RSS

Monthly Archives: May 2015

Meluruskan Pemahaman Hari Ibu

hari ibu

Di tengah semarak dan syahdu masyarakat Indonesia merayakan hari ibu, masih terdengar cibiran sumir yang menyalahkan peringatan pada tiap 22 Desember itu. Ada beberapa alasan, dari acara kaum pagan, tidak dikenal dalam Islam, hingga seolah-olah hari ibu mereduksi kasih sayang kepada orang tua hanya pada tanggal tersebut. Sesuatu yang penulis rasa urgen untuk diluruskan.

Sejarah Hari Ibu

Ada media yang menghubung-hubungkan perayaan hari ibu dengan jejak upacara kaum pagan. Di beberapa negara di Eropa dan Timur Tengah, Mother’s Day terhubung dengan kebiasaan memuja Dewi Rhea, istri Dewa Kronus dan ibu para dewa dalam sejarah Yunani kuno. Sehingga di negara-negara tersebut, peringatan Mother’s Day jatuh pada bulan Maret.

Lalu media yang mengutip itu membuat konklusi bahwa hari ibu setara dengan hari yang tidak bermanfaat seperti April Mop, hari Valentine, Tahun Baru, dll.

Kalau benar faktanya seperti itu yang terjadi di beberapa negara, di Indonesia malah tidak. Hari ibu di negara ini berawal dari pembukaan Kongres Perempuan Indonesia yang pertama, yang digelar dari 22 hingga 25 Desember 1928. Kongres Perempuan Indonesia ini bahkan diikuti oleh organisasi wanita Muhammadiyah, Aisjiah. Kemudian Presiden Soekarno menerbitkan Dekrit Presiden No. 316 thn. 1953 untuk meresmikan hari ibu sebagai hari nasional. Tanggal tersebut dipilih untuk merayakan semangat wanita Indonesia dan untuk meningkatkan kesadaran berbangsa dan bernegara.

Jelas tak ada jejak perayaan kaum pagan di peringatan hari ibu di Indonesia. Sehingga tidak bisa dikatakan sebagai tasyabuh, atau meniru suatu syariat di luar Islam. Semangat yang dibawa untuk memaknai hari ibu adalah kebaikan universal, yang kebaikan itu bisa saja terdapat di banyak negara karena keuniversalannya. Mungkin saja di luar sana mereka harus bertasyabuh pada perayaan kaum pagan untuk memunculkan semangat kebaikan ini, tapi tidak di Indonesia yang punya sejarah harum tersendiri untuk memperingati hari ibu.

Fatwa ulama timur tengah yang mengharamkan hari ibu mungkin cocok untuk di negaranya. Karena mungkin hari ibu di sana berasal dari hari kaum pagan. Tapi tidak di Indonesia yang berbeda konteksnya.

Bukan Tasyabuh

Dengan kejelasan sejarah itu, maka penetapan hari ibu tidak bisa dikatakan sebagai tasyabuh. Lalu bagaimana dengan aktivitas dalam memperingati hari ibu yang rentan mirip dengan apa yang dilakukan oleh orang kafir?

Karena hari ibu yang bukan hari raya agama tertentu maka tidak ada aktivitas khusus yang berbau peribadatan agama lain. Hari ibu pun dirayakan dengan cara yang beragam. Tidak ada cara yang khusus. Lebih banyak inisiatif pribadi daripada ikut-ikutan orang. Dan biasanya apa yang dilakukan orang adalah kebaikan yang bersifat universal dan humanis. Tidak bertentangan dengan ajaran Islam, bahkan banyak yang memenuhi anjuran Islam.

Misalnya mengunjungi ibu, atau membuatkan makanan spesial untuk ibu. Ada juga anak atau ayah yang mengerjakan pekerjaan ibu sehari-hari untuk merasakan letihnya menjadi ibu.

Kegiatan-kegiatan itu selain bukan tasyabuh, andai ada keserupaan aktivitas antara muslim dan non muslim pun tidak masuk kriteria tasyabuh yang terlarang.

Hanya Hari Nasional, Bukan Hari Raya Agama

Ada juga yang salah kaprah dengan menyangka hari ibu menjadi hari raya yang tidak dikenal dalam Islam. Tidak pernah ada orang yang merayakan hari ibu meniatkannya sebagai hari dalam Islam. Hari ibu hanyalah hari nasional, yang bahkan pemerintah tidak menjadikannya sebagai hari libur (tanggal merah).

Hari ibu adalah hari nasional sebagaimana hari pendidikan, hari guru, hari anak, hari pahlawan, hari anti korupsi, dll. Sangat absurd argumen yang mengatakan bahwa hari ibu tidak dikenal dalam Islam sehingga tidak perlu menambah hari raya dalam Islam. Tidak ada yang mengaitkan hari ibu dengan hari raya agama kecuali mereka yang resah sendiri dengan keberadaan hari ibu.

Kaidah fiqh dengan bijak mengajarkan kita, bahwa dalam urusan muamalah segala sesuatu pada dasarnya diperbolehkan kecuali ada dalil yang melarang. Hari ibu hanyalah urusan muamalah. Salah kaprah bila diseret ke urusan ibadah mahdhoh.

Urgensi Hari Ibu

Kemudian masih pentingkah hari ibu karena toh tiap hari seharusnya adalah hari ibu?

Sama saja pertanyaan ini bila ditanyakan ke tiap hari nasional. Misalnya, masih pentingkah hari pendidikan karena tiap hari para murid dan guru melakukan proses belajar mengajar?

Diistimewakannya satu hari untuk memperingati hari tertentu memang ada tujuannya, yaitu agar suatu tema lebih bergaung di masyarakat. Bagi aktivis peduli AIDS, penetapan hari AIDS membantu mereka untuk menyosialisasikan pencegahan AIDS kepada umat manusia. Di sekitar hari itu media massa mengangkat soal AIDS, dan para aktivis punya kesempatan untuk berkampanye.

Bagaimana dengan selain hari itu? Ada begitu banyak tema di dunia ini yang tidak akan bisa selalu diangkat tiap hari. Karena itu pergiliran hari untuk bermacam tema memudahkan sosialisasi terhadap tema tersebut. Tidak bisa tiap hari media massa mengangkat soal AIDS, pendidikan, kepahlawanan, tentang ibu, dll. Pergiliran hari memudahkan kampanye hari-hari itu bisa terfokus.

Ada banyak problem tentang ibu yang perlu diadvokasi. Misalnya aturan pemerintah agar cuti terhadap karyawan menyusui diperpanjang; atau pencegahan ibu meninggal saat melahirkan. Ketika mendekati hari ibu, semua perangkat untuk bersosialisasi mendapatkan momentumnya untuk diarahkan membahas soal ibu. Dan kampanye hal-hal di atas pun bisa fokus kepada masyarakat, tidak terganggu teriakan lain entah itu soal AIDS, soal pendidikan, dll.

Jadi, bicara hari ibu bukan cuma bagaimana seorang anak berterimakasih kepada wanita yang mengasuhnya. Juga soal bagaimana agar ibu semakin berdaya dan diperhatikan oleh pemerintah dan masyarakat.

 

*Alhamdulillah dimuat di KabarUmat

 
Leave a comment

Posted by on May 31, 2015 in Artikel Umum

 

Jodohku di Tangan Pembinaku

ta'aruf

“Sah ya?”

“Saaah!!!”

Hepi tersenyum sumringah. Ia mengulurkan tangan kepada orang yang ada di depannya yang baru saja membeli kambing kurbannya. Si pembeli menyambut tangan Hepi. Mereka berjabat tangan, erat.

“Ngomong-ngomong, ente sendiri kurban gak Hep?” Si pembeli bertanya.

“Pengennya sih gitu… Ada sih uang, tapi buat keperluan laen yang gak kalah mendesak.”

“Wuiih.. keperluan apaan tuh? Emang keperluannya bisa ngalahin keutamaan berkurban.”

“Insya Allah begitu.. Kurban kan sunnah muakaddah. Kalo yang ini… Bisa dikatakan wajib lah..”

“Oke deh. Semoga urusannya dipermudah Allah.”

“Amiin.. Amiin ya Robbal’alamiin…” Hepi mengaminkan dengan penuh penghayatan.

Si pembeli berlalu. Ia adalah pembeli kambing kurban ke-empat yang Hepi dapatkan semenjak seminggu yang lalu ia mengedarkan brosur hewan kurban kepada orang-orang yang dikenalnya. Hepi benar-benar senang luar biasa. Terbayang uang tabungannya yang ia persiapkan untuk menikah sudah bertambah. Dan muncul pula rasa optimis bahwa ia sudah memiliki pekerjaan yang bisa diandalkan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya kelak bila ia menikah. Hepi senang, yakin, dan bertambah semangat.

Sejak enam bulan yang lalu Hepi mulai merintis berbagai usaha dan mulai mengumpulkan uang. Tujuannya hanya satu: menikah. Hepi yang sedang kuliah semester 6 merasa sudah saatnya ia menikah. Selain karena ia sudah memasuki usia aqil baligh, ia juga merasa sudah menemukan jodoh yang tepat untuk dinikahi.

