RSS

Hidup Seperti Permainan Othello

Banyak orang sudah pernah memainkan permainan ini sehingga nama permainan ini harusnya cukup familiar di telinga Anda. Othello, atau disebut juga Reversi. Dimainkan oleh dua pemain menggunakan papan permainan berukuran 8×8 kotak dan dua jenis keping yaitu hitam dan putih.

Pemain yang memegang keping hitam selalu memulai lebih dulu, dilanjutkan dengan keping putih. Bila satu atau beberapa keping putih terjepit oleh keping hitam dalam satu garis horizontal, vertikal, atau diagonal, maka keping putih itu menjadi keping hitam. Vice versa.

Inti permainannya adalah adu banyak keping hitam/putih, mencari strategi untuk mengubah keping lawan menjadi keping milik kita dengan mengapitnya dalam satu garis. Satu keping hitam bisa mengubah sekian keping putih, begitu juga sebaliknya satu keping putih bisa mengubah sekian keping hitam.

Seperti kehidupan ini.

Ya, permainan itu menjadi metafora bagi perbuatan baik atau jahat dalam hidup kita. Karena setiap perbuatan baik atau jahat, bisa berdampak pada perbuatan sebelumnya. Satu kebaikan bisa menetralkan sekian banyak dosa perbuatan hitam/kejahatan. Dan satu kemaksiatan bisa menghanguskan pahala perbuatan putih/kebaikan yang sudah kita lakukan.

Keping Putih itu Amal Sholeh

Rasulullah saw pernah bersabda bahwa dosa-dosa yang diperbuat di sela amal sholeh, akan terhapus. Sebagaimana keping-keping hitam Othello yang berubah karena diapit dua keping putih. Amal sholeh yang menetralkan dosa itu antara lain sholat lima waktu, sholat jumat, dan puasa Ramadhan.

“Shalat lima waktu dan Jum’at ke Jum’at dan Ramadhan ke Ramadhan adalah penghapus dosa di antara keduanya selama dosa-dosa besar dijauhi.” (HR. Muslim)

Umumnya amal-amal sholeh yang kita perbuat dapat menghapus perbuatan dosa. Bertebaran begitu banyak hadits dan ayat Al-Qur’an yang menjelaskan hal tersebut.

Terutama taubat, karena amal ini dilakukan agar Allah berkenan menghapus dosa kita. Dan jangan kira Allah bosan dengan penyesalan seorang hamba yang terjadi berulang kali. Sering kali setelah bertaubat, dosa yang kita mohonkan ampunan tadi kita perbuat kembali. Terus begitu. Tetapi Allah tidak bosan dan terus menyediakan ampunannya.

“Ada seorang hamba yang berbuat dosa lalu dia mengatakan ‘Allahummagfirliy dzanbiy’ (Ya Allah, ampunilah dosaku). Lalu Allah berfirman, ‘Hamba-Ku telah berbuat dosa, lalu dia mengetahui bahwa dia memiliki Rabb yang mengampuni dosa dan menghukumi setiap perbuatan dosa’. (Maka Allah mengampuni dosanya), kemudian hamba tersebut mengulangi lagi berbuat dosa, lalu dia mengatakan, ‘Ay robbi agfirli dzanbiy’ (Wahai Rabb, ampunilah dosaku). Lalu Allah berfirman, ‘Hamba-Ku telah berbuat dosa, lalu dia mengetahui bahwa dia memiliki Rabb yang mengampuni dosa dan menghukumi setiap perbuatan dosa’. (Maka Allah mengampuni dosanya), kemudian hamba tersebut mengulangi lagi berbuat dosa, lalu dia mengatakan, ‘Ay robbi agfirli dzanbiy’. Lalu Allah berfirman, ‘Hamba-Ku telah berbuat dosa, lalu dia mengetahui bahwa dia memiliki Rabb yang mengampuni dosa dan menghukumi setiap perbuatan dosa. Beramallah sesukamu, sungguh engkau telah diampuni.”( HR. Muslim no. 2758).

Imam Nawawi dalam Syarh Muslim mengatakan bahwa yang dimaksudkan dengan ‘beramallah sesukamu’ adalah selama engkau berbuat dosa lalu bertaubat, maka Allah akan mengampunimu.

Maka miriplah amal-amal yang kita lakukan itu seperti permainan Othello. Saat berbuat maksiat, s isi jahat diri kita seolah meletakkan sebuah keping hitam di papan. Lantas kita bertaubat, sisi baik diri kita meletakkan keping putih di samping keping hitam tadi yang membuatnya menjadi putih.

Amal-amal lain yang menghapus dosa di antaranya dijelaskan dalam hadits-hadits berikut:

“Sedekah dapat menghapus dosa sebagaimana air memadamkan api” (HR. Tirmidzi).

“Siapa yang berhaji lalu tidak berkata keji dan berbuat kefasikan maka kembali seperti hari ibunya melahirkannya” (HR. Al Bukhari)“Nabi Bersabda Shallallahu’alaihi Wasallam: Puasa hari Arafah saya berharap dari Allah untuk menghapus setahun yang sebelumnya dan setahun setelahnya dan Puasa hari A’syura saya berharap dari Allah menghapus setahun yang telah lalu” (HR. At Tirmidzi)

Dan membalas “keping hitam” dengan “keping putih” dalam hidup memang sudah diperintahkan oleh Rasulullah saw. Menyusulkan perbuatan buruk dengan perbuatan baik.

“Bertakwalah kepada Allah dimanapun kamu berada, ikutilah kejelekan dengan kebaikan yang menghapusnya dan pergauli manusia dengan akhlak yang mulia” (HR Al Tirmidzi dan Ahmad)

Keping Hitam itu Dengki dan Riya’

Tapi hati-hati, keping putih amal-amal baik bisa berubah menjadi keping hitam dosa manakala kita melakukan perbuatan maksiat tertentu.

Seperti misalnya syirik dan murtad dari agama Islam.

