RSS

Category Archives: Taujih, Taushiyah, dan Artikel Islam

Hadits Tentang Kenaikan Harga Itu Untuk Siapa?

Hadits Tentang Kenaikan Harga Itu Untuk Siapa?

Redaksi hadits ini kembali viral ketika ada kehebohan di masyarakat tentang kenaikan harga.

Dari Anas bin Malik, Orang-orang berkata, “Wahai Rasulullah, harga-harga menjadi mahal. Tetapkanlah harga untuk kami?” Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- bersabda, “Sesungguhnya Allah yang pantas menaikkan dan menurunkan harga, Dia-lah yang membatasi dan melapangkan rezeki. Aku harap dapat berjumpa dengan Allah dalam keadaan tidak seorang pun dari kalian yang menuntutku soal kezaliman dalam darah (nyawa) dan harta.” (HR Ibnu Majah)

Dengan retorika berkelit yang luar biasa, beberapa pihak menjadikan kisah di atas sebagai dasar untuk kembali menyalahkan rakyat atas harga-harga yang mahal. Karena dianggap keadaan itu merupakan hukuman Allah untuk masyarakat.

Hadits ini juga dijadikan bahan untuk mengajak khalayak untuk pasif dengan memakai istilah “sabar”. Tak boleh pemerintah disalahkan karena semua itu terjadi atas izin Allah dan Rasul pun tak bisa ikut campur. Begitu ceunah.

Memang Rasulullah menolak untuk intervensi harga. Namun yang perlu digaris bawahi, ada kekhawatiran kalau apa yang akan beliau perbuat adalah sebuah kezaliman.

Malah sesungguhnya ibrah utama pada hadits di atas lebih tepat ditujukan kepada pemerintah agar tidak melakukan intervensi yang merugikan salah satu pihak.

Saat awal-awal harga BBM resmi dinaikkan, (Sabtu 3 September 2022 pukul 14.30 WIB), masyarakat heboh dengan kabar bahwa SPBU Vivo menjual BBM dengan harga yang lebih murah, yaitu Rp 8.900 untuk cairan beroktan 89 yang diberi merk Revvo 89. Sementara Pertamina menjual Pertalite yang beroktan 90 dengan harga Rp 10.000 dan itu pun diklaim sudah disubsidi pemerintah.

Tak lama beberapa media mengangkat headline bahwa kementerian ESDM memerintahkan Vivo menaikkan harga. Misalnya Suaramerdeka[dot]com menurunkan berita berjudul “Dirjen ESDM Minta SPBU Vivo Turut Sesuaikan Harga BBM Sesuai Keputusan Pemerintah”.

“Namun Dirjen Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Tutuka Ariadji mengaku sudah memerintahkan agar SPBU Vivo juga ikut menaikkan harga BBM sesuai dengan keputusan pemerintah.

Tutuka mengatakan, pihaknya sudah berkomunikasi dengan manajemen Vivo untuk segera menaikkan BBM murahnya.” Begitu tulis media tersebut.

https://www.suaramerdeka.com/ekonomi/pr-044398387/dirjen-esdm-minta-spbu-vivo-turut-sesuaikan-harga-bbm-sesuai-keputusan-pemerintah

Lalu Revvo 89 mendadak hilang dari daftar harga di SPBU Vivo. Dan tak lama kemudian muncul dengan harga baru sebesar Rp 10.900, atau naik dua ribu rupiah.

Ya, masyarakat berisik lagi membincangkan ini.

Atas kabar tersebut, Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) menilai perintah menaikkan harga BBM kepada Vivo sangat berbahaya. Ini bisa melanggar UU Antimonopoli.

“Larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, antara lain praktek kolaborasi menentukan harga tertentu, atau price fixing? Hukumannya adalah pidana?” kata Anthony di Jakarta, Minggu (4/9/2022), kepada inilah.com.

https://www.inilah.com/dirjen-esdm-diduga-perintahkan-vivo-naikkan-harga-bbm

Tak lama kemudian media-media menurunkan lagi tajuk yang isinya kementerian ESDM membantah Vivo untuk menyesuaikan harga. Hanya saja, komentar-komentar warganet di media sosial mengindikasikan ketidak percayaan masyarakat atas klaim pemerintah. Entah siapa yang salah, tapi yang jelas jejak digital terlanjur terukir di awan.

Nah, kalau dihubungkan dengan hadits di atas, maka intervensi seperti itu lah yang zalim, kalau benar kementerian ESDM mendesak Vivo menaikkan harga. Bahkan zalimnya bukan kepalang. Alih-alih membuat rugi pedagang, malah rakyat yang dikorbankan. Sementara Rasulullah menolak intervensi karena khawatir berbuat tidak adil kepada saudagar dan rantai bisnisnya.

Namun pihak-pihak yang suka mengangkat hadits itu tidak pernah mengarahkannya pada pelaku kezaliman. Selalu dijadikan bahan untuk menyuruh umat diam dan bersikap pasif. Seolah menjadi kain penutup mata untuk melihat kebobrokan yang terjadi dan penutup mulut untuk bersuara lantang.

Catatan lagi, saya juga tidak setuju kalau kisah di atas dijadikan hujjah bahwa pemerintahan Islam itu kapitalis dan tak mengenal intervensi pasar.

Ada kisah lain di mana pemerintahan Rasulullah menangani persoalan harga, dalam hal ini air. Yaitu ketika seorang Yahudi menjual air di sumurnya dengan harga yang sangat tinggi kepada penduduk Madinah saat keadaan sedang krisis.

Rasulullah pun intervensi namun tidak dengan jalan kezaliman. Ia memerintahkan Utsman bin Affan r.a. untuk memberi solusi yang kemudian oleh Utsman sumur tersebut dibeli setengah kepemilikannya meski dengan harga yang sangat tinggi yaitu 12.000 dirham.

Setelah itu, orang Yahudi dan Utsman berhak atas kepemilikan air di sumur berselang seling hari. Bila hari ini giliran orang Yahudi, maka besok giliran Utsman.

Akhirnya masyarakat pun hanya mengambil air dengan gratis pada saat jatah Utsman dan sekaligus untuk stok esok hari sehingga tak ada lagi yang membeli kepada si Yahudi.

Akhir cerita, si Yahudi menyerah dan sumur itu ditawarkan kepada Utsman untuk kepemilikan penuh dengan menambah 8.000 dirham lagi. Dan Utsman setuju hingga akhirnya sumur tersebut berstatus wakaf abadi sampai sampai saat ini.

Lalu dari cerita di atas, apakah pemerintah sudah secerdik Rasulullah dan Utsman dalam menyelesaikan masalah harga tinggi di masyarakat, atau malah melakukan intervensi yang zalim yang malah merugikan rakyatnya? Apakah pemerintah menjadi solusi untuk krisis harga ataukah malah menjadi penyebab? Silakan dianalisa.

 

Wabah Baru dan Zina yang Viral

Pandemi Virus Corona belum selesai meski angka penularannya semakin menurun. Lalu masyarakat sudah diresahkan dengan kabar terbaru tentang penyakit hepatitis yang misterius.

Beberapa pihak berspekulasi bahwa penyakit teranyar itu disebabkan oleh Vaksin Corona. Dengan minim bukti mereka menyebarkan opini dan tudingan kesana kemari melalui media sosial.

Benarkah asal penyakit tersebut karena vaksin? Atau karena hal yang lain?

