(Allah, Allah, Allah lagi, dan Allah lagi setiap saat)
Ketika menjelma Jibril menjadi seorang rupawan yang berpenampilan rapi, ia selipkan pertanyaan definisi Ihsan kepada Rasulullah saw di hadapan para sahabat. Maka jawab Rasulullah, “engkau beribadah seakan melihat-Nya. Kalau tak mampu, maka kau hadirkan perasaan diawasi oleh-Nya”.
Allah swt adalah Dzat yang kepada-Nya kita arahkan pandangan batin dalam ibadah, dalam keadaan berdosa, dalam nikmat, serta musibah.
Dengan memandang-Nya dalam ibadah, hadirlah kekhusyukan. Dan dengan Ihsan, membantu kita mencapai keikhlasan.
Bukan pada ibadah yang kita perbuat, kita memandang. Tapi pada Yang Maha Agung Pemilik Jiwa Kita. Dengan begitu, maka tak kan lahir ujub dan riya’.
Jangan pandang betapa mati-matiannya sujud kita, betapa sungguhnya puasa kita, betapa merdunya alunan tilawah kita. Tapi pandanglah Allah yang berhak kita ibadahi. Sehingga terasa tak ada apa-apanya ibadah kita dibanding kebesaran-Nya. Tak ada yang bisa dibanggakan di hadapan-Nya.
Juga jangan pandang momen kita beribadah. Sepuluh malam terakhir Ramadhan, atau malam ganjilnya, atau malam yang dicurigai sebagai Lailatul Qadar, tapi pandanglah Allah Tuhan malam-malam itu semua. Yang memberi kita nikmat terus-terusan tak hanya di malam spesial saja.
Memang benar kita bersungguh mencari Lailatul Qadar mengikuti sunnah Rasulullah. Tapi dalam kesungguhan itu, Allah yang kita pandang. Sehingga tak peduli bagi kita apakah berhasil menemukan malam seribu bulan atau tidak, yang penting adalah menyembah Tuhan Yang Penuh Kemuliaan.
Juga dalam keadaan berdosa, Allah yang kita pandang.
Bilal bin Said berkata, “Jangan kamu melihat pada kecilnya dosa, tapi lihatlah kepada siapa kamu bermaksiat!”
Kecil atau besar, kita telah bersikap lancang kepada Tuhan Yang Maha Perkasa.
Dengan memandang Allah Yang Maha Keras Siksanya, maka kita segera beristighfar, bertaubat dan tak kan lagi berani melakukan dosa yang sama.
Atau kita terhindar dari putus asa untuk bertaubat karena yang kita pandang adalah Tuhan Maha Pengampun.
Dalam nikmat, pandanglah Allah agar kita tak lupa daratan. Kalau tidak, maka kita disibukkan oleh euforia. Tersita waktu menyuci mobil baru, mengagumi gawai baru, dsb.
Tetapi bila Allah yang kita pandang, maka kita disibukkan dengan syukur mengucap hamdalah. Tak peduli besar atau kecil nikmat yang didapat.
Sehingga terhindar juga dari rasa kurang puas lalu lupa berterima kasih kepada-Nya.
Dalam musibah pun Allah lagi yang kita pandang. Agar malam-malam kita tidak dilanda insomnia memikirkan masalah yang datang. Atau kita meremehkan musibah yang sejatinya adalah teguran dari Allah swt.
Dengan memandang Allah, kita ucapkan Innalillahi wa inna ilaihi rojiun, lalu penuhi kesadaran bahwa Ia Azza wa Jalla lebih besar dari masalah yang kita hadapi. Serahkan pada Allah, bertawakkal dan berikhtiar. Lalu tenanglah hati ini dan bisa berfikir jernih.
Allah, Allah, Allah lagi, dan Allah lagi, yang kita pandang dalam berbagai keadaan.