“Barangsiapa di antara kalian yang murtad dari agamanya kemudian mati dalam keadaan kafir maka mereka itulah orang-orang yang terhapus amalannya di dunia dan akhirat. Dan mereka itulah penghuni neraka. Mereka kekal berada di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah : 217)

Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu. “Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi. (QS Az-Zumar: 65)

Syirik kecil atau bisa disebut riya’, juga menjadi keping hitam yang bisa mengubah keping putih. Letih lelah kita melakukan amal sholeh menjadi tak ada artinya di hadapan Allah karena tidak ikhlas. Allah berfirman dalam hadits qudsi:

“Aku paling tidak butuh pada sekutu-sekutu, barangsiapa yang beramal sebuah amal kemudian dia menyekutukan-Ku di dalamnya maka Aku tinggalkan dia dan syiriknya.” (HR. Muslim)

Riya’ acap kali menjadi keping hitam pengubah keping putih dalam hidup manusia. Bahkan amal perbuatan yang pernah dilakukan bertahun-tahun lalu, tiba-tiba hangus pahalanya karena kita tergoda berbuat sum’ah atau bercerita kepada manusia dengan niat mendapat pujian (tidak ikhlas karena Allah semata). Laksana meletakkan satu kepng hitam yang membuat keping-keping putih terapit dalam permainan Othello.

Tetapi, saat kita bertaubat, keping-keping hitam itu kembali menjadi putih. Dosa riya’ terhapus, pahala pun kembali.

Dan waspada juga terhadap dengki. Karena sempitnya hati kita yang diakibatkan dengki bisa menihilkan amal sholeh yang telah susah payah diperbuat.

“Hindarilah oleh kalian hasad, karena hasad bisa memakan kebaikan sebagaimana api melalap kayu bakar.” (HR Abu Dawud)

Ada beberapa lagi perbuatan buruk yang menghapus amal sholeh. Dan seperti Othello, akhirnya hidup kita akan dihisab mana yang paling banyak antara keping putih kebaikan dan keping hitam kejahatan. Keping-keping itu akan ditimbang oleh Allah swt.

“Dan adapun orang-orang yang berat timbangan (kebaikan)nya, maka dia berada dalam kehidupan yang memuaskan. Dan adapun orang-orang yang ringan timbangan (kebaikan)nya, maka tempat kembalinya adalah neraka Hawiyah. Tahukah kamu apakah neraka Hawiyah itu? (Yaitu) api yang sangat panas.” (QS Al-Qoriah 6-11)

Inilah metafora hidup kita yang laksana permainan Othello.

 

Wahai Musuhku Israel, Berterimakasihlah Kepada Sebagian Saudaraku

⌨ Abu Raudhah

Aku tahu bahwa kalian, Israel, ingin sekali menguasai seluruh tanah Palestina. Namun belum sepenuhnya cita-cita kalian terwujud. Daerah Tepi Barat dan Gaza tak kunjung takluk. Rakyat Palestina masih gigih melawan aksi pendudukan yang kalian lakukan.

Tapi apakah kalian tahu, bahwa sebagian dari saudara seimanku sangat berjasa kepada kalian. (Aku yakin kalian tahu, meski aku tak berani menuduh kalau itu justru agenda tersembunyi kalian). Ya, ada sekelompok muslim, berpenampilan meyakinkan seakan penjaga sunnah Nabi Muhammad saw, tetapi seruan-seruannya sangat mengganggu perjuangan Palestina, dan malah memperingan kerja zionis la’natullah.

Alih-alih mendukung sikap bertahan umat muslim di sana, mereka ini malah menyuruh penduduk di tanah para nabi itu agar hijrah. Seolah tak ada izzah, mereka berdalih “biarkan saja Allah yang menolong Al-Aqsho sebagaimana Ia telah mengutus burung yang melindungi Kakbah.” Setelah berbicara begitu mereka berlepas tangan, membiarkan Israel merong-rong bangunan suci umat Islam yang harus dimuliakan.

Jauh sebelum mereka, Bani Israil – nenek moyang kalian, wahai bangsa Israel – telah mempelopori ucapan mirip seperti ini kepada Musa a.s. “Mereka berkata: “Hai Musa, kami sekali sekali tidak akan memasukinya selama-lamanya, selagi mereka ada didalamnya, karena itu pergilah kamu bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti disini saja”.” (QS Al-Maidah: 24)

Untuk membenarkan pendirian, mereka juga membawa hadits “Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibandingnya terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.” (HR. Nasai, Turmudzi). Lalu hadits itu digunakan untuk menyalahkan aksi jihad yang membuat umat muslim jatuh korban. Padahal hadits itu adalah kecaman kepada pembunuhan, bukan mengecam jihad yang memang beresiko mengakibatkan jatuhnya korban jiwa.

Mereka juga menjelek-jelekkan warga Palestina. Dituduhnya rakyat di sana belum benar aqidahnya, belum baik tauhidnya, banyak ahli bid’ah, jauh dari sunnah, dll.

Entah mereka tahu atau tidak, hidup dalam pengungsian tidak lah nyaman. Tempat tinggal, kebutuhan hidup, mata pencaharaian, semua serba susah. Belum tentu juga ada negara yang mau menampung.

Tentu kalian senang dengan ucapan mereka. Kalian begitu ingin agar penduduk Palestina pergi semua dari tanah airnya. Agar terwujud negara Israel Raya impian kalian yang luasnya mencakup Suriah, Turki, dan sebagian wilayah Arab Saudi. (Aku tidak tahu, bila kalian mulai mengincar sebagian daerah Arab Saudi, akankah saudara-saudaraku ini juga menyeru penduduk di sana hijrah?)

Dulu, rakyat Palestina hanya bisa menggunakan batu untuk melawan tank dan persenjataan canggih kalian. Lantas saudara-saudaraku ini mengeluarkan hadits Abdullah bin Mughaffal di mana Rasulullah melarang khadzaf (semacam gundu dari kerikil) yang dilempar dengan tangan. Dengan hadits tersebut, mereka menuduh pejuang Palestina melanggar perintah Nabi.

Padahal, larangan itu punya illat yaitu tidak bisa dijadikan alat berburu dan tak bisa membahayakan musuh. Tapi tentu hukum akan berubah kalau dalam keadaan terpaksa. Dalam perang, apa pun bisa digunakan sebagai senjata dalam rangka bertahan. Menurut hikayat, Nabi Daud a.s. membunuh Jalut dengan batu. Haqqul yaqin, andai ada peralatan perang yang lebih canggih, mereka tak akan menggunakan batu untuk meledakkan tank baja.

Tentu kalian senang dengan ucapan sebagian saudaraku itu. Berharap umat Islam ikut mencela dan tak lagi punya simpati kepada warga Palestina yang terdesak penjajahan. Dan kebiadan yang kalian lakukan pun tak terusik.

Seiring waktu, para pejuang Palestina semakin berkembang kemampuan perangnya. Mereka bisa membuat senjata sendiri. Termasuk merakit bom. Hanya saja, kemampuan mereka belum memadai untuk membikin pelontar. Sementara pemukiman mereka terus digusur, tanah dirampas, anggota keluarga dibunuh, dan masjid dirobohkan demi pendudukan illegal zionis Yahudi.

