kepada tiap mukmin, agar terlihat siapa yang paling baik penyikapannya hingga membuah amal yang baik juga (Lihat QS: Al-Mulk 2). Dua orang bersengketa, bila keduanya mukmin, kita percaya akan dipertemukan kembali oleh Allah swt di surga dalam damai. Tapi bisa jadi derajat surga mereka berbeda karena penyikapan yang tak sama. Yang satu terlampau dikuasai amarah, sedang yang satu cukup elegan sehingga pertikaian itu menjadi sarana untuk mengangkat derajat ketaqwaannya di sisi Allah.

Itu yang akan terjadi pada kita yang punya pertikaian. Atau bila kita hanya sebagai penonton, tetap ada ujian atau peluang amal tersendiri. Islam menyediakan peran bagi yang ingin menjadi pendamai dua saudaranya yang berselisih. Seperti dalam ayat di mana Allah mendeklarasikan bahwa hanya muslim yang miliki persaudaraan sejati, di situ sekaligus ada perintah untuk mendamaikan dua saudara yang berselisih.

“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (QS Al-Hujurat: 10)

Dalam hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim, disebutkan bahwa mendamaikan saudara termasuk bersedekah. Bahkan perkataan tidak jujur dalam rangka mendamaikan saudara yang berselisih tidak dianggap sebagai berdusta.

“Bukan seorang pendusta, orang yang berbohong untuk mendamaikan antar-sesama manusia. Dia menumbuhkan kebaikan atau mengatakan kebaikan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kalau tak mampu mendamaikan, ujian lain bagi orang yang tak terlibat langsung dengan konflik antara dua saudaranya adalah dengan tidak berbuat namimah atau adu domba. Jangan juga jadi penyebab perselisihan itu merembet lebih luas melibatkan orang yang tadinya tidak terlibat hanya gara-gara kata-kata kita. Karena tiap manusia punya rasa setia kawan, yang dalam takaran tak tepat bisa membuat ia terseret dalam konflik dengan teman dekatnya.

Kita tak perlu mengungkit-ungkit perselisihan antara dua pihak pada sebuah kumpulan manusia. Atau di zaman yang canggih ini, mengungkit konflik orang lain dalam grup-grup chatting. Itu akan memancing orang untuk ikut bicara, padahal ia tak punya informasi yang utuh. Lalu lahirlah pro kontra. Lalu makin membesarlah permusuhan itu.

Jadilah orang yang mencegah konflik menjadi luas. Tenangkan orang-orang yang ada di pinggir konflik itu dengan nasihat kita. Maka kita telah “mengambil untung” dalam konflik orang lain. Keuntungan yang dibenarkan dan disukai Allah swt.

Zico Alviandri

 

Surat Terbuka Untuk Saudaraku Pengidap LGBT

Tulisan ini aku tujukan kepada saudara-saudaraku yang memiliki kekuatan luar biasa. Ya, aku tahu kalian punya kemampuan yang tidak dimiliki oleh manusia biasa. Makanya Allah menghadirkan ujian berupa perasaan yang lain dari biasanya di jiwa kalian. Sebagai pembuktian keimanan dan kelayakan untuk berada di kehidupan yang lebih baik di surga-Nya.

Sebagaimana seseorang yang Allah swt berikan hasrat untuk korupsi, karena Allah swt tau bahwa ia mampu untuk tidak korupsi. Sebagaimana seseorang yang Allah swt berikan berbagai macam persoalan hidup, karena Allah swt tahu ia mampu menghadapinya dan menjadi seorang yang sabar. Pun pada diri kalian, Allah swt hadirkan kecenderungan yang tidak boleh dituruti, karena Allah swt tahu kalian mampu untuk tetap berada pada fitrah manusia. “Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.” Begitu Allah firmankan dalam surat Asy Syams ayat 8.

Aku pun punya ujiannya sendiri. Tetapi mungkin tidak seberat kalian. Karena, “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (Al-Baqarah: 286). Ya begitulah, aku tidak sekuat kalian. Dan aku berlindung kepada Allah dari ditimpakan ujian seperti yang kalian hadapi. Karena aku lemah. “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya.”

Saudara-saudaraku, Tuhan yang memberi ujian itu kepada kalian adalah Tuhan yang telah memberi kalian berbagai macam nikmat. Resapilah berbagai nikmat yang kalian rasakan selama satu detik… Bernafas, melihat, mampu berbicara, mampu mendengar, mampu berjalan, menggenggam, dsb. Tuhan begitu pemurahnya kepada kalian. Balaslah nikmat itu dengan rasa syukur dengan tetap memegang teguh perintah-Nya.

