RSS

Monthly Archives: March 2019

Hoax, Terorisme, dan Nostalgia Orde Baru

Saya berharap sekali ada yang menyusup ke dalam grup whatsapp aktivis OPM, lalu mengirim berita hoax yang sangat shareable. Kemudian berita itu disebarkan oleh mereka. Sehingga apa yang dinanti-nanti masyarakat Indonesia pun terwujud: pemerintah menetapkan Organisasi Papua Merdeka sebagai teroris.

Harapan saya itu dilatarbelakangi pernyataan menghebohkan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto, bahwa penyebar hoax bisa dijerat UU terorisme.

http://m.viva.co.id/amp/berita/nasional/1132110-wiranto-tegaskan-penyebar-hoax-jelang-pemilu-dijerat-uu-terorisme

“Kan ada Undang-Undang ITE, pidananya ada. Tapi saya terangkan tadi hoax ini kan meneror masyarakat. Terorisme ada fisik dan nonfisik. Terorisme kan menimbulkan ketakutan di masyarakat. Kalau masyarakat diancam dengan hoax untuk takut datang ke TPS, itu sudah ancaman, itu sudah terorisme. Maka tentu kita Undang-Undang Terorisme,” ujarnya dikutip oleh media.

Tepatkah menggunakan UU terorisme untuk memberantas hoax? Pihak yang pro akan setuju agar kabar bohong bisa cepat dientaskan. Tetapi kenapa tidak diberlakukan yang sama untuk perbuatan korupsi? Bukan kah penyakit itu lebih merugikan masyarakat?

Dan apakah setiap kejahatan, agar segera diberantas, diberlakukan UU terorisme kepada perbuatan tersebut?

Dua Hal yang Rancu

Hoax dan terorisme adalah dua hal yang masyarakat masih bingung mendefinisikannya.

Pengeboman bermotif agama yang sudah-sudah, disepakati sebagai terorisme. Tetapi untuk aktivis OPM yang telah membunuh sekian banyak aparat dan tentara, mengapa hanya diberi sebutan “manis” “Kelompok Kriminal Bersenjata”? Mengapa tidak disebut teroris?

Masyarakat luas sudah merasakan ketakutan yang disebarkan OPM. Korban sudah banyak. Mereka jelas melakukan kekerasan bermotif ideologi. Lalu apa yang kurang untuk disemati gelar teroris?

Begitupula dengan hoax, masyarakat pun bertanya kebohongan seperti apa yang bisa dikategorikan. Kalau dalam sebuah pidato, debat, atau wawancara seorang menyampaikan data yang salah, apakah bisa disebut hoax? Kalau ada janji pejabat yang diingkari, bolehkah disebut hoax?

Berjanji palsu sudah menjadi kebiasaan pejabat publik di Indonesia. Sampai-sampai MUI mengeluarkan fatwa terkait hal tersebut. Tepat kan kalau dikategorikan hoax?

Sudah banyak yang dijerat UU ITE karena menyebar berita bohong. Namun ada perasaan janggal di masyarakat. Kok rasanya hukum tajam hanya untuk satu kelompok saja.

Belum lagi pernah ada istilah “hoax membangun”. Membuktikan betapa rancunya istilah hoax ini.

Ngerinya UU Terorisme

Penanganan terorisme selalu lekat dengan senjata aparat. Tak jarang terduga teror telah dihabisi sebelum sempat disidang. Kasus Sriyono menjadi ingatan kelabu bagaimana ngerinya segala sesuatu yang berhubungan dengan pemberantasan terorisme.

Maka wajar bila pernyataan pak Wiranto membuat syok rakyat. Belum lagi persepsi sebagian masyarakat yang merasa hukum masih tebang pilih.

Warganet dihantui bayangan aparat berlaras panjang yang siap membekuk manakala mereka salah tulis atau khilaf menyebarkan berita yang sangat meyakinkan kebenarannya namun rupanya keliru.

Duh, kok rasanya malah pernyataan pak Wiranto yang “meneror” masyarakat?

Menanggapi kehebohan ini, Peneliti Terorisme dari Institute For Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi menghubungkannya dengan suasana angker orde baru.