Ketiadaan alat pelontar membuat mereka terpaksa membawa sendiri bom yang telah dirakit untuk diledakkan di dekat mereka. Ada resiko besar, tubuh mereka ikut terkena bom hingga syahid. Tapi pejuang Palestina tak peduli dengan resiko tersebut. Mereka dengan berani meledakkan bom-bom itu, membuat kerugian besar di tengah kalian wahai Israel, dan membuat kalian ketakutan bukan kepalang.

Lantas sebagian saudaraku itu kembali mencela bentuk perjuangan tadi. Dikatakannya itu adalah bom bunuh diri. Kematian mujahid Palestina disebut sebagai mati konyol. Tentu kalian senang. Karena dengan begitu umat muslim ikut mencela dan tidak punya simpati dengan perjuangan bangsa Palestina. Dan penjajahan yang kalian lakukan pun tak terusik.

Kini aksi bom syahid sudah ditinggal oleh para pejuang yang telah mampu membuat roket. Persenjataan pun semakin canggih. Bahkan lontaran roketnya sudah ada yang mampu mencapai ibu kota kalian, di Tel Aviv. Pada perang terakhir, pertahanan yang kalian beri nama “kubah besi” remuk oleh roket-roket mereka. Dunia mengejek kalian dengan istilah “kubah kertas”. Kalian coba serangan darat ke Gaza, kandas juga. Akhirnya kalian pun terpaksa meminta perdamaian.

Tapi sebagian saudaraku itu tak berhenti nyinyir. Terbaru, mereka menuduh mujahid Palestina lah yang memprovokasi Israel dengan lemparan-lemparan roket itu. Lagi-lagi pejuang yang disalahkan. Kalian tentu senang dengan ucapan mereka.

Tak lupa juga, mereka membuat analisa ngawur bahwa jihad yang dilakukan pejuang Palestina tidak sesuai syariat Islam. Makin menambah rasa bahagia kalian, wahai musuhku Israel, kepada sebagian saudara seimanku itu.

Ketika umat Islam di belahan bumi lain melakukan demonstrasi dan turun kejalan mengecam perbuatan kalian, mereka mengeluarkan fatwa haramnya demonstrasi. Dituduhnya demonstran itu khawarij yang halal ditumpahkan darahnya. Tentu kalian senang bila orang yang mengusik penjajahan ditumpas. Mereka juga mengejek aksi demonstrasi itu tak mengubah nasib Palestina. Tentu kalian senang bila masyarakat dunia tidak disadarkan akan kekejian kalian.

Melengkapi itu semua, mereka keluarkan fatwa larangan mencaci Israel. Alasannya karena Israel itu nama seorang Nabi. Alasan yang mengada-ngada karena telah mafhum kaidah fiqh, sesuatu dinilai berdasarkan maksudnya. Tentu kalian makin senang saat orang tak berani mencaci nama negara kalian.

Karena itu berterima kasihlah wahai musuhku, Israel, atas jasa-jasa sebagian saudaraku kepada kalian yang mengganggu aksi anti penjajahan.

 

Ciri Hidup Yang Efektif

اَللَّهُمَّ إنِّيْ أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا وَرِزْقًا طَيِّبًا وَعَمَلاً مُتَقَبَّلاً

Ya Allah, aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rizki yang halal, dan amal yang diterima.” (HR Ibnu Majah, Ahmad)

Seorang muslim sadar orientasi hidupnya adalah akhirat. Sementara itu ia hanya dibekali waktu yang sedikit untuk memupuk amal sholeh sebanyak-banyaknya.

Andai rerata hidup manusia 63 tahun, berapakah waktu efektifnya untuk beramal sholeh? Usia itu belum dikurangi waktu tidur dan aktivitas duniawi. Atau kalau mau dihitung dari waktu sholat wajibnya yang lima kali dalam sehari, hanya terkumpul 1 jam 15 menit sehari (kalau rerata sekali sholat beserta dzikir adalah 15 menit). Lalu bagaimana bila waktu beribadah itu dikurangi oleh perbuatan-perbuatan maksiat yang sadar tak sadar kita lakukan?

Karena itu penting agar hidup yang kita jalani ini efektif dalam kebaikan. Rasulullah saw memberi contoh. Dalam sebuah doa, ia saw meminta kehidupan yang efektif.

Ilmu Yang Bermanfaat/Pengetahuan Yang Aplikatif

Volume otak yang terpakai memang jauh lebih kecil dari kapasitasnya. Tapi ini bukan tentang otak kita yang mampu menyimpan banyak ilmu, tetapi tentang efektifitas waktu mempelajari sebuah ilmu.

Saat akses internet ada dalam genggaman, dan berbagai ilmu tersingkap melalui mesin pencari, tetap saja butuh waktu untuk mempelajari sebuah ilmu. Lalu bila waktu yang terpakai habis untuk mempelajari ilmu yang menjerumuskan pada kesyirikan, misalnya mempelajari ilmu ramalan bintang, shio, dll, betapa tidak efektifnya hidup kita.

Efektifitas hidup ada pada penguasaan pengetahuan yang applicable dalam hidup. Seorang anak mengoleksi berpuluh-puluh komik, seberapa banyak manfaat yang ia peroleh? Kalau sekedar memperoleh pesan cerita, ia bisa mendalami sejarah perjuangan para sahabat Rasulullah yang harum yang begitu tebal dengan pesan kehidupan.

Seorang satpam mempelajari bahasa pemrograman karena hobi. Ia mengoleksi buku-buku pemrograman komputer. Kalau dari ilmu itu ia bisa menambah pemasukan karena pekerjaan samping sebagai programmer, tentu bermanfaat sekali ilmunya. Tetapi kalau sekedar hobi dan tak ada input yang didapat, sayang sekali waktunya.

Seseorang penikmat sepakbola gemar membaca analisa sebuah pertandingan, mengamati perkembangan seorang pemain dan klub, mengikuti bursa transfer, tetapi pada akhirnya apa yang ia baca tak banyak manfaat dalam hidupnya. Hanya sekedar hobi. Tentu sayang sekali waktu yang habis mendalami dunia sepakbola.

