Sekitar dua-tiga tahun lalu, dekat-dekat pemilu tahun 2009, di lingkungan saya tinggal di RW 1 & 2 kelurahan Srengseng Sawah Jakarta Selatan gencar dikampanyekan pembuatan lubang resapan, atau biopori. Dan bukan cuma wacana, pembuatan lubang resapan itu benar-benar direalisasikan. Di tiap-tepi jalan hingga gang-gang kecil di lingkungan saya itu bisa ditemukan dengan mudah lubang-lubang berdiameter sekitar 10 cm berbaris.
Saya ingat, sebelum pembuatan biopori marak, air yang didapat dari mesin pompa di kontrakan saya itu warnanya agak kuning kecoklatan. Biasanya kalau habis hujan atau kalau lama tidak hujan, warna airnya seperti ini. Keruh. Khas sekali air Jakarta. Tapi sejak adanya lubang-lubang biopori, saya bisa menikmati air yang jernih walau pompa dihidupkan sehabis hujan. Juga kalau beberapa hari tidak hujan, air tetap jernih.
Tapi sayang, beberapa bulan kemudian biopori itu pada rata dengan tanah. Maksudnya, lubangnya sudah tertutup sehingga rata dengan tanah. Saat hujan, air mengalir menuju lubang biopori membawa material-material yang ada di atas permukaan, bisa berupa sampah atau butiran-butiran tanah. Akibatnya lubang biopori pun tertutup.
Kadang juga saya temui di dalam lubang biopori itu tumbuh tanaman. Memang, di negeri yang “tongkat kayu dan batu jadi tanaman” ini kesuburan tanahnya luar biasa. Ya akhirnya lama-lama lubang biopori itu dipenuhi rumput dan tanaman liar.
Setelah itu lubang biopori benar-benar tidak terawat. Dibiarkan begitu saja oleh warga. Tidak ada tindakan untuk menggali kembali lubang biopori itu. Dan akibatnya saya kembali jarang mendapatkan air yang jernih.
Itu salah satu manfaat langsung yang saya dapatkan dari biopori. Banyak manfaat lain yang bisa didapat dari biopori.
Jakarta dikabarkan mengalami penurunan permukaan tanah setiap tahun. Sejak 1974-2010, tanah Jakarta turun 4,1 M. Ini disebabkan penggunaan air tanah yang berlebihan. Bahkan kalau tidak segera dihentikan, maka Jakarta akan bener-benar tenggelang pada 2025. Itu menurut ahli yang tergabung dalam anggota konsorsium Jakarta Coastal Defence Strategy (JCDS).
Rasanya susah untuk memberhentikan penggunaan air tanah. Gedung-gedung perkantoran tentu menjadi penyedot air tanah paling besar. Saya membayangkan ada teknologi yang bisa menyediakan air jernih dari sungai atau pun laut Jakarta, sebagai pengganti penggunaan air tanah. Saya yakin bisa, tapi saya tidak tahu berapa dana yang diperlukan untuk investasi teknologi tersebut.
Penggunaan air tanah terus meningkat, sementara tanah serapan di Jakarta semakin berkurang. Itu lah makanya biopori bisa menjadi pengganti tanah serapan yang berkurang di Jakarta. Air yang tercurah dari hujan tidak langsung terbuang ke sungai, tapi “ditabung” menjadi air tanah. Saya yakin, kalau dirawat dan dimanfaatkan dengan serius, biopori ini bisa memperlambat penurunan permukaan tanah. Saya juga membayangkan kalau air berkubik-kubik yang dimanfaatkan di kantoran tidak langsung dibuang ke saluran air, tapi ditabung dulu ke dalam sebuah sumur serapan. Diusahakan air diserap dulu baru yang tak terserap dibuang ke penyaluran air.
Manfaat biopori lainnya adalah menghindari adanya genangan air. Di jalan di mana air sering tergenang kalau hujan, sangat strategis bila dibuat biopori.Selain itu, air yang diserap ke tanah dan tidak langsung dibuang ke sungai, tentu menjadi penahan banjir.
Ada banyak manfaat biopori. Sayang, warga kurang diberikan kesadaran. Dan ketua-ketua RT juga tidak serius mengkoordinasi warganya untuk memelihara biopori.