
Untuk bahan muhasabah, apakah selama ini dalam berbuat kita selalu memberikan yang maksimal?
Misalnya, guru menyuruh murid untuk membuat karangan paling sedikit 5 halaman, paling banyak 10 halaman. Lalu para murid mengerjakan tugas dengan jumlah halaman paling minimal. Sekadar membebaskan kewajiban.
Ada anak disuruh mandi, harapan orang tuanya dua kali sehari, tapi yang dilakukannya sekali sehari yang penting mandi. Yaaa itu sayaaaa…
Ada mutarobbi bersepakat dalam halaqoh untuk tilawah minimal tiga lembar sehari sebagi target amalan yaumi. Ya tiga lembarlah yang dibacanya meski sanggup lebih banyak lagi.
Berbeda dengan sosok berikut. Ia adalah Rasul yang dalam suatu hadits diceritakan oleh Nabi Muhammad saw. bahwa fisiknya berkulit sawo matang, berbadan besar, rambutnya lurus, seakan-akan ia berasal dari suku al-Zuth (di Sudan). (HR Bukhari 3183).
Dari kisah-kisah di dalam Al-Qur’an, tersurat bahwa ia senantiasa totalitas dalam berbuat sesuatu. Misalnya, ketika terlibat perjanjian dengan Nabi Syu’aib a.s. untuk bekerja sebagai syarat menikahi anak Syaikh Madyan itu, ia diberi pilihan durasi kontrak kerja: delapan atau sepuluh tahun. Lalu, Nabi Musa a.s. – tokoh yang sedang kita bicarakan – menunaikan perjanjian dalam masa yang paling maksimal.
Cerita itu ada dalam Al-Qur’an surat Al-Qashash ayat 27-28. “Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, maka aku tidak hendak memberati kamu. Dan kamu insya Allah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik.” Dia (Musa) berkata: “Itulah (perjanjian) antara aku dan kamu. Mana saja dari kedua waktu yang ditentukan itu aku sempurnakan, maka tidak ada tuntutan tambahan atas diriku (lagi). Dan Allah adalah saksi atas apa yang kita ucapkan.”
Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya menulis perkataan Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhu. “Sesungguhnya Musa menunaikan masa yang paling sempurna di antara kedua masa itu, karena sesungguhnya utusan Allah itu apabila berkata pasti menunaikannya.”
Kalau saya yang terikat dalam perjanjian tersebut, pengennya buru-buru selesai. Ya boleh lah 10 tahun, asal dapet dua.
Flashback ke peristiwa sebelumnya, Nabi Musa a.s. bertemu lebih dulu dengan dua anak Nabi Syu’aib a.s. di sebuah sumur yang di sana para penggembala saling berebut air untuk ternaknya. Demi menjaga kemuliaan dan kalah body pula dengan para laki-laki, sepasang wanita itu pun menyingkir. Namun setelah hewan-hewan ternak selesai diberi minum, para penggembala menutup sumur dengan batu yang hanya bisa diangkat oleh 10 orang.
Musa a.s. melihat kejadian tersebut. Maka ia pun memberi bantuan. Batu besar dan berat itu digesernya sendirian. Sendirian!!! Lantas hewan ternak milik Nabi Syu’aib a.s. diberinya minum sampai kenyang. Saat itu Nabi Musa tidak menawarkan kepada hewan-hewan minumnya apa, mau kopi apa teh, karena yang tersedia hanyalah air di sumur.
Sebagai totalitas kebaikan, Nabi Musa a.s. tidak meminta imbalan atas kerja luar biasanya meski perutnya terasa sangat lapar. Ia hanya berdoa kepada Allah swt, “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan (makanan) yang Engkau turunkan kepadaku.” (Al Qashash: 24)
Begitulah teladan dari seorang Nabi yang termasuk Ulul Azmi ini.
Kisah lain adalah ketika ia dijanjikan akan diberi Taurat oleh Allah swt. Maka selama menunggu waktunya tiba, ia pun melakukan persiapan dengan berpuasa selama tiga puluh hari.
Masa berlalu, datanglah saat yang dinantikan. Musa bersiwak terlebih dahulu dengan akar kayu karena gara-gara shaum itu napasnya tidak sedap. Tetapi Allah Swt. memerintahkan kepadanya agar menambah puasa sepuluh hari lagi hingga genap menjadi empat puluh hari. Menurut riwayat, Allah tidak ridho bila aroma ketaatan hilang.
Nabi Musa a.s. patuh. Persiapan untuk bertemu Sang Kekasih yang sangat ia cintai diperpanjang sampai waktu maksimal. Ia tak mengeluh atau protes mengapa acaranya diundur. Namun dengan ketaatan, ia totalitas melanjutkan puasanya. Peristiwa ini bisa dilihat dalam Al-Qur’an Surat Al-A’raf ayat 142.
Ketika hari H tiba dan tidak diundur lagi, Nabi Musa a.s. gegas menuju bukit Thur untuk menerima kitab suci. Bukan cuma ia yang diundang Tuhan, kaumnya juga. Tetapi Musa a.s. ingin menjadi terdepan. Kualitasnya dalam ketaatan unggul jauh dari yang lain.
Maka Musa a.s. meminta Nabi Harun a.s. untuk sementara gantikan ia memimpin karena ia akan berjalan sendirian di depan mendahului kaumnya.
Namun sikap itu ditegur Allah swt dalam surat Thaha ayat 83-84. “Mengapa kamu datang lebih cepat daripada kaummu, hai Musa? Berkata Musa, “Itulah mereka sedang menyusuli aku dan aku bersegera kepada-Mu, ya Tuhanku, agar Engkau rida.””
Memang kadang pada kasus tertentu kita tidak perlu melakukan yang maksimal. Kita bisa memberi ikan kepada orang yang butuh. Tapi karena ia seorang pemalas, maka kita hanya beri ia pancing agar mau berusaha.
Saat menjadi imam, kita bisa baca sepuluh halaman dalam satu rakaat. Namun karena menenggang makmum yang bermacam-macam kondisi fisiknya, kita cukupkan dengan durasi yang sudah menjadi kebiasaan di tempat itu.
Kembali ke kisah Nabi Musa a.s., kaumnya merasa ada kesempatan melakukan kemungkaran begitu mereka lihat pemimpin yang kuat sedang tidak ada di sekitar. Lantas kesyirikan merebak. Patung anak sapi pun jadi sembahan. Kalau Nabi Musa a.s. membersamai mereka, kaum Bani Israil itu tidak akan berani macam-macam.
Totalitas yang lain adalah ketika Nabi Musa a.s. diperintahkan Allah untuk bertemu Khidir. Perkataannya kepada teman di perjalanan diabadikan oleh Allah swt. dalam Al-Qur’an surat Al Kahfi ayat 63: “Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada pembantunya, “Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua laut; atau aku akan berjalan (terus sampai) bertahun-tahun.””
Itulah cermin dari Nabi yang namanya begitu sering disebut dalam Al-Qur’an. Semoga menjadi contoh buat kita untuk totalitas, maksimal dalam berbuat kebaikan.