“Saya ingin tertawa dengar komentar Menkopolhukam Wiranto. Itu sudah terlalu jauh. Mendengar pernyataan tersebut, pikiran saya melayang ke masa lalu, masa orde baru yang kelam bagi perjalanan demokrasi kita, sebuah masa di mana negara dikelola secara otoriter dan militeristik,” ujarnya.

http://m.viva.co.id/amp/berita/nasional/1132356-wacana-wiranto-soal-hoax-dijerat-uu-terorisme-dinilai-bikin-ngeri

Saya kebetulan hidup di zaman jelang orde baru berakhir. Merasakan langsung hawa rasa takut dituduh subversif oleh penguasa kala itu di tengah masyarakat. Dan belakangan ini, ada banyak hal yang membuat saya bernostalgia dengan orde tersebut.

 
Leave a comment

Posted by on March 22, 2019 in Artikel Umum

 

Apa Manfaatnya Menulis Doa Di Media Sosial?

Menulis status di media sosial (medsos) harus siap dikomentari baik positif maupun negatif. Karena memang tujuan kita menulis status adalah untuk berinteraksi dengan follower atau friend di medsos. Termasuk menulis status doa, bisa ada yang mengaminkan, atau bisa ada yang malah mengkritik, “Tuhan gak punya akun socmed.”

Ya, ada yang beranggapan begitu, menulis doa di medsos hanyalah pencitraan dan tidak akan didengar Tuhan. Lebih baik doa dipanjatkan saat ibadah, bukan malah dipamerkan di depan umum.

Tapi mohon maaf, ada beberapa kesalahan dalam anggapan ini.

Tuhan Tidak Mendengar Doa Di Sosmed

Anggapan Tuhan tidak akan mendengar doa di medsos jelas salah fatal. Maha suci Allah dari anggapan itu. Allah swt Maha Mengetahui. Ia tahu apa yang terbersit di hati hamba-Nya. Ia juga tahu apa yang diucapkan oleh hamba-Nya, juga apa yang ditulis oleh hamba-Nya. Semua aktivitas suatu makhluk sangat diketahuinya dengan rinci.

Allah Maha Mendengar (As-Sami’) dan Melihat (Al-Bashir).

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat.” (QS. Asy Syura: 11).

Dan Dia Maha Mengetahui Perkara Yang Tersembunyi. (Al-Khobir)

أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ

“Sejatinya yang menciptakan itu sangat mengetahui. Dan Dia adalah yang Maha Lembut dan Maha Mengetahui.” (QS. Al-Mulk: 14)

Allah Maha Mengetahui (Al-Aliim). Bahkan apa yang kita tulis pada status media sosial, telah tertera dalam Lauhul Mahfuzh. Yaitu kitab berisi apa yang terjadi pada kehidupan.

وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لا يَعْلَمُهَا إِلا هُوَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِنْ وَرَقَةٍ إِلا يَعْلَمُهَا وَلا حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الأرْضِ وَلا رَطْبٍ وَلا يَابِسٍ إِلا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ

”Dan pada sisi Allahlah kunci-kunci semua yang gaib. Tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri. dan Dia mengetahui apa yang ada di darat dan di laut. Tidak ada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula). dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak pula sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz).” (QS Al-An’am: 59)

Menulis Status Doa Tidak Bermanfaat

Sangat bermanfaat. Ada beberapa alasan menulis sebuah doa di status medsos:

1. Syiar Agama Islam

Kalau doa itu adalah doa yang ma’tsur (berasal dari Rasulullah saw), maka kita sudah ikut menyiarkan agama Islam. Misalnya yang paling sering dishare adalah doa saat turun hujan, itu baik sekali karena masih banyak muslim yang belum hafal doa saat turun hujan. Atau mungkin tidak tahu bahwa saat hujan turun, Rasulullah mengucapkan sebuah doa yang harus dijadikan ikutan oleh umatnya. Termasuk doa lain, misalnya doa meminta rezeki, doa keselamatan, doa meminta perlindungan kepada Allah, dll yang pernah Rasulullah contohkan.

Kalau doa itu bukan berasal dari hadits Rasulullah, maka kita sudah memberi contoh kepada netizen lain dalam hal berserah diri memohon kepada Allah swt.

2. Mengabarkan Hal Aktual Yang Patut Menjadi Perhatian Khalayak

Seperti saat perang di Palestina, menulis status doa di medsos mempunyai efek agar orang lain ikut menaruh perhatian pada apa yang terjadi di sana. Atau berdoa agar korban Sinabung diberi perlindungan Allah swt, membuat orang lain tersadar bahwa ada sesuatu yang terjadi di Sinabung.

