RSS

Monthly Archives: December 2020

Ketagihan Tawa

Demi terbahak, batas kemanusiaan halal dilabrak. Rasa hormat begitu saja dicampak. Rasa malu hilang tanpa jejak. Jangan ungkit-ungkit soal akhlak.

“Dan janganlah terlalu banyak tertawa. Sesungguhnya terlalu banyak tertawa dapat mematikan hati.” ujar Rasulullah saw suatu hari, diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi.

Tapi nasehat itu tidak diindahkan. Lalu dihadirkanlah jargon-jargon “open minded”, “dark jokes”, dsb demi pembenaran canda yang keterlaluan.

“Humanity above religion”, kata orang-orang itu. Tapi bohong. Jargon tersebut semata agar mereka tidak diingatkan dengan dalil agama. Karena kenyataannya rasa haus untuk tergelak sah-sah saja menginjak empati.

Kondisinya sudah sampai begini: bila Anda mengucapkan selamat hari raya agama lain, maka Anda toleran; tapi bila marah karena agama Anda diolok-olok, Anda tidak toleran.

Padahal toleransi itu cukup di batas menghargai tanpa mengusik keyakinan orang lain, dan tanpa perlu partisipasi dalam kegiatan atau kata-kata.

Kematian, rasa lapar, bencana, dan penderitaan orang lain halal untuk ditertawai atas nama dark jokes. Demi tawa. Untuk dunia yang penuh hahaha.

Yang mereka inginkan adalah akhir hidup dalam keadaan mulut terbuka lebar dan rahang mengeras tak mampu mengatup. “Matimu tak jauh dari kebiasaanmu.” Lalu, “Setiap hamba akan dibangkitkan berdasarkan kondisi meninggalnya.” (HR Muslim)

Pada hati yang telah mati, alasan dark jokes adalah pembiasaan untuk hidup dalam kelamnya jahannam. Maka gelap-gelapilah canda kalian dengan menertawakan agama, merendahkan kemanusiaan, menginjak-injak rasa hormat. Tapi kelak, di hadapan Zabaniyah, tersenyum kecil pun kalian tak kan mampu.

Oh ya, juga demi konten yang harus selalu tersedia.

 

Elegi Batu-Batu Pijakan

Di batu pertama, kaki mereka menjejak tanpa banyak masalah. Sedikit licin, tapi tak banyak membuat goyah. Tak sampai terpeleset dan jatuh ke tanah.

Tapi untuk ke batu pijakan kedua, lumayan susah payah. Sampai sekarang belum berhasil menjejak, meski segala konspirasi dan skenario masih terus digubah.

Yang menjadi batu pertama, memang tak banyak memiliki simpati. Sekedar sesama muslim, ada lah rasa solidaritas itu. Tapi tak begitu rekat.

Maklum, mereka mudah berselisih dengan yang tak sepaham. Mengharamkan demokrasi, bahkan menuduh syirik bagi yang berani ke TPS. Akhirnya batu pertama ini dianggap sebagai duri dalam daging oleh umat Islam. Ketika umat tengah menghadang kaum sekuler, mereka malah merecoki dari belakang.

Aksinya? Tak banyak terdengar selain spanduk dan teriakan di belakang toa. Ya mungkin ada gerakan kemanusiaan di daerah bencana, mungkin, tapi entahlah apakah kurang publikasi sehingga tak terlalu terdengar.

Ketika batu itu terjejak oleh para pelaku makar, umat sudah mewanti-wanti bahwa langkah mereka tak kan berhenti di situ. Dan benar….

Kemudian mereka mencoba menjejakkan kaki di batu kedua. Hanya saja batu itu kini sedang banyak menuai simpati. Tak sedikit yang dulu kurang suka malah balik mencinta. Jelas butuh usaha yang tak mudah.

Bukankah batu tersebut banyak mencari musuh? Benar, tapi musuh yang dicari adalah kebatilan. Orang lain boleh saja tak suka cara mereka melakukan perlawanan, tapi bila terpupuk rasa benci pada kemaksiatan di hati, akhirnya mengangguk setuju juga meski ada kadarnya.

Nama batu kedua pun telah tertoreh di daerah-daerah yang pernah terkena bencana. Ada kesan, garang pada kemungkaran, tapi lemah lembut pada kemanusiaan. Orang-orang yang menghujat batu kedua pun bukan tak mungkin suatu saat akan ditolong oleh yang dia benci bila terkena musibah.