Satu yang terluput dari kesadaran umat Islam, bukankah Rasulullah pernah mewanti-wanti bahwa bila zina telah merebak maka Allah akan menimpakan penyakit atau wabah yang tidak pernah menjangkiti generasi sebelumnya? (Redaksi hadits ada di akhir tulisan)

Coba perhatikan lagi apa yang tengah viral belakang ini.

Pertama, tentang promosi “Let God Burn Them” di podcast seorang selebriti di Indonesia. Ia berdalih agar masyarakat sadar dan menjauh, padahal cara yang ia lakukan justru memberi panggung dan mengundang simpati kepada pelaku perbuatan keji tersebut.

Orang-orang pun tersadar, kian hari perbuatan nista itu semakin banyak yang melakukan dan yang tertular. Belum lagi didukung prasarana yang mempromosikan – seperti film – dan pihak yang membela atas nama HAM.

Kedua, yang tak kalah membuat kepala menggeleng adalah tentang “jatah mantan” yang diangkat oleh sebuah akun di twitter. Orang itu menemukan fakta bahwa banyak wanita atau pria muda yang berzina dengan mantan pacarnya sebelum hari pernikahan.

Tema itu disambut dengan pengakuan akun-akun lain yang menemukan kejadian serupa.

Na’udzubillahi min dzalik. Maka jangan heran kalau ada saja penyakit baru di tengah kita.

Kalau sudah muak dengan berbagai wabah baru, ya mari pergencar amar ma’ruf nahi munkar. Sadarkan umat akan bahaya zina dan liwath.

Nahi munkar yang efektif adalah pada kekuasaan. Sayangnya, umat berkali kalah di medan itu.

Aliansi Cinta Keluarga (AILA) pernah berjuang di Mahkamah Konstitusi agar pasal perzinahan bisa diperluas sehingga ada pencegahan hukum atas perbuatan keji tersebut. Sayangnya kandas pada tahun 2017 lalu.

Menteri pendidikan pernah mengeluarkan aturan yang memberi celah agar perbuatan zina suka sama suka tak tersentuh hukum. Namun protes umat Islam tidak digubris.

Terakhir RUU TPKS yang tidak memuat kriminalisasi atas perbuatan zina dan liwath berhasil disahkan. Padahal Fraksi Partai Keadilan Sejahtera di DPR serta Ormas Islam sudah gencar berjuang agar undang-undang itu tidak menutup mata atas perbuatan yang Rasulullah sebut mengundang wabah.

Lihatlah, seorang pejabat terang-terangan kebingungan mencari dasar hukum untuk melarang promosi perbuatan menyimpang di media sosial. Negara kita tak punya perangkat yang legal untuk nahi munkar terhadap perbuatan itu.

Makanya, daripada memperhatikan agitasi yang lemah dasar atas vaksin yang dituding penyebab wabah baru, lebih baik energi kita digunakan untuk mempergencar nahi munkar.

Karena Rasulullah SAW sendiri yang mengingatkan dalam hadits yang panjang berikut:

”Wahai sekalian kaum Muhajirin, ada lima hal yang jika kalian terjatuh ke dalamnya –dan aku berlindung kepada Allah supaya kalian tidak menjumpainya- (1)Tidaklah nampak zina di suatu kaum, sehingga dilakukan secara terang-terangan kecuali akan tersebar di tengah-tengah mereka tha’un (wabah) dan penyakit-penyakit yang tidak pernah menjangkiti generasi sebelumnya, (2)Tidaklah mereka mengurangi takaran dan timbangan kecuali akan ditimpa paceklik, susahnya penghidupan dan kezaliman penguasa atas mereka. (3) Tidaklah mereka menahan zakat (tidak membayarnya) kecuali hujan dari langit akan ditahan dari mereka (hujan tidak turun), dan sekiranya bukan karena hewan-hewan, niscaya manusia tidak akan diberi hujan. (4)Tidaklah mereka melanggar perjanjian mereka dengan Allah dan Rasul-Nya, kecuali Allah akan menjadikan musuh mereka (dari kalangan selain mereka; orang kafir) berkuasa atas mereka, lalu musuh tersebut mengambil sebagian apa yang mereka miliki(5) Dan selama pemimpin-pemimpin mereka (kaum muslimin) tidak berhukum dengan Kitabullah (al-Qur’an) dan mengambil yang terbaik dari apa-apa yang diturunkan oleh Allah (syariat Islam), melainkan Allah akan menjadikan permusuhan di antara mereka.” (HR. Ibnu Majah dan Al-Hakim dengan sanad shahih).”

 

Nabi Musa yang Maksimal dalam Berbuat

Untuk bahan muhasabah, apakah selama ini dalam berbuat kita selalu memberikan yang maksimal?

Misalnya, guru menyuruh murid untuk membuat karangan paling sedikit 5 halaman, paling banyak 10 halaman. Lalu para murid mengerjakan tugas dengan jumlah halaman paling minimal. Sekadar membebaskan kewajiban.

Ada anak disuruh mandi, harapan orang tuanya dua kali sehari, tapi yang dilakukannya sekali sehari yang penting mandi. Yaaa itu sayaaaa…

Ada mutarobbi bersepakat dalam halaqoh untuk tilawah minimal tiga lembar sehari sebagi target amalan yaumi. Ya tiga lembarlah yang dibacanya meski sanggup lebih banyak lagi.

Berbeda dengan sosok berikut. Ia adalah Rasul yang dalam suatu hadits diceritakan oleh Nabi Muhammad saw. bahwa fisiknya berkulit sawo matang, berbadan besar, rambutnya lurus, seakan-akan ia berasal dari suku al-Zuth (di Sudan). (HR Bukhari 3183).

Dari kisah-kisah di dalam Al-Qur’an, tersurat bahwa ia senantiasa totalitas dalam berbuat sesuatu. Misalnya, ketika terlibat perjanjian dengan Nabi Syu’aib a.s. untuk bekerja sebagai syarat menikahi anak Syaikh Madyan itu, ia diberi pilihan durasi kontrak kerja: delapan atau sepuluh tahun. Lalu, Nabi Musa a.s. – tokoh yang sedang kita bicarakan – menunaikan perjanjian dalam masa yang paling maksimal.

Cerita itu ada dalam Al-Qur’an surat Al-Qashash ayat 27-28. “Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, maka aku tidak hendak memberati kamu. Dan kamu insya Allah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik.” Dia (Musa) berkata: “Itulah (perjanjian) antara aku dan kamu. Mana saja dari kedua waktu yang ditentukan itu aku sempurnakan, maka tidak ada tuntutan tambahan atas diriku (lagi). Dan Allah adalah saksi atas apa yang kita ucapkan.”

Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya menulis perkataan Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhu. “Sesungguhnya Musa menunaikan masa yang paling sempurna di antara kedua masa itu, karena sesungguhnya utusan Allah itu apabila berkata pasti menunaikannya.”

Kalau saya yang terikat dalam perjanjian tersebut, pengennya buru-buru selesai. Ya boleh lah 10 tahun, asal dapet dua.

Flashback ke peristiwa sebelumnya, Nabi Musa a.s. bertemu lebih dulu dengan dua anak Nabi Syu’aib a.s. di sebuah sumur yang di sana para penggembala saling berebut air untuk ternaknya. Demi menjaga kemuliaan dan kalah body pula dengan para laki-laki, sepasang wanita itu pun menyingkir. Namun setelah hewan-hewan ternak selesai diberi minum, para penggembala menutup sumur dengan batu yang hanya bisa diangkat oleh 10 orang.