Inilah yang diminta Rasulullah saw, agar tidak sibuk dalam menggali pengetahuan yang tidak ada manfaat apa-apa dalam hidup. Hanya sekedar menghadirkan keasyikan duniawi. Ia saw juga berdoa:

“Ya Allah, aku berlindung kepadaMu dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyu’, dari nafsu yang tidak pernah kenyang, dan dari doa yang tidak dikabulkan.”(HR Muslim)

Rezeki/Capaian Yang Baik

Apa yang diperoleh dari harta korupsi adalah rezeki seorang koruptor. Tetapi baikkah rezeki itu? Tentu kita sepakat, itu bukan rezeki yang baik. Rasulullah memohon agar hidupnya efektif melalui rezeki yang baik.

Harta koruptor berpotensi menyeretnya ke pengadilan suatu saat. Jabatan yang diraih dari menjilat atasan dan menyikut teman sejawat hanya menambah musuh dan pembenci. Itulah rezeki yang buruk.

Rezeki yang baik ditandai dari cara memperoleh dan pemanfaatannya yang juga baik. Rezeki yang diperoleh secara halal, tetapi dimanfaatkan untuk jalan maksiat, tetap saja membuat masalah di akhirat kelak.

Amalan Yang Diterima Oleh Allah swt/Aktivitas Yang Efektif

Dan poin terakhir yang diminta oleh Rasulullah untuk mendapatkan hidup yang efektif adalah amal yang diterima oleh Allah swt.

Dalam sehari, hanya sedikit waktu yang kita alokasikan untuk ibadah mahdhoh. Aktivitas lain seperti bekerja, tidur, makan, dll bisa bernilai ibadah kalau kita niatkan untuk ibadah. Jangan biarkan aktivitas-aktivitas mubah itu sia-sia tanpa diniati untuk ibadah kepada Allah swt.

Dan upayakan sebisa mungkin agar amal sholeh yang kita lakukan berkualitas agar diterima oleh Allah swt. Rasulullah saw pernah mewanti-wanti umatnya,

“Betapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan dari puasanya tersebut kecuali rasa lapar dan dahaga.” (HR. Ath Thabrani)

Begitu juga banyak yang tidak mendapatkan apa-apa dari sholatnya kecuali letih. Ini karena ia mengabaikan ikhlas dan kekhusyukan dalam sholat. Sayang sekali, amalnya tidak efektif untuk menjaganya di akhirat.

 

Empat Ukuran Standard Hidup Layak Menurut Hadits

Bila Anda coba menanyakan apa ukuran kebahagiaan atau kesuksesan kepada 100 orang, mungkin Anda akan mendapatkan 100 jawaban yang berbeda. Karena memang tiap orang punya perbedaan yang unik dalam menilai standard kelayakan hidup. Tergantung seleranya.

Tetapi sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban (dishahihkan oleh Al-Arna’uth) mengarahkan umat muslim pada empat faktor terwujudnya kebahagiaan. Hadits itu berbunyi:

أَرْبَعٌ مِنَ السَّعَادَةِ : الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ وَالْمَسْكَنُ الْوَاسِعُ وَالْجَارُ الصَّالِحُ وَالْمَرْكَبُ الْهَنِيء

“Empat faktor kebahagiaan; Wanita (isteri) shalihah, rumah yang lapang, tetangga yang shaleh dan kendaraan yang nyaman.”

1. Wanita Sholihah

Tentu vise versa bagi wanita, memiliki suami yang sholih adalah sebuah kebahagiaan.

Banyak pernikahan yang dibangun atas dasar cinta, dan pelakunya menyangka ia akan bahagia. Sayangnya, kebanyakan rasa cinta tak bertahan lama. Setelah berkeluarga, derasnya problematika bisa mengikis rasa cinta itu. Waktu pun bisa menimbulkan rasa bosan. Tanpa akhlak dan keimanan, pernikahan seperti ini rawan goyah. Tetapi bila kedua belah pihak memiliki akhlak yang mulia, maka masalah internal bisa diselesaikan dengan baik, godaan di luar bisa ditepis, dan karena rahmat-Nya Allah Ar-Rahiim akan memelihara cinta di sanubari dua insan.

Rasa cinta tidak bisa diandalkan untuk survive bertahun-tahun dalam hidup rumah tangga. Tapi kesholehan dan ketaqwaan yang bisa menjadi andalan.

Selain itu, hadits ini juga menyangkal jargon “I’m single and very happy.” Karena naluri manusia tidak bisa diingkari, bahwa manusia butuh pendamping.

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. 30:21)

Baca juga: Alternatif Ibadah Saat Haid/Menstruasi

2. Rumah yang Lapang

Rumah adalah markas setiap individu. Manusia bisa berlanglang buana mencari nafkah, tetapi pada akhirnya ia akan kembali pada sebuah bidang bangunan tempat privasinya terjaga.

Di perkotaan, harga tanah yang semakin mahal membuat orang memilih untuk mencari rumah yang minimalis. Namun andai mampu membeli, tentu rumah yang lapang yang dicari orang. Karena dengan lapangnya rumah, semakin memberi kenyamanan dan keleluasaan untuk beraktivitas pribadi.

Pada akhirnya Anda pun harus menyertakan hati yang lapang dalam menikmati rumah sebesar apa pun adanya. Rumah yang besar yang ditempati hati yang sempit, tak akan terasa lapang. Tetapi rumah yang sempit yang ditempati hati yang bersyuku, akan terasa lapang. Apalagi rumah yang lapang dan ditempati oleh hati yang bersyukur.

Baca juga: Mengenal Jenis Kredit Kepemilikan Rumah

3. Tetangga yang Sholeh

Manusia butuh bersosialisasi. Kebutuhannya akan terpenuhi manakala bisa berinteraksi pada komunitas yang baik. Lingkungan yang diisi oleh warga yang baik-baik dan ramah tentu menjadi idaman tiap orang. Punya tetangga yang terbuka, mudah bergaul, enak diajak ngobrol, tak segan membantu, akan membuat hidup menjadi tenteram.

Sebaliknya, memiliki tetangga yang suka komplen urusan yang remeh, akan membuat hati kesal. Atau tetangga yang senang bersaing dalam mengoleksi barang-barang, akan menjebak kita dalam gaya hidup yang boros.

Baca juga: Dua Aktivitas Berkah Di Ruang Tamu: Silaturahim dan Memuliakan Tamu

4. Kendaraan yang Nyaman

Di kota besar memang sedang digalakkan untuk memanfaatkan kendaraan umum. Tetapi masih banyak yang menolak karena naik kendaraan umum itu tidak nyaman. Kenyataannya memang menggunakan kendaraan pribadi lebih nyaman daripada naik kendaraan umum. Bukan sekedar desak-desakannya, tetapi dengan kendaraan umum kita bebas memilih jalur kemanapun yang kita mau. Dengan kendaraan akan lebih mobile dan dinamis. Kendaraan pribadi akan terasa sekali manfaatnya saat rekreasi. Menentukan destinasi wisata tidak akan terkendala oleh jalur angkutan umum.

