*sebelumnya, dimuat di blog saya yang lain di http://andaleh.blogdetik.com/2013/08/01/ternyata-mereka-serius-dalam-perang-ideology/

Ada yang masih ingat ucapan Rieke Dyah Pitaloka pada pers conference di kantor PDI Perjuangan, Jumat 1 Maret 2013 lalu? “Pilkada Jabar bukan hanya menang kalah karena ini pertarungan ideologis,” ujarnya. Kata-kata itu diucapkan setelah beberapa lembaga survey mengumumkan hasil quick count Pemilihan Gubernur Jawa Barat 2013 yang memenangkan pasangan nomor urut 4, yaitu Ahmad Heryawan dan Dedy Mizwar yang diusung oleh Partai Islam PKS.
Pernyataan ini cukup mengejutkan. Karena tidak terpikirkan oleh publik bahwa ajang pilkada Jawa Barat kemarin adalah pertarungan ideologi. Yang mereka tahu, antara para kandidat sedang terjadi adu unggul program. Saat musim kampanye, kata-kata ideologi itu tidak disinggung. Yang ada hanyalah kata-kata lanjutkan, jabar baru, jabar bersih, atau slogan-slogan lain.
Kejutan dari kata-kata Rieke Dyah Pitaloka ini mengingatkan pada kejutan yang dibikin oleh George Bush saat merespon serangan 9/11, di mana dia mengatakan: “This crusade, this war on terrorism, is going to take a long time.” Seluruh dunia terkejut saat ia menyinggung perang salib. Karena saat itu publik hanya berfikir serangan 9/11 itu hanya melibatkan AS dan Al-Qaida. Bukan keterlibatan umat Islam melawan umat Nasrani secara umum sebagaimana perang salib dulu.
Ideologi apa lawan apa?
Sekarang, publik bertanya-tanya, ideologi mana saja yang terlibat pertempuran pada pilkada Jawa Barat, kalau Rieke mengklaim begitu?
Pasangan Rieke Dyah Pitaloka Teten Masduki, atau yang sering disebut dengan pasangan Paten, diusung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Dalam laman resminya, dinyatakan bahwa PDIP adalah Partai Ideologis berasaskan Pancasila 1 Juni 1945. Namun publik sudah mafhum bahwa ideologi PDIP adalah sekuler. Pada tataran real, PDIP merupakan partai penolak UU Pornografi dan UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Kedua undang-undang tadi adalah contoh arena pertempuran pemikiran sekuler melawan kalangan Islamis.
Ideologi mana yang dilawannya pada pilkada Jawa Barat kemarin? Pasangan Ahmad Heryawan dan Dedy Mizwar diusung oleh PKS, Hanura, dan beberapa partai lain. Sosok Ahmad Heryawan dikader oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Sedangkan Dedy Mizwar mengaku non partai. Dan masyarakat sudah mengerti bahwa PKS berazaskan Islam. Kemenangan pasangan inilah yang memicu Rieke menyinggung pertempuran ideologi.
Jadi tampaknya sudah jelas ideologi mana yang dilawan oleh Rieke, yaitu ideologi Islam.
Beralih dari kata-kata Rieke, baru-baru ini rekan separtainya, Zuhairi Misrawi melontarkan pernyataan yang tak kalah menghebohkan jagad twitter. Setelah nyinyir kepada demonstran dari Ikhwanul Muslimin di Mesir yang Zuhairi sebut sebagai kalangan islamis, Zuhairi menulis status, “kaum Islamis di negeri ini patut bersyukur, karena kita tidak akan membunuh mereka. Di Mesir, mereka dibunuh dan dinistakan #BhinekaTunggalIka.”

Zuhairi memakai kata kita untuk menjelaskan posisinya sebagai musuh kalangan Islamis. Yaitu kalangan liberalis sekuler, seperti yang dihadapi oleh kalangan pro Mursi sekarang.
Dari perkataan Zuhairi Misrawi ini, nampaknya pertempuran ideologi di negeri ini tidak main-main. Karena sampai ada yang beranggapan bahwa merupakan hal yang wajar bila pengusung ideologi Islam atau kalangan Islamis itu dibantai dan dihinakan seperti di Mesir; dan merupakan kebaikan kaum liberalis sekuler-lah bila kalangan Islamis di Nusantara ini masih hidup. Sampai sebegitunya.
Untuk diketahui, Zuhairi Misrawi adalah salah satu tokoh Jaringan Islam Liberal (JIL). Jadi meski beberapa politisi PDIP terlihat memusuhi ekonomi liberal, namun di tengah mereka juga ada kalangan liberalis. Meski liberalnya dalam agama. (Selain Zuhairi Misrawi, sosok liberalisme & pluralisme agama juga ada di sayap keagamaan PDIP Baitul Muslimin seperti Hamka Haq, dkk).