Musa a.s. melihat kejadian tersebut. Maka ia pun memberi bantuan. Batu besar dan berat itu digesernya sendirian. Sendirian!!! Lantas hewan ternak milik Nabi Syu’aib a.s. diberinya minum sampai kenyang. Saat itu Nabi Musa tidak menawarkan kepada hewan-hewan minumnya apa, mau kopi apa teh, karena yang tersedia hanyalah air di sumur.

Sebagai totalitas kebaikan, Nabi Musa a.s. tidak meminta imbalan atas kerja luar biasanya meski perutnya terasa sangat lapar. Ia hanya berdoa kepada Allah swt, “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan (makanan) yang Engkau turunkan kepadaku.” (Al Qashash: 24)

Begitulah teladan dari seorang Nabi yang termasuk Ulul Azmi ini.

Kisah lain adalah ketika ia dijanjikan akan diberi Taurat oleh Allah swt. Maka selama menunggu waktunya tiba, ia pun melakukan persiapan dengan berpuasa selama tiga puluh hari.

Masa berlalu, datanglah saat yang dinantikan. Musa bersiwak terlebih dahulu dengan akar kayu karena gara-gara shaum itu napasnya tidak sedap. Tetapi Allah Swt. memerintahkan kepadanya agar menambah puasa sepuluh hari lagi hingga genap menjadi empat puluh hari. Menurut riwayat, Allah tidak ridho bila aroma ketaatan hilang.

Nabi Musa a.s. patuh. Persiapan untuk bertemu Sang Kekasih yang sangat ia cintai diperpanjang sampai waktu maksimal. Ia tak mengeluh atau protes mengapa acaranya diundur. Namun dengan ketaatan, ia totalitas melanjutkan puasanya. Peristiwa ini bisa dilihat dalam Al-Qur’an Surat Al-A’raf ayat 142.

Ketika hari H tiba dan tidak diundur lagi, Nabi Musa a.s. gegas menuju bukit Thur untuk menerima kitab suci. Bukan cuma ia yang diundang Tuhan, kaumnya juga. Tetapi Musa a.s. ingin menjadi terdepan. Kualitasnya dalam ketaatan unggul jauh dari yang lain.

Maka Musa a.s. meminta Nabi Harun a.s. untuk sementara gantikan ia memimpin karena ia akan berjalan sendirian di depan mendahului kaumnya.

Namun sikap itu ditegur Allah swt dalam surat Thaha ayat 83-84. “Mengapa kamu datang lebih cepat daripada kaummu, hai Musa? Berkata Musa, “Itulah mereka sedang menyusuli aku dan aku bersegera kepada-Mu, ya Tuhanku, agar Engkau rida.””

Memang kadang pada kasus tertentu kita tidak perlu melakukan yang maksimal. Kita bisa memberi ikan kepada orang yang butuh. Tapi karena ia seorang pemalas, maka kita hanya beri ia pancing agar mau berusaha.

Saat menjadi imam, kita bisa baca sepuluh halaman dalam satu rakaat. Namun karena menenggang makmum yang bermacam-macam kondisi fisiknya, kita cukupkan dengan durasi yang sudah menjadi kebiasaan di tempat itu.

Kembali ke kisah Nabi Musa a.s., kaumnya merasa ada kesempatan melakukan kemungkaran begitu mereka lihat pemimpin yang kuat sedang tidak ada di sekitar. Lantas kesyirikan merebak. Patung anak sapi pun jadi sembahan. Kalau Nabi Musa a.s. membersamai mereka, kaum Bani Israil itu tidak akan berani macam-macam.

Totalitas yang lain adalah ketika Nabi Musa a.s. diperintahkan Allah untuk bertemu Khidir. Perkataannya kepada teman di perjalanan diabadikan oleh Allah swt. dalam Al-Qur’an surat Al Kahfi ayat 63: “Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada pembantunya, “Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua laut; atau aku akan berjalan (terus sampai) bertahun-tahun.””

Itulah cermin dari Nabi yang namanya begitu sering disebut dalam Al-Qur’an. Semoga menjadi contoh buat kita untuk totalitas, maksimal dalam berbuat kebaikan.

 

Corona dan Sabda Rasulullah: Kalian Lebih Mengetahui Urusan Dunia Kalian

Rasulullah pernah mendapat aduan dari para sahabat. Bukan masalah biasa, ini soal sabda beliau yang tak mendapat hasil seperti yang diharapkan meski telah dijalankan dengan taat. Kok bisa kata-kata Rasulullah tidak mujarab?

Sementara itu, sudah berapa banyak orang yang protes karena anjuran pengobatan yang diklaim berasal dari ajaran Islam tapi tidak ampuh. Nanti kita bahas dalam paragraf berikutnya, ada di mana masalahnya.

“Andai tidak kalian lakukan, itu mungkin lebih baik,” ujar beliau saw. ketika mengomentari cara penyerbukan kurma yang sedang dilakukan oleh para petani Madinah. Lantas, sebagaimana diceritakan dalam hadits riwayat Muslim nomor 2362, para sahabat meninggalkan metode yang telah dipraktekkan bertahun-tahun. Tentu dengan keyakinan bahwa ucapan Rasulullah akan mendatangkan manfaat yang lebih baik. Keyakinan yang tepat, dan jangan kita hilangkan hanya gara-gara kisah ini.

Beberapa lama kemudian saat musim panen tiba, pohon-pohon kurma milik petani Madinah yang mengikuti perkataan Rasulullah kala itu berbuah buruk atau berkurang buahnya. Maka tanpa meninggalkan sikap tunduk – tak seperti perilaku umat Nabi Musa a.s. ketika komplain – mereka datangi Rasulullah untuk berkonsultasi. Mengapa hasilnya tak sebagaimana yang diharapkan.

Lalu baginda pun bersabda, “Aku ini seorang manusia. Jika aku memerintahkan kalian dengan sesuatu dari agama kalian maka ambillah. Jika aku memerintahkan kalian dengan sesuatu berupa pendapat (ra’yu), maka aku hanyalah seorang manusia.”

Dalam hadits Muslim lainnya nomor 2363 yang mengisahkan kejadian serupa, ada redaksi sabda Rasulullah yang cukup populer: Antum a’lamu bi umurid dunyakum. “Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian.”

Tapi hadits ini jangan sampai dijadikan argumentasi bahwa Islam tidak mengatur urusan dunia. Ada banyak juga ayat Al Qur’an dan sunnah yang mengajari cara bermuamalah. Sehingga lahirlah sebuah ushul fiqh yang dirumuskan para ulama: Hukum asal dalam berbagai perjanjian dan muamalat (urusan antar manusia) adalah sah sampai adanya dalil yang menunjukkan kebatilan dan keharamannya.

Hadits di atas penting untuk diangkat lagi ketika wabah Corona yang sedang merebak di muka bumi, dan Indonesia sedang menghadapi penyebaran gelombang kedua. Intinya tentang urusan dunia – yang belum diatur oleh syariat – yang oleh Islam diserahkan kepada manusia yang mengetahui yang terbaik dengan ilmu pengetahuan dan riset.

Apa yang dilakukan oleh para ilmuwan dengan melakukan penelitian sampai menciptakan vaksin Corona tak bertentangan dengan sabda Rasulullah: “Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian.”

Sementara itu yang tidak diatur oleh Islam, jangan dibuat-buat seolah ada aturannya.

