
Redaksi hadits ini kembali viral ketika ada kehebohan di masyarakat tentang kenaikan harga.
Dari Anas bin Malik, Orang-orang berkata, “Wahai Rasulullah, harga-harga menjadi mahal. Tetapkanlah harga untuk kami?” Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- bersabda, “Sesungguhnya Allah yang pantas menaikkan dan menurunkan harga, Dia-lah yang membatasi dan melapangkan rezeki. Aku harap dapat berjumpa dengan Allah dalam keadaan tidak seorang pun dari kalian yang menuntutku soal kezaliman dalam darah (nyawa) dan harta.” (HR Ibnu Majah)
Dengan retorika berkelit yang luar biasa, beberapa pihak menjadikan kisah di atas sebagai dasar untuk kembali menyalahkan rakyat atas harga-harga yang mahal. Karena dianggap keadaan itu merupakan hukuman Allah untuk masyarakat.
Hadits ini juga dijadikan bahan untuk mengajak khalayak untuk pasif dengan memakai istilah “sabar”. Tak boleh pemerintah disalahkan karena semua itu terjadi atas izin Allah dan Rasul pun tak bisa ikut campur. Begitu ceunah.
Memang Rasulullah menolak untuk intervensi harga. Namun yang perlu digaris bawahi, ada kekhawatiran kalau apa yang akan beliau perbuat adalah sebuah kezaliman.
Malah sesungguhnya ibrah utama pada hadits di atas lebih tepat ditujukan kepada pemerintah agar tidak melakukan intervensi yang merugikan salah satu pihak.
Saat awal-awal harga BBM resmi dinaikkan, (Sabtu 3 September 2022 pukul 14.30 WIB), masyarakat heboh dengan kabar bahwa SPBU Vivo menjual BBM dengan harga yang lebih murah, yaitu Rp 8.900 untuk cairan beroktan 89 yang diberi merk Revvo 89. Sementara Pertamina menjual Pertalite yang beroktan 90 dengan harga Rp 10.000 dan itu pun diklaim sudah disubsidi pemerintah.
Tak lama beberapa media mengangkat headline bahwa kementerian ESDM memerintahkan Vivo menaikkan harga. Misalnya Suaramerdeka[dot]com menurunkan berita berjudul “Dirjen ESDM Minta SPBU Vivo Turut Sesuaikan Harga BBM Sesuai Keputusan Pemerintah”.
“Namun Dirjen Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Tutuka Ariadji mengaku sudah memerintahkan agar SPBU Vivo juga ikut menaikkan harga BBM sesuai dengan keputusan pemerintah.
Tutuka mengatakan, pihaknya sudah berkomunikasi dengan manajemen Vivo untuk segera menaikkan BBM murahnya.” Begitu tulis media tersebut.
Lalu Revvo 89 mendadak hilang dari daftar harga di SPBU Vivo. Dan tak lama kemudian muncul dengan harga baru sebesar Rp 10.900, atau naik dua ribu rupiah.
Ya, masyarakat berisik lagi membincangkan ini.
Atas kabar tersebut, Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) menilai perintah menaikkan harga BBM kepada Vivo sangat berbahaya. Ini bisa melanggar UU Antimonopoli.
“Larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, antara lain praktek kolaborasi menentukan harga tertentu, atau price fixing? Hukumannya adalah pidana?” kata Anthony di Jakarta, Minggu (4/9/2022), kepada inilah.com.
https://www.inilah.com/dirjen-esdm-diduga-perintahkan-vivo-naikkan-harga-bbm
Tak lama kemudian media-media menurunkan lagi tajuk yang isinya kementerian ESDM membantah Vivo untuk menyesuaikan harga. Hanya saja, komentar-komentar warganet di media sosial mengindikasikan ketidak percayaan masyarakat atas klaim pemerintah. Entah siapa yang salah, tapi yang jelas jejak digital terlanjur terukir di awan.
Nah, kalau dihubungkan dengan hadits di atas, maka intervensi seperti itu lah yang zalim, kalau benar kementerian ESDM mendesak Vivo menaikkan harga. Bahkan zalimnya bukan kepalang. Alih-alih membuat rugi pedagang, malah rakyat yang dikorbankan. Sementara Rasulullah menolak intervensi karena khawatir berbuat tidak adil kepada saudagar dan rantai bisnisnya.
Namun pihak-pihak yang suka mengangkat hadits itu tidak pernah mengarahkannya pada pelaku kezaliman. Selalu dijadikan bahan untuk menyuruh umat diam dan bersikap pasif. Seolah menjadi kain penutup mata untuk melihat kebobrokan yang terjadi dan penutup mulut untuk bersuara lantang.
Catatan lagi, saya juga tidak setuju kalau kisah di atas dijadikan hujjah bahwa pemerintahan Islam itu kapitalis dan tak mengenal intervensi pasar.
Ada kisah lain di mana pemerintahan Rasulullah menangani persoalan harga, dalam hal ini air. Yaitu ketika seorang Yahudi menjual air di sumurnya dengan harga yang sangat tinggi kepada penduduk Madinah saat keadaan sedang krisis.
Rasulullah pun intervensi namun tidak dengan jalan kezaliman. Ia memerintahkan Utsman bin Affan r.a. untuk memberi solusi yang kemudian oleh Utsman sumur tersebut dibeli setengah kepemilikannya meski dengan harga yang sangat tinggi yaitu 12.000 dirham.
Setelah itu, orang Yahudi dan Utsman berhak atas kepemilikan air di sumur berselang seling hari. Bila hari ini giliran orang Yahudi, maka besok giliran Utsman.
Akhirnya masyarakat pun hanya mengambil air dengan gratis pada saat jatah Utsman dan sekaligus untuk stok esok hari sehingga tak ada lagi yang membeli kepada si Yahudi.
Akhir cerita, si Yahudi menyerah dan sumur itu ditawarkan kepada Utsman untuk kepemilikan penuh dengan menambah 8.000 dirham lagi. Dan Utsman setuju hingga akhirnya sumur tersebut berstatus wakaf abadi sampai sampai saat ini.
Lalu dari cerita di atas, apakah pemerintah sudah secerdik Rasulullah dan Utsman dalam menyelesaikan masalah harga tinggi di masyarakat, atau malah melakukan intervensi yang zalim yang malah merugikan rakyatnya? Apakah pemerintah menjadi solusi untuk krisis harga ataukah malah menjadi penyebab? Silakan dianalisa.