RSS

Monthly Archives: June 2017

Aku Adalah Kau yang Lain yang Harusnya Kau Jaga Perasaannya

Bagaimana suasana hati Anda kalau dalam suatu pengajian sang ustadz menggunakan nama Anda untuk contoh pelaku perbuatan cabul? Saya sih akan protes, “Emang gak ada nama laen, ustadz?” Dan bagaimana bila nama orang tua Anda yang dijadikan contoh? Akan lebih tidak rela lagi saya rasa.

Banyak kah orang yang ketika lahir diberi nama Muhammad oleh orang tuanya, namun ketika dewasa dihukum sebagai pelaku kejahatan? Ada banyak. Tapi rela kah Anda bila ada sebuah film yang menceritakan tokoh bernama Muhammad sebagai pelaku kejahatan dan digambarkan begitu buruk? Saya sih tidak rela. Dan saya yakin umat Islam akan protes. Kalau tidak salah dulu pernah ada telenovela yang seorang tokohnya bernama Fatimah dan digambarkan sebagai antagonis. Kemudian muncul protes umat Islam.

Anda punya tokoh idola? Bagaimana bila ada orang yang mengarang cerita dengan tokoh jahatnya bernama sama dengan idola Anda? Anda pendukung pak Jokowi tidak akan terima kan kalau ada cerpen yang memuat tokoh bernama Jokowi dengan perilaku yang buruk? Walau pun pembuat cerita menulis disclaimer: “Nama dalam kisah di atas hanyalah rekaan, kalau ada kesamaan itu hanya kebetulan saja”. Anda tetap tak terima dan mungkin melaporkan cerita itu ke aparat sebagai penghinaan kepada kepala negara.

Bagaimana perasaan Anda bila melihat film yang peran antagonisnya digambarkan satu suku dengan Anda? Saya rasa sedikit banyak akan protes juga dalam hati. Atau bila ada peran antagonis yang agamanya sama dengan Anda, sedang yang lain agamanya beda tapi baik-baik semua. Bahkan bila si antagonis itu profesinya sama dengan Anda, akan ada juga perasaan sebal.

Rela kah Anda bila nama Anda dipakai oleh teman untuk menamakan anjing kesayangannya? Saya rasa Anda akan komplen.

Dari pertanyaan-pertanyaan di atas, kira-kira bisa dimengertikah mengapa banyak umat Islam yang aktif di pengajian merasa tersinggung dengan film “Kau Adalah Aku yang Lain” yang baru saja memenangkan Festival Film Pendek yang diselenggarakan Polri?

Tak Adakah Alternatif Cerita Lain?

Andai yang menghadang mobil ambulan dalam film itu adalah preman, tentu orang akan menganggap wajar. Tapi yang diceritakan adalah orang yang aktif di pengajian. Tentu umat muslim akan tersinggung. Mereka merasa tak diajarkan sebegitu ekstrim seperti di film, tak akan bertindak sebegitu bodoh, tapi mengapa ada penggalan cerita tersebut.

Bila objektif cerita ingin mengajarkan toleransi, mengapa harus dengan contoh buruk yang melibatkan jamaah pengajian? Padahal contoh baiknya sudah ada dan bisa dijadikan cerita tanpa membuat satu pihak pun tersinggung. Yaitu saat umat Islam ikut “mengarak” sepasang pengantin non muslim di aksi 411 maupun 112.

Saya meragukan bila tak ada film lain yang diikutsertakan dalam festival tersebut yang tak kan menuai kontroversi publik, dan memiliki bobot yang tak kalah bagus. Saya berprasangka ada. Lalu mengapa bukan film itu yang dimenangkan?

Pada akhirnya, alih-alih menghantarkan pesan dengan mulus kepada masyarakat, film itu malah menimbulkan keributan baru. Kampanye toleransi, bhineka, dll akan semakin dianggap retorika kosong belaka oleh masyarakat.