Misalnya, Air Zam-Zam, Madu, Habatussauda, Qisthul Hindi dan sebagainya memang disebutkan dalam nash memiliki keampuhan dalam pengobatan dan juga keberkahan. Tapi tak ada larangannya juga untuk berobat dengan cara lain. Ingat, tak ada larangannya.

Lagian nash tidak menyebutkan bahwa bahan-bahan di atas adalah obat tunggal yang tak memerlukan obat lain untuk dikonsumsi. Artinya, tak salah meminum madu bersama obat dokter. Bahkan hanya memakai bahan farmasi buatan pabrik tanpa madu pun tak ada ulama yang menghukumi haram.

Maka bila ada yang mencela ikhtiar hanya karena ada yang memilih ventilator tanpa Qisthul Hindi, pertanda orang itu terlalu berlebihan. Ketika napas seorang penderita Corona sudah begitu susah, Oximeter menunjukkan angka yang kritis, maka pertolongan darurat yang harus dilakukan adalah memberinya alat bantu pernapasan. Begitu sesuai ilmu kedokteran.

Islam akan disalahkan bila ada yang memprotes cara ini lantas hanya menyarankan Qisthul Hindi hingga kemudian yang sedang darurat itu pun akhirnya wafat.

Jadi, masalahnya bukan pada ajaran Islam, tapi orang yang salah karena menginterprestasi berlebihan atas nash yang memberi petunjuk soal pengobatan.

Sejak awal wabah ini merebak sampai sekarang masih saja ada yang memberi saran seperti: Corona bisa dicegah dengan wudhu. Padahal banyak ulama dan orang-orang sholeh yang terkena wabah ini. Seolah-olah jutaan muslim yang pernah mengidap Corona itu orang yang meninggalkan wudhu.

Saran di atas juga berisiko ketika ada yang sudah mempraktikkan lantas masih terkena penyakit. Nanti yang digugat adalah Islam, bukan pemberi saran. Sepakat bahwa wudhu bisa membuat sehat. Tapi tak pernah menjadi penangkal virus. Rasulullah tak pernah berkata begitu, dan riset juga tidak pernah membuktikannya.

Islam bukan berarti tidak memberi cara mencegah wabah. Haditsnya sudah terkenal. “Kalau kalian mendengar ada wabah thaun di suatu negeri, janganlah kalian memasuki negeri tersebut. Namun, bila wabah thaun itu menyebar di negeri kalian, janganlah kalian keluar dari negeri kalian menghindar dari penyakit itu.” Begitu sabda Rasulullah dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim.

Tapi kenyataannya banyak umat Islam saat ini tidak mempraktekkan cara tersebut. Mereka santai saja memasuki daerah zona merah, atau yang dari zona merah keluar ke kota lain tanpa keadaan yang sangat mendesak.

Lalu tiba-tiba disodorkanlah saran yang sebenarnya Islam tidak mengajarkan itu: cegah Corona dengan wudhu, hanya berobat dengan Qisthul Hindi tanpa perlu obat lain, dan sebagainya.

Beberapa negara yang mayoritas dihuni non muslim sukses menghindari Corona dengan menerapkan lockdown yang merupakan ajaran Islam. Tapi tidak terdengar pujian bahwa Islam menjadi solusi yang sukses. Mirisnya, sebagian umat menyodorkan cara-cara yang tidak disebut Islam namun sekedar interprestasi mereka karena rasa bangga, lalu tak terbukti mencegah Corona. Bisa-bisa Islam yang dikambing hitamkan.

Zico Alviandri

 

Pogba dan Ronaldo: Halalan Thoyyiban

Cristiano Ronaldo top!! Sebagai atlet, dia menyarankan minuman yang lebih baik untuk masyarakat dunia. Gitu dong. Punya banyak penggemar karena skill permainan yang hebat, harus dilengkapi dengan keteladanan dalam hidup sehat.

Ya, seperti dalam video viral yang sudah banyak ditonton orang, Ronaldo menyingkirkan minuman bersoda yang menjadi sponsor Euro 2020 di atas mejanya saat konferensi pers. Lalu ia mengeluarkan minuman mineral dan mengangkatnya ke hadapan para hadirin.

Eh ada juga yang masih inget Ronaldo pernah jadi bintang iklan minuman berenergi produk Indonesia beberapa tahun lalu? Hehehe… Ya udah lah. Masa lalu.

Ronaldo ini memang atlet panuan, eh… panutan. Tak pernah jarum tato menjamah badannya. Sementara atlet lain bangga dengan ukiran di tubuh. Tujuan Ronaldo begitu agar ia bisa rutin berdonor darah. Kita tahu, jarum tato bisa menjadi penular penyakit-penyakit berbahaya.

Ronaldo juga memarahi anaknya yang suka minuman bersoda dan makanan yang kurang sehat.

Itu Ronaldo. Sehari kemudian, aksi Pogba tidak kalah keren. Dia menyingkirkan produk minuman bir yang juga sponsor Euro 2020. Malah Pogba meletakkannya di bawah, bukan mengesampingkan seperti yang dilakukan Ronaldo.

Kalau Ronaldo mengampanyekan hidup sehat, Pogba mengampanyekan hidup halal berdasarkan syariat Islam. Setidaknya, ia melakukan itu di depan umum karena keyakinan yang ia anut. Alhamdulillah saat itu tidak ada yang berteriak radikal radikul taliban di ruangan konferensi.

Minuman yang disingkirkan Pogba bukan lagi tidak halal, tapi juga tidak sehat. Memang sudah semestinya.

Btw, mungkin ada yang mengungkit-ungkit kesalahan yang pernah Pogba perbuat yang bertentangan dengan ajaran Islam. Ya maklumlah, manusia tidak ada yang sempurna. Tapi tiap kebaikan apalagi yang bisa datangkan pengaruh kepada orang banyak tetap harus diapresiasi.

Kalau ada atlet dari Indonesia berlaga di Euro (mana bisa begitu), bisa jadi ia juga akan menyingkirkan minuman yang ada di meja sembari mengeluarkan bajigur, bandrek, atau teh talua sambil berteriak, “NKRI HARGA MATIIIII…!”

Nah, pasangan Pogba dan Ronaldo ini bisalah kita bilang pasangan halalan thoyyiban. Kita tahu Islam tak hanya memerintahkan untuk hanya mengonsumsi makanan halal, tapi juga thoyyib. Maksudnya bukan makanan yang tidak pulang-pulang selama 3 kali lebaran, tapi makanan yang baik untuk tubuh.

Universalitas Islam tampak dalam Euro kali ini. Alhamdulillahi ‘alaa ni’matil iman.

 

Masih Ada Alasan Untuk Takut Karena Gerhana

“Bang/mpok zaman old, ane mau nanya… Klo istri lg hamil, trs ada gerhana nongol klo gk ngumpet dibawah kolong meja emang anaknya kulitnya nanti belang y? mitos atau fakta ya? #mitamit.”

Status itu dibagikan ke sebuah grup di facebook oleh seorang warganet di sekitar fenomena Super Blue Blood Moon kemarin. Mungkin maksudnya sekadar becanda. Menertawakan perilaku orang zaman dulu yang mudah terpengaruh oleh mitos. Tapi gerhana memang peristiwa yang begitu banyak dikerubungi cerita mistis.

