RSS

Monthly Archives: June 2021

Nabi Musa yang Maksimal dalam Berbuat

Untuk bahan muhasabah, apakah selama ini dalam berbuat kita selalu memberikan yang maksimal?

Misalnya, guru menyuruh murid untuk membuat karangan paling sedikit 5 halaman, paling banyak 10 halaman. Lalu para murid mengerjakan tugas dengan jumlah halaman paling minimal. Sekadar membebaskan kewajiban.

Ada anak disuruh mandi, harapan orang tuanya dua kali sehari, tapi yang dilakukannya sekali sehari yang penting mandi. Yaaa itu sayaaaa…

Ada mutarobbi bersepakat dalam halaqoh untuk tilawah minimal tiga lembar sehari sebagi target amalan yaumi. Ya tiga lembarlah yang dibacanya meski sanggup lebih banyak lagi.

Berbeda dengan sosok berikut. Ia adalah Rasul yang dalam suatu hadits diceritakan oleh Nabi Muhammad saw. bahwa fisiknya berkulit sawo matang, berbadan besar, rambutnya lurus, seakan-akan ia berasal dari suku al-Zuth (di Sudan). (HR Bukhari 3183).

Dari kisah-kisah di dalam Al-Qur’an, tersurat bahwa ia senantiasa totalitas dalam berbuat sesuatu. Misalnya, ketika terlibat perjanjian dengan Nabi Syu’aib a.s. untuk bekerja sebagai syarat menikahi anak Syaikh Madyan itu, ia diberi pilihan durasi kontrak kerja: delapan atau sepuluh tahun. Lalu, Nabi Musa a.s. – tokoh yang sedang kita bicarakan – menunaikan perjanjian dalam masa yang paling maksimal.

Cerita itu ada dalam Al-Qur’an surat Al-Qashash ayat 27-28. “Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, maka aku tidak hendak memberati kamu. Dan kamu insya Allah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik.” Dia (Musa) berkata: “Itulah (perjanjian) antara aku dan kamu. Mana saja dari kedua waktu yang ditentukan itu aku sempurnakan, maka tidak ada tuntutan tambahan atas diriku (lagi). Dan Allah adalah saksi atas apa yang kita ucapkan.”

Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya menulis perkataan Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhu. “Sesungguhnya Musa menunaikan masa yang paling sempurna di antara kedua masa itu, karena sesungguhnya utusan Allah itu apabila berkata pasti menunaikannya.”

Kalau saya yang terikat dalam perjanjian tersebut, pengennya buru-buru selesai. Ya boleh lah 10 tahun, asal dapet dua.

Flashback ke peristiwa sebelumnya, Nabi Musa a.s. bertemu lebih dulu dengan dua anak Nabi Syu’aib a.s. di sebuah sumur yang di sana para penggembala saling berebut air untuk ternaknya. Demi menjaga kemuliaan dan kalah body pula dengan para laki-laki, sepasang wanita itu pun menyingkir. Namun setelah hewan-hewan ternak selesai diberi minum, para penggembala menutup sumur dengan batu yang hanya bisa diangkat oleh 10 orang.

Musa a.s. melihat kejadian tersebut. Maka ia pun memberi bantuan. Batu besar dan berat itu digesernya sendirian. Sendirian!!! Lantas hewan ternak milik Nabi Syu’aib a.s. diberinya minum sampai kenyang. Saat itu Nabi Musa tidak menawarkan kepada hewan-hewan minumnya apa, mau kopi apa teh, karena yang tersedia hanyalah air di sumur.

Sebagai totalitas kebaikan, Nabi Musa a.s. tidak meminta imbalan atas kerja luar biasanya meski perutnya terasa sangat lapar. Ia hanya berdoa kepada Allah swt, “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan (makanan) yang Engkau turunkan kepadaku.” (Al Qashash: 24)

Begitulah teladan dari seorang Nabi yang termasuk Ulul Azmi ini.

Kisah lain adalah ketika ia dijanjikan akan diberi Taurat oleh Allah swt. Maka selama menunggu waktunya tiba, ia pun melakukan persiapan dengan berpuasa selama tiga puluh hari.