Adalah Nita, seorang aktifis Rohis Kampus yang menjabat ketua keputrian yang menyebabkan Hepi bertekad bulat untuk menikah. Perasaan suka di hati Hepi sudah mulai tumbuh sejak satu setengah tahun yang lalu. Sosok Nita memang mudah membuat laki-laki jatuh cinta pada pandangan pertama. Dan itu yang terjadi pada Hepi ketika melihat Nita yang saat itu masih menjabat sebagai sekretaris Departemen Keputrian melakukan presentasi program kerja di sebuah acara Rapat Kerja kepengurusan baru.

Setelah jatuh cinta pada pandangan pertama itu, mulanya Hepi tidak terlalu menuruti perasaan yang aneh pada dirinya. Tapi beberapa kali pertemuan dan beberapa interaksi membuat kekagumannya bertambah. Posisi Hepi di Organisasi Rohani Islam Kampus sebagai anggota Departemen Syiar memang sering berurusan dengan Nita bila ada agenda Keputrian yang akan melaksanakan acara dalam skala besar. Syuro-syuro kecil yang cuma dihadiri oleh beberapa orang, hingga syuro agak besar yang melibatkan beberapa department, memberikan bayangan kepada Hepi seperti apa sosok Nita itu. Dan makin hari makin bulat tekad Hepi untuk hidup berdampingan bersama Nita.

Hingga enam bulan yang lalu, setelah Hepi mengikuti “Dauroh Pra Nikah”, sebuah training persiapan pernikahan untuk mereka yang akan melaksanakannya, Hepi memutuskan untuk memulai mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk menikah. Tabungan, pekerjaan, penghasilan, ilmu, semuanya ia kejar. Ia kumpulkan buku-buku pernikahan, walau pun membeli dari sebuah toko buku loak yang ada di belakang kampusnya.

Di kajian pekanan yang dibina oleh Imran, seorang alumni yang pernah menjabat sebagai Ketua Rohis periode tiga tahun yang lalu, Hepi memberanikan diri mengangkat tema-tema pernikahan. Hepi tahu, kakak pembinanya itu belum menikah. Tapi Imran tetap meladeni diskusinya. Bahkan Hepi menantang Imran untuk berlomba adu cepat siapa yang lebih dulu menikah. Saat tantangan itu dilontarkan, dengan sedikit tertawa, Imran yang sudah bekerja mapan di sebuah Bank Syariah menyanggupi tantangan Hepi.

Tapi Hepi tidak pernah menceritakan kepada Imran tentang ketertarikannya dengan Nita. Ia hanya berharap suatu saat Imran memudahkan permintaannya untuk ber-ta’aruf dengan Nita bila saatnya tiba, dan tidak memberatkannya dengan pertimbangan yang aneh-aneh. Hepi agak khawatir saat beberapa teman tempat curhatnya menyinggung masalah “sekufu’”, dalam artian Hepi tidak sekufu’ atau tidak cocok dengan Nita. Bukan masalah keturunan, bukan masalah harta kekayaan, atau pun kecerdasan, tetapi masalah tampang. Untuk masalah ini, Hepi tak bisa berbuat apa-apa karena dari sananya cetakannya sudah seperti itu. Ia berharap bisa berproses tanpa terganggu selisih tampang yang timpang.

*****

Hepi berjalan menelusuri jalan setapak yang mengantarkannya pada sebuah peternakan di pinggir kota, di sore yang terik saat matahari bebas melempar cahayanya ke bumi tanpa penghalang. Peternakan Haji Yamin, di sana Hepi punya investasi berupa empat ekor kambing dan sepetak kolam yang berisi puluhan ikan Lele. Investasi itu rutin mengalirkan uang kepadanya tiap bulan dengan sistem bagi hasil dengan pemilik peternakan.

Di depan pintu gerbang peternakan, ada sebuah pos tempat petugas keamanan berjaga. Di sana sedang duduk seorang seumuran Hepi sembari membaca sebuah buku. Hepi melontarkan salam kepada orang itu.

“Assalamu’alaikum…”

“Wa’alaikum salam. Eh Hepi… sudah laku berapa?” Orang itu menjawab salam dan menyambut Hepi dengan pertanyaan.

“Alhamdulillah udah dapat enam pembeli. Sendirian aja, Wal?” Hepi memasuki ruangan pos jaga, menyeret sebuah bangku, dan duduk di samping Awal, orang yang disapanya.

“Iya… Lagi baca buku tentang nikah. Gak mau kalah sama ente. Hehehe…”
“Haha… Awaal.. Awal… Mau nikah sama siapa? Udah ada calon? Jangan-jangan kita ngincer orang yang sama lagi…” Hepi cengengesan.

“Santai aja Hep. Ane cukup tau diri untuk ngejer-ngejer Nita. Emangnya ente? Modal nekat doang.” Awal mengambil sebuah gelas kosong di atas meja di depannya, lalu menuangkan air ke gelas itu dari sebuah teko. “Minum Hep!” Tawar Awal.

Hepi yang haus langsung menghabiskan air dari gelas itu.

“Enak aja nekat. Investasi ane ini adalah modal buat berumah tangga. Bukan modal nekat.” Ujar Hepi setelah dahaganya sembuh.

“Haha… Kalo cuma modal ternak, ane udah dari dulu nikah dong. Ente aja yang cuma investasi di peternakan Abah ane berani nikah, masa’ ane enggak.”

“Nah, tuh nyadar. Emang kenapa belum mau nikah? Modal harta udah ada.”

“Entar deh. Belum punya ilmu.”

“Alasan ih… Makanya banyak baca dong. Kalo masalah ilmu mah… kita akan selalu merasa kekurangan.”

“Ente udah banyak baca buku nikah kan Hep? Udah siap dari sisi ilmu?”

Hepi mengangguk. “Ya Insya Allah begitu.”

“Coba sebutin rukun nikah!” Tertawa kecil, Awal menguji Hepi.

Hepi gelagapan. “Mempelai pria, wanita, wali, penghulu dari KUA, saksi…”

Awal tertawa terbahak-bahak. “Ngawur ya.. Sejak kapan petugas pencatat nikah masuk jadi rukun nikah? Ah payah niiih… katanya udah siap dari sisi ilmu?”

“Ya setidaknya di Negara kita kalo mau nikah kan harus ada petugas pencatat nikah dari KUA. Hepi tersipu.”

“Maaf Hep.. Ane gak yakin ente diperbolehin nikah sama Bang Imran. Ente belum siap deh Hep.”

Awal dan Hepi berada pada satu kelompok kajian pekanan yang sama di bawah binaan Imran. Awal juga anggota Rohani Islam. Ia menjabat sebagai Bendahara.

“Jangan gitu Wal. Jangan nakut-nakutin. Untuk masalah jodoh, ana gak mau diatur-atur. Walau pun sama orang tua. Apalagi cuma sama Bang Imran.”

“Kalau Bang Imran gak mau memperantarai ente untuk ta’aruf dengan Nita, gimana?”

“Ane nekat aja, langsung ngajak Nita ta’aruf. Gak pake perantara-perantaraan.”

Awal mengangguk. Hening sesaat di antara mereka.

“Hep, mau mendengarkan nasehat ane?”

“Mau insya Allah. Kalo gak mau, berarti hati ane udah mati.”

“Kalau antum meniatkan pernikahan itu sebagai ibadah, maka antum gak akan masalah walau pun menikah bukan dengan Nita. Karena fokus ibadahnya bukan pada menikahi Nita, tapi pada menikahnya itu sendiri. Keikhlasan antum menikah karena Allah itu diuji saat antum gagal menikah dengan Nita. Kalau antum ikhlas, maka antum gak akan kecewa karena masih banyak kesempatan. Tapi kalau antum kecewa berat, maka niat antum adalah cuma mau menyenangkan diri dengan menikah dengan Nita, bukan sebagai penghambaan kepada Allah. Begitu Hep.”

Mereka berdua diam. Hepi termenung seperti mencerna kata-kata Awal.

“Memang berat bicara niat kalau sudah terlanjur punya pilihan.” UjarHepi.

“Ana gak mempermasalahkan ente punya pilihan. Tapi jangan sampai pilihan itu menutupi niat karena Allah. Ah… susah kalau bicara niat. Terlalu filosofis jadinya.”

“Iya Wal.. iya…”

“Mudah-mudahan ente gak kecewa, Hep.” Awal tertawa.

“Lho, kenapa Wal? Ente yakin Bang Imran akan menolak permintaan ana? Jangan-jangan ente cuma menggertak, karena ente juga ngincer Nita kan?”

“Bukan. Ya… ada lah… liat aja nanti.” Awal menyembunyikan sesuatu.

Saat matahari makin terperosok ke ufuk barat dan mendekati waktu maghrib, kedua sahabat itu beranjak ke kampusnya. Ada jadwal kajian pekanan malam itu di Masjid Kampus. Dan Hepi sudah bertekad bulat menyampaikan keinginannya ta’aruf dengan Nita kepada Bang Imran.

