RSS

Monthly Archives: September 2014

“Ngomong Apa Sih Yang? Aku Gak Ngerti”

Lebaran tiba, waktunya bagi sepasang suami istri muda mudik. Kebetulan tahun ini mudiknya ke kampung halaman si istri, di daerah Garut, Jawa Barat.

Keluarga menyambut hangat dan meriah. Kakak dan adik si istri juga berkumpul di rumah orang tua. Hingga hiruk pikuk hari raya yang khas terwujud di rumah yang agak besar di sebuah kampung yang asri itu.

Tapi kemeriahan hari raya tidak terasa di hati sang suami. Malah sang suami merasa kesepian di tengah keramaian. Kalau kata lagunya band Dewa, “di dalam keramaian aku masih merasa sepi, sendiri memikirkan kamu…” Tapi bukan orang lain kok yang menjadi penyebab kesepian sang suami. Lalu apa pasal?

Sang suami merasa tersisih karena kendala bahasa. Sang suami bukan orang sunda, tapi orang betawi asli. Walau daerah betawi dan sunda berdampingan, tapi sang suami benar-benar tidak mengerti bahasa sunda. Sementara di rumah itu keluarga istri bersenda gurau dengan bahasa ibunya. Sang suami hanya bungkam.

Fenomena ini mungkin saja ditemukan pembaca. Entah anda yang berposisi seperti istri, atau sebaliknya. Kekayaan bahasa daerah yang dimiliki nusantara ini menjadi penyebab ketidak-nyambungan komunikasi bila tidak di-manage dengan baik.

Jangan biarkan ia tersisih. Apa bedanya kondisi yang dialami oleh sang suami dengan salah satu di antara tiga orang, yang dua kawannya berbisik-bisik sementara ia tidak diajak berbicara? Rasulullah pernah melarang apabila ada tiga orang berkumpul, janganlah dua di antaranya berbisik-bisik sementara yang satunya tidak dilibatkan.

“Apabila kalian bertiga, maka janganlah dua orang berbisik-bisik tanpa  mengikut sertakan yang lain, sampai mereka berkumpul dengan manusia yang lainnya, karena yang demikian itu akan menyusahkan orang yang tidak diajak berbisik”(HR. Bukhori dan Muslim).

Memang kejadiannya tidak sama dengan yang terjadi pada pasutri muda tadi, tetapi tujuan larangan itu agar tidak merenggangkan ukhuwah, timbulnya prasangka buruk di hati orang yang disisihkan, atau perasaan terkucil. Nah, hal seperti ini jangan sampai juga terjadi pada “besan” yang hanya bisa bengong di rumah keluarga besar karena tak dapat terlibat oleh sebab perbedaan bahasa. Kalau tidak diam saja, paling mentoknya main dengan gadgetnya asyik sendiri.

Memang tidak bisa melarang anggota keluarga besar untuk tidak berbicara dengan bahasa ibu. Tetapi si istri harus terus mendampingi sang suami, sesekali menjelaskan kepada suami topik apa yang sedang heboh  – dengan volume suara dan bahasa yang private tentunya, dan jangan biarkan pasangan kelamaan tersisih. Bisa juga minta anggota keluarga lain mengajak sang suami mengobrol dengan bahasa yang ia mengerti. Dan ajari terus pasangan anda bahasa daerah asal anda, selama ia mau belajar. Untuk pergaulan, menguasai bahasa daerah itu perlu lho.

Atau pembaca punya solusi lain? Intinya, jangan dianggurin pasangan anda. 🙂 

 
 

Ayah, Keringatmu Beraroma Surga

Seorang ibu dengan bakti dan ketulusannya membesarkan anak – apalagi anak perempuan, berhak mendapatkan surga. “Barangsiapa yang mencukupi kebutuhan dan mendidik dua anak perempuan hingga mereka dewasa, maka dia akan datang pada hari kiamat nanti dalam keadaan aku dan dia (seperti ini),” dan beliau mengumpulkan jari jemarinya”. (HR. Muslim no. 2631). Bukan itu saja, Rasulullah pun menyanjung para ibu seperti dalam hadits: “Bersungguh-sungguhlah dalam berbakti kepada ibumu, karena sesungguhnya surga itu berada di bawah kedua kakinya.” (HR Imam Ahmad & Nasa’i). Hadits itu membuktikan betapa berharganya seorang ibu hingga surga bayarannya untuk orang yang berbakti padanya.

Begitulah keterhubungan seorang ibu dengan surga. Lalu, adakah keterhubungan seorang ayah dengan surga?