 

Ketagihan Tawa

Demi terbahak, batas kemanusiaan halal dilabrak. Rasa hormat begitu saja dicampak. Rasa malu hilang tanpa jejak. Jangan ungkit-ungkit soal akhlak.

“Dan janganlah terlalu banyak tertawa. Sesungguhnya terlalu banyak tertawa dapat mematikan hati.” ujar Rasulullah saw suatu hari, diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi.

Tapi nasehat itu tidak diindahkan. Lalu dihadirkanlah jargon-jargon “open minded”, “dark jokes”, dsb demi pembenaran canda yang keterlaluan.

“Humanity above religion”, kata orang-orang itu. Tapi bohong. Jargon tersebut semata agar mereka tidak diingatkan dengan dalil agama. Karena kenyataannya rasa haus untuk tergelak sah-sah saja menginjak empati.

Kondisinya sudah sampai begini: bila Anda mengucapkan selamat hari raya agama lain, maka Anda toleran; tapi bila marah karena agama Anda diolok-olok, Anda tidak toleran.

Padahal toleransi itu cukup di batas menghargai tanpa mengusik keyakinan orang lain, dan tanpa perlu partisipasi dalam kegiatan atau kata-kata.

Kematian, rasa lapar, bencana, dan penderitaan orang lain halal untuk ditertawai atas nama dark jokes. Demi tawa. Untuk dunia yang penuh hahaha.

Yang mereka inginkan adalah akhir hidup dalam keadaan mulut terbuka lebar dan rahang mengeras tak mampu mengatup. “Matimu tak jauh dari kebiasaanmu.” Lalu, “Setiap hamba akan dibangkitkan berdasarkan kondisi meninggalnya.” (HR Muslim)

Pada hati yang telah mati, alasan dark jokes adalah pembiasaan untuk hidup dalam kelamnya jahannam. Maka gelap-gelapilah canda kalian dengan menertawakan agama, merendahkan kemanusiaan, menginjak-injak rasa hormat. Tapi kelak, di hadapan Zabaniyah, tersenyum kecil pun kalian tak kan mampu.

Oh ya, juga demi konten yang harus selalu tersedia.

 

Elegi Batu-Batu Pijakan

Di batu pertama, kaki mereka menjejak tanpa banyak masalah. Sedikit licin, tapi tak banyak membuat goyah. Tak sampai terpeleset dan jatuh ke tanah.

Tapi untuk ke batu pijakan kedua, lumayan susah payah. Sampai sekarang belum berhasil menjejak, meski segala konspirasi dan skenario masih terus digubah.

Yang menjadi batu pertama, memang tak banyak memiliki simpati. Sekedar sesama muslim, ada lah rasa solidaritas itu. Tapi tak begitu rekat.

Maklum, mereka mudah berselisih dengan yang tak sepaham. Mengharamkan demokrasi, bahkan menuduh syirik bagi yang berani ke TPS. Akhirnya batu pertama ini dianggap sebagai duri dalam daging oleh umat Islam. Ketika umat tengah menghadang kaum sekuler, mereka malah merecoki dari belakang.

Aksinya? Tak banyak terdengar selain spanduk dan teriakan di belakang toa. Ya mungkin ada gerakan kemanusiaan di daerah bencana, mungkin, tapi entahlah apakah kurang publikasi sehingga tak terlalu terdengar.

Ketika batu itu terjejak oleh para pelaku makar, umat sudah mewanti-wanti bahwa langkah mereka tak kan berhenti di situ. Dan benar….

Kemudian mereka mencoba menjejakkan kaki di batu kedua. Hanya saja batu itu kini sedang banyak menuai simpati. Tak sedikit yang dulu kurang suka malah balik mencinta. Jelas butuh usaha yang tak mudah.

Bukankah batu tersebut banyak mencari musuh? Benar, tapi musuh yang dicari adalah kebatilan. Orang lain boleh saja tak suka cara mereka melakukan perlawanan, tapi bila terpupuk rasa benci pada kemaksiatan di hati, akhirnya mengangguk setuju juga meski ada kadarnya.

Nama batu kedua pun telah tertoreh di daerah-daerah yang pernah terkena bencana. Ada kesan, garang pada kemungkaran, tapi lemah lembut pada kemanusiaan. Orang-orang yang menghujat batu kedua pun bukan tak mungkin suatu saat akan ditolong oleh yang dia benci bila terkena musibah.

Cara melangkah para pelaku makar itu terlalu buruk. Kentara gerak-gerak manipulatif dan kezalimannya. Makanya, bagaimana tidak makin mendatangkan banyak simpati?

Berhasilkah batu itu terjejak? Yang jelas doa-doa umat makin kuat dipanjatkan ke langit. Yang tak berdaya bukan berarti tak miliki Pembela. Ada keyakinan, bahwa Allah sengaja membiarkan kaki mereka mengancam sana sini hingga di suatu titik mereka terpeleset lantas terbenam sebagaimana terbenamnya Fir’aun dan tentaranya.

Kapan? Bubuhkanlah kesabaran pada kereta waktu yang melintas. Cepat atau lambat akan terjadi juga.

Kecuali bila para pelaku makar itu bertaubat. Semoga.

Lalu, bersiagalah batu-batu ketiga dan seterusnya. Siapa? Bisa jadi kalian, siapapun itu yang menempuh jalan para nabi, shodiqin, sholihin dan syuhada. Bersiaplah dan rancanglah strategi dari kini.

Makanya, jangan biarkan batu kedua terjejak oleh mereka. Agar tak ada kesempatan menginjak batu-batu berikutnya.

 
Leave a comment

Posted by on December 15, 2020 in Orat Oret

 

Menantang Neraka

“Gini doang nih grup neraka?” Itu bukan kalimat meremehkan neraka sih. Sekedar kalimat candaan bernada jumawa dari admin klub sepakbola.

Tapi ada beneran kalimat yang menantang neraka. Macam-macam bentuknya.

Ada yang merasa senang kalau masuk neraka karena bisa ketemu artis. Seolah-olah profesi tersebut dijamin neraka. Padahal banyak juga artis yang baik-baik, muslim, yang dalam penilaian zhohir mereka layak mendapatkan ganjaran surga.