Tuhan yang memberi ujian kepada kalian adalah Tuhan yang menginginkan kalian berada di surga. Namun, seperti semua manusia tanpa terkecuali, ada ujian pembuktian keimanan mendahului. Berjuang melawan perasaan itu adalah tiket mendapatkan Ridho-Nya. Aku tau kalian mampu!!

Saudara-sadaraku, kalian sering mengeluh bahwa perasaan itu tidak kalian inginkan. Iya memang. Perasaan itu dari Allah swt yang menyusupkan ke jiwa kalian. Karena itu, jangan hadapi sendiri! Mintalah pertolongan-Nya. Temui Ia di sepertiga akhir malam. Angkat tangan kalian di waktu-waktu mustajab. Minta agar Allah mencabut rasa itu. Kembalikan semua urusan kepada-Nya.

Saudara-sudaraku, jangan ikuti bisikan setan – dari golongan manusia atau jin – yang ingin agar kalian menuruti kecenderungan itu dengan berbagai argumentasi. Ikuti kata hati kalian! Ikuti bisikan keimanan! Mintalah perlindungan kepada Allah dari bisikan setan yang menyesatkan. Tetaplah berada pada fitrah, agar kalian menjadi manusia seutuhnya.

Saudara-saudaraku, berjuanglah! Bertahanlah! Berdoa dan obati kecenderungan itu dengan berbagai cara yang halal. Agar Allah swt membanggakan kalian di tengah makhluk-Nya. Karena kalian adalah orang yang kuat yang Allah pilih untuk melawan perasaan itu. Aku harap kalian menjadi panutan dengan cerita sukses sembuh dari kecenderungan itu. Membuka jalan untuk sesama orang yang mengidap kecenderungan itu. Bahwa harapan itu ada. Bertahan dalam hidup yang fitrah itu bisa. Dengan kekuatan jiwa, dengan kesabaran, mampu menuntaskan ujian, dan kalian menjadi bukti.

Aku berdoa semoga Allah memudahkan kita semua untuk melangkah di jalan kebenaran. Aamin.

 
Leave a comment

Posted by on April 12, 2016 in Surat Terbuka

 

Fenomena Da’i Ember

Kalau saja Hatib bin Abi Balta’ah tak tergabung dalam barisan yang memperjuangkan Islam pada perang Badar, maka vonis munafik telah jatuh kepadanya tatkala ia r.a. tertangkap basah membocorkan rencana Rasulullah saw saat persiapan Fathu Makkah. Gatal tangan Umar bin Khattab r.a. ingin mengayunkan pedang, namun Rasulullah saw menahannya karena kesertaan dalam perang Badar adalah jasa besar yang tak teremehkan.

Hatib bin Abi Balta’ah merasa risau dengan keberadaan sanak saudaranya di Makkah. Oleh sebab itu ia mengirim surat rahasia kepada keluarganya, melalui seorang kurir wanita, yang mengabarkan rencana Rasulullah saw untuk memasuki Mekkah bersama ribuan tentara. Upaya pembocoran rahasia itu kemudian terbongkar atas izin Allah swt. Dan Hatib bin Abi Balta’ah tak dapat mengelak dari perbuatannya. Lantas kisah ini menjadi asbabun nuzul surat Al Mumthanah ayat 1.

Dakwah dan Kerahasiaan

Kerahasiaan sudah menjadi bagian dalam dakwah. Meski karakter dakwah sejatinya bersifat terbuka, namun bila dakwah dilakukan dengan organisasi yang terstruktur, sering kali ada informasi-informasi yang bukan konsumsi publik.

Saat kondisi dakwah berada pada tekanan rezim yang berkuasa, pergerakan dakwah terpaksa dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Rasulullah saw pernah merasakan sendiri aktivitas dakwah secara rahasia di awal perkembangan Islam. Semua itu demi keselamatan dakwah.

Husain bin Muhammad bin Ali Jabir dalam bukunya “Menuju Jamaatul Muslimin” menjelaskan bahwa sirriyatud dakwah yang dilakukan oleh Rasulullah di awal turunnya Islam adalah dengan membentuk jamaah secara tersembunyi. Yang dimaksud adalah, tersembunyi dalam pembentukan, bukan pada ajaran dan materi dakwah. Hal ini dimaksudkan agar musuh Islam tidak mengetahui detail kekuatan jamaah sehingga tidak serta merta dipukul ketika kekuatan jamaah masih seumur jagung.