Cara melangkah para pelaku makar itu terlalu buruk. Kentara gerak-gerak manipulatif dan kezalimannya. Makanya, bagaimana tidak makin mendatangkan banyak simpati?

Berhasilkah batu itu terjejak? Yang jelas doa-doa umat makin kuat dipanjatkan ke langit. Yang tak berdaya bukan berarti tak miliki Pembela. Ada keyakinan, bahwa Allah sengaja membiarkan kaki mereka mengancam sana sini hingga di suatu titik mereka terpeleset lantas terbenam sebagaimana terbenamnya Fir’aun dan tentaranya.

Kapan? Bubuhkanlah kesabaran pada kereta waktu yang melintas. Cepat atau lambat akan terjadi juga.

Kecuali bila para pelaku makar itu bertaubat. Semoga.

Lalu, bersiagalah batu-batu ketiga dan seterusnya. Siapa? Bisa jadi kalian, siapapun itu yang menempuh jalan para nabi, shodiqin, sholihin dan syuhada. Bersiaplah dan rancanglah strategi dari kini.

Makanya, jangan biarkan batu kedua terjejak oleh mereka. Agar tak ada kesempatan menginjak batu-batu berikutnya.

 
Leave a comment

Posted by on December 15, 2020 in Orat Oret

 

Menantang Neraka

“Gini doang nih grup neraka?” Itu bukan kalimat meremehkan neraka sih. Sekedar kalimat candaan bernada jumawa dari admin klub sepakbola.

Tapi ada beneran kalimat yang menantang neraka. Macam-macam bentuknya.

Ada yang merasa senang kalau masuk neraka karena bisa ketemu artis. Seolah-olah profesi tersebut dijamin neraka. Padahal banyak juga artis yang baik-baik, muslim, yang dalam penilaian zhohir mereka layak mendapatkan ganjaran surga.

Ada yang bikin kaus bertuliskan, “kalau surga milik kaummu, biarkan kami di neraka dengan kebhinekaan.” Seolah-olah di surga tidak ada kebhinekaan. Seolah-olah orang yang menerima kebhinekaan itu tempatnya di neraka.

Yang lebih mengenaskan sih yang terjadi baru-baru ini di musim kampanye pilkada 2020. Ada tokoh yang berkata, “Saya mohon maaf bapak ibu, kalau misalnya saya ngajak nyoblos P-A (nama disingkat saja), terus ibu bapak masuk neraka, ibu jangan masuk neraka. Saya yang nalangin masuk neraka. Sampe begitunya saya menjaminkan pak P dan bu A untuk maju sebagai walikota…”

Luar biasa orang-orang itu. Padahal dengan demam saja mereka terkapar. Kata Rasulullah, “Sesungguhnya penyakit demam (panas) adalah berasal dari bagian panas neraka jahanam.” (HR Bukhari). Ada berbagai penjelasan para ulama atas hadits ini. Konteks dalam tulisan ini adalah, dengan demam saja membuat tubuh manusia tak berdaya, apalagi neraka jahannam.

Juga ada hadits berikut yang lebih mengerikan:

“Api kalian ini yang dinyalakan oleh anak cucu Adam hanyalah 1 bagian dari 70 bagian dari panasnya api Jahannam. Mereka berkata, “Demi Allah wahai Rasulullah, api di dunia ini saja sungguh sudah cukup (untuk menyiksa).” Maka beliau bersabda, “Maka sesungguhnya api jahannam dilebihkan 69 kali lipat panasnya, dan setiap bagiannya (dari 69 ini) mempunyai panas yang sama seperti api di dunia.” (HR Bukhari Muslim)

Sekedar info, macam-macam api di dunia ini antara lain: Api merah umumnya bersuhu di bawah 1000 derajat celsius. Api biru, bersuhu lebih tinggi dari api merah, tapi masih di bawah 2000 derajat celcius. Kemudian api yang lebih panas, api putih yang bersuhu di atas 2000 derajat celcius. Api ini juga yang terdapat di dalam inti matahari. Nah, hitung sendirilah suhu Neraka Jahannam.

Memang, ada kelompok yang mudah menganggap sesat terhadap muslim yang tidak segolongannya. Bikin kesal. Tapi menghadapi mereka tidak perlu menantang “biarin masuk neraka.” Itu kalimat kesombongan.