*****

Kajian pekanan malam itu sudah mulai berakhir saat Imran memimpin doa penutup majelis. Sembari mencicipi makanan yang terhidang di tengah lingkaran, delapan orang peserta kajian bercakap-cakap. Hepi semakin berdebar jantungnya menanti saat yang tepat untuk meminta kepada Bang Imran untuk berbicara empat mata.

“Ikhwan fillah, ada yang mau ana sampaikan.” Ujar Imran menyela percakapan mereka.

“Apa Bang?” Tanya salah seorang dari mereka.

“Yah, ana punya ini…” Imran mengeluarkan beberapa buah undangan yang terbungkus rapi dengan plastik. Dibagikan undangan itu kemasing-masing anak. Mereka membuka undangan itu tak sabar. Termasuk Hepi. Sebuah undangan pernikahan.

“Afwan Hep. Untuk masalah nikah, ana menang dari antum ya… Ana menikah duluan. Diizinin ya Hep?” Imran tertawa menggoda.

“Insya Allah, bang. Barakallah.” Jawab Hepi. Berbisik dalam hati, Hepi berkata, “Kalahnya gak telak kok Bang. Ana juga bentar lagi bakal nikah dengan…. Nita.”

Belum sempat Hepi membuka undangan dan melihat dengan siapa Imran menikah, suara gemuruh di masjid yang sepi itu bergema dari anak-anak pengajian.

“Dengan siapa?” Hepi membatin dan makin penasaran. Dan saat ia membaca naskah undangan itu, terasa sesak di hatinya saat melihat nama Renita Kusuma terpampang di undangan itu. “Nita…” Ujarnya membisik.

Sebuah tepukan mendarat di pundak Hepi. “Ana udah tau duluan Hep. Mudah-mudahan kata-kata ana tadi sore bisa menguatkan antum.” Suara milik Awal.

Hati Hepi tak karuan. Gemuruh… dan mendung…

 
Leave a comment

Posted by on May 30, 2015 in Puisi dan Cerpen

 

Hati-Hati Ngomporin Orang Menikah

kapan nikah
Di sebuah forum, pembicara mengulas topik tentang perlunya menyegerakan menikah. Peserta forum itu terdiri dari bujang-bujang yang beberapa di antara mereka sudah masuk usia layak menikah dan punya kesiapan finansial yang memadai. Sindiran-sindiran pembicara cukup menusuk hingga membuat para peserta mesem-mesem. Di usia yang sudah harusnya menikah, kalau tidak disegerakan, memang membawa kekhawatiran kalau-kalau para bujang itu malah pacaran, atau bermaksiat yang lebih parah lagi. Jadi “pengomporan” yang dilakukan oleh pembicara itu wajar adanya.

Tapi sayang, di tengah peserta ada beberapa remaja usia SMA. Mereka ikut tertawa, ikut mesem-mesem, ikut mengangguk-angguk mendengarkan materi bersama peserta yang lain. Mereka setuju, pacaran harus dijauhi. Dan penggantinya, menikah harus disegerakan.

Kemudian pulanglah remaja usia SMA itu dan bertemu kedua orang tuanya. Berbekal materi-materi “kompor” yang didapat tadi, remaja itu memohon kepada orang tuanya agar segera dinikahkan. Nah lho…

Akhirnya orang tuanya cuma bisa mengelus dada dan keheranan dengan aktifitas pengajian si anak. “Pengajian macam apa ini?” Pikir mereka. Dan dari mulut si ibu, terlontar kata-kata: “Memang, kalau anak sudah ikut pengajian itu, nggak lama mereka akan minta nikah.” Maklum, si ibu sudah mendapati beberapa anak remaja tanggung ikut pengajian itu. Stigma tidak bisa dihindari, karena setiap anak remaja yang dilihatnya ikut pengajian itu, mereka akan merengek minta nikah.

Hadits yang berbunyi, “Berbicaralah kepada manusia menurut pengetahuan mereka.” (HR Ad-Dialami, Bukhori) Memang mengindikasikan ada levelisasi pada kemampuan manusia dalam menangkap suatu retorika dan materi pembicaraan. Seperti tidak mungkin kita memberi pelajaran kalkulus pada anak SD, atau ushul fiqh pada anak yang baru belajar membaca Qur’an, materi yang mengandung provokasi untuk segera menikah rasanya terlalu dini diberikan pada anak remaja usia SMP atau SMA yang baru belajar Islam.

Memang tidak jarang seorang mentor menjawab pertanyaan, “Kak, kalau kita gak boleh pacaran, terus gimana kalo kita suka sama seseorang?”, dengan jawaban, “Islam tidak mengenal pacaran. Kalau kita suka sama seseorang, kita miliki dengan jalan yang halal, yaitu pernikahan.” Tentu seorang anak remaja puber yang mabuk kepayang dengan lawan jenis, dan pada saat yang sama ia mulai merasakan tentramnya hidup dalam jalan Islam, akan “kebelet” nikah agar cintanya berlabuh dengan indah dan halal. Dan kalau seperti ini, yang kaget adalah orang tua si anak.

Jawaban tadi tidak salah. Tapi kalau mau memberikan jawaban polos itu, lihat-lihtlah kondisi psikologis si remaja. Kalau misalnya diberikan jawaban, “Jodoh nggak kemana. Kehidupan kita telah diatur oleh Allah sebelum kita lahir di kitab Lauhul Mahfuzh. Sekarang kamu konsentrasi aja dulu belajar yang serius sampe lulus SMA dan lulus kuliah dan bekerja, fokus membentuk kepribadian yang muslim, dan membuat orang tua ridho. Perkuat cinta kamu kepada Allah karena cuma Dia yang berhak dicintai. Kalau Allah kehendaki, di saat kamu sudah siap berumah tangga, kamu akan menikah dengan dia.” Ya memang jawabannya panjang lebar. Dan tekankan agar anak itu melakukan hal-hal yang positif di usianya. Kalau belum apa-apa sudah diprovokasi menikah, konsentrasi belajarnya bisa buyar. Sayang kalau dakwah ini dipenuhi oleh remaja-remaja kebelet nikah dan melupakan prioritasnya di usianya.

Idealnya memang saat seorang anak sudah baligh, maka itulah saat yang tepat untuk menikah. Tapi dengan sistem pendidikan di negara ini, rasanya hal tersebut susah. Usia hingga SMA adalah usia wajib belajar. Sistem pendidikannya masih menerapkan disiplin yang ketat. Seragam hingga absensi diatur dengan ketat. Agak susah kalau anak usia SMA harus membagi perhatiannya antara belajar dengan mencari nafkah atau mengasuh anak. Beda dengan anak kuliahan yang sistem belajar di kampusnya tidak begitu ketat seperti SMP/SMA. Ada banyak cerita anak kuliahan yang sudah menikah.

Tapi walau masa kuliahan sudah lepas dari pendidikan penuh disiplin dan ketat, tetap saja seorang “pengompor” harus hati-hati memprovokasi anak kuliahan. Karena tidak semua orang punya kemampuan membagi waktu antara menikah dan belajar. Banyak kasus mahasiswa yang menikah namun kuliahnya berantakan. Kondisi tiap orang berbeda. Perhatikan prioritas dan potensi seseorang. Jangan sampai seorang kader dakwah yang punya potensi besar menjadi ahli di bidang tertentu, potensinya tenggelam karena terprovokasi untuk menikah dan kuliahnya jadi berantakan karena sibuk mencari uang dan gagal mengatur waktu.

Sebuah cerita lain, Seno adalah kader dakwah yang baru saja lulus kuliah dan baru saja diterima bekerja. Selama ini kuliahnya dibiayai oleh orang tuanya dan kakaknya. Orang tuanya pensiunan PNS berpangkat rendah dan hidupnya dibantu dengan pemberian anaknya yang sudah mapan. Gaji PNS-nya tidak memadai untuk kebutuhan sehari-hari.

Suatu hari Seno mengutarakan keinginannya untuk menikah kepada orang tuanya. Orang tuanya kaget dan pusing tujuh keliling. Tidak ada tabungan untuk membiayai pernikahan Seno. Bahkan Seno sendiri tidak punya apa-apa untuk hidup berumah tangga. Tidak punya kasur, lemari, perabotan, bahkan tabungan. Ia mengandalkan gaji barunya yang sebenarnya jauh dari cukup untuk menghidupi dua orang. Seno berkilah bahwa calon istrinya sudah bekerja dan punya penghasilan sendiri. Orang tuanya bingung, bukankah menafkahi itu tugas suami. Orang tuanya berfikir apakah di pengajian Seno tidak diajarkan bahwa suami berkewajiban menafkahi istri?

Rupanya Seno mendapat “kompor” dari guru ngajinya, yang dulu menikah dalam kondisi serba tidak berkecukupan. “Ana aja bisa, tidur dengan kasur busa kecil, tinggal di petakan sempit. Makan kadang cuma pake tempe.” Semakin bingung orang tuanya, ini pengajian macam apa. Dan kakaknya marah-marah karena orang tuanya belum lagi menikmati gaji Seno, tapi Seno malah sudah buru-buru menghidupi orang lain. “Mana bakti kamu?” Tanya kakaknya. Itu baru kesiapan finansial yang nihil dimiliki Seno. Kesiapan ilmu? Seno sendiri baru beberapa bulan ikut pengajian.