Ada yang bikin kaus bertuliskan, “kalau surga milik kaummu, biarkan kami di neraka dengan kebhinekaan.” Seolah-olah di surga tidak ada kebhinekaan. Seolah-olah orang yang menerima kebhinekaan itu tempatnya di neraka.

Yang lebih mengenaskan sih yang terjadi baru-baru ini di musim kampanye pilkada 2020. Ada tokoh yang berkata, “Saya mohon maaf bapak ibu, kalau misalnya saya ngajak nyoblos P-A (nama disingkat saja), terus ibu bapak masuk neraka, ibu jangan masuk neraka. Saya yang nalangin masuk neraka. Sampe begitunya saya menjaminkan pak P dan bu A untuk maju sebagai walikota…”

Luar biasa orang-orang itu. Padahal dengan demam saja mereka terkapar. Kata Rasulullah, “Sesungguhnya penyakit demam (panas) adalah berasal dari bagian panas neraka jahanam.” (HR Bukhari). Ada berbagai penjelasan para ulama atas hadits ini. Konteks dalam tulisan ini adalah, dengan demam saja membuat tubuh manusia tak berdaya, apalagi neraka jahannam.

Juga ada hadits berikut yang lebih mengerikan:

“Api kalian ini yang dinyalakan oleh anak cucu Adam hanyalah 1 bagian dari 70 bagian dari panasnya api Jahannam. Mereka berkata, “Demi Allah wahai Rasulullah, api di dunia ini saja sungguh sudah cukup (untuk menyiksa).” Maka beliau bersabda, “Maka sesungguhnya api jahannam dilebihkan 69 kali lipat panasnya, dan setiap bagiannya (dari 69 ini) mempunyai panas yang sama seperti api di dunia.” (HR Bukhari Muslim)

Sekedar info, macam-macam api di dunia ini antara lain: Api merah umumnya bersuhu di bawah 1000 derajat celsius. Api biru, bersuhu lebih tinggi dari api merah, tapi masih di bawah 2000 derajat celcius. Kemudian api yang lebih panas, api putih yang bersuhu di atas 2000 derajat celcius. Api ini juga yang terdapat di dalam inti matahari. Nah, hitung sendirilah suhu Neraka Jahannam.

Memang, ada kelompok yang mudah menganggap sesat terhadap muslim yang tidak segolongannya. Bikin kesal. Tapi menghadapi mereka tidak perlu menantang “biarin masuk neraka.” Itu kalimat kesombongan.

Apalagi kalau menyikapi nasehat yang baik. Misalnya diingatkan untuk mematuhi syariat Allah, diluruskan aqidahnya, ditegur atas akhlak yang buruk, dsb. Kalau bersikap defense dengan menantang neraka, maka itu tanda kematian hati.

Memang dua pihak perlu introspeksi. Selaku objek dakwah, kita tidak boleh menutup diri dari kebenaran. Andai ada kritik yang kurang berkenan pun bukan dengan mengucapkan kalimat kesombongan.

Dan selaku pihak yang memberi nasehat, perhatikan juga adab. Karena dalam fiqh dakwah, memberi kabar gembira itu didahulukan daripada ancaman. Keduanya perlu disampaikan dalam situasi yang pas. Dan dakwah harus memperhatikan sikap lemah lembut dan bijaksana. Wajar bila orang menolak hal yang baik bila disodorkan dengan cara yang buruk.

Dalam Al-Qur’an ada beberapa model kalimat orang kafir menantang adzab Allah. Ada yang, “mata hadzal wa’du in kuntum shodiqin?” Kapan janji ini datang bila kalian benar?

Atau dalam Al Ankabut:

Dan mereka meminta kepadamu agar segera diturunkan azab. Kalau bukan karena waktunya yang telah ditetapkan, niscaya datang azab kepada mereka, dan (azab itu) pasti akan datang kepada mereka dengan tiba-tiba, sedang mereka tidak menyadarinya. (QS. Al-Ankabut : 53)

Padahal ketika telah melihat neraka, menjerit keraslah mereka. Dalam surat Al Furqon ayat 22 tertera kalimat “hijran mahjura”.

“(Ingatlah) pada hari (ketika) mereka melihat para malaikat, pada hari itu tidak ada kabar gembira bagi orang-orang yang berdosa dan mereka berkata, “Hijran mahjura.””

Terjemahan Depag seperti di atas, tersuratkan bahwa orang kafir lah yang berkata begitu. Namun menurut jumhur ulama dari kalangan salaf, menurut keterangan dosent tafsir dari LIPIA, ustadz Faris Jihady Lc, itu adalah kata-kata malaikat. Allahua’lam.

Hijran Mahjura artinya benar-benar terhalang. Kalau itu ucapan malaikat, maka maksudnya “Kalian terlarang dari rahmat dan surga Allah swt.”

Tapi kalau itu ucapan orang kafir, maka ungkapan meminta perlindungan agar terhalang dari hal yang tidak disukainya. “Tolong lindungi kami,” begitu kira-kira.

Bukan, “yaelaah… segini doang neraka? Ga sabar gaes ketemu artis pujaan. Yuhuu… aku datang, kebhinekaan. Ga sia-sia memang ucapan kampanye kemaren.”

Naudzubillahi min dzalik.

 

Sudah Lama Hijrah, Jangan Sampai Kualitas Ibadah Turun

Kapan Anda mulai hijrah? Maksudnya, kapan mulai rajin ikut kajian, memperbaiki sholat, mengenakan hijab bagi wanita, dll. Pokoknya, momen saat Anda berubah untuk lebih mendekat kepada Allah, mendalami Islam, dan meninggalkan hal-hal buruk dalam hidup Anda.

Untuk yang sudah lama hijrah, apa ada yang senyum-senyum sendiri melihat saudaranya yang baru berubah menjadi lebih baik? Melihat orang yang belakangan jadi rajin dengan semangat yang menggebu-gebu. Karena teringat kondisi dulu saat baru sadar. Awas, jangan sampai tersisip rasa bangga merasa lebih baik karena lebih awal bertaubat.

Termasuk ‘ujub bila Anda bergumam, “Seneng sih dia berubah sekarang. Walaupun bisa jadi dia ikut-ikutan aja karena lagi trend hijrah. Gak kayak saya yang dulu hijrah di saat cewek yang make jilbab masih jarang dan jadi orang sholeh itu bener-bener ngelawan arus.”

Tapi ngomong-ngomong, bagaimana kondisi ruhiyah Anda saat baru hijrah dibandingkan dengan sekarang? Apakah lebih rajin dari yang dulu, atau sama saja, atau malah ada penurunan? Atau malah kalah dengan semangat orang yang baru hijrah?