Apalagi kalau menyikapi nasehat yang baik. Misalnya diingatkan untuk mematuhi syariat Allah, diluruskan aqidahnya, ditegur atas akhlak yang buruk, dsb. Kalau bersikap defense dengan menantang neraka, maka itu tanda kematian hati.

Memang dua pihak perlu introspeksi. Selaku objek dakwah, kita tidak boleh menutup diri dari kebenaran. Andai ada kritik yang kurang berkenan pun bukan dengan mengucapkan kalimat kesombongan.

Dan selaku pihak yang memberi nasehat, perhatikan juga adab. Karena dalam fiqh dakwah, memberi kabar gembira itu didahulukan daripada ancaman. Keduanya perlu disampaikan dalam situasi yang pas. Dan dakwah harus memperhatikan sikap lemah lembut dan bijaksana. Wajar bila orang menolak hal yang baik bila disodorkan dengan cara yang buruk.

Dalam Al-Qur’an ada beberapa model kalimat orang kafir menantang adzab Allah. Ada yang, “mata hadzal wa’du in kuntum shodiqin?” Kapan janji ini datang bila kalian benar?

Atau dalam Al Ankabut:

Dan mereka meminta kepadamu agar segera diturunkan azab. Kalau bukan karena waktunya yang telah ditetapkan, niscaya datang azab kepada mereka, dan (azab itu) pasti akan datang kepada mereka dengan tiba-tiba, sedang mereka tidak menyadarinya. (QS. Al-Ankabut : 53)

Padahal ketika telah melihat neraka, menjerit keraslah mereka. Dalam surat Al Furqon ayat 22 tertera kalimat “hijran mahjura”.

“(Ingatlah) pada hari (ketika) mereka melihat para malaikat, pada hari itu tidak ada kabar gembira bagi orang-orang yang berdosa dan mereka berkata, “Hijran mahjura.””

Terjemahan Depag seperti di atas, tersuratkan bahwa orang kafir lah yang berkata begitu. Namun menurut jumhur ulama dari kalangan salaf, menurut keterangan dosent tafsir dari LIPIA, ustadz Faris Jihady Lc, itu adalah kata-kata malaikat. Allahua’lam.

Hijran Mahjura artinya benar-benar terhalang. Kalau itu ucapan malaikat, maka maksudnya “Kalian terlarang dari rahmat dan surga Allah swt.”

Tapi kalau itu ucapan orang kafir, maka ungkapan meminta perlindungan agar terhalang dari hal yang tidak disukainya. “Tolong lindungi kami,” begitu kira-kira.

Bukan, “yaelaah… segini doang neraka? Ga sabar gaes ketemu artis pujaan. Yuhuu… aku datang, kebhinekaan. Ga sia-sia memang ucapan kampanye kemaren.”

Naudzubillahi min dzalik.

 

Sudah Lama Hijrah, Jangan Sampai Kualitas Ibadah Turun

Kapan Anda mulai hijrah? Maksudnya, kapan mulai rajin ikut kajian, memperbaiki sholat, mengenakan hijab bagi wanita, dll. Pokoknya, momen saat Anda berubah untuk lebih mendekat kepada Allah, mendalami Islam, dan meninggalkan hal-hal buruk dalam hidup Anda.

Untuk yang sudah lama hijrah, apa ada yang senyum-senyum sendiri melihat saudaranya yang baru berubah menjadi lebih baik? Melihat orang yang belakangan jadi rajin dengan semangat yang menggebu-gebu. Karena teringat kondisi dulu saat baru sadar. Awas, jangan sampai tersisip rasa bangga merasa lebih baik karena lebih awal bertaubat.

Termasuk ‘ujub bila Anda bergumam, “Seneng sih dia berubah sekarang. Walaupun bisa jadi dia ikut-ikutan aja karena lagi trend hijrah. Gak kayak saya yang dulu hijrah di saat cewek yang make jilbab masih jarang dan jadi orang sholeh itu bener-bener ngelawan arus.”

Tapi ngomong-ngomong, bagaimana kondisi ruhiyah Anda saat baru hijrah dibandingkan dengan sekarang? Apakah lebih rajin dari yang dulu, atau sama saja, atau malah ada penurunan? Atau malah kalah dengan semangat orang yang baru hijrah?