Memang harus hati-hati memprovokasi seseorang untuk menikah. Kasus Seno akan menjadi kontraproduktif bagi dakwah. Kasusnya akan terdengar oleh keluarga besar, dan akan menimbulkan antipati bagi dakwah. Cerita seorang sahabat yang menikah dengan cincin besi, itu tepat diberikan pada bujang yang sudah semestinya menikah tapi takut miskin. Namun untuk bujang seperti Seno, ia masih punya waktu untuk menabung mempersiapkan diri menikah sehingga tidak perlu membuat pusing orang tuanya, atau malah mengandalkan hidup dari istrinya (walau istrinya rela). Ia sudah punya semangat menikah, tinggal dimenej dan diarahkan untuk persiapan yang cukup. Ayat “Kalau kamu miskin Allah akan mengkayakan kamu,” (QS An-Nur : 32) bukan berarti tergesa menikah dengan persiapan yang sangat minim, padahal kalau mau bersabar menunggu persiapan itu akan terpenuhi.

Kebanyakan orang tua kader dakwah adalah orang umum dan tidak punya latar belakang dunia dakwah. Mereka punya logika sendiri dalam menilai anaknya apakah sudah harus menikah atau belum. Remaja yang terjejal cerita idealis tentang orang yang sukses menikah dini, biasanya mendapat resistensi dari orang tuanya yang menilai bahwa usia menikah adalah usia di mana sang anak punya penghasilan yang mapan. Benturan ini bisa membuat buruk citra dakwah atau suatu pengajian.

Seorang pengompor tidak boleh lepas dari menjelaskan apa itu persiapan menikah, bila memprovokasi orang untuk menikah. Jangan menjelaskan yang manis-manis saja tentang pernikahan. Provokasi yang tepat sasaran adalah pada bujang yang punya persiapan namun punya keraguan untuk menikah, bukan pada remaja tanggung yang persiapannya nihil dan masih jauh namun rentan tergoda untuk tergesa menikah.

 

Jantan

Jantan memiliki arti yang sama dengan pria. Tapi jantan lebih digambarkan dengan keperkasaan, kekuatan, dan keberanian. Sifat tersebut dalam kehidupan memang selalu dilekatkan pada pria. Dan secara kodratnya, pria lebih perkasa daripada wanita – yang digambarkan dengan sifat kelembutan.

Saat yang paling jantan dalam kehidupan pria adalah ketika ia menjemput sendiri ‘mitsaqon gholizo’. Kenapa bisa disebut saat yang paling jantan? Apa hubungannya dengan mitsaqon gholizo? Mari kita bahas dulu tentang mitsaqon gholizo.

Mitsaqon gholizo bermakna ikatan yang kuat. Dalam Al-Qur’an, Allah SWT tiga kali menyebut kata ini. Pertama dalam Al-Ahzab ayat 7, perjanjian antara Allah dan Rasul-Nya. “Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil perjanjian dari nabi-nabi dan dari kamu (sendiri) dari Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa putra Maryam, dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang teguh”.

Kemudian pada An-Nisa 154, antara Allah SWT dan Bani Israil. “Dan telah Kami angkat ke atas (kepala) mereka bukit Thursina untuk (menerima) perjanjian (yang telah Kami ambil dari) mereka. Dan kami perintahkan kepada mereka: “Masuklah pintu gerbang itu sambil bersujud”, dan Kami perintahkan (pula) kepada mereka: “Janganlah kamu melanggar peraturan mengenai hari Sabtu”, dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang kokoh.”

Dan terakhir pada An-Nisa ayat 21, perjanjian antara suami dan istri. “Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.”

Allah menggunakan kata mitsaqon gholizo dalam pernikahan, sebagaimana Allah menggunakannya untuk perjanjian antara Ia dan Rasul-Nya, serta Ia dan Bani Israil.

Mitsaqon gholizo adalah perjanjian yang sangat serius. Untuk Bani Israil, Allah sampai mengangkat gunung Thursina ke atas kepala mereka. Coba bayangkan, jangankan gunung, apa rasanya kalau ada yang mengancam atau menginterogasi kita dengan cara mengangkat sebuah batu besar di atas kepala kita? Tentu kita merasa ketakutan. Dan begitulah proses perjanjian mitsaqon gholizo.

Dan untuk Nabi, Allah tidak kalah kerasnya mengancam. Bahkan seorang kekasih-Nya pun diancam seperti ini: “Seandainya dia (Muhammad) mengadakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, niscaya benar-benar Kami pegang dia pada tangan kanannya, kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya. Maka sekali-kali tidak ada seorangpun dari kamu yang dapat menghalangi (Kami), dari pemotongan urat nadi itu.” (QS Al-Haaqqah : 44-48).

Bukan main konsekuensi dari mitsaqon gholizo ini. Karena itu, wajar bila disebut saat yang paling jantan bagi seorang pria adalah saat ia menjemput sendiri mitsaqon gholizo, ketika ia datang ke rumah orang tua seorang gadis untuk menikahinya.

Khusus untuk pernikahan, wanita lah yang mengambil perjanjian yang kuat dari seorang pria yang teruji kejantanannya. Tapi bukan berarti konsekuensinya kecil. Dalam buku fiqh prioritas, Yusuf Qardhawi membuat bab yang berjudul “Mengutamakan Hak-Hak Manusia Atas Hak-Hak Allah”.

Hak manusia memang lebih utama dipenuhi. Dalam buku tersebut disebutkan bahwa para ulama berpendapat, “Sesungguhnya hak-hak Allah Ta’ala dibangun atas dasar toleransi, sementara hak-hak manusia dibangun atas dasar kepastian (ketat).” Dan dalam hadits disebutkan bahwa seorang yang mati syahid, sebuah amal yang sangat besar pahalanya, terhalang masuk surga karena ada hak manusia yang tidak terpenuhi, misalnya hutang atau lebih parah lagi pencurian. Seorang pencuri ketika bertaubat, insya Allah dihapuskan dosanya oleh Allah. Tapi tidak cukup di situ, selama ia belum meminta maaf kepada manusia, urusannya belum selesai.

Tanpa terangkat sebuah gunung ke atas kepalanya, atau ancaman pemotongan urat jantung, seorang pria membuat ikatan dengan seorang gadis untuk beberapa misi yang sangat sulit. Misi yang sulit itu adalah : Menjaga diri dan keluarganya dari api neraka. Hanya yang jantan lah yang bisa menjalankan misi tersebut!

Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS At-Tahrim : 6)

Jelas misi ini sangat sulit. Menjaga diri sendiri dari api neraka saja sangat sulit. Pada misi yang ia hampiri sendiri ini, seorang pria harus melindungi tidak cuma dirinya, tapi juga keluarganya dari api neraka.

Seorang pria adalah pemimpin bagi keluarganya. Dan ia akan dimintakan pertanggung-jawabannya atas kepemimpinannya ini. Dari Nabi saw. bahwa beliau bersabda: “Ketahuilah! Masing-masing kamu adalah pemimpin, dan masing-masing kamu akan dimintai pertanggungjawaban terhadap apa yang dipimpin… Seorang suami adalah pemimpin anggota keluarganya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap mereka…” (Shahih Muslim No.3408)

Dan dalam An-Nisa : 34, Allah berfirman, “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.”

Belum lagi, apa yang dipimpinnya, kadang ‘menjadi musuh’ bagi dirinya (lihat QS At-Taghabun (64) : 14). Sangat-sangat tidak mudah menjaga diri dari api neraka yang dikelilingi oleh kenikmatan. Wajar disebut jantan bagi seorang yang berani mengambil peran memimpin diri dan orang lain dari api neraka.

 

Ketika Rijal Harus Memilih

ekstra kurikuler sekolah

Mentari pagi menemani perjalanan Rijal ke sekolahnya. Ada sekitar 300 meteran dari jalan raya menuju sekolah Rijal. Perjalanan itu ia lalui dengan kecepatan sedang, karena waktu baru menunjukkan pukul 06.45 WIB. Sedangkan ia baru masuk pada pukul 07.15 WIB.

Sinar mentari tidak-lah terlalu garang. Justru bersahabat karena sinar mudanya menyehatkan tubuh. Namun Rijal sama sekali tidak tertarik untuk menikmati sinarnya. Karena ia sedang gamang, hatinya pada kegundahan yang bergelora.

“Lihat Juli, kakakmu, Rijal! Dia aktif. Ketua OSIS di sekolah-nya waktu dia masih SMU. Bahkan kesibukannya jadi ketua OSIS, tidak menghalangi dia untuk tetap jadi juara kelas.” Tukas Papa Rijal suatu ketika, sorenya saat hari itu dia dinyatakan diterima di salah satu SMU di Bandar Lampung. Memang bukan sekolah unggulan pertama, tapi SMU yang akan dia masuki itu berada di jajaran SMU favorite di kotanya.