Ketika kondisi memungkinkan dan dakwah dapat dilakukan dengan terang-terangan, bukan berarti tak perlu lagi ada kerahasiaan dalam dakwah. Buktinya Rasulullah saw tetap memerlukan seorang Hudzaifah bin Yaman sebagai Kepala Intelejen pertama umat Islam untuk menampung kerahasiaan.

Salah satu yang dirahasiakan adalah daftar nama golongan munafik. Suatu ketika Umar bin Khattab r.a. resah tentang dirinya, apakah termasuk orang yang divonis munafik atau bukan. Khalifah yang agung itu lantas menemui Hudzaifah bin Yaman r.a. Namun data yang bisa diakses sekedar memastikan bahwa Umar bin Khattab r.a. tidak termasuk golongan munafik. Umar tak dapat mengakses semua nama dalam golongan yang dijanjikan Allah swt kelak bertempat di dasar neraka itu.

Kerahasiaan tetap ada dalam bangunan dakwah. Konteks kekinian, misalnya proses atau hasil persidangan terhadap seorang anggota jamaah dakwah yang dianggap bermasalah, bisa menjadi contoh. Karena itu menyangkut aib. Manuver dakwah yang direncanakan dengan sistematis pun kebanyakan dirahasiakan. Materi ceramah dengan konten dan istilah khusus, yang bila didengar orang yang tak paham akan menjadi fitnah, juga dirahasiakan. Dan ada banyak hal lagi yang perlu dirahasiakan dalam barisan dakwah. Semua itu ada maslahatnya.

Karena itu seorang da’i yang ingin bergabung dalam barisan dakwah, harus membiasakan diri memegang hal yang dianggap rahasia. Janganlah menjadi da’i ember.

Da’i Ember

Kenyataannya tak semua orang yang bisa memegang rahasia dengan jujur. Kasus Hatib bin Abi Balta’ah bisa menjadi contoh. Kalau tak memiliki jasa sebesar Hatin bin Balta’ah, maka janganlah menjadi da’i ember yang ringan mengumbar rahasia. Kalau tidak, bisa-bisa terjerumus dalam perbuatan nifaq.

Kesertaan dalam perang Badar adalah jasa yang tak dapat tersaingi. Apalagi oleh aktivitas da’i zaman sekarang. Sekedar membela jamaah mati-matian di media sosial, atau mengajari rekan seperjuangan mengelola blog, rasanya tidak akan pernah bisa setara dengan berpeluh berdarah di wilayah di sekitar sumur Badar 15 abad yang lampau.

Karakter da’i ember tak sekedar mengumbar rahasia, tapi juga menyebar informasi yang masih sumir. Padahal Allah swt sudah memberikan standard operating procedure yang tertera dalam Al Qur’an surat An-Nisa ayat 83. Serahkan pada qiyadah atau otoritas yang berwenang sebagai sumber berita yang shohih!

“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu).” (QS An-Nisa : 83)

Syahwat broadcast – meminjam istilah seorang teman – memang sudah terjadi sejak dahulu. Perilaku manusia terhadap informasi tidak pernah berubah dari dulu hingga kini. Makanya Allah menurunkan Al-Qur’an yang akan selalu sesuai dengan segala zaman, termasuk zaman booming media informasi seperti sekarang.

Saat belum dikenal teknologi informasi, penyebaran sebuah kabar beredar melalui mulut dan telinga. Hingga Rasulullah saw bersabda, “Cukuplah seseorang disebut sebagai pendusta apabila ia mengatakan semua yang didengar” (HR Muslim). Seseeorang yang tidak mampu menyaring informasi, akan terjebak pada kegiatan menyebarkan berita hoax. Karena sifat berita bila diestafetkan ia akan dibumbui berbagai macam kabar tambahan.

Di zaman ini, seorang yang memiliki akun media sosial atau blog punya godaan besar memposting atau membagikan informasi yang ia dapat, baik dari dunia nyata maupun dari timeline socmednya. Termasuk seseorang yang beriltizam berjuang dalam barisan dakwah. Godaan itu pun dirasakan juga.

Contohnya memposting susunan pengurus sebuah kepanitiaan atau lembaga di dalam organisasi dakwah melalui blog, yang qiyadah sendiri tidak pernah mengumumkan itu secara terbuka. Bahkan parahnya kadang dibumbui sebuah gosip bahwa lembaga itu untuk menghakimi anu.