Masa berlalu, datanglah saat yang dinantikan. Musa bersiwak terlebih dahulu dengan akar kayu karena gara-gara shaum itu napasnya tidak sedap. Tetapi Allah Swt. memerintahkan kepadanya agar menambah puasa sepuluh hari lagi hingga genap menjadi empat puluh hari. Menurut riwayat, Allah tidak ridho bila aroma ketaatan hilang.

Nabi Musa a.s. patuh. Persiapan untuk bertemu Sang Kekasih yang sangat ia cintai diperpanjang sampai waktu maksimal. Ia tak mengeluh atau protes mengapa acaranya diundur. Namun dengan ketaatan, ia totalitas melanjutkan puasanya. Peristiwa ini bisa dilihat dalam Al-Qur’an Surat Al-A’raf ayat 142.

Ketika hari H tiba dan tidak diundur lagi, Nabi Musa a.s. gegas menuju bukit Thur untuk menerima kitab suci. Bukan cuma ia yang diundang Tuhan, kaumnya juga. Tetapi Musa a.s. ingin menjadi terdepan. Kualitasnya dalam ketaatan unggul jauh dari yang lain.

Maka Musa a.s. meminta Nabi Harun a.s. untuk sementara gantikan ia memimpin karena ia akan berjalan sendirian di depan mendahului kaumnya.

Namun sikap itu ditegur Allah swt dalam surat Thaha ayat 83-84. “Mengapa kamu datang lebih cepat daripada kaummu, hai Musa? Berkata Musa, “Itulah mereka sedang menyusuli aku dan aku bersegera kepada-Mu, ya Tuhanku, agar Engkau rida.””

Memang kadang pada kasus tertentu kita tidak perlu melakukan yang maksimal. Kita bisa memberi ikan kepada orang yang butuh. Tapi karena ia seorang pemalas, maka kita hanya beri ia pancing agar mau berusaha.

Saat menjadi imam, kita bisa baca sepuluh halaman dalam satu rakaat. Namun karena menenggang makmum yang bermacam-macam kondisi fisiknya, kita cukupkan dengan durasi yang sudah menjadi kebiasaan di tempat itu.

Kembali ke kisah Nabi Musa a.s., kaumnya merasa ada kesempatan melakukan kemungkaran begitu mereka lihat pemimpin yang kuat sedang tidak ada di sekitar. Lantas kesyirikan merebak. Patung anak sapi pun jadi sembahan. Kalau Nabi Musa a.s. membersamai mereka, kaum Bani Israil itu tidak akan berani macam-macam.

Totalitas yang lain adalah ketika Nabi Musa a.s. diperintahkan Allah untuk bertemu Khidir. Perkataannya kepada teman di perjalanan diabadikan oleh Allah swt. dalam Al-Qur’an surat Al Kahfi ayat 63: “Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada pembantunya, “Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua laut; atau aku akan berjalan (terus sampai) bertahun-tahun.””

Itulah cermin dari Nabi yang namanya begitu sering disebut dalam Al-Qur’an. Semoga menjadi contoh buat kita untuk totalitas, maksimal dalam berbuat kebaikan.

 

Corona dan Sabda Rasulullah: Kalian Lebih Mengetahui Urusan Dunia Kalian

Rasulullah pernah mendapat aduan dari para sahabat. Bukan masalah biasa, ini soal sabda beliau yang tak mendapat hasil seperti yang diharapkan meski telah dijalankan dengan taat. Kok bisa kata-kata Rasulullah tidak mujarab?

Sementara itu, sudah berapa banyak orang yang protes karena anjuran pengobatan yang diklaim berasal dari ajaran Islam tapi tidak ampuh. Nanti kita bahas dalam paragraf berikutnya, ada di mana masalahnya.

“Andai tidak kalian lakukan, itu mungkin lebih baik,” ujar beliau saw. ketika mengomentari cara penyerbukan kurma yang sedang dilakukan oleh para petani Madinah. Lantas, sebagaimana diceritakan dalam hadits riwayat Muslim nomor 2362, para sahabat meninggalkan metode yang telah dipraktekkan bertahun-tahun. Tentu dengan keyakinan bahwa ucapan Rasulullah akan mendatangkan manfaat yang lebih baik. Keyakinan yang tepat, dan jangan kita hilangkan hanya gara-gara kisah ini.