Seharusnya pihak penyelenggaranya punya sense of crisis dengan perselisihan yang tak kunjung usai di tengah masyarakat. Kalau ada niat meredakan ketegangan, harusnya berhati-hati agar tidak memicu ketersinggungan salah satu pihak. Bisa kok dibuat alternatif cerita lain yang menggambarkan toleransi dengan indah tanpa kontroversi.

Raso Jo Pareso

Ada sebuah falsafah dari kampung saya yang berbunyi “raso jo pareso.” Dalam Bahasa Indonesia berarti rasa dan periksa. Falsafah ini mengajarkan masyarakat Minangkabau untuk memastikan terlebih dahulu perkataan yang akan disampaikan kepada lawan bicara, jangan sampai menyinggungnya. Dengan cara merasai seolah ada di posisi pendengar, dan memeriksa kembali apakah ada redaksi kata yang rawan disalah tafsirkan.

Dari raso jo pareso itu kita tahu, membawakan nama teman untuk permisalan buruk akan membuat ia tersinggung. Begitu juga bila membawa nama keluarganya, nama tokoh yang dihormatinya, dll. Merasai dan memeriksa, hingga kita tahu bahwa bila kita yang menjadi dia, akan merasa tidak enak juga.

Inilah manifestasi dari kalimat “kau adalah aku yang lain” yang dijadikan judul dalam film tersebut. Jadi ironis, kalimat tersebut tidak diresapi benar dengan konsep raso jo pareso hingga akhirnya menimbulkan kemarahan dari “aku yang lain”-nya si sutradara, produser, dan penyelenggara.

Kalau aku adalah kau yang lain, mengapa masih kau buat aku tersinggung? Peka lah! Gunakan raso jo pareso. Karena aku adalah kau yang lain yang harus kau jaga perasaannya.

 
Leave a comment

Posted by on June 28, 2017 in Artikel Umum

 

Pelajaran Dari Telinga yang Tendensius

Ada satu cerita humor yang masih saya ingat dari sebuah ceramah KH Zainuddin MZ Allahuyarham. Ia mengisahkan tentang seorang jamaah majelis taklim yang mengantuk saat mendengar khutbah, lalu hilang fokus.

Menghadap kepada jamaah, dengan wibawanya sang ustadz berkata, “Pencurian yang paling baik adalah mencuri salam.” Ustadz menjelaskan, ketika seseorang mendengar salam yang bukan ditujukan kepadanya, dan ia tetap menjawab salam tersebut, maka itulah yang diistilahkan dengan mencuri salam.

Peserta pengajian yang mengantuk itu salah mendengar. Yang ia tangkap, pencurian yang terbaik adalah maling ayam. Sepulang dari majelis taklim ia pun mempraktekkan “ilmu” yang ia dapat. Ketika dibekuk dan dihakimi massa, ia pun menggunakan ceramah sang ustadz sebagai dalih.

Salah dengar memang bisa terjadi pada siapa saja. Ada banyak penyebab. Mungkin artikulasi dari pembicara yang kurang baik. Atau ada gangguan kepada gelombang bunyi berupa noise/distorsi, dll sehingga tak sempurna ditangkap gendang telinga. Atau masalahnya ada di pendengar, entah indranya yang ada gangguan atau otaknya kurang fokus untuk mencerna yang disampaikan.

Tak jarang, belum apa-apa si pendengar punya stigma tersendiri untuk si pembicara. Dalam kasus ini, kalimat yang jelas saja sering disalah artikan. Apalagi kata yang samar. Maka ucapan pun ditafsirkan sesuai dengan stigma. Hal seperti ini yang sering menimbulkan salah paham.

Sehingga kita mengerti, mengapa ada yang bisa salah dengar pada khutbah Idul Fitri yang disampaikan ustadz Bachtiar Nasir di Masjid Al Azhar, 25 Juni 2017 kemarin.