Ada peran yang cukup vital yang dimiliki seorang ayah dalam keluarganya. Peran yang tak kalah menantang dibanding peran yang dimiliki oleh seorang ibu. Peran yang sarat tekanan, harus dihadapi dengan tenaga, pikiran, dan mental. Bahkan pepatah begitu hebatnya menggambarkan peran ini dalam kata-kata: “Peras keringat, banting tulang.”

Mencari nafkah. Itu lah peran yang dimiliki oleh seorang ayah. Sebagai kepala keluarga, seorang ayah punya tanggung menafkahi anggota keluarganya. Bahkan sebelum menjadi seorang ayah, seorang suami punya kewajiban menafkahi istrinya. Seperti itu peran utama seorang kepala keluarga. Lalu adakah hubungannya dengan surga?

Jawabannya, ada!!! Pada keringat seorang ayah, ada pengampunan yang Allah janjikan.

“Sesungguhnya di antara dosa-dosa itu, ada yang tidak dapat terhapus dengan puasa dan shalat”. Maka para sahabat pun bertanya: “Apakah yang dapat menghapusnya, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: ”Bersusah payah dalam mencari nafkah.”” (HR. Bukhari)

Ada banyak hadits tentang keutamaan bekerja. Dan sudah seharusnya kerja keras dan profesional menjadi attribute seorang mukmin. Karena pada profesionalisme, ada kecintaan Allah swt di sana. “Sesungguhnya Allah mencintai jika seseorang melakukan suatu pekerjaan hendaknya dilakukannya secara itqon (profesional)”. HR Baihaqi dari Siti Aisyah ra.

Surga sudah selayaknya menjadi balasan bagi seorang ayah. Bila seorang ayah berada di kantor, maka ada tekanan yang dihadapinya dari berbagai penjuru. Tekanan target pekerjaan. Ini hanya sebuah tekanan normal, biasa ada dalam pekerjaan. Tapi biasanya ada pula tekanan lain seperti perilaku atasan yang kurang cocok dengan sang ayah, perilaku rekan kerja yang suka membuat gesekan ketidak-harmonisan, juga perilaku bawahan yang kurang sesuai harapan. Belum lagi bila pekerjaan yang didapat di kantor itu terasa over load. Tekanan seperti ini tidak akan diketahui dan dirasakan oleh seorang anak balita yang gemar bermain, atau anak remaja yang suka bersenang-senang, juga tak dirasakan oleh ibu di rumah walau sedang mengeluh karena anaknya rewel. Tekanan lain bisa didapat dari susahnya transportasi ke kantor, hingga penghasilan yang dirasa kurang memadai buat keluarganya tercinta. Stressfull.

Bila sang ayah adalah seorang pengusaha, maka lebih hebat lagi tekanannya. Mungkin orang-orang banyak bercita-cita menjadi pengusaha karena melihat kesuksesannya, tapi jarang yang melihat kerja keras seorang pengusaha sebelum menggapai sukses. Kerja keras itu lah yang dihadapi seorang ayah.

Seorang pengusaha dihadapkan pada penghasilan yang tak tetap tiap bulannya. Yang penting memang tetap berpenghasilan. Seorang ayah pekerja kantoran bekerja dari pagi sampai sore. Kadang bekerja lembur. Tapi seorang pengusaha waktu kerjanya adalah 24 jam sehari. Dalam tidur, ia harus siap mendapat panggilan telepon dari pelanggannya. Hal yang susah dimengerti oleh anggota keluarga lain.

Namun ada ampunan Allah pada kesusah-payahan itu. Ada kecintaan Allah pada tekanan-tekanan itu. Rasulullah saw bersabda, ”Siapa saja pada malam hari bersusah payah dalam mencari rejeki yang halal, malam itu ia diampuni”. (HR. Ibnu Asakir dari Anas) Atau dalam hadits lain, ”Siapa saja pada sore hari bersusah payah dalam bekerja, maka sore itu ia diampuni”. (HR. Thabrani dan lbnu Abbas). Saat Rasulullah mencium tangan seorang sahabat yang melepuh karena bekerja, Rasulullah berkata, “Inilah tangan yang tak akan disentuh oleh api neraka.”

Rasulullah saw juga bersabda, “Sesungguhnya Allah Ta‘ala suka melihat hamba-Nya bersusah payah dalam mencari rejeki yang halal”. (HR. Dailami). “Sesungguhnya Allah SWT sangat menyukai hamba-Nya yang Mukmin dan berusaha”. (HR. Thabrani dan Baihaqi dari lbnu ‘Umar)

Bahkan, bekerja keras mencari nafkah ini termasuk bagian dari jihad. ”Barangsiapa yang bekerja keras mencari nafkah untuk keluarganya, maka sama dengan pejuang dijaIan Allah ‘Azza Wa Jalla”. (HR. Ahmad)

Begitulah, menjadi orang tua berarti kita siap berjihad. Seorang ibu berjihad dalam rumahnya membesarkan anak-anaknya. Seorang ayah berjihad di medan usahanya.