Beberapa lama kemudian saat musim panen tiba, pohon-pohon kurma milik petani Madinah yang mengikuti perkataan Rasulullah kala itu berbuah buruk atau berkurang buahnya. Maka tanpa meninggalkan sikap tunduk – tak seperti perilaku umat Nabi Musa a.s. ketika komplain – mereka datangi Rasulullah untuk berkonsultasi. Mengapa hasilnya tak sebagaimana yang diharapkan.

Lalu baginda pun bersabda, “Aku ini seorang manusia. Jika aku memerintahkan kalian dengan sesuatu dari agama kalian maka ambillah. Jika aku memerintahkan kalian dengan sesuatu berupa pendapat (ra’yu), maka aku hanyalah seorang manusia.”

Dalam hadits Muslim lainnya nomor 2363 yang mengisahkan kejadian serupa, ada redaksi sabda Rasulullah yang cukup populer: Antum a’lamu bi umurid dunyakum. “Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian.”

Tapi hadits ini jangan sampai dijadikan argumentasi bahwa Islam tidak mengatur urusan dunia. Ada banyak juga ayat Al Qur’an dan sunnah yang mengajari cara bermuamalah. Sehingga lahirlah sebuah ushul fiqh yang dirumuskan para ulama: Hukum asal dalam berbagai perjanjian dan muamalat (urusan antar manusia) adalah sah sampai adanya dalil yang menunjukkan kebatilan dan keharamannya.

Hadits di atas penting untuk diangkat lagi ketika wabah Corona yang sedang merebak di muka bumi, dan Indonesia sedang menghadapi penyebaran gelombang kedua. Intinya tentang urusan dunia – yang belum diatur oleh syariat – yang oleh Islam diserahkan kepada manusia yang mengetahui yang terbaik dengan ilmu pengetahuan dan riset.

Apa yang dilakukan oleh para ilmuwan dengan melakukan penelitian sampai menciptakan vaksin Corona tak bertentangan dengan sabda Rasulullah: “Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian.”

Sementara itu yang tidak diatur oleh Islam, jangan dibuat-buat seolah ada aturannya.

Misalnya, Air Zam-Zam, Madu, Habatussauda, Qisthul Hindi dan sebagainya memang disebutkan dalam nash memiliki keampuhan dalam pengobatan dan juga keberkahan. Tapi tak ada larangannya juga untuk berobat dengan cara lain. Ingat, tak ada larangannya.

Lagian nash tidak menyebutkan bahwa bahan-bahan di atas adalah obat tunggal yang tak memerlukan obat lain untuk dikonsumsi. Artinya, tak salah meminum madu bersama obat dokter. Bahkan hanya memakai bahan farmasi buatan pabrik tanpa madu pun tak ada ulama yang menghukumi haram.

Maka bila ada yang mencela ikhtiar hanya karena ada yang memilih ventilator tanpa Qisthul Hindi, pertanda orang itu terlalu berlebihan. Ketika napas seorang penderita Corona sudah begitu susah, Oximeter menunjukkan angka yang kritis, maka pertolongan darurat yang harus dilakukan adalah memberinya alat bantu pernapasan. Begitu sesuai ilmu kedokteran.

Islam akan disalahkan bila ada yang memprotes cara ini lantas hanya menyarankan Qisthul Hindi hingga kemudian yang sedang darurat itu pun akhirnya wafat.

Jadi, masalahnya bukan pada ajaran Islam, tapi orang yang salah karena menginterprestasi berlebihan atas nash yang memberi petunjuk soal pengobatan.

Sejak awal wabah ini merebak sampai sekarang masih saja ada yang memberi saran seperti: Corona bisa dicegah dengan wudhu. Padahal banyak ulama dan orang-orang sholeh yang terkena wabah ini. Seolah-olah jutaan muslim yang pernah mengidap Corona itu orang yang meninggalkan wudhu.

Saran di atas juga berisiko ketika ada yang sudah mempraktikkan lantas masih terkena penyakit. Nanti yang digugat adalah Islam, bukan pemberi saran. Sepakat bahwa wudhu bisa membuat sehat. Tapi tak pernah menjadi penangkal virus. Rasulullah tak pernah berkata begitu, dan riset juga tidak pernah membuktikannya.

Islam bukan berarti tidak memberi cara mencegah wabah. Haditsnya sudah terkenal. “Kalau kalian mendengar ada wabah thaun di suatu negeri, janganlah kalian memasuki negeri tersebut. Namun, bila wabah thaun itu menyebar di negeri kalian, janganlah kalian keluar dari negeri kalian menghindar dari penyakit itu.” Begitu sabda Rasulullah dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim.