“Tapi Pa, kan Rijal sibuk di Grup Band Rijal. Rijal nggak bisa ikut kegiatan gituan. Nggak ada waktu.”

“Kamu ini. Apa sih yang didapat dari main band? Cuma sekedar hura-hura. Nggak ada manfaatnya itu.”

“Ah Papa. Musik kan juga bisa ngasilin uang.”

“Memang, Tapi Papa nggak mau kalau kamu besar nanti jadi pemusik. Nggak kepingin tah kamu jadi Om Heru? Sekarang jadi manager di perusahan besar. Masa depannya lebih terjamin. Kalau kamu cuma jadi pemusik, kamu cuma bisa dapat uang banyak waktu kamu terkenal saja. Saat kamu tidak lagi terkenal, otomatis karirmu terhenti.”

“Papa selalu deh ngebandingin Rijal dengan orang laen. Rijal pengen jadi diri Rijal sendiri.”

“Rijal, sampai kapan kamu selalu membantah omongan orang tua?”

“Sudah-sudah. Jangan bertengkar terus. Nggak Papa, nggak anak, selalu ribut, selalu beda pendapat. Coba sekali-kali akur gitu.” Mama Rijal menengahi keributan itu. “Rijal, katanya kamu ada latihan jam lima. Ini sudah jam empat lho. Mandi lagi sana.” Lanjut Mam Rijal.

“Ih, ibu ini. Malah memberi kesempatan Rijal hura-hura dengan teman-temannya.”

“Nggak papa tho Pa, dia kan masih muda. Perlu kesenangan juga. Kita kan dulu pernah muda juga.” Bela Mama Rijal.

“Ah, nggak Mamanya, nggak anaknya, semua pada suka membantah.” Papa Rijal kesal. Dan kemudian meneruskan bacaan korannya.

Dialog itu membayang di benak Rijal. Mengantarnya ke kelas yang baru seminggu ia tempati.

Begitulah, Rijal dituntut oleh kedua orangtuanya untuk mengikuti jejak kakaknya. Aktif di organisasi dan berprestasi besar. Dia sendiri ogah untuk mengikuti organisasi di sekolah barunya. Dia lebih cenderung untuk menyibukkan diri dengan teman-temannya di grup bandnya. Itulah yang menyebabkannya bimbang kini.

*****

“Rendi, lu ikut yang mana kira-kira. Paskibra, PMR, Pramuka, KIR, Pecinta Alam, Olahraga? Atau lu mau ikut Ro… apaan tuh yang ada islam-islamnya?” Tanya Rijal kepada Rendi, temannya yang baru seminggu ia kenal semenjak Masa Orientasi Siswa.

Ini hari terakhir Masa Orientasi Siswa, atau yang disingkat dengan MOS. Ada pertunjukkan dari semua organisasi ekstrakurikuler di lapangan. Semua siswa kelas satu berada di pinggir lapangan menyaksikan pertunjukan yang akan dibawakan oleh kakak kelasnya, yang merupakan utusan dari ekskulnya masing-masing.

“Rohis maksud lu?” Tanya Rendi balik.

“Yo’e. Lu tertarik? Biar jadi alim kan. Ciee.”

“Nggak tau tuh. Males kayaknya ikut ekskul. Mendingan gua maen play station di rumah. Nggak diwajibin kan ikut ekskul?”

“Nggak kok. Kalau sama sekolah nggak diwajibin. Tapi kalo sama ortu gua diwajibin. Gua harus ikut biar kayak kakak gua yang dulu ketua OSIS. Pusing juga gua jadinya.”

“Kaciaan.”

“Lu jadi penasehat gua ya, Ren. Tunjukin yang mana kira-kira ekskul yang cocok untuk orang cute kayak gua ini.”

“Ok deeh.”

Sebuah organisasi mendapat giliran mengadakan pertunjukkan di tengah lapangan. Mereka membawa dua bejana kecil, berisi zat kimia. Kemudian mencampurnya di atas meja yang telah di persiapkan. Asap warna warni tak lama mengepul dari bejana yang telah dicampur dua zat berlainan itu. Penonton bertepuk tangan.

“Itu aja Jal. Nambah pengetahuan lu kan.” Nasehat Rendi.

“Ih, gua ogah sama yang begituan. Nanti botak lagi kepala gua.”

“Dasar lu, ngomong aja kalo lu bego.”

Tak lama, gantian sebuah organisasi mengadakan pertunjukan baris berbaris di depan.

“Nah, itu aja. Bisa nambah disiplin.” Nasehat Rendi lagi.

“Ah males. Gua mau yang bebas. Nggak mau yang diatur-atur.”

“Dasar lu, ngomong aja kalo lu pemales.”

Kemudian sebuah organisasi mengadakan pertunjukkan. Tujuh orang maju ke depan. Mereka menyanyikan lagu keislaman. Suaranya cukup harmonis. Lirik lagunya pun menyentuh.

“Nah, itu aja. Biar lu jadi anak yang soleh.”

“Ah males. Ngaji gua belum lancar. Lagian tuh grup musik kok aneh? Nggak make alat musik.”

“Oh, itu namanya nasyid. Memang nggak make musik. Tapi make suara mulut kayak acapella.”

“Ih, kuno amat ya? Enakan dengerin Padi, musiknya ok punya. Nggak mau lah gua ikut begituan.”

“Dasar lu, ngomong aja kalo lu bejat.”

“Lu komentar m’lulu dari tadi.” Rijal sebal.

Akhirnya sampai selesai acara, tidak ada satu organisasi pun yang tertarik di hati Rijal. Ia lebih menggandrungi dunia musik. Dari pada ikut organisasi ekstra kurikuler.

*****

Sholat jum’at sudah selesai dilaksanakan di masjid sekolah Rijal. Murid dan guru sudah banyak yang meninggalkan masjid. Rijal masih terpaku di tempat duduknya. Terngiang kembali perdebatan alot antara dia dan orangtuanya.

“Nggak ada yang menarik Paa. Ngeliat pertamanya aja udah bosen. Papa ini gimana sih. Orang nggak mau juga, pake dipaksain segala.” Suara Rijal meninggi setelah dia didesak oleh Papanya untuk mengikuti salah satu organisasi ekstrakurikuler di sekolahnya.

“Ini kan juga untuk kepentingan kamu.”

“Kepentingan sih kepentingan. Tapi liat selera orang dong. Masak yang nggak selera di paksain. Nanti muntah jadinya.”

“Pokoknya Papa nggak mengizinkan kamu ikut band lagi. Papa nggak akan membelikan kamu gitar listrik. Dan uang jajan kamu juga akan dikurangi kalau tidak mau ikut organisasi di sekolah. Titik.” Papa Rijal mengeras. Kemudian berlalu memasuki kamarnya.

Tinggal Rijal terpekur ditemani ibunya.

“Ikut saja lah kata Papamu itu. Toh, Papa itu sayang kamu. Ingin melihat kamu jadi orang besar nantinya.” Suara Mama Rijal lembut.

“Ma… Mama masih bisa ngertiin Rijal kan?”

“Ia sayang.”

“Rijal pengen jadi apa yang Rijal mauin. Rijal nggak suka dipaksa-paksa.”

“Ok, Rijal sekarang pengen jadi pemusik. Tapi ingat, Rijal masih muda. Keingingannya sering berubah-ubah. Dulu Rijal ingin jadi pilot, eh nggak lama berrubah ingin jadi astronot. Seperti Tasya saja. Lalu Rijal lihat orang pembawa bendera, Rijal ingin menjadi paskibraka. Tak lama Rijal melihat paskibraka itu menyerahkan bendera kepada pesiden, eh Rijal malah ingin jadi presiden.”

Rijal tersenyum lucu. “Iya ya Ma. Terus, gimana dong Rijal. Rijal sekarang pengen bener jadi pemusik.”

“Udah, gini aja. Rijal ikut aja dulu organisasi, lalu kalau Rijal tidak betah, Rijal boleh keluar. Terus Rijal lanjutin maen musiknya. Insya Allah Mama nanti yang bilangin ke Papa.”

Rijal tersenyum girang. Mamanya selalu menjadi penyejuk duka. “Makasih ya, Ma.”

Rijal menemukan jalan keluarnya. Dan kini dia berupaya membetahkan diri untuk mengikuti organisasi. Namun organisasi yang mana yang ia ikuti?
“Assalamualaikum..” Sebuah sapaan membuyarkan lamunan Rijal yang sedari tadi terpekur di masjid sekolahnya.

“Wa..waalaikum salam.” Rijal terkejut.

“Ayo Dik, kumpul.” Seorang kakak mengajaknya bergabung ke salah satu lingkaran di sudut masjid. “Yang lain sudah duluan.

Rijal tak mengerti. Tapi diikutinya juga perintah kakak kelas itu.

Rijal baru tahu. Ini seperti sebuah acara pengajian. Ada membaca Al-Qur’an bergiliran. Dan ada ceramah seperti yang diikutinya saat ini.