Islam datang untuk menghapus khayalan mengada-ngada umat manusia atas peristiwa alam tersebut. Itulah sebabnya Allah swt menghendaki gerhana terjadi saat kematian Ibrahim, anak laki-laki Nabi Muhammad saw. Sesuai anggapan yang sudah ada, orang-orang mulai menghubungkannya. Lalu Nabi kemudian bersabda untuk menghapus takhayul. ”Sesungguhnya matahari dan bulan adalah tanda-tanda kebesaran Allah, keduanya terjadi gerhana bukan karena kematian seseorang dan tidak karena kelahiran seseorang. Ketika kalian melihatnya, maka berdo’alah pada Allah dan shalatlah sampai selesai.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Wajar ada rasa takut di benak orang zaman dulu ketika melihat gerhana. Mereka menganggap itu adalah musibah karena sensasi dari suasana yang seketika gulita padahal bulan sedang purnama atau matahari sedang cerah-cerahnya. Bulan atau matahari seolah ditelan sesuatu. Bagaimana bila kegelapan itu berlangsung seterusnya? Rasulullah saw pun mengakui, bahwa gerhana memang ada untuk membuat manusia takut sehingga memunculkan harap kepada Allah swt.

“Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda kebesaran Allah. Keduanya tidak mengalami gerhana karena kematian seseorang dan tidak pula karena hidupnya seseorang. Tapi, Allah Ta’ala menakut-nakuti hamba-Nya dengan keduanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Lalu bagaimana dengan kondisi di zaman modern ini, di mana pengetahuan sudah mengupas fenomena alam dengan ilmiah, dan terbukti bahwa gerhana alam hanyalah peristiwa biasa dan bukan bencana. Apakah manusia tidak perlu lagi takut? Bagaimana dengan relevansi hadits di atas, bahwa Allah menakuti hamba dengan gerhana?

Di zaman ini masih ada sebagian kalangan umat muslim yang melarang untuk mengabarkan gerhana kepada masyarakat. Alasannya karena peristiwa itu untuk menakuti manusia jadi tidak boleh menebarkan rasa takut, atau khawatir kesakralan gerhana berkurang.

Memang, sekarang manusia tidak lagi takut dengan gerhana. Malah mereka menjadikan pemandangan itu sebagai hiburan. Berselfie, memamerkannya di media social, dll. Tidak ada lagi kekhawatiran layaknya orang dulu yang belum mengerti.

Tapi bagi ulul albab, peristiwa gerhana dan fenomena alam lainnya yang dianggap biasa, tetap menghadirkan rasa takut di hatinya. Bukan takut terhadap musibah, tapi rasa takut terhadap Dzat Yang Mengkreasikan Peristiwa-Peristiwa Itu. Mereka memahami proses terjadinya secara ilmiah pada gerhana, juga pada hujan yang turun, pada pergantian malam dan siang, dll. Tapi kepahaman itu membuat mereka merasa semakin kecil di hadapan Allah swt. Sehingga menghadirkan rasa tak aman akan murka-Nya.

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal (ulul albab), (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka. Ya Tuhan kami, sesungguhnya barangsiapa yang Engkau masukkan ke dalam neraka, maka sungguh telah Engkau hinakan ia, dan tidak ada bagi orang-orang yang zalim seorang penolongpun.””

Begitulah ulul albab yang digambarkan Al-Qur’an surat Ali Imron 190-193. Saat mempelajari ilmu pengetahuan, iman di hati membawa mereka pada kehidupan akhirat. Sehingga mereka menemukan bahwa Tuhan yang menciptakan alam dengan berbagai fenomena menakjubkan di dalamnya, tentu kuasa menghadirkan siksa yang lebih luar biasa di akhirat nanti. Maka mereka pun takut, dan berdoa terhindar dari neraka.

Karena itu, hadits Rasulullah saw bahwa gerhana untuk menakuti hamba-Nya akan selalu relevan selama ulul albab masih ada di bumi ini.

 

Hidup Seperti Permainan Othello

Banyak orang sudah pernah memainkan permainan ini sehingga nama permainan ini harusnya cukup familiar di telinga Anda. Othello, atau disebut juga Reversi. Dimainkan oleh dua pemain menggunakan papan permainan berukuran 8×8 kotak dan dua jenis keping yaitu hitam dan putih.

Pemain yang memegang keping hitam selalu memulai lebih dulu, dilanjutkan dengan keping putih. Bila satu atau beberapa keping putih terjepit oleh keping hitam dalam satu garis horizontal, vertikal, atau diagonal, maka keping putih itu menjadi keping hitam. Vice versa.

Inti permainannya adalah adu banyak keping hitam/putih, mencari strategi untuk mengubah keping lawan menjadi keping milik kita dengan mengapitnya dalam satu garis. Satu keping hitam bisa mengubah sekian keping putih, begitu juga sebaliknya satu keping putih bisa mengubah sekian keping hitam.

Seperti kehidupan ini.

Ya, permainan itu menjadi metafora bagi perbuatan baik atau jahat dalam hidup kita. Karena setiap perbuatan baik atau jahat, bisa berdampak pada perbuatan sebelumnya. Satu kebaikan bisa menetralkan sekian banyak dosa perbuatan hitam/kejahatan. Dan satu kemaksiatan bisa menghanguskan pahala perbuatan putih/kebaikan yang sudah kita lakukan.

Keping Putih itu Amal Sholeh

Rasulullah saw pernah bersabda bahwa dosa-dosa yang diperbuat di sela amal sholeh, akan terhapus. Sebagaimana keping-keping hitam Othello yang berubah karena diapit dua keping putih. Amal sholeh yang menetralkan dosa itu antara lain sholat lima waktu, sholat jumat, dan puasa Ramadhan.

“Shalat lima waktu dan Jum’at ke Jum’at dan Ramadhan ke Ramadhan adalah penghapus dosa di antara keduanya selama dosa-dosa besar dijauhi.” (HR. Muslim)

Umumnya amal-amal sholeh yang kita perbuat dapat menghapus perbuatan dosa. Bertebaran begitu banyak hadits dan ayat Al-Qur’an yang menjelaskan hal tersebut.

Terutama taubat, karena amal ini dilakukan agar Allah berkenan menghapus dosa kita. Dan jangan kira Allah bosan dengan penyesalan seorang hamba yang terjadi berulang kali. Sering kali setelah bertaubat, dosa yang kita mohonkan ampunan tadi kita perbuat kembali. Terus begitu. Tetapi Allah tidak bosan dan terus menyediakan ampunannya.

“Ada seorang hamba yang berbuat dosa lalu dia mengatakan ‘Allahummagfirliy dzanbiy’ (Ya Allah, ampunilah dosaku). Lalu Allah berfirman, ‘Hamba-Ku telah berbuat dosa, lalu dia mengetahui bahwa dia memiliki Rabb yang mengampuni dosa dan menghukumi setiap perbuatan dosa’. (Maka Allah mengampuni dosanya), kemudian hamba tersebut mengulangi lagi berbuat dosa, lalu dia mengatakan, ‘Ay robbi agfirli dzanbiy’ (Wahai Rabb, ampunilah dosaku). Lalu Allah berfirman, ‘Hamba-Ku telah berbuat dosa, lalu dia mengetahui bahwa dia memiliki Rabb yang mengampuni dosa dan menghukumi setiap perbuatan dosa’. (Maka Allah mengampuni dosanya), kemudian hamba tersebut mengulangi lagi berbuat dosa, lalu dia mengatakan, ‘Ay robbi agfirli dzanbiy’. Lalu Allah berfirman, ‘Hamba-Ku telah berbuat dosa, lalu dia mengetahui bahwa dia memiliki Rabb yang mengampuni dosa dan menghukumi setiap perbuatan dosa. Beramallah sesukamu, sungguh engkau telah diampuni.”( HR. Muslim no. 2758).