Karena medsos bukan surat kabar yang punya gaya bahasa resmi. Medsos adalah media ekspresi pribadi di ruang publik. Mengabarkan apa yang terjadi di Palestina atau Sinabung di medsos, perlu cara yang membuat orang tertarik. Salah satunya adalah doa.

3. Agar Ada yang Mengaminkan

Kemustajaban doa orang lain yang tulus kepada kita, sudah digaransi oleh Rasulullah saw. Jadi, utarakan saja harapan kita di medsos melalui doa. Semoga ada yang meng-amin-kan atau berdoa dengan kata-katanya sendiri.

“Doa seorang muslim kepada saudaranya tanpa sepengetahuan orang yang didoakan adalah mustajab. Terdapat malaikat yang menjadi wakiil baginya. Setiap ia berdoa kebaikan untuk saudaranya itu, malaikat tadi berkata, “Amiin dan untuk mu pula kebaikan itu.” (HR Muslim)

Pencitraan

Ikhlas atau riya’ adalah amalan hati. Orang lain tidak pernah tahu apakah suatu perbuatan dilakukan ikhlas atau riya’. Karena itu tidak boleh seseorang menghakimi niat orang lain.

Jangan pernah kita risih dengan kebaikan orang lain yang dilakukan di depan umum. Allah swt yang lebih tahu niatnya. Terkadang perlu ada yang mempelopori sebuah kebaikan agar ada yang mencotohnya.

Tidak Menghormati Follower/Friend Yang Beragama Lain

Anggapan ini ada, dan agak aneh juga. Karena doa yang ditulis di medsos sama sekali tidak mengganggu kerukunan umat beragama. Kecuali kalau tulisan itu mengandung penghinaan kepada agama lain. Justru kalau ada pemeluk agama lain yang tidak senang dengan sebuah status doa, itulah yang tidak toleran.

Media sosial memang ruang publik. Tapi tidak ada aturan yang melarang urusan agama dibawa ke ruang publik. Malah ketika warga negara bebas mengekspresikan semangat spritualitasnya di tengah khalayak tanpa ada yang mengganggu, saat itulah toleransi beragama sudah berjalan.

 

At-Takatsur dan Lampu Merah Kematian

Di jalanan yang ramai dan agak padat, awalnya Rossi membawa motor dengan santai. Namun ada pengendara lain yang bermanuver menjengkelkan. Rossi pun terusik, lalu meladeni tingkah pemotor itu. Sehingga terjadilah kebut-kebutan di jalan.

Kayak orang bener, mereka berdua meliuk-liuk di antara kendaraan lain dengan kecepatan tinggi. Kadang Rossi ada di depan, kadang yang lain makin ketinggalan. Maklum, Rossi mengendarai motor Yamahmud, mesin haus bensin pabrikan Jepang.

Mendekati persimpangan, Rossi melihat lampu hijau menyala dari kejauhan. Makin kesetanan lah ia. Tarikan gas makin dalam memburu rambu yang membolehkan kendaraan melaju.

Tapi sebentar kemudian lampu kuning menyala dan lampu hijau mati. Dan sesaat lalu giliran lampu merah yang hidup.

Menyadari ia harus berhenti juga di simpangan itu, Rossi pun menurunkan kecepatannya. Membiarkan lawannya melaju mendahului. Percuma balapan, nanti di depan lampu merah motornya akan berada berdekatan dengan motor lawan.

Rossi tersadar juga, buat apa sih balapan? Bukankah tujuannya sampai di rumah, bukan untuk beradu cepat dengan orang lain? Malah dengan trek-trekan itu bisa-bisa ia kecelakaan di jalan, dan sampainya di rumah sakit, bukan ke tujuan semula.

Asyik merenung, tak terasa Rossi sudah sampai di persimpangan. Menanti lampu hijau di samping motor lawannya tadi.

***

Sebuah ilustrasi lain.

Sejak dulu Rossi bersaing dengan sepupunya. Di bidang akademis saat masih sekolah dan kuliah, dalam hal pekerjaan setelah lulus, lalu berlanjut adu pamer rezeki pemberian ciptaan Allah.

Hingga suatu ketika kematian seorang teman yang ia pandang sukses, berdekatan waktunya dengan kematian kawan yang ia anggap kurang beruntung, menyadarkan Rossi.

Di garis kematian semua akan terhenti. Yang sukses maupun yang tidak akan berada berdampingan dalam kubur dengan keadaan tak punya apa-apa.