Sedihnya, salah dengar atas ceramah ustadz Bachtiar Nasir ini terlanjut menimbulkan penghakiman kepada beliau. Lini massa gaduh. Ada yang mendengar ustadz berkata, “Islam toleran adalah Islam setan”. Maklum, ustadz yang merupakan salah satu punggawa GNPF MUI ini dicap radikal dan tidak toleran oleh segelintir pihak. Kemudian perkataan salah dengar ini disebarkan via media sosial tanpa klarifikasi. Pada akhirnya berujung permintaan maaf karena si penyebar sudah salah menangkap informasi.

Ada pameo yang berbunyi, “orang hanya mendengar apa yang ingin ia dengar.” Telinga yang tendensius, akan memilih-milih informasi sesuai selera, menafsir kembali informasi yang diterima, bahkan berujung salah dengar.

Kita berbaiksangka, kejadian ini memang salah dengar, bukan produk fabrikasi hoax untuk menciptakan gaduh di masyarakat. Tapi tak mampunya masyarakat kita menyikapi informasi kembali memantik pertengkaran antara kita.

Terngiang lagi apa yang pernah dikicaukan oleh M Sohibul Iman, Presiden PKS melalui akun twitternya. “Pada kasus ekstrim, ceroboh dan fitnah bisa timbulkan irreversible damage (kerusakan yang tak dapat dipulihkan). Itu kerugian besar. Petaka bagi semua,” tulisnya.

Ya, sejak pilpres 2014 masyarakat sudah terbiasa dengan kabar bohong dan terbiasa tak berhati-hati. Berbagai seruan untuk melawan hoax menjadi angin lalu. Berkali-kali peringatan agar mengutamakan tabayun, tak ada pengaruhnya. Menciptakan perselisihan berlarut-larut yang seperti tak bisa lagi dipulihkan. Irreversible damage.

Sekali lagi, masyarakat gagal melewati ujian. Bukan oleh provokasi yang dibuat-buat, tapi karena telinga yang belum apa-apa punya tendensi akibat stigma atau prasangka.

Mohon jadikan pelajaran, kalau kita ingin menyudahi permusuhan yang kontra produktif ini, mari tepis segala stigma, terutama kepada pihak yang berseberangan. Berdialoglah dengan bebas prasangka. Ini lah salah satu syarat bagi rekonsiliasi nasional.

Dan saya meminta kepada semua pihak, berhenti menjadi kompor agitasi stigma intoleran kepada umat Islam. Kurang apa indahnya toleransi yang terselip pada aksi massa umat Islam yang lalu, saat mereka ikut menjadi “pengarak pernikahan” bagi pasangan non muslim. Cerita ini sudah menjadi legenda.

Lantas membuat dan menyebarkan film yang menggambarkan peserta pengajian yang tak punya rasa kemanusiaan – yang baru baru ini beredar, hanyalah bentuk pengekalan stigma kepada umat Islam. Cara ini tak kan meredakan permusuhan, malah membuat potensi salah dengar dan kegaduhan yang lain.

 

Pelajaran Dari Telinga yang Tendensius

Ada satu cerita humor yang masih saya ingat dari sebuah ceramah KH Zainuddin MZ Allahuyarham. Ia mengisahkan tentang seorang jamaah majelis taklim yang mengantuk saat mendengar khutbah, lalu hilang fokus.

Menghadap kepada jamaah, dengan wibawanya sang ustadz berkata, “Pencurian yang paling baik adalah mencuri salam.” Ustadz menjelaskan, ketika seseorang mendengar salam yang bukan ditujukan kepadanya, dan ia tetap menjawab salam tersebut, maka itulah yang diistilahkan dengan mencuri salam.

Peserta pengajian yang mengantuk itu salah mendengar. Yang ia tangkap, pencurian yang terbaik adalah maling ayam. Sepulang dari majelis taklim ia pun mempraktekkan “ilmu” yang ia dapat. Ketika dibekuk dihakimi massa, ia pun menggunakan ceramah sang ustadz sebagai dalih.

Salah dengar memang bisa terjadi pada siapa saja. Ada banyak penyebab. Mungkin artikulasi dari pembicara yang kurang baik. Atau ada gangguan kepada gelombang bunyi berupa noise/distorsi, dll sehingga tak sempurna ditangkap pendengaran. Atau masalahnya ada di pendengar, entah indranya yang ada gangguan atau otaknya kurang fokus untuk mencerna yang disampaikan.