Ada yang menganalisa motivasi da’i ember ini. Bisa karena ingin pamer karena memiliki info yang orang lain tidak tahu. Atau memang karena terlalu lugu menganggap semua hal tidak ada yang rahasia. Atau karena alasan ekonomis, menginginkan kenaikan traffic pada blog yang dikelolanya. Kalau yang terjadi pada Hatib bin Abi Balta’ah, alasannya karena kecintaan pada keluarganya yang kemudian Allah tegur.

Saya tidak bisa membayangkan bagaimana bila Umar bin Khattab r.a. hidup di zaman sekarang lantas bertemu da’i-da’i ember di dunia maya ini.

Bila bertemu da’i ember di dunia maya atau pun nyata, berhati-hatilah ketularan ke-emberan-nya! Info rahasia dan gosip itu begitu menggoda untuk disebar kembali.

Zico Alviandri

 

Kisah Raja dan Pandai Besi Pembuat Senjata

Alkisah, seorang raja yang butuh beberapa senjata mendatangi seorang pandai besi terkenal yang tinggal di sebuah desa. Membawa bahan-bahan terpilih, raja ditemani pengawalnya membuat perjanjian dengan pandai besi yang telah menyanggupi pengerjaan senjata-senjata itu dalam waktu yang telah ditentukan.

Sambil menjabat tangan pandai besi itu, raja berpesan, “Bila ada senjata yang telah selesai dibuat, sebelum diserahkan kepada saya, jangan kau serahkan kepada orang lain! Walaupun itu anggota keluargamu sendiri. Senjata ini juga bukan untuk dipamerkan kepada orang lain. Simpan baik-baik senjata yang telah selesai dibuat sampai saya mengambilnya!” Pandai besi menyetujui.

Sepulangnya raja ke istana, pandai besi pun mulai bekerja. Ia tempa bahan-bahan terpilih yang telah diserahkan padanya dengan sungguh-sungguh. Api membara. Panasnya memancar ke seluruh ruangan. Tapi tak mengganggu pandai besi yang memukul-mukul bahan itu di atas kobaran bara.

Berhari-hari si pandai besi mengerjakan sebuah pedang dengan desain unik pesanan raja. Setelah pedang itu jadi, ia pandangi dengan kagum ukiran-ukiran di mata pedang yang telah ia tempa. Namun itu baru satu senjata. Ada beberapa lagi yang harus segera dikerjakan sebelum waktunya habis. Maka si pandai besi tak mau lama-lama mengagumi hasil kerjanya. Ia letakkan pedang berwarna biru berkilau itu di sebuah tempat, lantas menyiapkan bahan lainnya. Sebuah golok yang tak kalah indah akan segera diciptakan.

Pandai besi kembali bekerja bersama panas menyengat dan lidah api yang menyambar-nyambar. Palu dan gada ia pukulkan ke atas bahan yang memuai oleh panas. Ia tak sadar anak sulungnya yang masih berusia bocah telah memasuki ruang kerjanya. Mata si anak sulung itu menangkap sebuah benda berkilauan yang punya ukiran indah di sebuah tempat. Ya, itu adalah pedang yang telah dibuat oleh pandai besi. Anak sulung pandai besi itu mendekat, dan tanpa sungkan mengangkat gagang pedang itu.

Mengetahui pedang pesanan raja sedang dalam genggaman anaknya, si pandai besi terkejut dan menghardik, “Letakkan pedang itu!” ujarnya. “Benda itu tak boleh orang lain pegang selain saya dan raja.”

Si anak patuh. Diletakkan pedang itu ke tempat semula. Tapi tak lama dibujuknya sang ayah agar ia diperbolehkan mengagumi keindahan pedang itu. “Hanya di tempat ini. Aku tak kan membawa pedang itu keluar,” rengek si anak.

Pandai besi menolak. Tetapi rengekan itu terus mengganggunya. Akhirnya pandai besi menyerah dan memperbolehkan anaknya sekedar memegang dan memandangi pedang itu.

Selesai memuaskan diri dengan memandangi hasil kerja ayahnya, si anak pun pergi. Dan pandai besi terus bekerja. Tapi esoknya anak itu kembali ke ruangan kerja pandai besi sembari menangis.