Sadarnya Rossi diperkuat lagi setelah ia membaca buku “Wahai Jiwaku Dengarkanlah” karangan Zico Alviandri yang berisi tulisan-tulisan taushiyah penuh makna bagi hidup. Buku yang sarat renungan, bahan kontempasi diri. Eeeh.. keceplosan ngiklan. Maaf. Maaf.

Setelah itu Rossi tak meladeni provokasi sepupunya. Ia biarkan anak pamannya itu memerkan karir, barang mewah, dan hal lain.

Rossi sadar, tujuannya adalah selamat sampai di surga. Aktivitas “At-Takatsur” yang dikecam oleh Allah bisa melalaikannya sehingga kehidupan akhiratnya celaka dan tak sampai ke tujuan.

***

Lampu merah kematian akan menghentikan semua orang. Yang ngebut maupun santai akan berhenti berdekatan. Yang berlimpah harta maupun yang berkekurangan akan berada dalam alam yang sama. Menanti kehidupan berikutnya.

Tak perlu ngegas mengejar dunia. Karena tujuan kita adalah akhirat. Sengebut apa pun akan terhenti juga di depan lampu merah kematian.

Yang kita cari adalah keselamatan sampai di tujuan. Yaitu urga Allah seluas langit dan bumi, yang kekal abadi.

Sementara apa yang kita kumpulkan di dunia akan lenyap pada waktunya.

“Semua yang ada di bumi itu akan binasa, tetapi wajah Tuhanmu yang memiliki kebesaran dan kemuliaan tetap kekal.” (QS Ar-Rahman; 26-27)

“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu,
sampai kamu masuk ke dalam kubur.” (QS At-Takatsur: 1-2)

 

Konsep Diri Seorang Muslim

Menjadi muslim berarti bukan lagi menjadi manusia biasa. Seorang muslim itu istimewa karena keimanannya kepada Allah swt. Dan keimanan itu menghadirkan sebuah karakter yang kokoh, karena sikap itu disandarkan pada Al-Qur’an dan sunnah.

Ada banyak hadits dan ayat Al-Qur’an yang bisa menjadi pembentuk karakter seorang muslim. Salah satunya adalah apa yang dinasehatkan oleh Rasulullah saw kepada sahabatnya, Abu Dzar r.a.

اِتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ، وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا، وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ

“Bertaqwalah kepada Allah di mana saja engkau berada, dan susullah sesuatu perbuatan dosa dengan kebaikan, pasti akan menghapuskannya dan bergaullah sesama manusia dengan akhlaq yang baik”.

Ada tiga karakter yang dikandung dalam hadits ini

Integritas

Rasulullah saw berpesan agar selalu bertaqwa di setiap tempat. Artinya seorang muslim dituntut memiliki komitmen dan konsistensi untuk senantiasa menjaga integritasnya.

Di kantor, ia harus menjaga ketaqwaannya dalam perilaku jujur dan profesional, tak menipu atasan atau klien, tak berbuat khianat. Kesibukan tak memberikan dispensasi untuk alpa sholat. Bahkan dalam kesibukan, sholat di awal waktu dan berjamaah tetap terjaga.

Saat kongkow dengan teman-teman, orang lain terjaga oleh mulut dan tindakannya. Tidak meng-ghibah, menghasut, atau mencelakai rekan kerja.

Di rumah, ia pun tetap menjaga ketaqwaannya. Ia tak melepaskan disiplin sholat berjamaahnya meski sedang santai, juga memperlakukan anak dan pasangannya dengan baik.

Itulah muslim yang bertaqwa. Memegang integritas di hadapan Allah swt dan manusia di mana saja berada.

Perbaikan

Rasulullah meminta umatnya, melalui nasihat kepada Abu Dzar, agar menyusul setiap kesalahan dengan kabaikan. Seorang muslim tak kan bisa melepaskan sifat manusiawinya, yaitu sering kali khilaf dan berbuat salah. Karena itu, ada eksepsi dari karakter alami manusia ini, yaitu mem-follow-up kesalahan dengan perbaikan.

Follow up yang paling umum setelah melakukan kesalahan adalah meminta maaf. Bila kesalahan itu dibuat kepada manusia, ia harus meminta maaf kepada yang bersangkutan. Sedangkan bila dosa yang berhubungan kepada Allah swt, maka ia harus bertaubat.

