RSS

Monthly Archives: September 2020

Komunisme, Ideologi Haus Darah

 

Dari orang tua, saya dapat cerita bahwa kakek di kampung hampir menjadi keganasan PKI. Rumahnya sudah diberi tanda khusus bersama beberapa rumah tokoh lain. Tapi takdir Allah berlaku berbeda dari makar yang telah dirancang. Masyarakat bergerak lebih dahulu “menghabisi” kader-kader komunis di sana.

Ideologi yang berslogan sama rasa sama rata itu memandang kepemimpinan dalam adat Minang yang dilangsungkan oleh tigo tungku sajarangan/tigo tali sapilin, yaitu penghulu, alim ulama, dan niniak mamak sebagai warisan feodal yang harus diganyang. Mereka anggap hal tersebut menciptakan perbedaan kelas.

Di tahun-tahun itu, antara pengikut komunis dan lawan politiknya terdapat dua pilihan. Membunuh atau terbunuh.

Saya tidak pungkiri adanya pembantaian dan penangkapan tanpa keadilan yang jelas pasca G30S/PKI saat rakyat, mahasiswa dan tentara memburu kader-kader Karl Max. Bukan soal benar atau salah. Bagi saya itu adalah kecelakaan sejarah. Disebut kecelakaan, karena keberadaan PKI hanya membuat celaka.

Berhasil atau tidaknya pemberontakan G30S/PKI tetap akan ada pembantaian. Karena gagal, maka pengikut komunis diburu. Andai menang, mereka yang memburu. Bahkan bisa lebih sadis lagi.

Tapi alhamdulillah Allah lindungi negeri ini.

Kini keturunan PKI menuntut negara meminta maaf. Namun keturunan mereka yang terbantai oleh partai itu, kepada siapa meminta hal serupa? Andai gerakan PKI berhasil, pembantaian akan meluas, dan anak cucu para korban tidak akan pernah bisa mengangkat wacana permintaan maaf oleh negara.

Tapi persoalannya bukan sekedar maaf memaafkan. Lebih dari itu, atas berulang kalinya pembantaian yang dilakukan, sudah tidak boleh lagi ada tempat untuk sebuah gerakan berideologi komunis berdiri legal di Indonesia.

Itulah ideologi haus darah. “Selama 74 tahun komunis itu rata-rata membunuh 1.621.621 orang setiap tahun atau 4.504 orang per hari atau tiga orang per menit di 75 negara,” ujar penyair angkatan 1966, Taufiq Ismail.

Stalin telah membunuh 43 juta orang. Sekitar 39 juta orang mati di kamp-kamp kerja paksa.

Komunis China dari 1949 hingga 1987 telah membunuh 40 juta warganya.

Rezim Khmer Merah pimpinan Pol Pot selama April 1975 – Desember 1978 telah membantai dua juta atau 28,57 persen jumlah penduduk.

Komunis juga membantai keluarga kesultanan di Sumatera Timur. Belum lagi Madiun, pesantren-pesantren di Jawa, dan yang dikenang tiap tahun: para Jenderal Angkatan Darat.

Di tengah hasutan yang menuduh tentara dan orde baru keji karena membantai orang-orang tak bersalah saat membasmi PKI pasca G30S/PKI, jangan lupakan bahwa orang tua atau kakek nenek kita adalah potensi korban pembantaian oleh PKI andai mereka berhasil dalam pemberontakan tersebut dalam rangka memaksakan ideologinya.

 
Leave a comment

Posted by on September 30, 2020 in Artikel Umum

 

Sexual Consent, Propaganda Kebebasan Zina

Semakin berkembang jaman, aktivitas yang terkategorikan mendekati zina yang dilarang dalam Al Qur’an surat Al Israa ayat 32 (“… wa laa taqrobuz zinaa…”) kini bukan cuma pacaran saja. Tapi juga pengesahan undang-undang sampai propaganda istilah “sexual consent”.