Imam Nawawi dalam Syarh Muslim mengatakan bahwa yang dimaksudkan dengan ‘beramallah sesukamu’ adalah selama engkau berbuat dosa lalu bertaubat, maka Allah akan mengampunimu.

Maka miriplah amal-amal yang kita lakukan itu seperti permainan Othello. Saat berbuat maksiat, s isi jahat diri kita seolah meletakkan sebuah keping hitam di papan. Lantas kita bertaubat, sisi baik diri kita meletakkan keping putih di samping keping hitam tadi yang membuatnya menjadi putih.

Amal-amal lain yang menghapus dosa di antaranya dijelaskan dalam hadits-hadits berikut:

“Sedekah dapat menghapus dosa sebagaimana air memadamkan api” (HR. Tirmidzi).

“Siapa yang berhaji lalu tidak berkata keji dan berbuat kefasikan maka kembali seperti hari ibunya melahirkannya” (HR. Al Bukhari)“Nabi Bersabda Shallallahu’alaihi Wasallam: Puasa hari Arafah saya berharap dari Allah untuk menghapus setahun yang sebelumnya dan setahun setelahnya dan Puasa hari A’syura saya berharap dari Allah menghapus setahun yang telah lalu” (HR. At Tirmidzi)

Dan membalas “keping hitam” dengan “keping putih” dalam hidup memang sudah diperintahkan oleh Rasulullah saw. Menyusulkan perbuatan buruk dengan perbuatan baik.

“Bertakwalah kepada Allah dimanapun kamu berada, ikutilah kejelekan dengan kebaikan yang menghapusnya dan pergauli manusia dengan akhlak yang mulia” (HR Al Tirmidzi dan Ahmad)

Keping Hitam itu Dengki dan Riya’

Tapi hati-hati, keping putih amal-amal baik bisa berubah menjadi keping hitam dosa manakala kita melakukan perbuatan maksiat tertentu.

Seperti misalnya syirik dan murtad dari agama Islam.

“Barangsiapa di antara kalian yang murtad dari agamanya kemudian mati dalam keadaan kafir maka mereka itulah orang-orang yang terhapus amalannya di dunia dan akhirat. Dan mereka itulah penghuni neraka. Mereka kekal berada di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah : 217)

Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu. “Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi. (QS Az-Zumar: 65)

Syirik kecil atau bisa disebut riya’, juga menjadi keping hitam yang bisa mengubah keping putih. Letih lelah kita melakukan amal sholeh menjadi tak ada artinya di hadapan Allah karena tidak ikhlas. Allah berfirman dalam hadits qudsi:

“Aku paling tidak butuh pada sekutu-sekutu, barangsiapa yang beramal sebuah amal kemudian dia menyekutukan-Ku di dalamnya maka Aku tinggalkan dia dan syiriknya.” (HR. Muslim)

Riya’ acap kali menjadi keping hitam pengubah keping putih dalam hidup manusia. Bahkan amal perbuatan yang pernah dilakukan bertahun-tahun lalu, tiba-tiba hangus pahalanya karena kita tergoda berbuat sum’ah atau bercerita kepada manusia dengan niat mendapat pujian (tidak ikhlas karena Allah semata). Laksana meletakkan satu kepng hitam yang membuat keping-keping putih terapit dalam permainan Othello.

Tetapi, saat kita bertaubat, keping-keping hitam itu kembali menjadi putih. Dosa riya’ terhapus, pahala pun kembali.

Dan waspada juga terhadap dengki. Karena sempitnya hati kita yang diakibatkan dengki bisa menihilkan amal sholeh yang telah susah payah diperbuat.

“Hindarilah oleh kalian hasad, karena hasad bisa memakan kebaikan sebagaimana api melalap kayu bakar.” (HR Abu Dawud)

Ada beberapa lagi perbuatan buruk yang menghapus amal sholeh. Dan seperti Othello, akhirnya hidup kita akan dihisab mana yang paling banyak antara keping putih kebaikan dan keping hitam kejahatan. Keping-keping itu akan ditimbang oleh Allah swt.

“Dan adapun orang-orang yang berat timbangan (kebaikan)nya, maka dia berada dalam kehidupan yang memuaskan. Dan adapun orang-orang yang ringan timbangan (kebaikan)nya, maka tempat kembalinya adalah neraka Hawiyah. Tahukah kamu apakah neraka Hawiyah itu? (Yaitu) api yang sangat panas.” (QS Al-Qoriah 6-11)

Inilah metafora hidup kita yang laksana permainan Othello.

 

Wahai Musuhku Israel, Berterimakasihlah Kepada Sebagian Saudaraku

⌨ Abu Raudhah

Aku tahu bahwa kalian, Israel, ingin sekali menguasai seluruh tanah Palestina. Namun belum sepenuhnya cita-cita kalian terwujud. Daerah Tepi Barat dan Gaza tak kunjung takluk. Rakyat Palestina masih gigih melawan aksi pendudukan yang kalian lakukan.

Tapi apakah kalian tahu, bahwa sebagian dari saudara seimanku sangat berjasa kepada kalian. (Aku yakin kalian tahu, meski aku tak berani menuduh kalau itu justru agenda tersembunyi kalian). Ya, ada sekelompok muslim, berpenampilan meyakinkan seakan penjaga sunnah Nabi Muhammad saw, tetapi seruan-seruannya sangat mengganggu perjuangan Palestina, dan malah memperingan kerja zionis la’natullah.

Alih-alih mendukung sikap bertahan umat muslim di sana, mereka ini malah menyuruh penduduk di tanah para nabi itu agar hijrah. Seolah tak ada izzah, mereka berdalih “biarkan saja Allah yang menolong Al-Aqsho sebagaimana Ia telah mengutus burung yang melindungi Kakbah.” Setelah berbicara begitu mereka berlepas tangan, membiarkan Israel merong-rong bangunan suci umat Islam yang harus dimuliakan.

Jauh sebelum mereka, Bani Israil – nenek moyang kalian, wahai bangsa Israel – telah mempelopori ucapan mirip seperti ini kepada Musa a.s. “Mereka berkata: “Hai Musa, kami sekali sekali tidak akan memasukinya selama-lamanya, selagi mereka ada didalamnya, karena itu pergilah kamu bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti disini saja”.” (QS Al-Maidah: 24)

Untuk membenarkan pendirian, mereka juga membawa hadits “Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibandingnya terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.” (HR. Nasai, Turmudzi). Lalu hadits itu digunakan untuk menyalahkan aksi jihad yang membuat umat muslim jatuh korban. Padahal hadits itu adalah kecaman kepada pembunuhan, bukan mengecam jihad yang memang beresiko mengakibatkan jatuhnya korban jiwa.

Mereka juga menjelek-jelekkan warga Palestina. Dituduhnya rakyat di sana belum benar aqidahnya, belum baik tauhidnya, banyak ahli bid’ah, jauh dari sunnah, dll.

Entah mereka tahu atau tidak, hidup dalam pengungsian tidak lah nyaman. Tempat tinggal, kebutuhan hidup, mata pencaharaian, semua serba susah. Belum tentu juga ada negara yang mau menampung.

Tentu kalian senang dengan ucapan mereka. Kalian begitu ingin agar penduduk Palestina pergi semua dari tanah airnya. Agar terwujud negara Israel Raya impian kalian yang luasnya mencakup Suriah, Turki, dan sebagian wilayah Arab Saudi. (Aku tidak tahu, bila kalian mulai mengincar sebagian daerah Arab Saudi, akankah saudara-saudaraku ini juga menyeru penduduk di sana hijrah?)