Permintaan maaf kadang tidak menyelesaikan masalah. Harus ada tindak lanjut perbaikan. Misalnya kita tidak menepati janji kepada klien, produk yang kita hasilkan tidak sesuai spesifikasi kesepakatan awal, maka perbaikilah dengan melengkapi apa yang kurang. Seperti sebuah program komputer yang wajar bila ada bug, kemudian tugas programmer untuk memperbaiki bug tersebut.

Selain minta maaf dan memperbaiki yang kurang, tambahkan juga kebaikan lain. Klien protes kepada seorang programmer atas sebuah bug yang ditemuinya, lantas programmer meminta maaf dan memperbaiki problem yang ditemui serta menambahkan sebuah sebuah fitur pada aplikasinya agar sang klien senang dan kecewanya terobati. Ibaratnya seperti itulah tebusan atas kesalahan kepada seseorang.

Konsep diri ini juga mencerminkan konsep Jepang yang disebut Kaizen. Yaitu perbaikan terus menerus.

Kepribadian

“Dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik.” Begitu pesan Rasulullah saw. Keunggulan Islam adalah pada konsep akhlak. Rasulullah mencontohkan sendiri bagaimana aplikasi akhlak mulia dalam Islam. Kita tidak akan mengerti dengan sempurna apa saja poin-poin akhlak Islam sebelum membaca kisahnya.

Pribadi yang jujur, sopan santun, menjaga perkataan, pemurah, penyabar, dll adalah daya rekat yang kuat agar orang lain mendekat. Sebagai seorang atasan, ia tidak menyombongkan diri. Sebagai seorang bawahan, ia menghormati atasan dan rekannya secara wajar, tidak mengghibahnya atau menjelek-jelekkan rekan kerja. Sebagai seorang suami/istri, ia senantiasa menjaga perasaan pasangannya. Sebagai seorang warga, ia memuliakan tetangganya.

Integritas, mau melakukan perbaikan, dan berkepribadian hangat adalah karakter yang disenangi oleh klien, disenangi atasan, disenangi tetangga, disenangi anggota keluarga, dan menjadi jalan menuju kesuksesan.

 

Enkapsulasi Amal Sholeh

Kehidupan Allah ciptakan dan berikan pada makhluk, dengan tujuan sebagai kontestasi siapa yang paling baik perbuatannya (QS Al Mulk: 2). Sementara, amal sholeh manusia adalah produk yang paling ringkih, paling rapuh, paling rawan penggembosan. Maka diperlukan “enkapsulasi” pada setiap aktivitas kebaikan.

Hidup berarti beramal terbaik, yang akan kita bawa ketika kembali pada-Nya. Namun, betapa banyak letih penat berdiri dalam sholat tak berbekas kecuali menjadi debu berterbangan. Lapar dahaga puasa siang hari hanya sia-sia.

Ada “rayap” berupa riya’ dan sum’ah yang bergentayangan menggerogoti setiap bentuk amal sholeh anak manusia. Kecepatan mereka memusnahkan sebuah pahala sangat mengagumkan. Bahkan sebelum sebuah perbuatan dilakukan, bisa dibuat tak berarti.

Maka, ikhlas adalah kapsul terbaik pembungkus amal manusia. Satu-satunya cover yang kokoh yang dengan itu Allah memverifikasi perbuatan positif dan mengganjarnya dengan pahala.

Keikhlasan itu harus dibungkuskan ke sebuah amal, sebelum, ketika, dan sesudah dilakukan. Menjaga keikhlasan sebelum berbuat (ketika masih diniatkan) menjadikan kita punya perencanaan yang matang untuk mencapai tujuan. Kalau sebelum beramal sudah tidak ikhlas, maka kita akan merencanakan hal-hal di luar tujuan, yaitu keridhoan Allah swt. Hanya merancang sebuah keletihan tak berarti. Malah bisa berbalik menjadi adzab.

Menjaga keikhlasan saat perbuatan sedang dikerjakan membuat kita fokus pada aktivitas dan sasaran. Tidak ikhlas saat beramal, mengundang spontanitas yang norak yang bisa mengacaukan suasana.

Menjaga keikhlasan setelah beramal menjauhkan kita dari rasa besar kepala dan cepat puas. Ketiadaan ikhlas setelah mengerjakan sesuatu, membuat kita mengungkit-ungkit jasa pada manusia dan harap-harap cemas menanti pujian.

Ikhlas punya dzat anti rayap riya’ dan sum’ah. Hati yang alpa dari kapsul tersebut, maka akan menjadi sarang hama yang menghabisi setiap amal sebelum dan yang akan terjadi.