Ayah, engkau terhubung dengan surga melalui kerja kerasmu. Maka bergembiralah!!!

 
 

Luqman, Ayah Yang Inspirasional

Kalau ada sesosok ayah yang namanya terukir sebagai nama surat dalam Al-Qur’an, maka Luqman lah orangnya. Lalu kalau namanya terukir karena kualitas didikannya pada anak-anaknya, kurang apalagi bagi ayah masa kini untuk mengambil inspirasi dari gaya mendidik Luqman Al-Hakim?

Menurut Ibnu Katsir, sosok Luqman yang diceritakan adalah Luqman bin Anqa’ bin Sadun. Ada sebuah keterangan yang menyebutkan bahwa Luqman adalah sosok budak Habasyah berkulit hitam. Beliau pun bukan seorang Nabi. Abdullah bin Umar Al Khattab berkata :”Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Sesungguhnya aku berkata bahwa Luqman bukanlah seorang nabi, tetapi seorang hamba yang dilindungi Tuhan, banyak bertafakur dan baik keyakinannya. Ia mencintai Allah dan Allah pun mencintainya. Karena itu ia dianugerahi hikmah kebijaksanaan.” (Mutafaq ‘Alaih). Sungguh pun begitu, ia mendapat gelar “Al-Hakim” karena kebijaksanaannya. Dan Allah swt sendiri yang mengatakan bahwa Luqman telah dianugerahi hikmah. “Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, yaitu: “Bersyukurlah kepada Allah. Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji””. (QS Luqman : 12)

Perhatikan petuah tentang syukur darinya. Bila Luqman adalah seorang bangsawan, wajar kalau ia senantiasa bersyukur. Tapi posisinya hanya sebagai budak, dan itu pun ia mampu memahami syukur lebih baik daripada orang yang memiliki kedudukan jauh lebih baik darinya. Keadaan seperti itu tak akan dimiliki kecuali oleh orang yang bisa menyerap hikmah pada setiap keadaan yang dirasakannya.

Cerita tentang Luqman ada pada ayat 12 sampai 19. Dibuka dengan pengenalan terhadap Luqman sebagai orang yang telah diberi hikmah. Sebagai garansi bahwa apa yang diajarkannya adalah ajaran yang luhur. Tujuh ayat petuah Luqman pada anaknya terdiri dari 3 ayat perintah (ayat 14, 17, 19) dan 3 ayat larangan (ayat 13, 15, 18). Tiga ayat pertama berbicara tentang aqidah, tiga ayat terakhir berbicara tentang ubudiyah, dakwah, dan akhlaq. Di tengah-tengahnya adalah ayat yang berpesan untuk senantiasa muroqobatullah. Ayat pertama yang bercerita tentang pengajaran Luqman pada anaknya (ayat 12), disebutkan “wa huwa ya’izhuh”. Kata ya‘izh berasal dari al-wa‘zh atau al-‘izhah yang berarti mengingatkan kebaikan dengan ungkapan halus yang bisa melunakkan hati.

“Ya bunayya…” Begitu panggilan lembut Luqman pada anaknya. Sudah seharusnya seorang ayah memiliki kata-kata yang spesial buat anaknya yang mencerminkan betapa dalam kasih sang ayah kepada anak. Kata-kata yang memiliki muatan cinta dapat melunakkan hati. Sedangkan kata-kata yang terkesan menyepelekan bisa memantik api permusuhan sang anak pada orang tuanya. Sapaan “Eh… tong…” adalah panggilan yang menjauh dari ajaran kasih sayang Luqman. Bila kita tidak ingin anak kita berkata “cih..” pada kita, maka menjauhlah dari panggilan yang merendahkan si anak.

Hati yang dibuka dengan cinta, siap dijejalkan ajaran aqidah yang mendasar. Ajaran aqidah harus meresap dalam hati sang anak. Oleh karena itu yang dibutuhkan adalah hati yang lembut. Sedangkan hati yang keras hanya mementalkan setiap petuah yang datang. Aqidah adalah ajaran yang pertama-tama Rasulullah sampaikan pada umat manusia di awal kenabiannya. Aqidah lah tema yang Rasulullah perintahkan pada Muadz bin Jabal r.a. untuk diajarkan pada penduduk Yaman. Ibnu Abbas berkata: “Ketika Nabi SAW mengirim Mu’adz bin Jabal ke Yaman, beliau berkata kepadanya: “Engkau akan mendatangi orang-orang dari kaum Yahudi dan Nasrani. Maka hal pertama yang harus engkau dakwahkan kepada mereka adalah bahwa mereka hanya beribadah kepada Allah saja.” (Muttafaq Alaih)

Setelah si anak memiliki pemahaman tentang aqidah, maka kesadaran muroqobatullah akan mudah dibangkitkan. Karena ia tahu bahwa wajar apabila Allah senantiasa mengawasinya. Tetapi bila sang anak tak mengenal Allah dengan baik dan kemudian sudah dikenalkan dengan muroqobatullah, mungkin ia akan berfikir “Ada urusan apa Allah mengawasi saya?” Wal’iyadzu billah.