Tak jarang, belum apa-apa si pendengar punya stigma tersendiri untuk si pembicara. Dalam kasus ini, kalimat yang jelas saja sering disalah artikan. Apalagi kata yang samar. Maka ucapan pun ditafsirkan sesuai dengan stigma yang ditempel kepada pembicara. Hal seperti ini yang sering menimbulkan salah paham.

Sehingga kita mengerti, mengapa ada yang bisa salah dengar pada khutbah Idul Fitri yang disampaikan ustadz Bachtiar Nasir di Masjid Al Azhar, 25 Juni 2017 kemarin.

Sedihnya, salah dengar atas ceramah ustadz Bachtiar Nasir ini terlanjut menimbulkan penghakiman kepada beliau. Lini massa gaduh. Ada yang mendengar ustadz berkata, “Islam toleran adalah Islam setan”. Maklum, ustadz yang merupakan salah satu punggawa GNPF MUI ini dicap radikal dan tidak toleran oleh segelintir pihak. Kemudian perkataan salah dengar ini disebarkan via media sosial tanpa klarifikasi. Pada akhirnya berujung permintaan maaf karena si penyebar sudah salah menangkap informasi.

Ada pameo yang berbunyi, “orang hanya mendengar apa yang ingin ia dengar.” Telinga yang tendensius, akan memilih-milih informasi sesuai selera, menafsir kembali informasi yang diterima, bahkan berujung salah dengar.

Kita berbaiksangka, kejadian ini memang salah dengar, bukan produk fabrikasi hoax untuk menciptakan gaduh di masyarakat. Tapi tak mampunya masyarakat kita menyikapi informasi kembali memantik pertengkaran antara kita.

Terngiang lagi apa yang pernah dikicaukan oleh M Sohibul Iman, Presiden PKS melalui akun twitternya. “Pada kasus ekstrim, ceroboh dan fitnah bisa timbulkan irreversible damage (kerusakan yang tak dapat dipulihkan). Itu kerugian besar. Petaka bagi semua,” tulisnya.

Ya, sejak pilpres 2014 masyarakat sudah terbiasa dengan kabar bohong dan terbiasa tak berhati-hati. Berbagai seruan untuk melawan hoax menjadi angin lalu. Berkali-kali peringatan agar mengutamakan tabayun, tak ada pengaruhnya. Menciptakan perselisihan berlarut-larut yang seperti tak bisa lagi dipulihkan. Irreversible damage.

Sekali lagi, masyarakat gagal melewati ujian. Bukan oleh provokasi yang dibuat-buat, tapi karena telinga yang belum apa-apa punya tendensi akibat stigma atau prasangka.

Mohon jadikan pelajaran, kalau kita ingin menyudahi permusuhan yang kontra produktif ini, mari tepis segala stigma, terutama kepada pihak yang berseberangan. Berdialoglah dengan bebas prasangka. Mohon ini dijadikan syarat bagi rekonsiliasi nasional.

Dan saya meminta kepada semua pihak, berhenti menjadi kompor agitasi stigma intoleran kepada umat Islam. Kurang apa indahnya toleransi yang terselip pada aksi massa umat Islam yang lalu, saat mereka ikut menjadi “pengarak pernikahan” bagi pasangan non muslim. Cerita ini sudah menjadi legenda.

Lantas membuat dan menyebarkan film yang menggambarkan peserta pengajian yang tak punya rasa kemanusiaan, hanyalah bentuk pengekalan stigma kepada umat Islam. Cara ini tak kan meredakan permusuhan, malah membuat potensi salah dengar dan kegaduhan yang lain.

 
Leave a comment

Posted by on June 27, 2017 in Artikel Umum

 

Wahai Pria, Lapangkan Bahumu Untuknya!