Sobat hijrah (sksd banget ya panggilannya..?), jangan pernah menurunkan kualitas amal ibadah kita. Ada kisah yang “menyengat” yang dialami sahabat Abdullah bin Ummi Maktum r.a.

Kita semua tahu bagaimana proses masuk Islamnya beliau. Mohon izin untuk diangkat sedikit di dalam tulisan ini. Karena ada ibrah yang dalam yang akan dikaitkan dengan kisah berikutnya.

“Selamat datang orang yang karenanya Allah menegurku.” ujar Rasulullah bila bertemu Abdullah bin Ummi Maktum. Ya, di hari ia masuk Islam, ada teguran Allah kepada Nabi Muhammad saw sekaligus pembelaan kepada sosok yang tuna netra itu.

Utbah bin Rabiah, Syaibah bin Rabi’ah, Abu Jahal, Umayyah bin Khalaf dan Walid bin Mughirah, para petinggi dan orang-orang bergengsi di kota Mekkah sedang berkumpul di salah satu sudut kota Mekkah untuk berdialog dengan Rasulullah saw ketika Abdullah bin Ummi Maktum r.a. siang itu “nimbrung” di tengah mereka meminta diajarkan ayat-ayat yang telah Allah turunkan.

Itu sebenarnya momentum untuk memperdengarkan juga ayat-ayat yang menyentuh kepada para pembesar Quraisy. Hanya saja, karena yang datang seorang yang bukan terpandang, Rasul menganggap kehadirannya bisa menurunkan gengsi di hadapan orang-orang tadi.

Rasul, seperti bunyi ayat ‘Abasa ayat pertama, bermuka masam dan berpaling dari Abdullah bin Ummi Maktum.

Maka ketika selesai bertemu para oligarkis jahiliyah, dalam perjalanan pulang wahyu pun turun menegur Rasulullah saw.

Berapa tahun kemudian, suatu ketika Rasulullah bermaksud mendisiplinkan para sahabat dalam sholat berjamaah, sampai-sampai terucap dilisannya akan membakar rumah orang yang enggan ke masjid.

Abdullah bin Ummi Maktum adalah sahabat mulia yang termasuk yang awal masuk Islam. Namun karena kondisinya buta, ia meminta keringanan.

“Ya Rasulullah, setiap hari saya datang ke masjid bersama keponakan saya. Namun, sekarang dia sudah meninggal dan tidak ada lagi yang bisa menuntun saya ke masjid. Apakah boleh dengan uzur ini saya tidak ke masjid menunaikan shalat?”

Awalnya Rasul memberi dispensasi. Tapi sesaat kemudian ia meralat.

“Wahai Abdullah, apakah engkau mendengar azan?” tanya Beliau. Abdullah bin Ummi Maktum mengiyakan. “Kalau begitu, engkau tetap harus datang ke masjid,” putusannya.

Orang buta bagaimana jalannya ke masjid? Di mana ada kemauan di situ ada jalan. Abdullah bin Ummi Maktum sudah bertahun-tahun terbiasa dengan kondisinya. Sudah berpengalaman mengatasi kekurangannya. Apa pun caranya, penuhilah panggilan Allah.

Nah, sobat hijrah, dari kisah di atas terlihat bagaimana perlakuan Rasulullah kepada sahabat mulia dengan kualitas “sabiqunal awwalun”. Tidak ada permisi untuk menurunkan standard ketaatan.

Bisa jadi akan berbeda bila yang meminta izin adalah orang buta selain Abdullah bin Ummi Maktum.

Buat Anda yang telah lama hijrah, yang merasa lebih “assabiqunal awwalun” dari yang baru rajin belakangan, yang rajin ke majelis ilmu ketika pengajian masih jarang dan pesertanya sedikit, apakah bisa mempertahankan kualitas layaknya Abdullah bin Ummi Maktum r.a.?

Alih-alih membanding-bandingkan dengan orang yang baru hijrah, lebih baik memastikan kualitas dan kuantitas amal Anda tak terdegradasi dimakan jaman.

Kenang-kenanglah di saat Anda sedang di puncak rajin-rajinnya beribadah. Lalu kini Anda tertuntut untuk mengulangi kondisi itu dan mempertahankannya hingga wafat.

Jangan kasih kendor dalam ibadah, bang. Futur? Yaelah… yang udah lama hijrah mah harusnya udah pengalaman lah mengatasi itu.