Sobat hijrah (sksd banget ya panggilannya..?), jangan pernah menurunkan kualitas amal ibadah kita. Ada kisah yang “menyengat” yang dialami sahabat Abdullah bin Ummi Maktum r.a.

Kita semua tahu bagaimana proses masuk Islamnya beliau. Mohon izin untuk diangkat sedikit di dalam tulisan ini. Karena ada ibrah yang dalam yang akan dikaitkan dengan kisah berikutnya.

“Selamat datang orang yang karenanya Allah menegurku.” ujar Rasulullah bila bertemu Abdullah bin Ummi Maktum. Ya, di hari ia masuk Islam, ada teguran Allah kepada Nabi Muhammad saw sekaligus pembelaan kepada sosok yang tuna netra itu.

Utbah bin Rabiah, Syaibah bin Rabi’ah, Abu Jahal, Umayyah bin Khalaf dan Walid bin Mughirah, para petinggi dan orang-orang bergengsi di kota Mekkah sedang berkumpul di salah satu sudut kota Mekkah untuk berdialog dengan Rasulullah saw ketika Abdullah bin Ummi Maktum r.a. siang itu “nimbrung” di tengah mereka meminta diajarkan ayat-ayat yang telah Allah turunkan.

Itu sebenarnya momentum untuk memperdengarkan juga ayat-ayat yang menyentuh kepada para pembesar Quraisy. Hanya saja, karena yang datang seorang yang bukan terpandang, Rasul menganggap kehadirannya bisa menurunkan gengsi di hadapan orang-orang tadi.

Rasul, seperti bunyi ayat ‘Abasa ayat pertama, bermuka masam dan berpaling dari Abdullah bin Ummi Maktum.

Maka ketika selesai bertemu para oligarkis jahiliyah, dalam perjalanan pulang wahyu pun turun menegur Rasulullah saw.

Berapa tahun kemudian, suatu ketika Rasulullah bermaksud mendisiplinkan para sahabat dalam sholat berjamaah, sampai-sampai terucap dilisannya akan membakar rumah orang yang enggan ke masjid.

Abdullah bin Ummi Maktum adalah sahabat mulia yang termasuk yang awal masuk Islam. Namun karena kondisinya buta, ia meminta keringanan.

“Ya Rasulullah, setiap hari saya datang ke masjid bersama keponakan saya. Namun, sekarang dia sudah meninggal dan tidak ada lagi yang bisa menuntun saya ke masjid. Apakah boleh dengan uzur ini saya tidak ke masjid menunaikan shalat?”

Awalnya Rasul memberi dispensasi. Tapi sesaat kemudian ia meralat.

“Wahai Abdullah, apakah engkau mendengar azan?” tanya Beliau. Abdullah bin Ummi Maktum mengiyakan. “Kalau begitu, engkau tetap harus datang ke masjid,” putusannya.

Orang buta bagaimana jalannya ke masjid? Di mana ada kemauan di situ ada jalan. Abdullah bin Ummi Maktum sudah bertahun-tahun terbiasa dengan kondisinya. Sudah berpengalaman mengatasi kekurangannya. Apa pun caranya, penuhilah panggilan Allah.

Nah, sobat hijrah, dari kisah di atas terlihat bagaimana perlakuan Rasulullah kepada sahabat mulia dengan kualitas “sabiqunal awwalun”. Tidak ada permisi untuk menurunkan standard ketaatan.

Bisa jadi akan berbeda bila yang meminta izin adalah orang buta selain Abdullah bin Ummi Maktum.

Buat Anda yang telah lama hijrah, yang merasa lebih “assabiqunal awwalun” dari yang baru rajin belakangan, yang rajin ke majelis ilmu ketika pengajian masih jarang dan pesertanya sedikit, apakah bisa mempertahankan kualitas layaknya Abdullah bin Ummi Maktum r.a.?

Alih-alih membanding-bandingkan dengan orang yang baru hijrah, lebih baik memastikan kualitas dan kuantitas amal Anda tak terdegradasi dimakan jaman.

Kenang-kenanglah di saat Anda sedang di puncak rajin-rajinnya beribadah. Lalu kini Anda tertuntut untuk mengulangi kondisi itu dan mempertahankannya hingga wafat.

Jangan kasih kendor dalam ibadah, bang. Futur? Yaelah… yang udah lama hijrah mah harusnya udah pengalaman lah mengatasi itu.

Belum tibakah waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk secara khusyuk mengingat Allah dan mematuhi kebenaran yang telah diwahyukan (kepada mereka), dan janganlah mereka (berlaku) seperti orang-orang yang telah menerima kitab sebelum itu, kemudian mereka melalui masa yang panjang sehingga hati mereka menjadi keras. Dan banyak di antara mereka menjadi orang-orang fasik. (QS Al Hadid: 16)

 

Bantalan Rahmat Allah di Jalan Raya

Saya sering melihat peristiwa hampir kecelakaan dialami mobil atau motor. Saya pun mungkin sering mengalami, baik disadari atau tidak.

Tinggal beberapa centi lagi terjadi senggolan antar dua kendaraan. Tapi ada sekat yang menghalangi. Selisih jarak antara dua body kendaraan itu saya ibaratkan ada “bantalan rahmat” dari Allah swt yang menahan benturan sehingga terhindar dari terjadinya insiden. Kelihatan? Ya kagak lah, Bambaaaang…

“Kenapa disebut “bantalan rahmat Allah”? Anda sotoy ya…”

Saya meyakini terselamatkannya seorang hamba dari musibah adalah karena kepemurahan Allah swt. Saya mentadabburinya dari Al-Qur’an surat Yasin ayat 41-44.

“Dan suatu tanda (kebesaran Allah) bagi mereka adalah bahwa Kami angkut keturunan mereka dalam kapal yang penuh muatan, dan Kami ciptakan (juga) untuk mereka (angkutan lain) seperti apa yang mereka kendarai. Dan jika Kami menghendaki, Kami tenggelamkan mereka. Maka tidak ada penolong bagi mereka dan tidak (pula) mereka diselamatkan, melainkan (Kami selamatkan mereka) karena rahmat yang besar dari Kami dan untuk memberikan kesenangan hidup sampai waktu tertentu.”

Jadi jelas, di atas jalan beraspal bukan berarti sepi dari kasih sayang Allah kepada makhluk-Nya. Tertera kata “rahmat” di ayat tersebut.