Kesadaran akan pengawasan Allah ini lah yang bisa membuat sholatnya ihsan, tak takut untuk beramar ma’ruf nahi munkar, dan senantiasa berakhlaqul karimah di tengah manusia.

Apa yang diajarkan Luqman ini berhubungan dengan ayat lain di dalam surat yang sama. Larangan Luqman pada anaknya agar tidak menyekutukan Allah (ayat 13), bersinggungan dengan ayat ke-11. Luqman berkata bahwa orang yang menyekutukan Allah itu adalah orang yang zhalim. Secara bahasa, azh-zhulm (kezaliman) berarti menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya. Syirik disebut azh-zhulm karena menempatkan Pencipta setara dengan ciptaan-Nya, menyejajarkan Zat yang berhak disembah dengan yang tidak berhak disembah, atau melakukan penyembahan kepada makhluk yang tidak berhak disembah. Dan pada ayat ke-11 Allah menantang orang-orang yang zhalim itu agar memperlihatkan apa yang telah diciptakan oleh sembahan-Nya.

Luqman melarang sang anak agar tidak mentaati orang tua apabila mengajak dan memaksa menyekutukan Allah (ayat 15). Sedangkan pada ayat 21 Allah bercerita tentang keadaan orang yang jauh dari apa yang diajarkan Luqman pada anaknya, yaitu tentang orang yang mengikuti ajaran nenek moyang mereka yang turun menurun padahal syetan menyeru mereka ke neraka melalui ajaran itu.

Cerita tentang Luqman ini mungkin hanya sedikit di singgung dalam Al-Qur’an, tetapi kita bisa mengambil pelajaran yang dalam. Kita semua bisa mengambil hikmah pelajaran dari sedikit cerita ini, mengembangkannya sesuai dengan kondisi yang masing-masing kita alami. Jadilah ayah yang hebat seperti Luqman. Kriterianya bukan lah ayah yang jagoan, ayah yang pintar masak, ayah yang ternama di masyarakat, tetapi ayah yang kata-katanya bisa membekas pada hati sang anak dan ayah yang memilih materi yang tepat untuk diajarkan pada anaknya. Allahua’lam bish-showab.

 

 
 

Problem Cinta dan Nikah Beda Agama

“Lu sebenernya lebih cinta Tuhan lu apa dia sih?”

Kata-kata itu terngiang di telinga saya sampai sekarang. Bukan diucapkan oleh seseorang kepada saya, tapi oleh seseorang kepada teman saya yang pernah memiliki pacar beda agama. Teman saya muslimah, mantan pacarnya laki-laki non muslim. Hebatnya, kata-kata itu keluar dari seorang wanita mualaf, menasehati kawan saya yang sempat gamang ingin pindah agama.

Pernikahan beda agama rasanya tidak ada latar belakang lain selain cinta. Kalau perjodohan, agak mustahil orang tua menjodohkan anaknya dengan orang yang berbeda iman. Masalahnya, seperti kata-kata di atas, ada pertentangan cinta saat seseorang – khususnya muslim – ingin menikah beda agama, yaitu cinta pada Tuhannya atau cinta pada pasangannya.

Kalau kata orang cinta itu tidak mengenal logika, seperti itu lah gambaran Qur’an surat Al-Baqarah ayat 221. “…Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu…” Allah swt telah mematok ukuran kebaikan pada seorang wanita, yaitu keimanannya. Maka berlandaskan ukuran itu, logikanya wanita mukmin lebih baik daripada wanita musyrik. Tapi dorongan naluri seorang lelaki bisa menilai wanita musyrik lebih menarik daripada wanita mukmin.

Allah sudah terangkan sumber masalah dari pernikahan beda agama ini, yaitu prioritas cinta. Tetapi syariat telah berlaku, bahwa pernikahan harusnya berlandaskan keimanan, bukan cinta yang emosional.

Terhadap sumber masalah ini, Allah keluarkan peringatan:

“Katakanlah: “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan RasulNya dan dari berjihad di jalan nya, Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan NYA.” dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS. At Taubah [9]: 24)

Pahamilah bahwa setiap perasaan cinta yang datang adalah ujian dari Allah swt, apakah akan kita tempatkan cinta itu lebih tinggi dari cinta kepada Allah, atau diletakkan lebih rendah, atau dibuang jauh-jauh. Karena hati manusia ada dalam kendali-Nya, maka perasaan itu bersumber dari Yang Maha Mengatur Segala Urusan. Kembali kepada seorang mukmin, apakah ia jadikan perasaan itu ajang pembuktian keimanan, atau ia biarkan dirinya terjerumus.

“Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman Amat sangat cintanya kepada Allah.” (QS. Al Baqarah [2]: 165)

Bila anda menghadapi godaan menikah beda agama, susun lagi prioritas cinta yang benar, lalu ambil keputusan!

 
 

Jawa Barat Dalam Timbangan Korupsi

9 November 2011

Perhelatan Pemilihan Gubernur provinsi Jawa Barat yang akan diselenggarakan pada Februari 2013 semakin menghangat. Beberapa nama calon gubernur bermunculan. Sang petahana yang telah menerima sekitar 80 penghargaan selama menjabat jadi gubernur, Ahmad Heryawan, siap maju kembali bersama Dedi Mizwar. Dari Partai Golkar, Kang Yance yang pernah menjabat menjadi bupati Indramayu sudah positif akan tampil. Pasangan Rieke – Teten pun sudah menjadi pasangan resmi PDIP. Serta Partai Demokrat yang akan mengajukan Dede Yusuf yang masih menjabat sebagai wakil gubernur Jawa Barat.

Salah satu sisi yang menarik dari pertarungan Pilgub Jabar nanti adalah dimana salah seorang calon yang akan maju merupakan seorang pegiat anti korupsi. Dialah Teten Masduki, mantan sekretaris Transperancy International Indonesia (TII). Menarik karena pegiat anti korupsi ini rupanya diusung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, partai yang punya catatan kasus korupsi tidak sedikit.

Kita masih ingat pada kasus traveler cheque, dimana mantan anggota DPR dari PDIP mendominasi vonis korupsi oleh majelis hakim. Itu hanya satu contoh kasus. Data terbaru, Indonesian Corruptor Watch merilis data sepanjang semester I tahun 2012, PDIP menduduki parpol nomor 2 penyumbang kasus korupsi, dengan jumlah sebanyak 8 kader. Kalah oleh Partai Golkar yang menyumbang 13 kader.

Di Jawa Barat sendiri, setidaknya ada 2 kasus korupsi yang melibatkan kader PDIP yang menjabat sebagai kepala daerah. Salah satunya adalah mantan Walikota Bekasi dan juga ketua DPC PDIP Bekasi, Mochtar Muhammad. Nama lain adalah Eep Hidayat, Bupati Subang yang juga Ketua DPC PDIP Subang.

Kehadiran pegiat anti korupsi yang diusung partai politik yang rajin diterpa kasus korupsi tentu sangat menarik. Kesan anomali dan kontradiksi tidak bisa terelakkan. Bila menggaungkan jargon anti korupsi, kata-katanya bisa dikembalikan ke partai yang mengusung.

Selain itu, yang perlu dicermati lagi, apakah Pemerintahan Provinsi Jawa Barat butuh seorang aktivis karena bermasalah dengan korupsi?

Bermasalah atau tidaknya suatu pemerintahan dengan korupsi bisa dilihat dari beberapa indikasi. Salah satunya adalah berapa banyak kasus korupsi para pejabat di instansi itu – dalam hal ini Pemerintahan Provinsi Jawa Barat – yang sedang dalam status tersangka, terdakwa, atau terpidana. Saya belum menemukan datanya.

Lalu kalau tidak ada pejabat yang tersangkut kasus korupsi, apakah Pemerintahan Provinsi Jawa Barat bisa dibilang bersih dari korupsi? Tentu terlalu terburu-buru untuk menyimpulkan itu, kecuali dengan indikasi yang lain.

WTP Terbaik

Indikasi lain adalah predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) yang didapat oleh Pemprov Jabar. Dan pertama dalam sejarah Provinsi Jawa Barat yang mendapatkan 2 penghargaan WTP sekaligus yakni dari BPK dan dari Pemerintah Pusat yang diserahkan Wakil Presiden Republik Indonesia. Pada tanggal 11 September 2012 lalu, Ahmad Heryawan menerima penghargaan ini dari Wakil Presiden Boediono di Gedung Dhanapala Kantor Pusat Kementrian Keuangan.

