Di sepetak ruang musholla kantor sepeninggal senja, beberapa karyawan dengan muka dan tangan basah oleh wudhu berdiri berjajar menghadap kiblat. Saling menoleh dan memberi tanda, meminta salah seorang dari mereka maju memimpin sholat maghrib. Setelah sedikit aksi dorong-dorongan, majulah seorang berkemeja biru. Ia menoleh ke belakang sebentar meminta shaf diluruskan, lantas mengangkat tangannya untuk Takbiratul Ihram. Allahu akbar…
Al-Fatihah dilantunkan. Tajwid sebagaimana awam. Akan sangat lebih baik bila sang imam ikut program tahsin (perbaikan baca Qur’an). Di penghujung Al-Fatihah, imam dan makmum mengeraskan suara membaca “Aaaamiiin…”. Berlanjutlah membaca surat atau beberapa ayat Al-Qur’an. Sang imam dengan percaya diri menarik suara. “Qul huwallahu ahad….”
Di tempat dan waktu yang lain, di sebuah masjid pinggir jalan raya, tempat orang-orang di perjalanan singgah sebentar untuk menunaikan kewajiban, seorang bapak dengan wajah dan tangan basah oleh air wudhu telah bersiap menghadap kiblat. Ia sejatinya sedang dalam perjalanan. Motornya ia belokkan ke halaman masjid itu untuk menunaikan sholat maghrib yang waktunya telah berjalan 30 menit. Tiba-tiba seorang anak muda menghampiri bapak itu. “Pak, jamaahan…” ujarnya dengan tangan merentang ke depan meminta bapak tadi menjadi imam. Si bapak percaya diri maju selangkah ke depan, dan anak muda tadi di sisi kanannya agak ke belakang sedikit. “Allahu akbar…” rapal sang bapak dengan khusyuk.
Al-Fatihah dilantunkan hingga selesai. Setelah Al-Fatihah, bapak tadi melanjutkan dengan membaca sebuah surat pendek di dalam juz 30 Al-Qur’an. “Qul huwallahu ahad…”
Di tempat dan waktu yang lain, di sebuah rumah yang para penghuninya baru saja berbuka puasa bulan Ramadhan, telah membuat formasi seorang ayah, bunda dan dua anak untuk sholat maghrib berjamaah. Si ayah melantunkan Al-Fatihah hingga akhir surat. Dan anak lelaki berumur 6 tahun mengucap “Amin” berdua bersama ayah. Bunda dan kakak perempuan yang berusia 9 tahun tentu tidak mengucap amin. Sang ayah melanjutkan dengan membaca surat pendek. “Qul huwallahu ahad…”
Cinta yang Membawa ke Surga
Entah mimpi apa semalam, seorang sahabat Anshar di hadapan teman-temannya mendapat jaminan surga oleh Rasulullah saw. “Cintamu kepadanya memasukkanmu ke dalam surga,” ujar Rasulullah. Ya, tersebab cinta sahabat itu terjamin surga. Cinta kepada surat Al-Ikhlas.
Sebelumnya, teman-temannya merasa janggal dengan kebiasaan sahabat Anshar itu. Tiap menjadi imam, setelah membaca Al-Fatihah, ia membaca surat Al-Ikhlas dulu sebelum melanjutkan bacaan surat lain. Teman-temannya keberatan. “Baca surat itu saja, atau baca yang lain,” ujar teman-temannya. Satu surat saja, jangan dua surat sekaligus dalam satu rakaat. Sahabat Anshar itu bergeming. “Kalau masih mau aku imami, aku akan terus begitu.” Teman-temannya pun ragu untuk memilih selain sahabat tadi untuk menjadi imam. Akhirnya, kebiasaan itu berlanjut.
Hingga mereka berjumpa dengan Rasulullah saw, diadukanlah masalah tersebut. Rasulullah pun bertanya alasan sahabat tadi mengerjakan kebiasaan itu. Jawabannya, ”Sesungguhnya aku mencintai surat ini.” Endingnya kita tahu, Rasulullah menjaminkannya surga.
Benarkah Karena Cinta?
Surat Al-Ikhlas yang diawali dengan kalimat “Qul huwallahu ahad” memang menjadi surat yang populer di masyarakat – yang bisa saya amati terutama di Indonesia. Apalagi bila umat yang awam seperti saya menjadi imam sholat jahriyah (sholat yang bacaannya dikeraskan).
Surat Al-Qur’an bernomor 112 ini memang cukup pendek. Bersama Al-‘Ashr dan An-Nashr, cukup pas lah bila dibaca saat sholat mahgrib yang waktunya sebentar. Yang paling penting, surat ini mudah dihafal karena familiar. Bila imam membaca surat ini, potensi salah baca atau lupa bacanya sangat minim. Yang menjadi makmum pun akan senang bila imam membaca Al-Ikhlas. Tidak perlu berlama-lama berdiri dalam sholat.
Surat yang agak panjang sedikit, misalnya Ath-Thaariq, masih bisa diterima oleh makmum (masyarakat muslim di Indonesia) walau mungkin ada saja yang merasa itu agak panjang untuk ukuran sholat maghrib. Tapi kalau sudah An-Naba, Al-Mulk, atau At-Tahrim, jangankan sholat maghrib, dibaca saat sholat isya’ yang waktunya panjang pun sudah dirasa terlalu lama. Dan bagi awam, ayat dalam surat ini terlalu banyak untuk dihafal.
Jadi, tersebab karena cinta kah bila surat Al-Ikhlas menjadi popular di masyarakat?
Saya teringat ceramah seorang ustadz yang memotivasi pendengarnya untuk berinteraksi dengan Al-Qur’an. “Jangan sampe pas bapak-bapak nanti jadi imam sholat di rumah, eh di belakang anaknya ngejek, ‘Qulhu nih yeeee….’”. Kira-kira redaksinya seperti itu, dan sukses membuat para jamaah pengajian tersebut tergelak heboh. Sangat menyentil.
Saya menyebutnya “fenomena Qulhu”. Yang saya takutkan, surat itu populer karena umat Islam kebanyakan tak mau repot memperkaya hafalan Qur’annya. Sehingga ketika menjadi imam, tak ada perbendaharaan surat lain selain Qulhu dan kawan-kawannya.
Yang saya khawatirkan, surat itu popular karena ada demand dari makmum agar sholat jangan lama-lama. Yang penting kewajiban tuntas. Daripada imam membaca surat yang agak panjang, dan makmum tak mengenali bacaan itu, lantas pikirannya mengawang-awang, maka baiknya imam membaca surat yang makmum pun hafal.
Fenomena qulhu, kalau kenyataannya seperti itu, jelaslah bukan karena cinta. Tetapi cerminan lemahnya interaksi umat kepada Al-Qur’an. Lalu terngianglah keluh kesah Rasulullah kepada Allah swt, mengadukan sikap umatnya, “Berkatalah Rasul: “Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al Quran itu sesuatu yang tidak diacuhkan.”” (QS Al-Furqon: 30)
Ya Allah, ampuni kami…!