Namun bila kapsul-kapsul keikhlasan memenuhi hati, maka jadilah orang tersebut berderajat mukhlas. Yang Iblis tak mampu memperdayainya. (QS Shad: 83)

Lakukan enkapsulasi pada setiap kita beramal, agar tahan lama dibawa ke akhirat.

 

Kami Dengar Aduan Anda, Pak Anies

Kami mengerti, bapak telah bersungguh-sungguh menunaikan janji yang pernah diucapkan. Sebuah janji mulia, menghindari pembangunan Jakarta dari harta haram minuman keras. Menjual saham BUMD PT Delta Djakarta yang memproduksi bir.

https://m.kontan.co.id/news/janji-anies-sandi-lepas-saham-perusahaan-bir?

Terus lah berjuang menunaikan janji itu. Agar rakyat tak menganggap semua pemimpin di negeri ini selalu berbohong dan ingkar. Agar ada teladan, yaitu para pemimpin yang menepati apa yang pernah diucapkan. Satu barisan bersama kang Ahmad Heryawan yang telah memberikan bukti kata-katanya kepada masyarakat Jawa Barat.

https://www.pikiran-rakyat.com/bandung-raya/2018/02/22/mendagri-90-persen-janji-kampanye-gubernur-jabar-ahmad-heryawan-terpenuhi

Kemarin, Anda mengadu kepada kami, rakyat Jakarta. Tentang persekongkolan angogota dewan yang menghalang-halangi penjualan saham pemprov DKI di PT Delta Djakarta.

“Kita laporkan pada rakyat bahwa wakil-wakil anda ingin tetap memiliki saham bir. Dewan anda ingin punya saham bir, terus ingin punya untung dari saham bir,” teriak Anda.

http://wartakota.tribunnews.com/amp/2019/03/05/anies-baswedan-ancam-dprd-dki-jika-tak-setuju-saham-bir-pt-delta-djakarta-dijual

Adalah Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetio Edi Marsudi yang menolak rencana pemprov DKI. Entah bagaimana dia beristinbath (menyimpulkan hukum dalam fiqh), dikatakannya penjualan saham itu riba.

“Dikatakan setahun dapat Rp 50 miliar, terus mau dijual Rp 1 triliun. Kita makan riba, itu buat saya. Saya sebagai orang Muslim, ya mohon maaf ya, lebih jahat riba daripada orang minum bir. Coba itu dipikirkan lagi lah,” alibinya. Luar biasa. Jenis riba apa yang dimaksud orang itu?

“Nggak mau (dijual) saya, nggak sependapat.” Ia keukeuh.

https://m.detik.com/news/berita/d-4453077/ketua-dprd-tetap-tolak-penjualan-saham-anker-bir-milik-pemprov-dki

Maklum, PDIP yang menguasai kursi ketua DPRD DKI. Justru masyarakat bisa heran kalau partai berlambang banteng itu mendukung pemberantasan maksiat.

Senada, politis Nasdem pun menolak. “Kenapa nggak sekalian Bank DKI dijual? Kan riba tuh,” kata Bestari Barus, ketua Fraksi Nasdem.

https://m.detik.com/news/berita/4454750/nasdem-ke-anies-kalau-anker-bir-haram-kenapa-nggak-sekalian-jual-bank-dki

Tentu ada penahapan dalam memberantas kemungkaran. Dimulai dari yang resikonya paling kecil atau dampak mudhorotnya paling parah. Kemarin Alexis telah ditutup. Selanjutnya perusahaan bir. Zina, judi, dan miras adalah satu paket penyakit masyarakat yang kerusakannya paling kentara dan mewabah.

Sedangkan riba perbankan, masih bisa diubah pelan-pelan agar tak menyelisihi keyakinan umat beragama. Insya Allah kita menuju kesana kan, pak Anies?

Tak hanya partai oposisi di dewan, rupanya anggota legislatif dari partai pengusung Anies-Sandi pun menjegal langkah penjualan saham tersebut.

Adalah Syarif, Wakil Ketua F-Gerindra DPRD DKI yang mengamini PDIP dan Nasdem. “Lihatnya nggak begitu. Kita kan butuh duit untuk pembangunan. Hanya itu kan kebetulan usahanya bir. Yang penting kan duitnya,” ujarnya. Duit adalah hal yang penting menurutnya, lebih prioritas dari aspirasi masyarakat yang tak menghendaki uang haram untuk pembangunan.

https://m.detik.com/news/berita/d-4454827/gerindra-dki-soal-saham-bir-kebetulan-usahanya-bir-yang-penting-duitnya

Alhamdulillah, masih ada pendukung di gedung dewan untuk niat pak Anies. Mereka dari PKS, yang pada pemilu besok bernomor urut 8.

