Dalam bukunya “Marketing Plus 2000 Siasat Memenangkan Persaingan Global”, Hermawan Kartajaya menulis sebuah kisah.
“Seorang teman pergi ke dokter internis, ahli penyakit dalam. Dia mendadak suka haus. Oleh dokter, ia divonis diabetes mellitus. Dokter geleng-geleng kepala. Sambil mengernyitkan dahi, dokter bertanya bagaimana bisa dalam usia kurang dari 40 tahun sudah terkena penyakit kronis ini. “Kamu bisa mati kalau tidak hati-hati. Ini penyakit yang tidak bisa disembuhkan. Paling-paling Cuma bisa dilakukan pencegahan saja!”.
Lantas teman saya dianjurkan ke ahli gizi. Oleh ahli gizi, dia diharuskan untuk diet ketat. Mengetahui kalau dia kena diabetes, teman saya jadi murung. Tapi dia tetap berusaha keras untuk mengikuti semua petunjuk yang diberikan oleh ahli gizi itu.
Tiga bulan kemudian, dia pergi ke Singapura untuk check up. Kali ini dia pergi ke salah satu dokter ahli penyakit dalam yang praktek di Mt-Elizabeth Hospital. Hasilnya sama, diabetes mellitus. Tapi ada yang sangat berbeda. Si dokter Cuma ketawa dan menghibur, “ya, Anda memang sudah diabetes. Ini penyakit kronis. Yang penting you have to live with it!”. Maksudnya si dokter ingin mengatakan, ya mau apa lagi. Sudah terlanjur diabetes. Yang penting jangan terlalu dipikirkan penyakit itu. Tapi bagaimana caranya hidup produktif bersama diabetes!”
Cerita di atas ada lanjutannya, tapi saya potong sampai di situ. Pointnya tentang bagaimana memanjakan client. Cerita itu dimuat dalam buku marketing. Tulisan ini tidak membicarakan tentang pelayanan pada client, tapi ada pelajaran bagus dari cerita di atas.
Pelajaran itu ada pada kata-kata si dokter Singapura untuk menyambut musibah yang dialami oleh penderita diabetes pada cerita di atas. “Yang penting you have to live with it.” Becanda kah si dokter? Atau meremehkan? Atau malah mengejek?
Tidak, tapi dokter itu memang benar untuk menyambut musibah dengan ceria. Apalagi musibah seumur hidup seperti penyakit diabetes.
Dalam buku La Tahzan, Dr ‘Aidh Al-Qarni (siapa yang tidak tahu buku itu, dan siapa yang tidak kenal beliau?) pada tulisan yang berjudul “Pendapat Orang-Orang Bijak Tentang Sabar” menulis: “Konon Anusyirwan pernah mengatakan, “semua ujian di dunia ini bisa dikategorikan menjadi dua. Pertama, yang bisa dicari jalan keluarnya, yakni guncangan jiwa. Dan kedua, yang tidak bisa dicari jalan keluarnya. Yang ini sembuh justru dengan menyambutnya.” Menurut kalangan bijak bestari, “jalan keluar yang tidak memberikan jalan keluar adalah kesabaran.””
Karena diabetes mellitus – menurut dokter – tidak bisa dicari jalan keluarnya, maka menyambutnya dengan kesabaran itu jauh lebih baik. Kesabaran malah menjadi “jalan keluar” dari musibah yang tidak ada jalan keluarnya.
Diabetes mellitus hanyalah satu contoh. Ada banyak jenis musibah yang bila menimpa seseorang, maka seseorang itu harus hidup bersamanya. Misalnya cacat permanen. Dari namanya saja – permanen, kita harus hidup bersama cacat itu sepanjang hayat. Tapi silakan googling, ada banyak cerita tentang orang cacat yang berprestasi.
Musibah yang kita harus hidup bersamanya bukan sebatas pada penyakit. Ada banyak derita lain. Yang paling menarik adalah…. persoalan asmara. Nah lho…
Dalam bukunya “Catatan seorang ukhti: 4, Karena Cinta Harus Diupayakan”, ada kisah yang menarik tentang rasa cinta yang membekas dan tak mau hilang. Itu menimpa pada seorang wanita yang sudah berkeluarga selama (kalau tidak salah) 5 tahun (maaf saya tidak punya bukunya, cuma pernah baca saja 😀 ). Pada curhatnya dia mengaku tidak bahagia dalam rumah tangganya. Penyebabnya adalah perasaan cinta yang tidak bisa hilang kepada seorang lelaki yang bukan menjadi suaminya.
Menurut saya, perasaan cinta yang tidak bisa hilang itu seharusnya bukan alasan untuk menjadi tidak bahagia. Kecuali kalau dipaksakan solusinya adalah hidup bersama orang yang dicintai. Tentu itu susah untuk diupayakan (kalau tidak mau dibilang tidak bisa). Dan selama wanita itu tidak hidup bersama pria yang dicintainya, ia tidak akan bisa bahagia.
Kalau perasaan itu sudah diupayakan untuk lenyap namun tidak kunjung hilang juga, maka kesabaran lah solusinya! Biarkan kesabaran – yang harus sudah ada sejak awal musibah – menemani perasaan itu, dan kita bisa fokus pada dunia nyata. Jangan biarkan perasaan itu tidak terkontrol oleh kesabaran hingga mengganggu dunia nyata kita.
Begitulah, ada banyak musibah lain yang kita harus hidup bersamanya. Bisa berupa kegagalan kita menggapai cita-cita dan kesempatan itu telah hilang. Mungkin kematian dari salah seorang yang kita cintai. Atau mungkin ada pembaca yang pada masa kecilnya pernah diperkosa (duh sadis banget contohnya). Biarkan musibah itu mengiringi kita, dan kita hadirkan kesabaran untuk melengkapinya. Selanjutnya, semua musibah itu tidak bisa menghalangi produktifitas kita.
Tetapi ingat, kesabaran harus sudah dihadirkan sejak awal musibah. ”Sesungguhnya yang namanya sabar adalah ketika di awal musibah.” (HR. Bukhari, no. 1283)
Tetap semangat!!! 🙂
Maka bersabarlah kamu dengan kesabaran yang indah (QS 70:5)
6 Agustus 2009. Reblog