Sudah selayaknya tiap yang berjasa dihargai kebaikannya. Islam memerintahkan ummatnya untuk beriman dan mengenang perjuangan tiap Nabi tanpa membeda-bedakan. (QS Al Baqoroh 285)
Lalu kalau Islam mengunggulkan kebaikan satu pihak dibanding yang lain, tentu ada alasan yang kuat. Seperti jawaban Rasulullah kepada seorang sahabat, yang bertanya siapa yang berhak mendapat prioritas bakti seorang manusia. Rasulullah ketika itu menjawab ibu, kemudian ibu, kemudian ibu, lalu berikutnya ayah. (HR. Bukhari no. 5971 dan Muslim no. 2548) Rasulullah membimbing umatnya agar memberi penghormatan kepada ibu tiga kali lipat dari ayah.
Tentu seorang anak tidak boleh melupakan jasa ayah yang membanting tulang peras keringat untuk kecukupan nafkah dirinya. Menembus debu jalanan untuk berangkat ke tempat kerja, menebalkan perasaan saat berhadapan dengan klien atau atasan yang kejam, bersabar mengemban tugas yang membebankan di tempat kerja, semua dilakukan atas tanggung jawab terhadap anggota keluarga yang ia pimpin.
Tetapi sang anak perlu memahami berat upaya sang ibu merawat jasadnya ketika masih berbentuk janin. Ibu telah menjaga asupan makanan demi anak yang ia kandung. Bersabar dengan berat tubuh yang tak proporsional dan semakin bertambah yang ia rasakan sejak hamil. Merasakan mual dan berbagai rasa tak enak yang ia alami karena mengandung. Pengorbanan itu semua perlu dihayati oleh sang anak. Itu pertama.
Kedua, sang anak juga harus mengerti nyeri yang dirasakan saat melahirkan. Apalagi bila ia lahir dengan kondisi tak normal, di mana sang ibu harus mendapatkan operasi untuk menyelamatkan jasad anak. Atau dulu si ibu harus mendapatkan treatment khusus yang tak mengenakkan agar janin bisa dilahirkan. Di tiap proses kelahiran, ada perjuangan hidup mati untuk meloloskan anak terlahir ke dunia.
Ketiga, sebagai anak juga harus menyadari perjuangan ibu membesarkannya dengan penuh cinta. Bahwa ibu tak mengeluh untuk tiba-tiba terjaga di tengah malam mendengar tangis bayi yang lapar/haus atau buang air besar/kecil. Ibu juga penuh cinta merasakan beratnya anak di dalam gendongan. Semakin hari semakin bertambah beratnya. Ibu juga bersabar atas perilaku balita yang susah dikendalikan; berjalan kesana kemari; memberantakkan barang-barang di rumah; muntah atau buang air sembarangan; semua dihadapi dengan cinta.
Maka tak mengada-ngada bila Rasulullah memerintahkan manusia memerintahkan untuk menghormati ibunya tiga kali lebih dalam daripada sang ayah.
Mari bermuhasabah, sudah kah kita tempatkan bakti kepada ibu dengan sesuai? Sudahkah kita bertutur lemah lembut – yang Al-Qur’an melarang berkata kasar meski sebatas ucapan “ah” (QS Al-Israa’ : 23)? Sudahkah kita bersegera memenuhi permintaan kedua orang tua sebagaimana kita bersegera bila ada tayangan kesukaan di televisi? Apakah ada yang kita prioritaskan saat mereka memanggil, semisal game atau pesan whatsapp dari teman?
Mari ambil waktu untuk merenungi jasa ibu sedari kecil.
Selamat hari ibu