Belum tibakah waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk secara khusyuk mengingat Allah dan mematuhi kebenaran yang telah diwahyukan (kepada mereka), dan janganlah mereka (berlaku) seperti orang-orang yang telah menerima kitab sebelum itu, kemudian mereka melalui masa yang panjang sehingga hati mereka menjadi keras. Dan banyak di antara mereka menjadi orang-orang fasik. (QS Al Hadid: 16)

 

Bantalan Rahmat Allah di Jalan Raya

Saya sering melihat peristiwa hampir kecelakaan dialami mobil atau motor. Saya pun mungkin sering mengalami, baik disadari atau tidak.

Tinggal beberapa centi lagi terjadi senggolan antar dua kendaraan. Tapi ada sekat yang menghalangi. Selisih jarak antara dua body kendaraan itu saya ibaratkan ada “bantalan rahmat” dari Allah swt yang menahan benturan sehingga terhindar dari terjadinya insiden. Kelihatan? Ya kagak lah, Bambaaaang…

“Kenapa disebut “bantalan rahmat Allah”? Anda sotoy ya…”

Saya meyakini terselamatkannya seorang hamba dari musibah adalah karena kepemurahan Allah swt. Saya mentadabburinya dari Al-Qur’an surat Yasin ayat 41-44.

“Dan suatu tanda (kebesaran Allah) bagi mereka adalah bahwa Kami angkut keturunan mereka dalam kapal yang penuh muatan, dan Kami ciptakan (juga) untuk mereka (angkutan lain) seperti apa yang mereka kendarai. Dan jika Kami menghendaki, Kami tenggelamkan mereka. Maka tidak ada penolong bagi mereka dan tidak (pula) mereka diselamatkan, melainkan (Kami selamatkan mereka) karena rahmat yang besar dari Kami dan untuk memberikan kesenangan hidup sampai waktu tertentu.”

Jadi jelas, di atas jalan beraspal bukan berarti sepi dari kasih sayang Allah kepada makhluk-Nya. Tertera kata “rahmat” di ayat tersebut.

Sehingga, bukan rem yang pakem, tapi Allah yang menghentikan sebuah kendaraan tepat pada jarak dan waktunya. Bukan si pengemudi yang lihai, tapi Allah yang menghendaki agar tangannya bergerak ke arah yang tepat. Dan jangan sampai bilang dewi fortuna berpihak pada seseorang, tapi ucapkanlah Alhamdulillah atas keselamatan yang dianugerahkan-Nya.

Kawan, sudah pernah kah merenungi ini? Sudahkah kita berterima kasih atas keselamatan yang dia berikan?

Oh sudah ya? Berarti iya saya yang sotoy nih…. Sorry.

Jadi, kalau kita mengalami peristiwa yang nyaris membuat kita celaka gara-gara kecerobohan pengendara lain, jangan buru-buru mengumpat di jalan. Ucapkan dulu hamdalah. Bukankah keadaannya kita selamat, persis seperti doa yang kita panjatkan? Bukan tidak mungkin bila kita tidak berdoa, terjadi yang lebih buruk lagi. Na’udzubillah. Justru bersyukurlah karena baru saja menemukan “bantalan rahmat Allah swt”.

Makanya usahakan jangan gampang marah bahkan berkata kasar kepada orang. Ya memang, di jalanan kita temukan 1001 kelakuan aneh-aneh dari pengendara lain. Cuma, sadar atau tidak mungkin kita juga sering bikin orang kesal.

Sebenarnya paragraf di atas malas saya tulis. Takut kena delik “kaburo maqtan”. Udah lumrah kalau di jalan raya orang yang ramah itu bisa jadi pemarah. Dan gampang mengumpat kayak saya… Aduh keceplosan ngaku…

 

Segelintir Pertanyaan Tentang “Bertaqwalah di Mana pun Kau Berada”

“Ittaqillaha haitsu ma kunta. – Bertaqwalah kepada Allah di mana pun kamu berada.” Berkesan sekali hadits riwayat Ahmad dan Tirmidzi itu bagi saya. Sering terngiang-ngiang di kepala. Tapi mohon jangan tanyakan implementasinya ya. Malu.

Sampai-sampai muncul pertanyaan, kenapa Rasulullah saw menggunakan dimensi ruang dalam hadits itu, bukan dimensi waktu. Maksudnya, kenapa hadits itu tidak berbunyi, “bertaqwalah kepada Allah kapan saja”?