Mungkin ada yang menyangkal bahwa predikat WTP bukan berarti bersih dari korupsi. Memang, Ketua BPK sendiri pernah mengatakan: “Dengan demikian, opini wajar tanpa pengecualian (WTP) tidak bisa dijadikan tameng untuk menyatakan suatu kementerian atau lembaga bersih dan korupsi”. Pemeriksaan yang dilakukan oleh auditor BPK bukan untuk menilai benar atau tidaknya sebuah laporan, tetapi wajar tidaknya penyusunan laporan keuangan. Bila diumpamakan, dunia kedokteran mengenal istilah general check up. Begitu juga dalam audit yang dilakukan BPK, keduanya untuk memberikan penilaian bahwa secara umum kondisinya sehat atau tidak. Untuk menemukan penyakit yang lebih spesifik, tentu diperlukan pemeriksaan yang lebih khusus.

Pemeriksaan laporan keuangan suatu instansi bertujuan untuk menilai pakah penyajian laporan keuangan sudah sesuai Standard Akuntansi Pemerintahan (SAP) atau tidak. Kata kuncinya “kewajaran”. Selain WTP, BPK bisa memberikan opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP), tidak memberikan pendapat (TMP), dan Tidak Wajar (TW). SAP itu tentu dirancang untuk meminimalisir penyelewengan keuangan atau korupsi.

Sekali lagi opini itu tidak serta merta menandakan ada atau tidaknya praktek korupsi di suatu instansi. Sebagaimana Pemprov Sumbar yang mendapatkan WDP, hanya karena ada kesalahan dalam pengalokasian mata anggaran. Bukan karena kasus korupsi.

Namun begitu, dengan predikat WTP terbaik ini bisa dibilang secara umum Pemprov Jawa Barat di bawah kepemimpinan Ahmad Heryawan sehat dari korupsi, atau tidak ditemukan indikasi korupsi saat auditor memeriksa laporan keuangan. Karena kalau ada temuan korupsi saat auditor memeriksa laporan keuangan, tentu Jawa Barat tidak akan mendapat predikat WTP, apalagi terbaik. Setelah dilakukan general check up, Jawa Barat bisa dikatakan sehat dari korupsi.

Layanan Pengadaan Barang/Jasa Jabar Terbaik

Yang paling banyak dihinggapi kasus korupsi di Indonesia ini adalah dalam layanan pengadaan barang dan jasa. Bahkan 70 persen kasus korupsi daerah berasal dari pengadaan barang dan jasa. Sepanjang 2012, Polri sudah menangani setidaknya 353 kasus terkait pengadaan barang dan jasa. Pada tahun 2011, ada 475 kasus yang sudah ditangani.

Maka kuncinya tidak ada lain selain transparansi. Semakin transparan suatu instansi dalam melakukan pengadaan barang dan jasa, maka semakin baik instansi tersebut.

Bagaimana dengan Jawa Barat? Jawa Barat menggunakan sistem yang dinamakan e-proc sebagai wujud keterbukaan transparansi dan akuntabilitas dalam proses pengadaan barang dan jasa. Dorongan dan dukungan yang kuat dari sang gubernur dalam penerapan e-proc menjadikan Balai Layanan Pengadaan Barang/Jasa Secara Elektronik (LPSE) Provinsi Jawa Barat sebagai yang terbesar, baik dari sisi pengguna maupun transaksi. LPSE Provinsi Jawa Barat sudah ISO 9001:2008 sehingga ditetapkan sebagai LPSE Terbaik Nasional oleh Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) pada 2009, 2010 dan 2011. KPK pun memberikan apresiasi dan dukungannya atas prestasi ini.

Bisa lah kita katakan ini satu temuan lain sebagai indikasi sehat atau tidaknya Jawa Barat dari korupsi.

Salah Satu Provinsi Terbaik dalam Hal Integritas Pelayanan Publik

Sekretaris Jenderal Komisi Pemberantasan Korupsi, Bambang Sapto Pranotosunu, mengatakan dalam sebuah seminar pencegahan korupsi di Jambi bahwa pencegahan korupsi bisa dilakukan oleh pemerintah daerah dengan meningkatkan pelayanan publik. Buruknya pelayanan publik suatu instansi membuka celah besar pada korupsi.

Yang terjadi di Jawa Barat, rupanya provinsi ini pernah mendapatkan penghargaan sebagai “Salah Satu Provinsi Terbaik dalam Hal Integritas Pelayanan Publik”. Pengumuman predikat terbaik ini disampaikan oleh Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Mochammad Jasin di Jakarta. Atas prestasi Pemerintah Provinsi Jawa Barat dalam optimalisasi pencegahan korupsi pelayanan publik. Maka bisa kita simpulkan, celah korupsi dari pelayanan publik yang buruk di Jawa Barat terlalu sempit.

Cukup terlihat jelas kesungguhan memberantas korupsi dari indikator-indikator tadi. Semangat ini pun dipaksakan untuk ditularkan kepada kepala daerah di bawahnya. Seluruh kepala daerah di Jawa Barat, baik Bupati, Walikota, hingga Gubernur, pernah menandatangani Pakta Integritas Anti Korupsi pada 29 Maret 2012 yang lalu. Sayang, 6 kepala daerah termasuk Mochtar Muhammad dan Eep Hidayat tidak hadir saat penanda-tanganan Pakta tersebut. Setidaknya ini menandakan tekad kesungguhan para pemimpin di Jawa Barat itu untuk memberantas korupsi.