Dulu, rakyat Palestina hanya bisa menggunakan batu untuk melawan tank dan persenjataan canggih kalian. Lantas saudara-saudaraku ini mengeluarkan hadits Abdullah bin Mughaffal di mana Rasulullah melarang khadzaf (semacam gundu dari kerikil) yang dilempar dengan tangan. Dengan hadits tersebut, mereka menuduh pejuang Palestina melanggar perintah Nabi.

Padahal, larangan itu punya illat yaitu tidak bisa dijadikan alat berburu dan tak bisa membahayakan musuh. Tapi tentu hukum akan berubah kalau dalam keadaan terpaksa. Dalam perang, apa pun bisa digunakan sebagai senjata dalam rangka bertahan. Menurut hikayat, Nabi Daud a.s. membunuh Jalut dengan batu. Haqqul yaqin, andai ada peralatan perang yang lebih canggih, mereka tak akan menggunakan batu untuk meledakkan tank baja.

Tentu kalian senang dengan ucapan sebagian saudaraku itu. Berharap umat Islam ikut mencela dan tak lagi punya simpati kepada warga Palestina yang terdesak penjajahan. Dan kebiadan yang kalian lakukan pun tak terusik.

Seiring waktu, para pejuang Palestina semakin berkembang kemampuan perangnya. Mereka bisa membuat senjata sendiri. Termasuk merakit bom. Hanya saja, kemampuan mereka belum memadai untuk membikin pelontar. Sementara pemukiman mereka terus digusur, tanah dirampas, anggota keluarga dibunuh, dan masjid dirobohkan demi pendudukan illegal zionis Yahudi.

Ketiadaan alat pelontar membuat mereka terpaksa membawa sendiri bom yang telah dirakit untuk diledakkan di dekat mereka. Ada resiko besar, tubuh mereka ikut terkena bom hingga syahid. Tapi pejuang Palestina tak peduli dengan resiko tersebut. Mereka dengan berani meledakkan bom-bom itu, membuat kerugian besar di tengah kalian wahai Israel, dan membuat kalian ketakutan bukan kepalang.

Lantas sebagian saudaraku itu kembali mencela bentuk perjuangan tadi. Dikatakannya itu adalah bom bunuh diri. Kematian mujahid Palestina disebut sebagai mati konyol. Tentu kalian senang. Karena dengan begitu umat muslim ikut mencela dan tidak punya simpati dengan perjuangan bangsa Palestina. Dan penjajahan yang kalian lakukan pun tak terusik.

Kini aksi bom syahid sudah ditinggal oleh para pejuang yang telah mampu membuat roket. Persenjataan pun semakin canggih. Bahkan lontaran roketnya sudah ada yang mampu mencapai ibu kota kalian, di Tel Aviv. Pada perang terakhir, pertahanan yang kalian beri nama “kubah besi” remuk oleh roket-roket mereka. Dunia mengejek kalian dengan istilah “kubah kertas”. Kalian coba serangan darat ke Gaza, kandas juga. Akhirnya kalian pun terpaksa meminta perdamaian.

Tapi sebagian saudaraku itu tak berhenti nyinyir. Terbaru, mereka menuduh mujahid Palestina lah yang memprovokasi Israel dengan lemparan-lemparan roket itu. Lagi-lagi pejuang yang disalahkan. Kalian tentu senang dengan ucapan mereka.

Tak lupa juga, mereka membuat analisa ngawur bahwa jihad yang dilakukan pejuang Palestina tidak sesuai syariat Islam. Makin menambah rasa bahagia kalian, wahai musuhku Israel, kepada sebagian saudara seimanku itu.

Ketika umat Islam di belahan bumi lain melakukan demonstrasi dan turun kejalan mengecam perbuatan kalian, mereka mengeluarkan fatwa haramnya demonstrasi. Dituduhnya demonstran itu khawarij yang halal ditumpahkan darahnya. Tentu kalian senang bila orang yang mengusik penjajahan ditumpas. Mereka juga mengejek aksi demonstrasi itu tak mengubah nasib Palestina. Tentu kalian senang bila masyarakat dunia tidak disadarkan akan kekejian kalian.

Melengkapi itu semua, mereka keluarkan fatwa larangan mencaci Israel. Alasannya karena Israel itu nama seorang Nabi. Alasan yang mengada-ngada karena telah mafhum kaidah fiqh, sesuatu dinilai berdasarkan maksudnya. Tentu kalian makin senang saat orang tak berani mencaci nama negara kalian.

Karena itu berterima kasihlah wahai musuhku, Israel, atas jasa-jasa sebagian saudaraku kepada kalian yang mengganggu aksi anti penjajahan.

 

Ciri Hidup Yang Efektif

اَللَّهُمَّ إنِّيْ أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا وَرِزْقًا طَيِّبًا وَعَمَلاً مُتَقَبَّلاً

Ya Allah, aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rizki yang halal, dan amal yang diterima.” (HR Ibnu Majah, Ahmad)

Seorang muslim sadar orientasi hidupnya adalah akhirat. Sementara itu ia hanya dibekali waktu yang sedikit untuk memupuk amal sholeh sebanyak-banyaknya.

Andai rerata hidup manusia 63 tahun, berapakah waktu efektifnya untuk beramal sholeh? Usia itu belum dikurangi waktu tidur dan aktivitas duniawi. Atau kalau mau dihitung dari waktu sholat wajibnya yang lima kali dalam sehari, hanya terkumpul 1 jam 15 menit sehari (kalau rerata sekali sholat beserta dzikir adalah 15 menit). Lalu bagaimana bila waktu beribadah itu dikurangi oleh perbuatan-perbuatan maksiat yang sadar tak sadar kita lakukan?

Karena itu penting agar hidup yang kita jalani ini efektif dalam kebaikan. Rasulullah saw memberi contoh. Dalam sebuah doa, ia saw meminta kehidupan yang efektif.

Ilmu Yang Bermanfaat/Pengetahuan Yang Aplikatif

Volume otak yang terpakai memang jauh lebih kecil dari kapasitasnya. Tapi ini bukan tentang otak kita yang mampu menyimpan banyak ilmu, tetapi tentang efektifitas waktu mempelajari sebuah ilmu.

Saat akses internet ada dalam genggaman, dan berbagai ilmu tersingkap melalui mesin pencari, tetap saja butuh waktu untuk mempelajari sebuah ilmu. Lalu bila waktu yang terpakai habis untuk mempelajari ilmu yang menjerumuskan pada kesyirikan, misalnya mempelajari ilmu ramalan bintang, shio, dll, betapa tidak efektifnya hidup kita.

Efektifitas hidup ada pada penguasaan pengetahuan yang applicable dalam hidup. Seorang anak mengoleksi berpuluh-puluh komik, seberapa banyak manfaat yang ia peroleh? Kalau sekedar memperoleh pesan cerita, ia bisa mendalami sejarah perjuangan para sahabat Rasulullah yang harum yang begitu tebal dengan pesan kehidupan.

Seorang satpam mempelajari bahasa pemrograman karena hobi. Ia mengoleksi buku-buku pemrograman komputer. Kalau dari ilmu itu ia bisa menambah pemasukan karena pekerjaan samping sebagai programmer, tentu bermanfaat sekali ilmunya. Tetapi kalau sekedar hobi dan tak ada input yang didapat, sayang sekali waktunya.