Sehingga, bukan rem yang pakem, tapi Allah yang menghentikan sebuah kendaraan tepat pada jarak dan waktunya. Bukan si pengemudi yang lihai, tapi Allah yang menghendaki agar tangannya bergerak ke arah yang tepat. Dan jangan sampai bilang dewi fortuna berpihak pada seseorang, tapi ucapkanlah Alhamdulillah atas keselamatan yang dianugerahkan-Nya.

Kawan, sudah pernah kah merenungi ini? Sudahkah kita berterima kasih atas keselamatan yang dia berikan?

Oh sudah ya? Berarti iya saya yang sotoy nih…. Sorry.

Jadi, kalau kita mengalami peristiwa yang nyaris membuat kita celaka gara-gara kecerobohan pengendara lain, jangan buru-buru mengumpat di jalan. Ucapkan dulu hamdalah. Bukankah keadaannya kita selamat, persis seperti doa yang kita panjatkan? Bukan tidak mungkin bila kita tidak berdoa, terjadi yang lebih buruk lagi. Na’udzubillah. Justru bersyukurlah karena baru saja menemukan “bantalan rahmat Allah swt”.

Makanya usahakan jangan gampang marah bahkan berkata kasar kepada orang. Ya memang, di jalanan kita temukan 1001 kelakuan aneh-aneh dari pengendara lain. Cuma, sadar atau tidak mungkin kita juga sering bikin orang kesal.

Sebenarnya paragraf di atas malas saya tulis. Takut kena delik “kaburo maqtan”. Udah lumrah kalau di jalan raya orang yang ramah itu bisa jadi pemarah. Dan gampang mengumpat kayak saya… Aduh keceplosan ngaku…

 

Segelintir Pertanyaan Tentang “Bertaqwalah di Mana pun Kau Berada”

“Ittaqillaha haitsu ma kunta. – Bertaqwalah kepada Allah di mana pun kamu berada.” Berkesan sekali hadits riwayat Ahmad dan Tirmidzi itu bagi saya. Sering terngiang-ngiang di kepala. Tapi mohon jangan tanyakan implementasinya ya. Malu.

Sampai-sampai muncul pertanyaan, kenapa Rasulullah saw menggunakan dimensi ruang dalam hadits itu, bukan dimensi waktu. Maksudnya, kenapa hadits itu tidak berbunyi, “bertaqwalah kepada Allah kapan saja”?

Karena secara garis waktu, para ulama menyimpulkan bahwa iman seseorang itu naik turun. Ada kalanya meningkat karena ketaatan, ada kalanya turun karena maksiat.

“Sesungguhnya hati anak cucu Adam yang berada di antara dua jari Dzat Yang Maha Rahman itu bagaikan satu hati saja. Dia (Allah) selalu mengubah-ubahnya sesuai dengan kehendak-Nya,” (HR al-Tirmidzi).

Lalu, menjadi menarik ketika Rasulullah memilih kata “di mana saja” alih-alih “kapan saja”.

Mungkin ilustrasi berikut bisa menjelaskan.

Seorang anak disekolahkan di pesantren. Di lingkungan itu ia harus disiplin dengan aturan yang ada. Sholat wajib bahkan qiyamul lailnya diatur. Sehari-hari akrab dengan Al-Qur’an.

Hari berganti hari, pekan berganti pekan, bulan berganti bulan, anak itu akan istiqomah dengan lingkungan yang memaksa.

Tetapi ketika liburan tiba, ia kembali ke rumah. Maka bebaslah anak itu. Di rumah, kedua orang tua yang sibuk bekerja tidak bisa mengawasi sholat wajib anak tersebut. Bahkan ketika si anak bolong-bolong sholat malamnya sampai bangun kesiangan, dimaklumi begitu saja. Di rumah, ia pun lebih lebih banyak waktu bersama gadget daripada mushaf, melampiaskan bebasnya kekangan di pesantren.

Maka terlihatlah bahwa bukan waktu yang paling utama mempengaruhi futurnya seseorang, tapi lingkungan.

Hal begitu mungkin terjadi pada aktivis dakwah kampus yang di rantau, di tengah lingkungan teman kuliah yang sesama aktivis, ia larut dalam giatnya sholat berjamaah, tilawah, dan berbagai amaliyah yang baik. Tapi ketika pulang kampung, rasanya berat meninggalkan rumah. Mager. Antusiasme memenuhi adzan di musholla terdekat tidak seperti di perantauan.

Hal begitu mungkin terjadi pada karyawan kantoran. Di kantor, ia bergegas hadir sebelum adzan zhuhur atau ashar berkumandaang. Tetapi setelah pulang, penatnya kerja dan perjalanan yang macet membuat kaki itu berat diseret ke masjid ketika adzan Isya berkumandang. Rebahan telah menjadi jalan ninjanya.

Di tengah lingkungan orang-orang sholeh, memang mudah untuk ikut arus menjaga ketaqwaan. Tapi di tengah orang biasa, tantangan itu lebih berat.

Sahabat Rasulullah saw, Hanzhalah r.a. pernah mengeluhkan kondisi itu. Saat bertemu Abu Bakar r.a., ia menjawab pertanyaan “bagaimana kabarmu” dengan, “Hanzhalah kini telah jadi munafik.” Jawaban yang mengejutkan. “Kenapa?” selidik Abu Bakar r.a..

“Ketika bersama Rasulullah, aku teringat surga dan neraka. Tetapi ketika bersama istri dan anak-anak, aku pun sibuk dengan berbagai urusan hingga lalai.”

Abu Bakar r.a. tergetar hatinya. “Aku pun begitu.” Akhirnya mereka berdua sepakat menanyakan hal ini kepada Rasulullah saw.

Lalu beliau yang mulia pun menjawab bijak. “Demi Allah, kalau kalian konsisten beramal, maka malaikat akan menjabat tangan kalian di tempat tidur atau pun di jalanan. Namun Hanzhalah, sa’atan wa sa’atan.”

Maksudnya Rasulullah menjawab bahwa setiap kondisi itu ada saat-saatnya. Dimaklumi kondisi begitu, asalkan tidak keluar dari sunnah Rasulullah ketika di dalam kondisi yang lapang, bersenang-senang dengan keluarga atau teman, menjalankan hobi, dll.

Makanya, ittaqillaha haitsu ma kunta. Kita bisa berpindah lingkungan sesering mungkin. Tapi rambu-rambu yang dijaga: tetap menjaga ketaqwaan kepada Allah swt. Meski tingkat kerajinan ibadah tak sama antara satu tempat dengan lainnya.