Bahu seorang laki-laki sejati selalu terhampar untuk wanitanya (yang halal). Saat dirundung duka, kepala si wanita bisa rebah di atas bahu lelaki, membasahinya dengan air mata, dan mengadukan segala masalah yang sedang dihadapi.

Idealnya begitu. Terutama bila mereka baru memasuki usia muda perkawinan. Kalau sudah agak lamaan, gak janji deh ya…

Namun ketersediaan bahu lelaki rupanya tak hanya untuk mencurahkan air mata. Rugi sekali bila sekedar tempat berbagi duka. Bahu lelaki juga tempat wanita meletakkan senyumnya di kala bahagia. Dan begitulah yang dipraktekkan oleh istri Rasulullah saw, ibunda Aisyah r.ha.

Ia bercerita:

أَنَّ الْحَبَشَةَ كَانُوا يَلْعَبُونَ عِنْدَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي يَوْمِ عِيدٍ، قَالَتْ: فَاطَّلَعْتُ مِنْ فَوْقِ عَاتِقِهِ ، فَطَأْطَأَ لِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْكِبَيْهِ، فَجَعَلْتُ أَنْظُرُ إِلَيْهِمْ مِنْ فَوْقِ عَاتِقِهِ حَتَّى شَبِعْتُ، ثُمَّ انْصَرَفْتُ

Orang-orang Habasyah (Etiopia) mengadakan permainan di hadapan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pada hari raya. Dia (‘Aisyah) berkata: “Aku pun menonton di atas bahunya, dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam merendahkan bahunya untukku, sehingga aku bisa melihat mereka di atas bahunya sampai aku puas, kemudian aku berpaling.” (HR. Ahmad No. 24296, An Nasa’i dalam As Sunan Al Kubra No. 1798, dan Sunan An Nasa’i No. 1594. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani. Lihat Shahih wa Dhaif Sunan An Nasa’i No. 1594, juga Syaikh Syu’aib Al Arnauth. Lihat Ta’liq Musnad Ahmad No. 24296)

Begitulah, ibunda Aisyah r.ha menyaksikan sebuah tontonan dalam hiruk pikuk hari raya dengan menopangkan dagunya di atas bahu Rasulullah saw. Dan Rasulullah pun tak segan sedikit berletih-letih untuk merendahkan badan agar bahunya bisa dijadikan sandaran bagi Aisyah r.ha.

Potret romanis itu terjadi di muka umum. Seolah menghapus keraguan di hati para sahabat untuk bermesraan dengan pasangan dengan cara yang pantas di tempat umum.

Pas sekali momen hari raya akan segera hadir. Wahai pria, meski hati kalian terasa sempit sesak oleh kenaikan tarif listrik, meski kau pun butuh tempat bersandar mengadukan THR yang cepat raib, namun jangan pernah sempitkan bahu untuk wanitamu. Lapangkan. Biarkan duka dan suka bertaburan di sana.

Dan ingat juga, bahumu ada dua!!!!

 

Menangisi Ketiadaan Raja Faisal

Tanggal 25 Maret 1975 mungkin menjadi titik kulminasi kebangkitan Islam. Seorang ksatria yang dengan gagah melindungi setiap dakwah Islam di muka bumi – tanpa membeda-bedakan kelompok atau pelaku dakwah – dengan tragis terbunuh dengan cara yang keji. Maka berduka lah segenap umat Islam di penjuru dunia.

Sosok itu adalah Raja Faisal bin ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdurrahman as-Saud rahimahullah. Dibunuh oleh keponakannya sendiri, yaitu Faisal bin Mus’ad yang baru saja pulang dari Amerika Serikat. Mus’ad menyamar sebagai delegasi Kuwait yang ingin bertemu Raja Faisal secara mendadak. Pada saat Raja Faisal berjalan kearahnya untuk menyambut, Faisal bin Mus’ad pun tiba-tiba mengeluarkan sepucuk pistol dan menembakkannya ketubuh Raja Faisal sebanyak tiga kali. (sumber: wikipedia)

Raja Faisal mengingatkan saya kepada sosok Hamzah bin Abdul-Muththalib a.s., paman Nabi Muhammad saw yang menjadi pelindung bagi dakwah Rasulullah saw. Mereka berdua sama-sama orang kuat yang memiliki keberpihakan kepada dakwah Islam. Dan dengan kekuatannya, ia menjadi penjamin dakwah tetap berjalan. Raja Faisal lah yang mengecam pemerintah Indonesia karena memenjarakan Mohammad Natsir, da’i dan politisi partai Masyumi. Raja Faisal juga yang berupaya melindungi Sayyid Quthb dari hukuman gantung oleh Jamal Abdul Nasser.