“Islam itu agama yang indah dan sempurna. Karena dikonsep oleh Dzat Yang Maha Indah dan Maha Sempurna. Ajaran Islam mencakup dari persoalan ibadah, kedisiplinan, keilmuan, sampai kesenian.”

Rijal mengerti. Ini acara Rohis. Rohani Islam.

“Islam mengajarkan disiplin. Contohnya adalah sholat lima waktu. Islam mewajibkan kita menuntut ilmu. Sehingga lahirlah sosok Ibnu Sina. Islam menyuruh kita berolahraga, seperti memanah, berkuda, beladiri, dan sebagainya. Islam juga memiliki kesenian. Contohnya yang sudah dibawakan oleh kakak-kakak kita saat pertunjukkan kemarin. Sudah lihat kan?”

“Sudah.” Jawab anak yang lain.

“Kemarin itu namanya nasyid. Seni Islam sebagai alternatif dari seni yang ada. Yang cenderung mempengaruhi pemuda Islam untuk terkapar di lumpur yang bernama dunia. Dan melupakan akhirat.

Seni Islam lahir untuk menyaingi itu semua. Syairnya mengajarkan cinta kasih Islam. Dan nggak kalah bagus kan?”

Rijal membenarkan di hatinya. Memang bagus. Dan liriknya juga indah.

Hidayah Allah mulai menyentuh hati Rijal.

Dan acara itu berakhir. Rijal terkesan dengan penggambaran Islam oleh Kak Syaiful tadi. Selama ini, ia hanya terkukung dengan pemahaman Islam yang terbatas. Kak Syaiful telah membuka jendela hatinya, melihat bahwa Islam begitu luas dan lapang. Tidak seperti yang selama ini ia pikirkan.

Ia mengakui kalau dirinya selama ini malas menerapkan Islam dan malu apabila terlihat beratribut Islam. Seharusnya dia bangga.

Rijal mengerti kini. Ia telah mendapatkan jawabannya.

*****

“Ma, Rijal udah nemuin ekskul yang oke punya.” Ungkap Rijal pada Mamanya di malam harinya.

Mamanya sedang membaca majalah di ruang tengah.

“Oya?”

“Iya. Organisasi itu bener-bener hebat. Bisa ngebahagiain Rijal dunia maupun akhirat.”

“Dunia akhirat?” Tanya Mamanya menyelidik.

“Iya. Rohani Islam namanya. Mama setuju kan?”

Mata Mama Rijal berbinar. Selama ini Rijal sulit apabila disuruh belajar mengaji. Walau sudah didatangkan ustadz. Apalagi untuk belajar ilmu keislaman.

Padahal Mama Rijal terlanjur membayangkan ada anaknya yang mengajarinya ilmu keislaman kelak. Yang mengingatinya untuk sholat apabila ia sudah pikun nanti. Dan bayangan itu hampir hilang, karena tidak ada satu pun anaknya yang mau belajar Islam. Juli, kakak Rijal, lebih kepada belajar dan berorganisasi saja. Dan organisasi yang diikutinya tidak ada yang berbau keislaman. Juli sudah dibujuk oleh Mamanya untuk ikut acara Remaja Islam Masjid di Masjid dekat rumah. Namun ia tidak mau.

Rijal lain lagi, ia sibuk dengan musiknya.

Dan kini, Rijal-lah harapan itu.

“Rijal mau aktif di sana, Insya Allah.”

“Alhamdulillah. Mama senang mendengarnya.”

Air mata Mama Rijal meleleh. Di dekapnya kepala anaknya.

Padang, 2001

 
Leave a comment

Posted by on May 27, 2015 in Puisi dan Cerpen

 

Begini Harusnya Bila Seorang Muslim Jadi Fans Klub Sepakbola

Ibrahim Ba

Menjadi seorang muslim jelas berbeda dengan menjadi manusia biasa. Seorang muslim terangkat derajatnya oleh implementasi ajaran Islam dan juga penyikapan atas kondisi yang menimpanya. Seorang muslim berbeda dari manusia biasa saat ia mengelola ekonomi, mencari nafkah, mengurus pemerintahan, hingga dalam hal yang remeh seperti masuk ke WC, makan dan minum, hingga cara ia menjadi fans sebuah klub sepakbola.

Dalam menyikapi setiap kondisi yang menimpa, seorang manusia biasa akan seperti yang digambarkan Allah dalam Alquran surat Al-Ma’arij ayat 19-21.

“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir.”

Bagaimana dengan seorang muslim? Kondisinya ada pada ayat berikutnya. “Kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat.”

Terlihat dalam menyikapi klub sepakbola kesayangannya. Seorang manusia biasa akan merasa euforia luar biasa saat klubnya menang dari rival utamanya atau saat memenangkan sebuah tropi. Tetapi ketika klubnya kalah, seorang manusia biasa akan terlihat murung seharian, malas beraktivitas pergi ke kampus atau kantor, memaki-maki lawan atau bahkan siap bentrok dengan fans klub bola lain.

Tetapi bagi seseorang muslim, ia akan menyikapi apa pun hasil yang dialami klub sepakbola kecintaanya dengan elegan. Karena ia percaya takdir Tuhan. Ia juga tahu prioritas, mana yang perlu dibela mati-matian, mana yang hanya sekedar dinikmati sekedarnya saja.

Prinsipnya begini. Ia menyukai sebuah klub sepakbola bisa dengan berbagai alasan. Bisa karena pemainnya, gaya mainnya, sejarahnya, ikut-ikutan teman, dll. Lalu ia tahu bahwa segala sesuatu yang terjadi di bumi ini telah Allah swt tentukan sebelum alam semesta terbentuk. Karena itu, ia sudah siap dengan hasil apa pun yang didapatkan klub itu. Dan ia hanya bergabung dengan secuil euforia sesama fans saat klubnya sukses, dan hanya sedikit kecewa saja saat klubnya gagal. Simple.

Seorang muslim mengerti benar tentang firman Allah berikut.

“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (Al-Hadiid 22-23)

Ayat di atas seharusnya benar-benar menjadi pembeda cara seorang manusia biasa dan seorang muslim dalam menyukai sepakbola. Tak perlu ribut dengan fans lawan ataupun sesama fans. Tak perlu saling ejek. Tak perlu sumpah serapah kepada para pemain yang beraksi di rumput hijau.

Elegan saja. Karena ada yang lebih prioritas dari kehidupan dunia ini.

“Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?” (Al-An’am: 32)

Hala Madrid y Nada Mas!

*Alhamdulillah dimuat di dakwatuna

 

Marketing Partai Politik Via Jejaring Sosial

marketing parpol

Seorang tokoh marketing dunia, Philip Kottler, dalam acara peluncuran outlet di Bali mengatakan, “New marketing is social media (era pemasaran baru adalah jejaring sosial)”. Sebenarnya bukan ungkapan yang baru, karena pemanfaatan jejaring sosial ini sudah dimulai sejak beberapa tahun terakhir.

Data statistik dari internetworldstats.com menunjukkan bahwa populasi pengguna internet Indonesia mencapai 30 juta jiwa, atau 12,3 % dari populasi sebesar 242 juta jiwa. Penggunaan jejaring sosial diperkirakan mencapai 70 – 80 persen. Mengikuti pola pedagang di Indonesia – di mana ada kerumunan maka di situ terdapat pedagang kecil seperti penjual somay, bakso, gorengan, dan lainnya – maka di tengah kerumunan jejaring sosial ini tentu terdapat para pedagang yang “mangkal” menjajakan dagangannya.

Menyadari potensi manfaat yang signifikan, PKS telah mewajibkan kader-kadernya memiliki akun jejaring sosial baik itu facebook, twitter, dll. PKS juga menjanjikan pengerahan masa ke dalam dunia jejaring sosial. Tidak tanggung-tanggung, sebanyak lima ratus ribu kader yang dikerahkan.

Layak dicermati bagaimana jejaring sosial, khususnya dalam pemasaran politik, bekerja memasarkan

Kotler mengatakan “Konsumen yang puas akan menyebarkan kepuasan itu ke teman-temannya. Ini tidak bisa dilakukan lewat iklan. Kalau ada 10 iklan dalam setahun. Paling Anda hanya ingat 1 iklan yang benar-benar bagus. Iklan yang menarik butuh biro iklan yang bagus pula.” Dalam marketing yang memanfaatkan jejaring sosial, para pelanggan bisa melakukan komplain atau melontarkan pertanyaan melalui akun yang mempresentasikan sebuah produk. Diskusi interaktif terjadi, dan pelanggan pun diharapkan mencapai kepuasan.

Dalam politik, memasarkan sebuah partai jauh lebih kompleks. Surat kabar atau media elektronik sebagai perangkat demokrasi juga punya peranan penting. Karena dari sini para pemilih rasional mengolah informasi dan menimbang-nimbang pilihan. Tak syak lagi, kelompok mana yang menjadi bulan-bulanan media masa, merekalah yang tak akan dilirik oleh pemilih rasional.