Karena secara garis waktu, para ulama menyimpulkan bahwa iman seseorang itu naik turun. Ada kalanya meningkat karena ketaatan, ada kalanya turun karena maksiat.

“Sesungguhnya hati anak cucu Adam yang berada di antara dua jari Dzat Yang Maha Rahman itu bagaikan satu hati saja. Dia (Allah) selalu mengubah-ubahnya sesuai dengan kehendak-Nya,” (HR al-Tirmidzi).

Lalu, menjadi menarik ketika Rasulullah memilih kata “di mana saja” alih-alih “kapan saja”.

Mungkin ilustrasi berikut bisa menjelaskan.

Seorang anak disekolahkan di pesantren. Di lingkungan itu ia harus disiplin dengan aturan yang ada. Sholat wajib bahkan qiyamul lailnya diatur. Sehari-hari akrab dengan Al-Qur’an.

Hari berganti hari, pekan berganti pekan, bulan berganti bulan, anak itu akan istiqomah dengan lingkungan yang memaksa.

Tetapi ketika liburan tiba, ia kembali ke rumah. Maka bebaslah anak itu. Di rumah, kedua orang tua yang sibuk bekerja tidak bisa mengawasi sholat wajib anak tersebut. Bahkan ketika si anak bolong-bolong sholat malamnya sampai bangun kesiangan, dimaklumi begitu saja. Di rumah, ia pun lebih lebih banyak waktu bersama gadget daripada mushaf, melampiaskan bebasnya kekangan di pesantren.

Maka terlihatlah bahwa bukan waktu yang paling utama mempengaruhi futurnya seseorang, tapi lingkungan.

Hal begitu mungkin terjadi pada aktivis dakwah kampus yang di rantau, di tengah lingkungan teman kuliah yang sesama aktivis, ia larut dalam giatnya sholat berjamaah, tilawah, dan berbagai amaliyah yang baik. Tapi ketika pulang kampung, rasanya berat meninggalkan rumah. Mager. Antusiasme memenuhi adzan di musholla terdekat tidak seperti di perantauan.

Hal begitu mungkin terjadi pada karyawan kantoran. Di kantor, ia bergegas hadir sebelum adzan zhuhur atau ashar berkumandaang. Tetapi setelah pulang, penatnya kerja dan perjalanan yang macet membuat kaki itu berat diseret ke masjid ketika adzan Isya berkumandang. Rebahan telah menjadi jalan ninjanya.

Di tengah lingkungan orang-orang sholeh, memang mudah untuk ikut arus menjaga ketaqwaan. Tapi di tengah orang biasa, tantangan itu lebih berat.

Sahabat Rasulullah saw, Hanzhalah r.a. pernah mengeluhkan kondisi itu. Saat bertemu Abu Bakar r.a., ia menjawab pertanyaan “bagaimana kabarmu” dengan, “Hanzhalah kini telah jadi munafik.” Jawaban yang mengejutkan. “Kenapa?” selidik Abu Bakar r.a..

“Ketika bersama Rasulullah, aku teringat surga dan neraka. Tetapi ketika bersama istri dan anak-anak, aku pun sibuk dengan berbagai urusan hingga lalai.”

Abu Bakar r.a. tergetar hatinya. “Aku pun begitu.” Akhirnya mereka berdua sepakat menanyakan hal ini kepada Rasulullah saw.

Lalu beliau yang mulia pun menjawab bijak. “Demi Allah, kalau kalian konsisten beramal, maka malaikat akan menjabat tangan kalian di tempat tidur atau pun di jalanan. Namun Hanzhalah, sa’atan wa sa’atan.”

Maksudnya Rasulullah menjawab bahwa setiap kondisi itu ada saat-saatnya. Dimaklumi kondisi begitu, asalkan tidak keluar dari sunnah Rasulullah ketika di dalam kondisi yang lapang, bersenang-senang dengan keluarga atau teman, menjalankan hobi, dll.

Makanya, ittaqillaha haitsu ma kunta. Kita bisa berpindah lingkungan sesering mungkin. Tapi rambu-rambu yang dijaga: tetap menjaga ketaqwaan kepada Allah swt. Meski tingkat kerajinan ibadah tak sama antara satu tempat dengan lainnya.