“Aku terlanjur cerita dengan kawan-kawan tentang pedang yang indah itu. Mereka tak percaya dan mengolok-ngolokku sebagai pembohong,” adu anak itu. “Izinkan aku membawa keluar pedang itu, sekedar untuk ditunjukkan kepada teman-teman. Agar aku tidak dituduh pembohong,” rengek si anak.

Seperti yang sudah-sudah, awalnya pandai besi tak mau. Namun si anak terus merengek dan menangis hingga hati pandai besi luluh dan mengizinkan. Terbit iba di hatinya, tak ingin anaknya diolok-olok orang sebagai pembohong. Maka dibawalah pedang itu oleh si anak ke luar rumah.

Sekejap kemudian cerita keindahan pedang buatan pandai besi menyebar ke seantero desa. Penduduk desa itu berbondong-bondong mendatangi rumah pandai besi. Seorang sahabat si pandai besi memohon-mohon sembari mengungkit kebaikan agar pandai besi mengizinkan untuk melihat pedang itu dari dekat serta merasakan tebasannya. Juga para tetangga pandai besi, mereka mengajukan permintaan yang sama. Ingin melihat dari dekat, bahkan menyentuhnya. Tiap hari pandai besi kedatangan tamu yang ingin membuktikan keindahan pedang itu. Tak cuma pedang, mereka juga juga ingin meliht dan memegang golok, lembing, dan senjata lain yang telah dibikin pandai besi.

Hingga waktu yang telah ditentukan tiba, raja beserta pengawal mendatangi rumah pandai besi yang sedang dikerumuni orang banyak. Dan tahulah raja, bahwa pesannya telah dilanggar oleh pandai besi itu. Ia pun murka dan menghukum pandai besi yang tak bisa mengelak dari kesalahannya itu.

*****

Bila kita tak setuju dengan tindakan pandai besi pada cerita tadi, lantas bisakah kita menerima perilaku kita yang suka menggandakan tujuan dalam ibadah? Semestinya, tiap ibadah kita ditujukan hanya untuk Allah. Allahu ghoyatuna, Allah tujuan kita. Tetapi kenyataannya sering tanpa disadari amal ibadah yang telah kita kerjakan dengan sungguh-sungguh dipamerkan pula kepada orang lain.

Kadang yang kita lakukan itu berupa riya’, memamerkan amal ibadah. Awalnya teman kantor heran mengapa kita sering tidak ada di tempat sekitar pukul sembilan pagi. Demi menjawab pertanyaan teman-teman, kita ajaklah mereka menghampiri musholla kantor di sekitar waktu tersebut untuk ikut mengerjakan sholat dhuha. Tindakan begitu bila ikhlas karena Allah, maka akan sangat bagus sekali karena sudah menjadi pelopor untuk mengerjakan kebiasaan yang baik. Tetapi bila akhirnya niat melenceng atas bisikan setan, mengharap pujian, habis sudah sholat-sholat dhuha yang telah kita kerjakan tak bersisa. Dan datanglah kemurkaan-Nya.

Atau yang kita lakukan berupa sum’ah, memperdengarkan amal. Awalnya tak ada yang tahu bahwa kita telah bersedekah. Tetapi setan membisiki, “yayasan itu butuh sumbangan lebih besar.” Maka kita pun bercerita kepada teman-teman tentang yayasan yang sedang butuh dana, sembari mengungkit besaran yang telah kita sumbangan. Bila tindakan itu ikhlas karena Allah, maka akan menjadi amal yang baik karena telah menginspirasi orang lain untuk berbuat kebaikan. Tetapi bila niat melenceng, percuma sudah apa yang diinfakkan.

Setan selalu menyodorkan alasan kepada kita untuk memamerkan amal ibadah yang telah kita perbagus hanya untuk Allah. Mungkin kita tidak ingin diremehkan sebagai orang yang kurang ilmu, maka kita pamerkan ilmu kita dalam sebuah diskusi. Atau ingin agar orang lain tahu bahwa kita sangat pantas ditunjuk menjadi imam tetap di masjid dekat rumah, maka sekali waktu kita dapat kesempatan menjadi imam, bacaan Qur’an kita perbagus.

Padahal pesan Allah, jangan sampai ibadah yang kita perbuat ditujukan juga untuk pihak lain. Entah agar mendapat pujiannya, atau terlindung dari kecurigaannya. Allah inginkan keikhlasan dalam amal perbuatan.

“Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagiNya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)”. (QS. Al-An’aam: 162-163).

Allahua’lam bish-showab.

—–

Sebelumnya saya posting di

Kisah Raja dan Pandai Besi Pembuat Senjata