Seseorang penikmat sepakbola gemar membaca analisa sebuah pertandingan, mengamati perkembangan seorang pemain dan klub, mengikuti bursa transfer, tetapi pada akhirnya apa yang ia baca tak banyak manfaat dalam hidupnya. Hanya sekedar hobi. Tentu sayang sekali waktu yang habis mendalami dunia sepakbola.

Inilah yang diminta Rasulullah saw, agar tidak sibuk dalam menggali pengetahuan yang tidak ada manfaat apa-apa dalam hidup. Hanya sekedar menghadirkan keasyikan duniawi. Ia saw juga berdoa:

“Ya Allah, aku berlindung kepadaMu dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyu’, dari nafsu yang tidak pernah kenyang, dan dari doa yang tidak dikabulkan.”(HR Muslim)

Rezeki/Capaian Yang Baik

Apa yang diperoleh dari harta korupsi adalah rezeki seorang koruptor. Tetapi baikkah rezeki itu? Tentu kita sepakat, itu bukan rezeki yang baik. Rasulullah memohon agar hidupnya efektif melalui rezeki yang baik.

Harta koruptor berpotensi menyeretnya ke pengadilan suatu saat. Jabatan yang diraih dari menjilat atasan dan menyikut teman sejawat hanya menambah musuh dan pembenci. Itulah rezeki yang buruk.

Rezeki yang baik ditandai dari cara memperoleh dan pemanfaatannya yang juga baik. Rezeki yang diperoleh secara halal, tetapi dimanfaatkan untuk jalan maksiat, tetap saja membuat masalah di akhirat kelak.

Amalan Yang Diterima Oleh Allah swt/Aktivitas Yang Efektif

Dan poin terakhir yang diminta oleh Rasulullah untuk mendapatkan hidup yang efektif adalah amal yang diterima oleh Allah swt.

Dalam sehari, hanya sedikit waktu yang kita alokasikan untuk ibadah mahdhoh. Aktivitas lain seperti bekerja, tidur, makan, dll bisa bernilai ibadah kalau kita niatkan untuk ibadah. Jangan biarkan aktivitas-aktivitas mubah itu sia-sia tanpa diniati untuk ibadah kepada Allah swt.

Dan upayakan sebisa mungkin agar amal sholeh yang kita lakukan berkualitas agar diterima oleh Allah swt. Rasulullah saw pernah mewanti-wanti umatnya,

“Betapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan dari puasanya tersebut kecuali rasa lapar dan dahaga.” (HR. Ath Thabrani)

Begitu juga banyak yang tidak mendapatkan apa-apa dari sholatnya kecuali letih. Ini karena ia mengabaikan ikhlas dan kekhusyukan dalam sholat. Sayang sekali, amalnya tidak efektif untuk menjaganya di akhirat.

 

Empat Ukuran Standard Hidup Layak Menurut Hadits

Bila Anda coba menanyakan apa ukuran kebahagiaan atau kesuksesan kepada 100 orang, mungkin Anda akan mendapatkan 100 jawaban yang berbeda. Karena memang tiap orang punya perbedaan yang unik dalam menilai standard kelayakan hidup. Tergantung seleranya.

Tetapi sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban (dishahihkan oleh Al-Arna’uth) mengarahkan umat muslim pada empat faktor terwujudnya kebahagiaan. Hadits itu berbunyi:

أَرْبَعٌ مِنَ السَّعَادَةِ : الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ وَالْمَسْكَنُ الْوَاسِعُ وَالْجَارُ الصَّالِحُ وَالْمَرْكَبُ الْهَنِيء

“Empat faktor kebahagiaan; Wanita (isteri) shalihah, rumah yang lapang, tetangga yang shaleh dan kendaraan yang nyaman.”

1. Wanita Sholihah

Tentu vise versa bagi wanita, memiliki suami yang sholih adalah sebuah kebahagiaan.

Banyak pernikahan yang dibangun atas dasar cinta, dan pelakunya menyangka ia akan bahagia. Sayangnya, kebanyakan rasa cinta tak bertahan lama. Setelah berkeluarga, derasnya problematika bisa mengikis rasa cinta itu. Waktu pun bisa menimbulkan rasa bosan. Tanpa akhlak dan keimanan, pernikahan seperti ini rawan goyah. Tetapi bila kedua belah pihak memiliki akhlak yang mulia, maka masalah internal bisa diselesaikan dengan baik, godaan di luar bisa ditepis, dan karena rahmat-Nya Allah Ar-Rahiim akan memelihara cinta di sanubari dua insan.

Rasa cinta tidak bisa diandalkan untuk survive bertahun-tahun dalam hidup rumah tangga. Tapi kesholehan dan ketaqwaan yang bisa menjadi andalan.

Selain itu, hadits ini juga menyangkal jargon “I’m single and very happy.” Karena naluri manusia tidak bisa diingkari, bahwa manusia butuh pendamping.

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. 30:21)

Baca juga: Alternatif Ibadah Saat Haid/Menstruasi

2. Rumah yang Lapang

Rumah adalah markas setiap individu. Manusia bisa berlanglang buana mencari nafkah, tetapi pada akhirnya ia akan kembali pada sebuah bidang bangunan tempat privasinya terjaga.

Di perkotaan, harga tanah yang semakin mahal membuat orang memilih untuk mencari rumah yang minimalis. Namun andai mampu membeli, tentu rumah yang lapang yang dicari orang. Karena dengan lapangnya rumah, semakin memberi kenyamanan dan keleluasaan untuk beraktivitas pribadi.

Pada akhirnya Anda pun harus menyertakan hati yang lapang dalam menikmati rumah sebesar apa pun adanya. Rumah yang besar yang ditempati hati yang sempit, tak akan terasa lapang. Tetapi rumah yang sempit yang ditempati hati yang bersyuku, akan terasa lapang. Apalagi rumah yang lapang dan ditempati oleh hati yang bersyukur.

Baca juga: Mengenal Jenis Kredit Kepemilikan Rumah

3. Tetangga yang Sholeh

Manusia butuh bersosialisasi. Kebutuhannya akan terpenuhi manakala bisa berinteraksi pada komunitas yang baik. Lingkungan yang diisi oleh warga yang baik-baik dan ramah tentu menjadi idaman tiap orang. Punya tetangga yang terbuka, mudah bergaul, enak diajak ngobrol, tak segan membantu, akan membuat hidup menjadi tenteram.

Sebaliknya, memiliki tetangga yang suka komplen urusan yang remeh, akan membuat hati kesal. Atau tetangga yang senang bersaing dalam mengoleksi barang-barang, akan menjebak kita dalam gaya hidup yang boros.

Baca juga: Dua Aktivitas Berkah Di Ruang Tamu: Silaturahim dan Memuliakan Tamu

4. Kendaraan yang Nyaman

Di kota besar memang sedang digalakkan untuk memanfaatkan kendaraan umum. Tetapi masih banyak yang menolak karena naik kendaraan umum itu tidak nyaman. Kenyataannya memang menggunakan kendaraan pribadi lebih nyaman daripada naik kendaraan umum. Bukan sekedar desak-desakannya, tetapi dengan kendaraan umum kita bebas memilih jalur kemanapun yang kita mau. Dengan kendaraan akan lebih mobile dan dinamis. Kendaraan pribadi akan terasa sekali manfaatnya saat rekreasi. Menentukan destinasi wisata tidak akan terkendala oleh jalur angkutan umum.