 

PKS, Belajarlah dari Sanjungan yang Pernah Ada

Sejak didirikan partai ini memang biasa dipuji. Pujian pertama yang membesarkan hati – seingat saya – adalah tulisan Dahlan Iskan yang berjudul “Massa Santun di Dunia yang Bergetah” setelah melihat deklarasi Partai Keadilan di Gelora Pancasila Surabaya, tahun 1998.

Pasca pemilu 2004 yang melambungkan perolehan suara PKS (setelah hanya mendapat 1,3% suara di pemilu 1999 ketika masih bernama PK), saya dengar sendiri pujian dari pengamat militer Salim Said di televisi. “Memang mereka bersih”, begitu kira-kira mengomentari tagline partai “Bersih dan Peduli”.

Belum lagi sanjungan dari masyarakat umum, sudah kenyang kuping saya mendengarnya.

Dan apa yang ditulis Imam Syamsi Ali kemarin, saya yakin bukan pujian yang terakhir dari tokoh publik. Akan ada lagi kata-kata yang membuat hidung kader PKS megar.

Kita tidak bisa mendikte atau melarang khalayak untuk berbicara. Mereka akan menilai apa yang tampak. Yang bagus akan dibicarakan bagus, yang buruk pun begitu. Hanya saja, kita perlu waspada akan pujian atau cacian orang.

Ketika PKS dituduh eksklusif, partai itu merespon dengan taujih yang intens kepada kadernya untuk bersosialisasi dengan masyarakat. Dakwah sya’bi istilahnya.

Ketika PKS dicurigai gerakan wahabi, dijawab dengan penyelenggaraan amaliyah khas ahlussunnah wal jama’ah, bahkan maulid nabi.

Tapi ketika PKS pernah dipuji sebagai partai yang bersih dan sederhana tanpa ada pejabat yang berurusan dengan KPK, kita tahu yang terjadi berikutnya. Tidak perlu didetailkan. Bahkan pada 2007 sudah muncul gerakan yang diberi nama “Forum Kader Peduli” untuk mengingatkan elit partai agar menjaga kesahajaan dan kebersihan perilaku politik. Atau diistilahkan “kembali ke asholah dakwah.”

Idealnya cacian dijawab dengan perbaikan diri. Sementara pujian disikapi tanpa besar kepala. Tapi kenyataannya tak selalu begitu.

Sepenilaian saya, setelah pemilu 2004 adalah masa panen pujian bagi PKS. Menjelang 2009, mulai banyak pertanyaan keraguan. Dan mulai 2013, caci maki – yang insya Allah menjadi penebus dosa – harus ditangguk kader partai yang kini berlambang bulatan oranye itu.

Lalu setelah sikap yang konsisten ditunjukkan beberapa tahun belakangan, perlahan saya menemukan kondisi seolah kembali ke siklus 2004. Tokoh-tokoh umat memuji. Begitu juga masyarakat.

Alhamdulillah, semoga sanjungan itu merupakan cerminan kondisi yang sebenarnya. Tapi sebagai orang yang punya harapan besar pada komunitas ini, bolehkah saya menyisakan sedikit kekhawatiran?

Akan hadirnya sikap besar kepala dan tinggi hati pada kadernya. Tentang munculnya perasaan “ana khoirun minhu”. Mengenai tingkah yang meremehkan komponen bangsa lain. Itu yang saya takutkan.

Cukuplah teguran-Nya kala banyak kader merasa paling bersih, lalu kasus-kasus berdatangan menghenyak. Padahal PKS adalah jamaah manusia. Di antara mereka ada yang sedikit berbuat kesalahan dan ada yang banyak.

Maka mekanisme tawashaw bil haq wa bish shobr harus dipastikan tetap ada. Mengingatkan untuk tetap membumi, karena tak ada daya dan upaya kecuali dengan izin Allah. Segala prestasi adalah karunia-Nya. Bukan karena soliditas dan militansi, bukan karena banyaknya kaum terdidik, bukan karena mampu berbuat amal kepedulian yang lebih dari orang.

Sekali lagi saya menulis ini karena saya punya harapan besar kepada kelompok tersebut. Setelah pernah gagal menjaga rasa kagum publik, janganlah sedikit pujian belakangan menghadirkan kesombongan.

Ingat, PKS hadir untuk melayani masyarakat, baik terbalas puji atau caci.

 
Leave a comment

Posted by on December 2, 2020 in Artikel Umum