Mungkin tulisan ini terlalu prematur untuk dipublish karena masih banyak indikasi lain yang perlu diperiksa dengan seksama. Tapi dari pantauan sekilas, sudah terlihat beberapa indikasi sehatnya Pemprov Jawa Barat dari korupsi. Beberapa prestasi Jawa Barat di bawah kepemimpinan Ahmad Heryawan sebagai indikatornya.

Penulis ucapkan selamat untuk pegiat anti korupsi yang ikut meramaikan bursa calon gubernur Jawa Barat. Kalau visi misinya ingin membawa Jawa Barat sebagai daerah bersih korupsi, sepertinya Ahmad Heryawan sudah selangkah lebih di depan mewujudkannya. Kalaupun terpilih, semoga bisa mempertahankan apa yang sudah dibangun oleh Ahmad Heryawan.

http://www.bpk.go.id/web/?p=13302
http://m.inilah.com/read/detail/1903539/ahmad-heryawan-genapkan-raihan-penghargaan
http://www.bpk.go.id/web/?p=13343
http://www.metrojambi.com/v1/metro/11426-cegah-korupsi-pemerintah-harus-tingkatkan-pelayanan-publik.html
http://infokorupsi.com/id/korupsi.php?ac=9926&l=6-kepala-daerah-absen-tandatangani-pakta-integritas-anti-korupsi
http://www.bersamadakwah.com/2012/10/inilah-daftar-74-penghargaan-yang.html

 
2 Comments

Posted by on September 4, 2014 in Artikel Umum

 

Kondisi Ambiguitas Kader Dakwah

Seorang aktifis dakwah kampus pernah mengeluhkan tentang kondisi kader dakwah yang – tanpa sengaja – mendikotomikan antara aktifitas dakwah dan ibadah dalam perilakunya. Ada aktifis dakwah yang yang begitu aktif – penutur tersebut mengistilahkan dengan aktifis dakwah yang ‘haroki’, namun lemah dalam hal ruhiyahnya. Dan ada pula aktifis dakwah yang rajin ibadahnya, atau kuat ruhiyahnya, namun aktifitas dakwahnya tidak menonjol.

Mungkin sudah menjadi gejala di kampusnya, karena ketika fit and proper test untuk pemilihan Badan Pengurus Harian di lembaga dakwah kampus itu, salah seorang calon ditanyakan tentang tindakannya apabila menemui dua karakter jundi yang berbeda: salah seorangnya haroki namun kurang ma’nawi, dan seorang yang lain berkebalikannya.

Apakah gejala di kampus itu juga menjadi gejala nasional? Bisa saja banyak aktifis dakwah yang seperti ini. Karena saya sudah lama mendengar masalah ini diperbincangkan oleh aktifis dakwah. Tapi saya yakin, ada banyak lagi kader dakwah yang mampu tawazun, yang mampu menyeimbangkan dedikasinya pada umat dalam kegiatan-kegiatannya yang berlapis-lapis, dan ‘ubudiyahnya dalam bentuk ibadah mahdoh. Banyak kader yang mampu menjadi – seperti adagium dalam dakwah – fursanun fi nahar, wa ruhbanun fillail.

Aktifis dakwah ada yang mengambing-hitamkan kegiatan dakwahnya. Ketika sibuk dalam kegiatan yang padat, maka seorang aktifis menjadi cemburu dengan kegiatan itu. Ia merasa kegiatan-kegiatan itu mengurangi waktunya untuk berubudiyah kepada Allah. Penyebab kelelahan hingga ia tak mampu memenuhi target amalan yauminya.

Meski salah dalam beralasan, penyesalan atas kesempatan ‘ubudiyah yang hilang masih jauh lebih baik dibanding tidak memiliki penyesalan sama sekali. Berbahaya apabila kelelahan karena aktifitas yang padat itu menjadi justifikasi atas kosongnya tilawah dalam sehari, atau penuhnya malam dengan mimpi. Aktifis dakwah menganggap sebagai suatu hal yang biasa, tertinggalnya beberapa amalan yang memperkuat ruhiyahnya, karena aktifitas yang padat merupakan kompensasi dari amalan-amalan itu.