Tak berapa lama kemudian, rekan Zuhairi Misrawi di JIL namun berbeda partai politik, yaitu Ulil Abshar Abdalla (dari Partai Demokrat) turut memberi pernyataan dalam status twitternya yang menyiratkan betapa seriusnya permusuhan kepada kalangan Islamis.
“Pelajaran dari Mesir: Jika kekuatan Islamis terlalu kuat di sebuah negara, politik akan cenderung sektarian, masyarakat terpolarisasi. Keadaan seperti itu biasanya akan mudah mengundang militer melakukan intervensi politik. Mesir adalah contoh terakhir. Alhamdulillah, di Indonesia kekuatan Islamis tak terlalu besar. Jika membesar, kita akan menghadapi masalah seperti Mesir,” tulisnya.
“Yang saya anjurkan adalah kritik, bukan menghalangi hak kaum Islamis untuk berpolitik. Hak itu ada pada mereka dan dilindungi konstitusi. Di semua sistem demokrasi, kaum Islamis punya hak untuk berpolitik, berpartai. Tak boleh dihalang-halangi. Tapi hak masyarakat untuk melakukan kritik atas ideologi Islamisme supaya pengaruhnya tak meluas. Dg kritik yang keras dan terus-menerus, kaum Islamis kita harapkan sadar dan merevisi ideologi mereka seperti di Turki.”
Dari pernyataan itu, sudah terasa sekali penentangan kepada ideologi Islam. Tapi lucunya, masih tidak jelas apa yang dimaksud kaum Islamis oleh Ulil Abshar Abdalla, karena di kicauan berikutnya ia menolak aktivis Muhammadiyah dan NU dikategorikan sebagai kalangan Islamis. Terkesan memaksa, ia mengkategorikan kalangan Islamis adalah muslim yang mengusung ideologi Islam dalam politik praktis.
Politik Aliran Di Indonesia Sudah Pudar?
Padahal banyak pengamat dan praktisi politik berkata bahwa polarisasi politik aliran di Indonesia sudah ketinggalan zaman. Saat ini, partai yang mengaku nasionalis seperti PDIP misalnya, memiliki sayap keagamaan. Ada Baitul Muslimin di PDIP. Gerindra punya Kristen Indonesia Raya (KIRA). Partai Demokrat juga memiliki majlis talim.
Partai-partai Islam pun sekarang tidak lagi seperti zaman orde lama ketika asas Islam dan identitas negara Islam diperjuangkan dengan ngotot, saat piagam Jakarta menjadi target antara bagi partai-partai Islam orde lama.
Kini yang menjadi jargon partai Islam dalam kampanye hampir sama dengan partai-partai nasionalis sekuler lainnya, yaitu berkisar tentang kesejahteraan, anti korupsi, perubahan, dll. Hanya memang, jalan menuju kesana tentu berbeda.
Pemilih pun tidak lagi mempertimbangkan aliran agama dalam menentukan partai yang akan dicoblosnya. Tapi kinerja partai lah yang menentukan. Seperti itu kira-kira kesan yang ditangkap dalam hasil-hasil survey oleh beberapa lembaga survey.
Tapi melihat pernyataan beberapa pihak di atas, tampaknya pertarungan ideologi masih kental. Meski pada permukaan sudah tak terlihat adanya pertarungan itu, meski dalam kampanye partai atau pilkada rata-rata jualan partai sama, namun sejatinya pertentangan itu terasa.
Sama-sama menjanjikan kesejahteraan, namun partai Islam tentu saja akan menempuhnya dengan tidak melegalisasi usaha kemaksiatan; sementara partai sekuler memperbolehkan bahkan mendorong usaha maksiat semisal arena judi, peredaran minuman keras, atau pelacuran.
Kelompok sekuler liberal tentu tak mengenal batasan-batasan yang ketat seperti yang ada dalam Islam, sementara partai Islam akan memperjuangkan agar aturan pemerintahan comply dengan ajaran Islam. Aturan-aturan ketat ini yang membuat kalangan sekuler liberal resisten terhadap kelompok Islamis.
Terakhir, ucapan Muhammad Natsir yang populer belakangan ini tentu relevan dengan pertarungan ideologi ini. “Islam beribadah itu akan dibiarkan. Islam berekonomi akan diawasi. Islam berpolitik itu akan dicabut seakar-akarnya.”
http://nasional.news.viva.co.id/news/read/394375-rieke-tak-terima-hasil-pilkada-jabar–gugat-ke-mk
http://www.islamedia.web.id/2013/07/sekjen-miumi-doakan-zuhairi-misrawi.html
http://news.fimadani.com/read/2013/07/30/ulil-abshar-islamis-boleh-berpolitik-tapi-tidak-boleh-membesar/
1 Agustus 2013