Ya, terhadap Sayyid Quthb, seorang tokoh Ikhwanul Muslimin, Raja Faisal punya keberpihakan. Di masa kepemimpinannya, Kerajaan Arab Saudi mensponsori penerbitan buku-buku karangan Sayyid Quthb. Termasuk Ma’alim Fi Thariq. Pembelaan kepada Sayyid Quthb pun turut diperlihatkan oleh ulama Arab Saudi, salah satunya Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah. Beliau ikut meminta penundaan terhadap hukuman mati untuk Sayyid Quthb. Alhamdulillah, penguasa dan ulama ketika itu kompak dalam pembelaan kepada sesama muslim.

Saya tidak hidup di zaman itu. Tetapi saya yakin, mengingat pembelaan Syaikh Bin Baz, friksi antara pegiat dakwah Salafi – yang berkembang di Arab Saudi – dan Ikhwanul Muslimin tidak semenyedihkan sekarang. Apalagi Fatwa Lajnah Daimah nomor 2/237-238 menyandingkan antara Ahlul hadits, Jamaah Anshor Sunnah, dan Ikhwanul Muslimin dalam “kelompok yang paling dekat dengan kebenaran.” Fatwa itu pun memerintahkan agar tiap kelompok saling bekerjasama.

Kini setelah bertahun-tahun wafatnya Raja Faisal, buku-buku yang diterbitkan Sayyid Quthb – yang sebenarnya ia tulis untuk mengoreksi kehidupan sekuler di negerinya, Mesir – dituduh sebagai biang kerusuhan di jazirah Arab. Buku-buku itu memang tak lepas dari kekurangan dan kritikan. Bila ada yang menjadikannya referensi untuk melakukan teror, toh pelaku teror juga menggunakan ayat-ayat Qur’an sebagai pembenaran. Tentu kesalahan ada pada penafsiran para pelaku.

Pertanyaan sederhana, apakah terbunuhnya Raja Faisal ketika itu diinspirasi oleh tulisan Sayyid Quthb? Apakah anggota Ikhwanul Muslimin yang membunuh Raja Faisal?

Jawabannya bukan. Selama Raja Faisal hidup, keadaan baik-baik saja. Tak ada yang menafsirkan tulisan Sayyid Quthb untuk membuat konspirasi kepada Raja Faisal. Tidak juga anggota Ikhwanul Muslimin.

Sebenarnya buku-buku Sayyid Quthb pun tidak dijadikan rujukan utama dalam gerakan Ikhwan. Karyanya hanyalah salah satu inspirasi untuk kebangkitan Islam. Anggota Ikhwan lebih banyak menyerap gagasan Hasan Al-Banna yang dituang dalam Majmu Rasail.

Pada tahun 1975 itu bukan Ikhwan yang membuat kekacauan yang berujung pada wafatnya sang pembela dakwah Islam. Tapi kini Ikhwan tertuduh menjadi penyebab kekacauan di berbagai jazirah Arab. Tahun 1975 kekacauan tidak disebabkan oleh tulisan Sayyid Quthb, tapi kini karya-karyanya dituduh pemicu terorisme.

Selain Arab Saudi, negara yang menampung pengungsian anggota Ikhwan – karena diusir dari Mesir – adalah Qatar. Tetapi tak pernah terdengar isu anggota Ikhwan merencanakan pemberontakan kepada kepala negara Qatar. Hubungan mereka baik-baik saja. Tak terdengar karya Sayyid Quthb menginspirasi anggota Ikhwan untuk merebut kekuasaan di Qatar.