“Lebih baik dialihkan ke hal-hal yang lebih prioritas. Pelayanan masyarakat di bidang perekonomian, UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah) misalnya, atau di bidang pendidikan, di bidang kesehatan,” ujar Abdurrahman Suhaimi, ketua Fraksi PKS.

https://m.cnnindonesia.com/nasional/20190305203040-20-374824/pks-dukung-penuh-anies-lepas-saham-dari-perusahaan-bir

Lagi-lagi bisa dimaklumi. Mereka partai Islam. Tentu berkomitmen memberantas kemungkaran dengan kekuasaan.

Pak Anies, aduan Anda kemarin menyadarkan kami, apalagi yang awam politik dan tata negara, bahwa tak cukup mengisi eksekutif dengan orang baik. Karena rupanya ada program-program kepala daerah yang harus mendapat persetujuan anggota dewan.

Maka, legislatif pun harus dimenangkan oleh partai yang berkomitmen dalam amar ma’ruf nahi munkar melalui kekuasaan. Baik tingkat kota/kabupaten, Provinsi, juga DPR Pusat.

Kami dengar aduan Anda, pak Anies. Kami terus mendukung langkah Anda pada hal yang baik. Pemilu telah dekat. Dan kami akan hukum partai yang memelihara kemungkaran, dan akan mendukung dan bersama berjuang dengan partai yang menginginkan kebaikan bagi Jakarta. Insya Allah.

7 Maret 2019

 
Leave a comment

Posted by on March 7, 2019 in Artikel Umum

 

Ide Penghapusan Kata Kafir, Antara Kekerasan dan Basa Basi Teologis

Bisa-bisaan aja manusia zaman sekarang membuat istilah. Setelah Islam Liberal, Islam Nusantara, yang terakhir adalah “Kekerasan Teologis”. Disebut oleh Abdul Moqsith Ghazali ketika diwawancarai media dari acara Sidang Komisi Bahtsul Masail Maudluiyyah, Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama (NU).

“Dianggap mengandung unsur kekerasan teologis, karena itu para kiai menghormati untuk tidak gunakan kata kafir tapi ‘Muwathinun’ atau warga negara, dengan begitu status mereka setara dengan warga negara yang lain,” katanya di Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar, Citangkolo, Kota Banjar, Jawa Barat, Kamis, 28 Februari 2019, sebagaimana dikutip Tempo.

https://nasional.tempo.co/read/1180643/nu-usul-sebutan-kafir-ke-nonmuslim-indonesia-dihapus

Dalam KBBI, teologi punya arti berikut:
te·o·lo·gi /téologi/ n pengetahuan ketuhanan (mengenai sifat Allah, dasar kepercayaan kepada Allah dan agama, terutama berdasarkan pada kitab suci)

Teologis artinya adalah yang berhubungan dengan teologi.

Dari definisi di atas, saya pribadi kebingungan bagaimana bisa disandingkan antara kata “kekerasan” dengan “pengetahuan ketuhanan”?

Belum selesai keheranan itu, masih ditambah lagi dengan usulan mengganti kata kafir dalam konteks kewarganegaraan.

Alhamdulillah, kemudian putra kelima Mbah Maimoen Zubair, Gus Abdul Ghofur Maimoen meluruskan, bahwa pernyataaan yang mengatakan non-muslim Indonesia tidak disebut kafir tidak pernah ada di dalam forum Bahtsul Masail sebagaimana yang disampaikan oleh Moqsith Ghazali.

https://suaramuslim.net/bantah-moqsith-mengenai-non-muslim-putra-mbah-maimoen-itu-hanya-kesimpulan-dia/

Kekerasan teologis yang jadi alasan untuk menghapus kata kafir – sebagaimana yang diinginkan Moqsith – itu apakah hanya ada pada ajaran Islam? Bagaimana dengan agama lain?

Dan sejak kapan pula kata kafir bermuatan kekerasan? Ketika Allah swt menyebut kata itu pada wahyu yang diturunkan di Mekkah dan Madinah, tak terdengar ketersinggungan oleh “non muslim”. Mereka hanya marah karena sesembahannya tidak dianggap Tuhan oleh Islam. Mereka marah karena ada yang mengajak untuk berhenti menyembah berhala. Bukan marah karena disebut kafir.