Ada lorong menuju zina yang dibangun oleh para feminis radikal di balik kampanye anti kekerasan seksual. Sekedar melihat covernya, kampanye itu mulia. Tapi diulik lebih dalam, ada pesan yang menjerumus. Karena yang tidak dianggap kekerasan seksual adalah aktivitas seks dengan persetujuan tanpa melihat halal atau haramnya.

Justru yang diinginkan mereka adalah tak ada ganggu gugat untuk aktivitas seksual yang terbangun konsensus pada 2 anak manusia apa pun bentuknya, ternaungi ikatan pernikahan atau tidak, bahkan apa pun orientasinya.

Sexual consent diperkenalkan untuk perlahan menggusur pernikahan. Menggiurkan bagi mereka yang ingin bebas dari norma agama dan budaya. Menjadi komponen yang mengelilingi neraka, sebagaimana hadits Rasulullah: “Surga itu diliputi dengan hal-hal yang tidak menyenangkan, dan neraka itu diliputi hal-hal syahwat (yang menyenangkan).” (HR Muslim).

Yang menjadi objek kampanye sexual consent adalah anak kita yang beranjak dewasa, adik-adik kita, keluarga dan kerabat serta kawan-kawan kita. Mencakup semua pihak yang ditanyakan Rasulullah kepada seorang pemuda yang meminta izin berzina, yang ketika itu Rasulullah berkata:

“Wahai anak muda, apakah engkau suka bila perzinaan itu terjadi atas diri ibumu? Wahai anak muda, apakah kamu rela bila hal itu terjadi atas diri putrimu? Wahai anak muda, apakah kamu rela bila hal itu terjadi atas diri putrimu? Apakah engkau suka jika hal itu dilakukan kepada bibi-bibimu?”

Maka, wahai umat muslim, bagaimana bila pertanyaan Rasulullah itu ditujukan ke kita? Apakah kita rela ajaran sexual consent diterima oleh keluarga kita? Na’udzubillahi min dzalik, tsumma na’udzubillahi min dzalik.

Bersamaan dengan kampanye itu, terancam nyawa-nyawa teraborsi yang menjadi ampas perilaku sexual consent. Atau anak yang tumbuh tanpa orang tua yang utuh yang tak menemukan keteladanan tanggung jawab keluarga. Yang paling dekat adalah wanita yang dibiarkan menanggung sendiri akibat sexual concern bak habis manis sepah dibuang.

Wahai umat muslim, lalu kalau tidak setuju, janganlah bisu melihat penganjur kemaksiatan menyeru manusia berperilaku seksual suka sama suka tanpa timbangan agama dan moral. Bersuaralah menghadang di setiap jalan yang mereka lalui.

Mereka tak kan segan mengkampanyekannya di kampus negeri kepada mahasiswa baru yang dalam usia gejolak. Indoktrinasi kebejatan berlabel ilmiah diberikan kepada calon ilmuwan sejak dini.

Puncaknya adalah adanya payung hukum dalam bentuk undang-undang untuk melegalkan sexual consent. Disarukan dalam kata “penghapusan kekerasan seksual”. Padahal perbuatan keji yang dipandang agama dan budaya lebih luas dari sekedar aktifitas seksual tanpa konsensus.

Wahai umat muslim, jangan tinggalkan para anggota dewan yang masih memiliki nurani berjibaku sementara kita tak menahu apa yang terjadi. Bersuaralah tak kalah kencang dengan para penganjur kemaksiatan. Buka mata buka telinga dan bersatulah dalam kebulatan tekad menghadang legalisasi kemaksiatan.

“Siapa yang melihat kemungkaran di antara kalian, hendaklah ia mengubah dengan tangannya. Apabila tidak mampu, maka hendaklah ia mengubah dengan lisannya. Jika tidak mampu, hendaklah mengubah dengan hatinya. Itu adalah selemah-lemah iman.” (HR Muslim).

 
Leave a comment

Posted by on September 23, 2020 in Artikel Umum