Kemarin ini Arab Spring merebak di Timur Tengah. Yang terjadi adalah rakyat yang selama ini ditindas oleh Mulkan Jabbariyan (diktator) mencoba melepaskan kungkungan. Di Tunisia, pilot yang menolak menerbangkan Ben Ali – yang dianggap pahlawan oleh rakyat sana sebagai pencetus momentum kejatuhan diktator – tak pernah disebut sebagai anggota Ikhwan. Di Mesir, bahkan pendukung liberalisme ikut ambil bagian bersama masyarakat untuk menjatuhkan Hosni Mobarak. Di Suriah, FSA -kelompok yang awal memberontak kepada Bashar Assad – berhaluan nasionalis dan bukan sayap Ikhwan. Tetapi yang disalahkan atas kekacauan semua ini hanyalah Ikhwan.

Entah lah apa yang terjadi di istana kerajaan Arab Saudi. Namun ketika Raja Salman naik, sempat terpercik harapan akan hubungan yang membaik antara para Pelayan Tanah Haram dengan aktivis pergerakan. Apalagi sempat terlihat hubungan mesra antara Raja Salman, Erdogan, dan Syeikh Tamim bin Hamad Al Thani. Hubungan itu sedikit banyak akan berimbas pada membaiknya hubungan antara pengikut dakwah salafi dan Ikhwanul Muslimin.

Tapi semua terjadi begitu cepat. Pada 20 Mei 2017 Trump berkunjung ke Arab Saudi, bertemu dengan para anggota kerajaan. Beberapa hari kemudian, tanggal 5 Juni, Kerajaan Arab Saudi memutus hubungan dengan Qatar. Dan kemudian para pegiat dakwah salafi dan Ikhwan di Indonesia (mungkin di negara lain juga) terlibat perang kata-kata di bulan yang penuh berkah ini. Innalillahi…

 
Leave a comment

Posted by on June 20, 2017 in Artikel Umum

 

Hanya Tiga Ayat

Hanya tiga ayat. Begitu pendeknya surat itu. Tak perlu waktu lama membacanya.

Karena ia bukanlah kalimat basa basi menjemukan. Inefisiensi waktu adalah kerugian. Di dalam surat tersebut Allah bersumpah “Demi masa”. Apa yang Allah jadikan sumpah tentu adalah hal yang sangat penting. Kemudian to the point, Allah sampaikan cara agar beruntung dalam hidup. Pada tiga ayat yang pendek namun efisien, yang sangat sebentar untuk dibaca.

Hanya tiga ayat. Begitu ringkasnya surat itu. Tak panjang bertele-tele.

Di dalamnya terkandung esensi kehidupan. Waktu – yang Allah jadikan sumpah dalam surat itu – adalah kehidupan itu sendiri, begitu bunyi sebuah pepatah Arab. Dalam tiga ayat ramping itu Allah pepatkan intisari kehidupan. Yaitu tentang menyelamatkan diri dari kondisi default: merugi. Dengan cara beriman dan saling menasehati untuk bersabar dan berpegang teguh dalam kebenaran.

Berkata Imam Syafi’i, “Seandainya Allah menjadikan surat ini sebagai hujjah pada hamba-Nya, maka itu sudah mencukupi mereka.”

Hanya tiga ayat. Begitu singkat. Seperti hidup manusia yang sekejap.

“Pada hari ketika mereka melihat hari Kiamat itu, mereka merasa seakan-akan hanya (sebentar saja) tinggal (di dunia) pada waktu sore atau pagi hari.” (QS An-Naziat: 46).

“Dia (Allah) berfirman, “Berapa tahunkah lamanya kamu tinggal di bumi?” Mereka menjawab, “Kami tinggal (di bumi) sehari atau setengah hari, maka tanyakanlah kepada mereka yang menghitung.” Dia (Allah) berfirman, “Kamu tinggal (di bumi) hanya sebentar saja, jika kamu benar-benar mengetahui.”” (QS Al-Mu’minun 112-114)

Dalam surat itu Allah bersumpah dengan waktu. Sedang waktu adalah kehidupan. Dan hidup manusia itu sangat singkat.