Tapi kenyataannya banyak umat Islam saat ini tidak mempraktekkan cara tersebut. Mereka santai saja memasuki daerah zona merah, atau yang dari zona merah keluar ke kota lain tanpa keadaan yang sangat mendesak.

Lalu tiba-tiba disodorkanlah saran yang sebenarnya Islam tidak mengajarkan itu: cegah Corona dengan wudhu, hanya berobat dengan Qisthul Hindi tanpa perlu obat lain, dan sebagainya.

Beberapa negara yang mayoritas dihuni non muslim sukses menghindari Corona dengan menerapkan lockdown yang merupakan ajaran Islam. Tapi tidak terdengar pujian bahwa Islam menjadi solusi yang sukses. Mirisnya, sebagian umat menyodorkan cara-cara yang tidak disebut Islam namun sekedar interprestasi mereka karena rasa bangga, lalu tak terbukti mencegah Corona. Bisa-bisa Islam yang dikambing hitamkan.

Zico Alviandri

 

Pogba dan Ronaldo: Halalan Thoyyiban

Cristiano Ronaldo top!! Sebagai atlet, dia menyarankan minuman yang lebih baik untuk masyarakat dunia. Gitu dong. Punya banyak penggemar karena skill permainan yang hebat, harus dilengkapi dengan keteladanan dalam hidup sehat.

Ya, seperti dalam video viral yang sudah banyak ditonton orang, Ronaldo menyingkirkan minuman bersoda yang menjadi sponsor Euro 2020 di atas mejanya saat konferensi pers. Lalu ia mengeluarkan minuman mineral dan mengangkatnya ke hadapan para hadirin.

Eh ada juga yang masih inget Ronaldo pernah jadi bintang iklan minuman berenergi produk Indonesia beberapa tahun lalu? Hehehe… Ya udah lah. Masa lalu.

Ronaldo ini memang atlet panuan, eh… panutan. Tak pernah jarum tato menjamah badannya. Sementara atlet lain bangga dengan ukiran di tubuh. Tujuan Ronaldo begitu agar ia bisa rutin berdonor darah. Kita tahu, jarum tato bisa menjadi penular penyakit-penyakit berbahaya.

Ronaldo juga memarahi anaknya yang suka minuman bersoda dan makanan yang kurang sehat.

Itu Ronaldo. Sehari kemudian, aksi Pogba tidak kalah keren. Dia menyingkirkan produk minuman bir yang juga sponsor Euro 2020. Malah Pogba meletakkannya di bawah, bukan mengesampingkan seperti yang dilakukan Ronaldo.

Kalau Ronaldo mengampanyekan hidup sehat, Pogba mengampanyekan hidup halal berdasarkan syariat Islam. Setidaknya, ia melakukan itu di depan umum karena keyakinan yang ia anut. Alhamdulillah saat itu tidak ada yang berteriak radikal radikul taliban di ruangan konferensi.

Minuman yang disingkirkan Pogba bukan lagi tidak halal, tapi juga tidak sehat. Memang sudah semestinya.

Btw, mungkin ada yang mengungkit-ungkit kesalahan yang pernah Pogba perbuat yang bertentangan dengan ajaran Islam. Ya maklumlah, manusia tidak ada yang sempurna. Tapi tiap kebaikan apalagi yang bisa datangkan pengaruh kepada orang banyak tetap harus diapresiasi.

Kalau ada atlet dari Indonesia berlaga di Euro (mana bisa begitu), bisa jadi ia juga akan menyingkirkan minuman yang ada di meja sembari mengeluarkan bajigur, bandrek, atau teh talua sambil berteriak, “NKRI HARGA MATIIIII…!”

Nah, pasangan Pogba dan Ronaldo ini bisalah kita bilang pasangan halalan thoyyiban. Kita tahu Islam tak hanya memerintahkan untuk hanya mengonsumsi makanan halal, tapi juga thoyyib. Maksudnya bukan makanan yang tidak pulang-pulang selama 3 kali lebaran, tapi makanan yang baik untuk tubuh.

Universalitas Islam tampak dalam Euro kali ini. Alhamdulillahi ‘alaa ni’matil iman.