Allah swt pun memakai kata kafir dalam aktifitas ummat Muhammad saw, sebagaimana dalam Al Baqarah: 256 (dalam terjemahan bahasa Indonesia diartikan “ingkar”).

“Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barang siapa ingkar kepada Tagut (yakfur bith thoghut, kafir kepada thoghut) dan beriman kepada Allah, maka sungguh, dia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.”

Dan begitulah aktifitas iman yang benar kepada Allah, harus disertai dengan kafir kepada thoghut atau sembahan selain-Nya. Bahkan “penafian” atas adanya segala bentuk sembahan didahulukan sebelum “penetapan” bahwa hanya Allah yang berhak disembah. Seperti dalam struktur kalimat “Laa ilaaha illallah”.

Dan itu juga yang dideklarasikan oleh Ibrahim a.s. dalam Al Mumtanah ayat 4, bahwa ia kafir (mengingkari) terhadap agama kaumnya. “Kafarna bikum”, ujarnya.

Lantas di bagian mana yang menjadi kekerasan teologis, ketika orang yang mukmin pun mengaku kafir terhadap ajaran selain Islam?

Andai penganut Kristen, Budha, Hindu, atau aliran kepercayaan berkata kepada muslim, “kalian disebut kafir dalam agama kami”, maka pernyataan itu akan disambut gembira, “Benar. Ya Allah, saksikan lah, bahwa kami kafir terhadap agama dan tuhan mereka, dan kami hanya beriman kepada-Mu.”

Aktivitas mengimani sesuatu serta mengingkari/mengkafiri yang lain ada secara bersamaan dalam sebuah kepercayaan.

Atau yang diinginkan adalah mengimani semua tanpa mengingkari satu pun?

Apa Pengganti Kata Kafir?

Saya sudah lama mendengar wacana bahwa status kewarganegaraan bagi non muslim yang dirumuskan ulama di zaman kekhalifahan, tidak relevan di negara yang tak mendeklarasikan diri sebagai negara Islam. Karena tak ada jizyah, dan syarat lainnya.

Tapi wacana itu tak ada relevansinya dengan alasan “kekerasan teologis” sehingga istilah kafir harus dihapus. Silakan berijtihad untuk mengisi kekosongan istilah terhadap non muslim yang tinggal di tengah mayoritas muslim di negara yang tidak mendeklarasikan sebagai negara Islam. Tapi kata kafir adalah istilah teologis, istilah aqidah, sebagai pembeda antara mukmin dan bukan, dan sering kali tak dipakai untuk bicara soal kewarganegaraan.

Kalau harus dipaksa disubstitusi dengan Muwathinun, coba ganti dalam ayat berikut:

“Sungguh, Allah melaknat orang-orang kafir dan menyediakan bagi mereka api yang menyala-nyala (neraka)” (QS: Al Ahzab: 64)

Dalam Al-Qur’an bertebaran ayat yang mengancam orang kafir dengan siksa neraka. Mau diganti dengan istilah apa pun, ancaman terebut tetap berlaku. Kalau itu dianggap kekerasan, maka tentu bukan kata kafirnya yang harus dipermasalahkan.

Alhamdulillah ada klarifikasi bahwa tidak ada niat mengganti kata kafir dalam Al-Qur’an. Hanya saja, kapan sih kata kafir dijadikan panggilan dalam percakapan sehari-hari? Tidak ada kebiasaan masyarakat muslim di Indonesia memanggil kawannya, “Hai, mas bro kafir…”

Kata kafir biasanya disinggung dalam pengajian atau forum khusus umat Islam. Kagok kalau harus diganti istilah lain. Karena yang dimaksud adalah orang yang tak beriman, bukan warga negara. Diganti “non muslim” tak kan memadai sebagai eufimisme karena kafir itu istilah dalam aqidah. Pemakaian istilah itu pun tak kan menghapus ancaman yang bertebaran dalam Qur’an dan hadits kepada mereka.

Sudah lah. Tak ada masalah dalam kehidupan beragama di negara ini. Baik baik saja. Tak ada kerusuhan antar pemeluk agama. Jangan dibuat mencekam. Tak perlu lah berbasa-basi teologis (nah lho… Saya jadi ikutan bikin istilah macem-macem juga. Ngawur pastinya).

2 Maret 2019

 
Leave a comment

Posted by on March 2, 2019 in Artikel Umum