Hanya tiga ayat, begitu tipis surat yang di dalamnya Allah bersumpah dengan waktu. Laksana mata pedang yang tajam. Pepatah Arab lain berbunyi, waktu bagaikan pedang. Yang akan melukaimu sendiri bila kau tak pandai memanfaatkannya. Begitulah, bila kau tak pandai mengatur hidup, bilah tajamnya waktu akan mengirismu sebagai orang merugi.

Hanya tiga ayat. Mencukupi untuk hidupmu.

“Demi masa, sungguh, manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran.” (QS Al Ashr: 1-3)

 

Fenomena Plagiator Muda, Tak Beri Solusi Tapi Perpecahan Abadi

Jangan heran kalau selebriti muda yang baru naik daun itu tertangkap basah memplagiat tulisan orang. Karena dari awal, tidak ada hal baru dalam gagasannya. Esensi “semua agama sama” adalah hal basi, yang kemudian ia kemas ulang dalam retorika dan diksi yang seolah baru.

Hanya saja, kemunculan anak itu memberi kegirangan luar biasa bagi pengusung pluralisme agama. Bagi mereka, terpenuhilah kebutuhan akan kader penerus yang akan mengamplifikasi gagasan usang dan “me-repost” wacana lama di media sosial.

Momennya kemunculannya pun tepat. Setelah keterpurukan si junjungan di bilik pemungutan suara dan ruang sidang, penganut liberalisme agama mendapatkan sosok baru untuk dipuja. Seolah mengurangi pedihnya luka.

Terlalu lebay anak itu disanjung-sanjung, bahkan diundang ke upacara peringatan Pancasila. Kini, Pancasila seolah jadi jargon jualan tanpa isi moral. Tak peduli seorang plagiat yang tak jujur, atau biduan yang menggoyang-goyang bokongnya di depan publik, siapa pun asal sesuai selera boleh saja disematkan gelar Pancasilais dan menjadi duta.

Ada yang tahu nama Muhammad Abrary Pulungan? Mungkin masyarakat sudah lupa. Anak ini berani melaporkan kecurangan Ujian Nasional di sekolahnya. Tapi untuk kejujuran seperti ini, tak banyak apresiasi sebagaimana si plagiator muda.

Padahal bangsa ini darurat kejujuran. Beberapa waktu lalu seorang murid di Padang Sidempuan terpaksa menenggak racun akibat diteror seorang gurunya setelah ia mengunggah status di media sosial yang mengindikasikan kecurangan pada Ujian Nasional.

Ada banyak lagi anak yang pantas mendapat apresiasi lebih. Para siswa yang telah memenangkan olimpiade pelajaran di tingkat internasional tidak pernah mendapat ulasan seheboh si plagiator di media massa. Atau para atlet yang berprestasi mengharumkan nama Indonesia.

Diangkatnya nama si plagiator muda hanyalah sarana mempolitisasi kebhinekaan dan Pancasila. Seorang walikota yang hendak maju menyalonkan diri jadi gubernur sudah terlihat eksis berfoto bersamanya. Siapa yang butuh suara kaum kotak-kotak, sila berpose dan memuji-muji anak itu.

Dan buruknya, fenomena plagiator muda ini akan mengekalkan politik identitas dan perpecahan anak bangsa. Sebab tulisannya menyinggung hal yang sensitif dan mengangkat hal yang kontroversial. Ia bisa menjadi simbol baru permusuhan antar masyarakat, bahan perdebatan baru di media sosial, dan standard baru untuk stigmatisasi. Seperti yang telah terlihat belakangan ini.

Sementara anak itu tak menghadirkan solusi yang menyatukan bangsa ini. Hanya plagiarisme yang sebabkan keriuhan baru.

 
Leave a comment

Posted by on June 2, 2017 in Artikel Umum