Hal ini tentu tidaklah bijak. Karena kalau kita mengetahui, aktifitas para sahabat begitu luarbiasa sibuknya, namun mereka tidak pernah tinggal untuk menikmati malam dengan munajat kepada-Nya. Perbandingan yang terdekat adalah dengan para mujahidin di negeri-negeri yang berkecambuk. Sebuah film dokumentasi perang jihad Afghanistan dan Chechnya memperlihatkan para mujahidin menyempatkan diri membaca Al-Qur’an. Padahal ketika itu keadaan sedang tidak aman. Terpancar dari raut wajah mereka kegembiraan ketika berinteraksi dengan Al-Qur’an.

Kita belumlah memanggul senjata beserta ratusan pelurunya yang berat. Kita tidaklah berjalan begitu jauh, mendaki gunung menerobos belukar, bertahan dalam cuaca yang tidak bersahabat. Sebuah kegiatan yang melelahkan. Jauh perbandingan kelelahan antara kita dengan para mujahidin itu.

Kebaikan aktifis ‘haroki’ dan ‘ma’nawi’

Seorang aktifis dakwah yang ‘haroki’, biasanya ia juga seorang yang memiliki pemahaman yang bagus. Saya berpendapat keharokian itu linier dengan keilmuan yang luas. Dan begitulah yang saya temui di lapangan. Mungkin karena mereka adalah orang yang terbiasa dengan syuro, di mana pada syuro terjadi banyak pemaparan argumen.

Tentu baik apabila seorang aktifis dakwah memiliki wawasan yang luas. Dengannya, roda dakwah dapat berputar pada arah yang benar. Sekaligus juga, keaktifannya itulah yang menjalankan roda dakwah tersebut.

Bagi pribadinya, pemahaman yang baik dapat mencegahnya dari gugur di jalan dakwah. Bukankah dalam sebuah riwayat, setan lebih takut dengan seseorang yang memiliki pemahaman yang tinggi yang sedang tidur di dalam masjid, daripada seseorang yang sedang sholat dalam masjid tersebut. Hal ini karena seseorang yang memiliki pemahaman yang baik, sulit bagi setan untuk menipunya.

Dan seseorang aktifis dakwah yang ibadah mahdhohnya terjaga dengan baik, akan memiliki ma’nawi yang terpancar kuat. Kedekatan kepada Ilahi akan membuat dirinya berwibawa di tengah-tengah orang banyak. Dan apabila ia berdakwah, maka dakwahnya akan lebih mudah menembus hati objek dakwah. Apabila roda dakwah dijalankan oleh orang-orang yang seperti ini, tentu roda dakwah itu akan sangat efektif. Tarbawi dalam sebuah edisi pernah menulis: Ruhiyah kelam dakwah tenggelam, ruhiyah bersinar dakwah pun lancar.

Quwatu shillah billah (kekuatan hubungan dengan Allah) adalah hal yang efektif mencegah dirinya gugur dari jalan dakwah. Ketika permasalah rumit menekannya untuk keluar dari jalan dakwah, ia memiliki tempat bersandar yang begitu empuk: Allah swt. Dzat inilah yang memeliharanya untuk tetap di jalan dakwah, dan senantiasa memberinya taufiq serta furqon agar dapat melihat keadaan lebih jelas.

Lemahnya salah satu kondisi berakibat pribadi yang timpang

Tentu penting untuk memiliki kedua karakter ini pada diri kita. Lemahnya salah satu karakter akan membuat pribadi kita adalah pribadi da’i yang timpang.

Orang yang aktif namun tidak memiliki ruhiyah yang baik, maka berpotensi untuk menjadi orang yang jenuh dengan kepadatan aktifitas tersebut. Tidak tahan mental ketika tertimpa masalah. Lemah dalam ikhlas. Pemahamannya tidak mampu menopangnya untuk tetap berada di jalan dakwah. Sekalipun ia paham bahwa sesuatu itu salah, namun karena kurangnya kedekatan dengan Tuhannya, ia akan tetap melaksanakan sesuatu itu.

Orang yang kuat ruhiyahnya namun malas untuk aktif dalam kepadatan kegiatan dakwah, maka jadilah ia seorang yang sholih tetapi tidak muslih. Ia berpotensi menjadi seseorang yang mudah kecewa pada jama’ah, karena kurangnya pemahaman yang ia miliki.

Ruhiyah adalah inspirasi kita bergerak. Roda dakwah yang berjalan dengan terarah dan lincah, apabila yang menjalankannya kehabisan tenaga, maka roda itu tidak akan bisa berjalan lagi. Sesungguhnya sumber tenaga itu adalah kualitas ruhiyah yang baik.

Jadilah orang yang lengkap. Sebagai penutup, saya ilustrasikan seorang aktifis dakwah yang ideal adalah seperti gambaran mujahidin perang Padri yang dipimpin oleh Imam Bonjol: Al-Qur’an di tangan kirinya dan pedang di tangan kanannya.

28 Maret 2006