Tapi media masa bukan alur pertama dari proses marketing politik. Prestasi dan aktifitas parpol-lah yang menjadi titik awal alur pemasaran politik. Karena media pastinya memerlukan konten untuk disajikan. Sebuah kelompok boleh saja menguasai media. Tapi tanpa kerja dan prestasi dari kelompok itu, apalah yang dipasarkan? Ujung-ujungnya media itu hanya tempat men-demarketing kelompok-kelompok lain. Jadilah media itu tak lebih dari media penghasut.

Prestasi menteri dan kepala daerah atau tokoh dari suatu parpol, juga aktifitas parpol yang bermanfaat bagi masyarakat, merupakan konten yang bisa memenangkan hati para pemilih rasional. Di tengah keadaan negara yang minim berita baik, yang dirindukan para pemilih rasional adalah kerja nyata dari kelompok/tokoh politik. Perdebatan ideologi nyaris tidak laku lagi. Berbicara konsep Islam, yang ditagih oleh pemilih rasional adalah kerja nyata, moralitas, dan anti korupsi. Kalau itu terbukti, maka jargon dan amal dinilai selaras. Pemilih rasional akan menerima. Begitu juga dengan tema nasionalisme, mereka tak menagih retorika memukau, tapi kesejahteraan.

Bila suatu parpol sudah memiliki kredit positif melalui kinerja menteri, kepala daerah, atau pun kadernya, dan kemudian media sudah memuat beritanya, yang diperlukan selanjutnya adalah kerja humas untuk membuat berita ini terkonsumsi oleh orang sebanyak-banyaknya. Di sinilah jejaring sosial berperan. Lewat sebuah status di facebook/twitter, judul berita (beserta linknya) itu akan terbaca oleh friends atau followers atau apa pun istilah bagi orang yang terkoneksi melalui jejaring sosial.

Bila partai memiliki akun resmi di sebuah jejaring sosial, akun ini lah yang menjadi ujung tombak kehumasan partai. Jika partai punya banyak akun, tentu penyebarannya bisa lebih massif lagi. Misalnya sebuah partai punya akun yang mewakili tiap daerah di Indonesia, dan akun ini menyampaikan berita baik mengenai partai di tingkat nasional atau berita berskala daerah, maka informasi-informasi tentang partai itu akan membanjiri jejaring sosial.

Tapi kelemahan dari akun yang membawa nama partai adalah akun tersebut hanya punya teman/pengikut dari orang yang sudah simpati dengan partai itu. Sedangkan yang dibidik adalah masyarakat luas, yang masih kosong pilihan. Maka lebih efektif lagi bila berita baik soal partai diforward oleh akun pribadi seorang kader atau simpatisan. Karena akun pribadi itu tentu memiliki teman / pengikut dari kawan sepergaulannya sehari-hari. Ketika seorang kader menuliskan status tentang partainya, status itu akan dibaca oleh teman bergaulnya. Walau pun temannya tidak punya kecenderungan dengan partai si kader. Bayangkan betapa massifnya sebuah berita tersebar bila sebuah partai punya lima ratus ribu kader yang aktif di dunia maya.

Terkadang tidak cukup dengan sebuah berita di dunia maya/harian cetak. Perlu ada diskusi lanjutan. Di sinilah kelebihan akun pribadi dibanding akun resmi partai. Seorang kader yang meneruskan berita tentang partai di statusnya punya kesempatan berdiskusi langsung dengan temannya yang tertarik akan berita itu. Diskusi langsung ini bisa bersifat cair dan santai. Diskusi langsung lebih hidup dan lebih luwes dibanding diskusi di dunia maya melalui jejaring sosial.

Lebih baik lagi bila pemilik akun pribadi itu punya integritas dan pengaruh. Kadang masalah pilihan itu masalah hati. Bagaimana pun rasionalnya seseorang, ia tetap punya hati. Bahkan bila seorang rasionalis sudah terpikat hatinya oleh suatu partai, ia sendiri yang akan melakukan pembelaan menggunakan kemampuan logikanya bila ada berita miring menerpa partai itu. Ini menyangkut kepercayaan. Bagaimana menumbuhkan kepercayaan orang? Salah satu jalannya adalah perilaku kader-kader partai di keseharian. Bisa saja sebuah partai punya berita-berita baik yang dimuat di media. Tapi bila kelakuan kadernya buruk dan tak berkenan di hati masyarakat, partai itu akan terkena imbasnya. Orang bisa berfikir jernih bila hatinya dalam kondisi baik.

Jadi, pemasaran politik lewat jejaring sosial punya alur tersendiri. Bermula dari prestasi partai yang akan menjadi konten berita yang dimuat oleh media. Kemudian berita itu diteruskan melalui jejaring sosial oleh akun partai atau pun akun pribadi kader partai. Dan setelah teman/pengikut di jejaring sosial membaca berita tersebut, berlanjutlah pada diskusi yang luwes.

Yang utama dari alur ini adalah prestasi. Tanpa prestasi nyata, yang dipasarkan hanyalah pepesan kosong.

9 Juni 2011

 
1 Comment

Posted by on May 25, 2015 in Artikel Umum

 

Tilawah Lenggam Jawa, Obat yang Salah Untuk Krisis Budaya

Lantunan ayat Al-Qur’an seharusnya membuat orang khusyuk menyimak. Tapi tidak dengan yang terjadi baru-baru ini. Pada acara Isra Miraj di Istana Negara, Jumat 15 Mei 2015, pembacaan ayat suci Al-Qur’an malah menimbulkan kegaduhan. Sebabnya adalah ayat-ayat yang sakral itu dibacakan dengan irama lenggam Jawa.

Irama seperti itu biasa diperdengarkan pada acara-acara pergelaran wayang. Sedangkan selama ini pembacaan ayat suci Al-Qur’an di acara formal mengikuti irama baku ala Timur Tengah. Dapat dimaklumi sensasi ini mencolek perasaan masyarakat yang sensitif. Sebagian masyarakat menilai bahwa tindakan ini menodai kesucian Al-Qur’an.

Adalah Menteri Agama Lukman Saifuddin yang buru-buru mengklarifikasi bahwa tilawah dengan lenggam Jawa itu berasal dari idenya. Ia beralasan terobosan ini bertujuan untuk menjaga kelestarian budaya bangsa.

“Tujuan pembacaan Al-Quran dengan langgam Jawa adalah menjaga dan memelihara tradisi Nusantara dalam menyebarluaskan ajaran Islam di Tanah Air. Kita kenal di tanah air ini banyak sekali langgam pembacaan alquran, masing-masing daerah punya langgam tersendiri,” ujarnya seperti dikutip media massa.

Kalau tujuannya menjaga budaya bangsa, lantas haruskah agama yang diutak-atik?

Krisis Budaya

Entah disadari atau tidak oleh masyarakat Indonesia, kenyataannya bangsa ini memang sedang mengalami krisis budaya. Masyarakat kini merasa asing dengan budaya sendiri, sebaliknya malah gandrung dengan budaya luar.

Kita ambil contoh kalimat pepatah yang merupakan warisan kebijaksanaan para leluhur, berapa banyak anak bangsa yang hafal? Bisa diperbandingkan dengan berapa banyak dialog-dialog adegan film luar negeri yang dihafal oleh mereka.

Kalau menguasai bahasa daerah bisa dinilai sebagai bentuk pelestarian budaya bangsa, berapa banyak anak bangsa – khususnya di kota-kota besar – yang menguasai bahasa daerah? Di banyak tempat di Indonesia, bahasa daerah tertolong kelestariannya karena masih digunakan dalam percakapan sehari-hari. Tetapi kosa kata bahasa daerah itu semakin miskin. Sementara istilah-istilah baru yang tidak baku hampir setiap hari bermunculan dan digunakan dalam percakapan.

Di zaman teknologi canggih saat ini, terdapat banyak pintu masuk budaya luar menyusup ke tengah masyarakat. Periode 80-an mungkin hanya televisi – yang saat itu baru ada channel TVRI, radio, serta koran dan majalah sebagai pintu masuknya. Itu pun dengan akses yang terbatas. Kini ada kecanggihan internet dengan akses luar biasa yang digenggam oleh masyarakat.

Penanda krisis budaya di tengah bangsa ini bisa dilihat dari kalangan anak-anak hingga dewasa. Disuguhi tayangan kartun dari negara tetangga Malaysia, anak-anak kecil mulai latah berbicara dengan logat dan Bahasa Melayu. Meski punya akar bahasa yang sama, tetapi ungkapan-ungkapan yang digunakan dalam percakapan sehari-hari sebagian besar berbeda. Dan anak-anak kecil terbiasa dengan ungkapan-ungkapan yang ada di film seperti Upin Ipin, Bobo Boy, atau Serial Animasi Pada Zaman Dahulu.

Kemudian lihat remaja putra kita! Tontonan anime Jepang mereka nikmati dari layar kaca atau mereka akses langsung melalui internet. Nama tokoh-tokoh anime serta jalan ceritanya lebih mereka hafal daripada kisah sejarah perjuangan bangsa dan tokoh-tokoh pahlawan. Selanjutnya, mereka sedikit demi sedikit tertarik kepada bahasa dan kebudayaan Jepang.

Kemudian lihat remaja putri kita, mereka gandrung dengan drama Korea yang menyuguhkan senyum dan air mata. Kisah-kisah cinta itu bisa mereka tonton seharian melalui kaset DVD atau siaran televisi. Dan di situ pun masuk budaya Korea bersama bahasanya.

Di tengah orang dewasa, ada pegawai kantoran serta usahawan yang dalam setiap rapat mereka merasa kurang canggih bila belum menuturkan istilah-istilah dalam Bahasa Inggris. Menggunakan Bahasa Indonesia dengan baku terkesan aneh, tetapi berbicara dengan Bahasa Inggris dalam grammar yang baik menjadi keharusan.

Ibu-ibu rumah tangga tak kalah tersusupi budaya asing dengan kisah Mahabarata, Ramayana, dan tontonan lain dari India.

Juga ada pejabat yang tak kenal budaya bangsa dengan bangga berbicara kotor di depan layar televisi. Sayangnya pejabat itu dianggap sebagai pahlawan yang berani melawan korupsi.

Band-band luar negeri tiap bulan manggung di kota besar. Film-film Hollywood banyak tersaji di bioskop-bioskop.

Lalu obat untuk semua ini apakah harus agama yang ditundukkan untuk menyelamatkan budaya bangsa?

Tilawah Lenggam Jawa

Jelas ada kesalahan pemberian obat oleh pejabat negeri ini. Seperti mengobati kurap dengan paracetamol. Bukan agama – apalagi Islam – yang merongrong budaya bangsa ini, tetapi sarana hiburan. Itu yang perlu diobati.

Sudah sejak dahulu agama membaur dalam adat istiadat masyarakat Nusantara. Di Minang, terkenal istilah “adaik basandi syarak, syarak basandi kitabullah.” Kerajaan-kerajaan Islam yang menerapkan syariat Islam tumbuh subur di Nusantara. Di Jogja, istilah “khilafatullah” digunakan dalam gelar Sultan (sayang baru-baru ini Sultan menghapus gelar itu). Agama tak pernah menjadi masalah bagi budaya bangsa.

Tetapi sarana hiburan yang ditampilkan melalui media massa lah yang butuh terapi agar tidak membuat masyarakat semakin buram melihat budaya sendiri. Pemerintah harusnya mendorong industri kreatif untuk semakin giat memperkenalkan budaya sendiri. Memang sudah ada kartun produk negeri sendiri, hanya saja jumlahnya masih jauh untuk mengimbangi serbuan kartun luar.

Industri perfilman nasional harus dibantu dengan maksimal oleh pemerintah. Tetapi dengan catatan, para pelakunya harus membuat produk yang bersesuaian dengan kultur dalam negeri.

Industri kreatif lah yang bisa menjadi obat bagi krisis budaya bangsa. Bukan tilawah dengan lenggam Jawa.

*Alhamduilllah dimuat di KabarUmat

 
Leave a comment

Posted by on May 24, 2015 in Artikel Umum

 

Vonis (Puisi Untuk Mursi & Yusuf Qardhawi)

Mursi
Vonis itu mempertemukan kalian dengan ashabul ukhdud di sebuah reuni di mana nyali-nyali berdenting dengan pedang tiran. Hadir di sana ruh-ruh yang hidup untuk Tuhannya. Jasad mereka telah dimangsa tiran, tetapi ruh mereka dipeluk kasih sayang Tuhan.

Mereka punya cerita yang sama. Tentang pedang, tali, api, gergaji, panah, atau pun peluru yang melantangkan kalimat yang sama: “Demi Allah, Tuhannya ghulam ini.” Terucap sebelum perangkat kejahatan itu melumat jasad pemilik hati yang kokoh. Dan ending ceritanya sama:

Serempak mata semesta melihat pada kebenaran.

Gergaji dan Zakaria akan terus terduplikasi hingga akhir zaman. Salah satunya menitis pada kalian bersama vonis itu. Menandakan keberlanjutan satu seruan yang tak kan putus.

Itulah mengapa aku mengerti apa arti senyum kalian saat palu hakim digebrakkan ke meja hijau. Reuni itu telah kalian harap-harapkan dalam doa di sepertiga akhir malam. Begitu siapnya kalian membersamai ruh-ruh ashabul ukhdud, Sumayyah binti Khayyat, dan saudara-saudaranya.

Vonis itu tiketnya. “Demi Allah, Tuhannya si anak ini.”

*Alhamdulillah dimuat di dakwatuna

 
Leave a comment

Posted by on May 23, 2015 in Puisi dan Cerpen

 

Tilawah Langgam Jawa, Antara Diskursus Keilmuan dan Vonis yang Terburu-buru

Tilawah langgam jawa

Ah… kontroversi lagi. Dari penghapusan kolom agama di KTP, sampai yang terakhir tilawah dengan langgam Jawa, sering sekali timbul kontroversi soal Islam di tengah pak Jokowi. Kenapa ya? Dari yang hoax soal keturunan non muslim, hingga yang benar-benar terjadi yang kemudian ada yang diklarifikasi dan ada yang didiamkan.

Saya kira netizen belum lupa soal lukisan yang berbau kepercayaan pagan di kafe anaknya mas Jokowi. Nah, kalau ide cara berdoa yang pernah dicetuskan Menteri Menteri Kebudayaan dan Pendidikan Dasar dan Menengah Anies Baswedan, ada yang masih ingat?

Ya begitulah umat Islam dihadapkan pada rangkaian kontroversi demi kontroversi yang melintas di depan mata. Ketika umat Islam bereaksi, sudah siap klarifikasi yang menyambut, sudah siap drama terzhalimi, sudah siap serangan balik tuduhan penyebaran fitnah, dan ada sekelompok orang yang bersorak melihat umat Islam misuh-misuh.

Bagaimana dengan kasus tilawah dengan langgam Jawa ini?

Idealnya

Idealnya persoalan ini dibiarkan saja murni menjadi diskursus para alim yang mengerti tentang ilmu Al-Quran. Jangan buru-buru menyeretnya kepada pusaran politis yang kemudian memunculkan prasangka macam-macam semisal deislamisasi secara terstruktur oleh rezim yang sedang memerintah. Menteri Agama Lukman Saifuddin adalah seorang muslim, Qari Muhammad Yasser Arafat adalah seorang muslim, dan Presiden RI Joko Widodo adalah seorang muslim. Berhakkah mereka mendapatkan prasangka baik? Sangat berhak.

Idealnya kita – penulis dan mereka yang awam dalam ilmu Al-Quran – bisa menikmati nasihat dari Syaikh Abdullah bin Ali Bashfar, atau pendapat KH. Prof. Dr. Ahsin Sakho Muhammad. Idealnya dengan kejadian itu kita bisa mengerti bagaimana hukum melagukan Al-Quran dan seluk beluknya tanpa buru-buru ikutan menuduh.

Karena bacaan Al-Quran yang khas dengan nada kedaerahan itu bukan sesuatu yang baru. Bila shalat di tengah komunitas orang Minang dan diimami oleh orang Minang, tidak sekali dua kali penulis mendengar nada yang khas tercirikan benar dari daerah ranah Minang.

Begitu juga saat shalat di tengah komunitas orang Sunda dan diimami orang Sunda. Pernah juga plus pelafalan yang khas… “ijaja anasrullah…” atau “Pahuwa pii ‘ii syatir radhiyah”. Memang sih, tuduhan orang Sunda tidak bisa menyebut huruf “F” itu pitnah!

Begitu juga saat shalat di tengah orang Jawa dan diimami orang Jawa, khas medok Jawanya serta sedikit banyak nada langgam tak bisa dipungkiri terdengar.

Pembacaan Al-Quran yang khas dengan nada kedaerahan itu sudah berlangsung sejak lama. Bahkan mungkin sejak Islam masuk ke Nusantara. Lalu apakah kita mau ditertawakan pendukung Jokowi dengan menuduh itu cara deislamisasi?

Karena itu saya kira tuduhan deislamisasi adalah tuduhan yang terburu-buru. Apalagi tidak sedikit pendapat yang membolehkan langgam Jawa dipakai dalam mengindahkan Al-Quran. Artinya masalah ini ketika menyeruak ke muka publik, rupanya menjadi pendapat yang debatable antar sesama ahli ilmu. Dan kita bisa menikmati setiap argumen itu. Biarlah diskursus ini tergeletak dalam ranah keilmuan.

Yang menjadi kesepakatan antara mereka adalah bahwa tidak boleh menyalahi tajwid. Itu jelas. Itu hal yang ushul.

Hindarilah terburu-buru memvonis begini begitu, karena tugas da’i bukanlah menghakimi, selain itu juga tuduhan yang salah kadang berbalik menjadi bumerang yang merugikan buat dakwah. Tugas da’i mengatakan yang salah adalah yang salah dengan disertai bukti ilmiah. Namun objek dakwah tidak akan pernah suka dengan sikap mudah menuduh dari seorang da’i.

Allahua’lam bish-shawwab.

*Alhamdulillah dimuat di dakwatuna